Implikasinya bahwa semakin beragam komunitas penduduk dalam suatu wilayah maka cenderung aturan adat semakin lemah keberadaannya dalam
kehidupan sosial masyarakat, sehingga tidak efektif dalam mencegah pembukaan lahan yang tidak berkelanjutan seperti adanya penggunaan api dalam membuka
ladang dan tidak terkontrol sehingga berpeluang menimbulkan terjadinya kemunculan titik panas kebakaran hutan dan lahan.
Rendahnya fungsi dan peran hukum adat dalam sistem pembukaan lahan terutama terlihat pada masyarakat sekitar TWA Baning, TNBB, areal HTI dan
lahan perkebunan. Hal ini disebabkan karena komunitas masyarakat disekitar lokasi kebakaran sangat beragam penduduk asli dayak dan
pendapatangtransmigran. Lemahnya aturan adat istiadat dalam masyarakat memberikan konsekuensi kepada rendahnya sikap dan kepedulian masyarakat
terhadap api, terutama pada areal atau lahan yang bukan milik masyarakat, seperti kebakaran yang terjadi di areal TNBB, TWA dan diareal Inhutani III.
F. Jenis Tanaman yang Diusahakan
Jenis tanaman yang dianalisis dalam kaitannya dengan kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tanaman kayu atau pohon, tanaman perkebunan dan tanaman
pangan. Hasil analisis data menunjukkan 98,71 dari areal yang terbakar termasuk dalam klasifikasi vegetasi jenis pohon atau kayu dan sisanya adalah
tanaman perkebunan 1,29. Areal yang ditumbuhi tanaman kayu atau pohon yaitu di TNBB, TWA-Baning, HTI – Inhutani III dan Finantara Intiga umumnya
kebakaran lebih luas. Sebaliknya, pada areal yang ditanami tanaman perkebunan relatif lebih rendah. Kebakaran lebih luas terjadi di areal hutan alam dan HTI
disebabkan ketersediaan bahan bakar yang lebih banyak dan pengendalian kebakaran lebih sulit akibat jarak antar tanaman dekat dan memiliki luasan yang
besar dibanding dengan luas rata-rata lahan masyarakat 0,75 ha sampai 1,5 ha. Selain itu, dipengaruhi juga oleh status kepemilikan dan tingkat kepedulian
terhadap lahan yang terbakar.
G. Jumlah Titik Panas Hot Spot
Jumlah titik panas periode kebakaran Agustus 1997 - September 1997 di
Kabupaten Sintang sebanyak 72 titik panas Lampiran 19. Titik panas terbanyak
225
berasal dari lahan TCSDP-Karet 38 titik panas dan areal HTI Inhutani III 11 titik panas. Titik panas yang terjadi di kedua areal ini disebabkan oleh
ketidakpuasan masyarakat sehingga terjadi pembakaran lahan oleh masyarakat sekitar. Sementara jumlah titik panas pada lahan masyarakat, TNBB dan HTI
Finantara Intiga relatif lebih kecil yaitu antara 1 – 4 titik panas. Jumlah titik panas terbanyak pada lahan masyarakat dari 12 desa sampel kebakaran yaitu di desa
Baning Kota 4 titik panas, akibat dari pembukaan lahan perladangan dengan sistem tebang-tebas-bakar, terutama dilakukan oleh penduduk pendatang.
Berdasarkan jumlah titik panas menurut tipe penggunaan lahan di setiap kecamatan menunjukkan bahwa persentase titik panas pada kebun masyarakat dan
perkebunan TCSDP sangat tinggi yaitu mencapai 76 namun luas areal yang terbakar rendah yaitu 1,3. Artinya, secara rata-rata titik panas persatuan luas
lebih kecil pada lahan masyarakat dan perkebunan TSCDP dibanding jumlah titik panas pada areal HTI 18 dengan persentase luas kebakarannya 96.
Implikasinya bahwa kebakaran yang terjadi di lahan perkebunan masyarakat rata- rata lebih cepat dipadamkan dibanding dengan kebakaran yang terjadi pada lahan
HTI maupun TNBB dan TWA Baning.
H. Usaha Pencegahan Kebakaran Mitigasi
Secara umum mitigasi kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan secara individual baikoleh masyarakat maupun oleh pihak perusahaan pengelola hutan,
namun belum terkoordinir dalam satuan pengendali kebakaran hutan dan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi yang tidak melakukan
pengendalian kebakaran 47 dengan persentase luas areal yang terbakar sangat tinggi 98,44. Sementara pada areal yang dilakukan pengendalian kebakaran
52,94, luas areal terbakarnya relatif rendah 1,56. Dari data ini terlihat bahwa pola pemadaman api telah banyak dilakukan masyarakat namun belum
optimal sehingga diduga ada korelasi kuat antara tingkat pengendalian kebakaran dengan luas areal yang terbakar.
Usaha-usaha pengendalian kebakaran yang tidak dilakukan atau kurang optimal dapat dilihat pada lahan masyarakat di desa-desa Baning Kota, Langan
dan Menukung serta di areal HTI Inhutani III. Sementara lahan masyarakat di 9
226
desa-desa lainnya, kawasan TNBB, TWA-baning dan HTI Finantara Intiga terdapat usaha-usaha pencegahan kebakaran hutan meskipun dilakukan secara
parsial dan belum terkoordinasi dengan baik dalam satuan tim pengendali kebakaran hutan dan lahan. Pengendalian kebakaran di kawasan TNBB dilakukan
oleh tim pengendali kebakaran dari HPH Sari Bumi Kusuma SBK karena letaknya berdekatan. Sementara pada TWA-Baning, pengendalian dilakukan oleh
masyarakat sekitar dan pada HTI-Finantara menggunakan tim pengendali kebakaran dari perusahaan.
Tidak adanya tim pengendali kebakaran yang terkoordinasi menyebabkan masyarakat melakukan upaya pengendalian secara sendiri-sendiri dengan motivasi
utama menyelamatkan lahan dan tanaman yang dimiliki sehingga luas kebakaran lebih rendah terutama pada lahan perkebunan masyarakat. Sebaliknya pada areal
Inhutani III, pengendalian kebakaran hanya menggunakan tenaga kerja perusahaan dan tidak melibatkan masyarakat sekitar maupun perusahaan lain,
sehingga kemampuan untuk melakukan pengendalian kebakaran sangat rendah, akibatnya luas lahan yang terbakar mencapai 12.452,12 ha.
5.7.3. Korelasi Faktor Alami dan Manusia Terhadap Kebakaran Hutan a. Korelasi Kanonik