untuk memadamkan api ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan, jika status lahan adalah hak milik dan terdapat tanaman produktif seperti pada lahan masyarakat
dan lahan TCSDP-karet, tanaman kayu yang telah ditanam atau dipelihara di Finantara Intiga, dan pemanfaatan lahan TWA-Baning untuk kegiatan pertanian
dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu oleh masyarakat. Sebaliknya, pada kawasan TNBB dan HTI Inhutani III masyarakat cenderung tidak peduli
terhadap kemunculan titik panas, sebab adanya keterbatasan dalam pemanfaatan lahan maupun hasil hutan, serta potensi konflik lahan dengan masyarakat sekitar.
D. Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Hutan
Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa penilaian tingkat kepuasan masyarakat berbeda terhadap pengelolaan hutan di areal HTI, TNBB, TWA-
Baning dan TCSDP-Karet. Komparasi tingkat kepuasan masyarakat yang menyatakan puas terhadap pengelolaan hutan 76 dengan luas areal terbakar di
sekitar tempat tinggal mereka 0,82 dari total areal terbakar. Sebaliknya, lokasi yang mengalami kebakaran luas 99,18, persepsi masyarakat setempat yang
menyatakan puas terhadap pengelolaan hutan 26 Lampiran 19.
Implikasinya bahwa semakin tinggi kepuasan terhadap pengelolaan hutan maka cenderung luas areal terbakar lebih rendah.
Hasil wawancara masyarakat dari 12 desa yang dicacah sebagian besar menyatakan puas dengan pengelolaan hutan model HTI, khususnya masyarakat
sekitar areal HTI Finantara Intiga. Namun, penilaian kepuasan masyarakat bersifat jangka pendek yaitu hanya didasarkan pada adanya penyerapan tenaga
kerja, bantuan sarana dan prasarana. Selain itu, belum dipertimbangkan dampak tidak langsung yang tidak terukur dengan nilai pasar langsung seperti kerusakan
habitat, menurunnya keanekaragaman flora-fauna, meningkatnya laju sedimentasi dan erosi lahan serta kerugian lainnya. Sebaliknya, masyarakat yang berada di
sekitar TNBB, TWA- Baning, HTI Inhutani III dan TCSDP-Karet ternyata tidak puas terhadap model pengelolaan hutan dan lahan. Ketidakpuasan masyarakat
berhubungan dengan konflik lahan dan terbatasnya ekspansi pemanfaatan hutan dan lahan untuk kegiatan perladangan dan pembukaan kebun masyarakat.
223
E. Aturan Adat Istiadat
Aturan adat istiadat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah atuaran yang bersifat mengikat dan mengatur masyarakat dalam membuka lahan
perladangan baik untuk usahatani maupun untuk usaha perkebunan, khususnya tata cara yang mengatur penggunaan api dalam sistem perladangan masyarakat.
Eksistensi aturan adat istiadat dalam sistem perladangan diduga akan menekan pola-pola pembukaan lahan yang menggunakan api secara tidak terkontrol,
karena masyarakat dibebankan tanggungjawab secara adat dan sosial dari struktur masyarakat tempat mereka tinggal. Agregasi antara adanya hukum adat dan luas
kebakaran menunjukkan bahwa dari 76 masyarakat menyatakan adat yang mengatur dalam pembukaan lahan dengan luas areal yang terbakar sebesar 3,50.
Sementara 24 yang menyatakan hukum adat tidak ada cenderung luas areal
terbakar sangat luas 96,50 Lampiran 19.
Hasil penelitian terhadap 12 desa-desa sekitar lokasi kebakaran hutan dan lahan, baik diareal kawasan konservasi TNBB dan TWA maupun di sekitar areal
HTI dan lahan perkebunan menunjukkan bahwa 76 responden dari 202 orang petani, pekebun dan pengumpul menyatakan bahwa hukum adat dalam pola
pembukaan lahan masih ada, tetapi ganjaran atau sanksi akibat pembukaan lahan yang tidak terkontrol rendah, terutama kebakaran yang berasal dari lahan
masyarakat pendatang tidak tersentuh aturan adat. Hal ini terlihat jelas dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar merasa memiliki hukum adat dalam mengatur pembukaan ladang usaha pertanian. Tetapi hanya 24 responden menyatakan hukum adat masih kuat
dalam mengatur pembukaan lahan untuk kegiatan perladangan, terutama masyarakat yang berada di desa Sei Serian, Empura, Nanga Siyai dan Ella Hulu
didominasi oleh penduduk asli Dayak. Penduduk asli suku dayak yang masih kuat dalam menerapkan hukum adat antara lain: Dayak Limai Kelait, Daayak
Koruh Kenyilu dan Dayak Otdanum. Hukum adat yang berlaku terutama mengatur hubungan sosial antar warga misalnya perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, pemakaian lahan, tata cara pembukaan ladang pada bekas ladang maupun hutan asli, penebangan pohon dan pemanfaatan hasil hutan.
224
Implikasinya bahwa semakin beragam komunitas penduduk dalam suatu wilayah maka cenderung aturan adat semakin lemah keberadaannya dalam
kehidupan sosial masyarakat, sehingga tidak efektif dalam mencegah pembukaan lahan yang tidak berkelanjutan seperti adanya penggunaan api dalam membuka
ladang dan tidak terkontrol sehingga berpeluang menimbulkan terjadinya kemunculan titik panas kebakaran hutan dan lahan.
Rendahnya fungsi dan peran hukum adat dalam sistem pembukaan lahan terutama terlihat pada masyarakat sekitar TWA Baning, TNBB, areal HTI dan
lahan perkebunan. Hal ini disebabkan karena komunitas masyarakat disekitar lokasi kebakaran sangat beragam penduduk asli dayak dan
pendapatangtransmigran. Lemahnya aturan adat istiadat dalam masyarakat memberikan konsekuensi kepada rendahnya sikap dan kepedulian masyarakat
terhadap api, terutama pada areal atau lahan yang bukan milik masyarakat, seperti kebakaran yang terjadi di areal TNBB, TWA dan diareal Inhutani III.
F. Jenis Tanaman yang Diusahakan
Jenis tanaman yang dianalisis dalam kaitannya dengan kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tanaman kayu atau pohon, tanaman perkebunan dan tanaman
pangan. Hasil analisis data menunjukkan 98,71 dari areal yang terbakar termasuk dalam klasifikasi vegetasi jenis pohon atau kayu dan sisanya adalah
tanaman perkebunan 1,29. Areal yang ditumbuhi tanaman kayu atau pohon yaitu di TNBB, TWA-Baning, HTI – Inhutani III dan Finantara Intiga umumnya
kebakaran lebih luas. Sebaliknya, pada areal yang ditanami tanaman perkebunan relatif lebih rendah. Kebakaran lebih luas terjadi di areal hutan alam dan HTI
disebabkan ketersediaan bahan bakar yang lebih banyak dan pengendalian kebakaran lebih sulit akibat jarak antar tanaman dekat dan memiliki luasan yang
besar dibanding dengan luas rata-rata lahan masyarakat 0,75 ha sampai 1,5 ha. Selain itu, dipengaruhi juga oleh status kepemilikan dan tingkat kepedulian
terhadap lahan yang terbakar.
G. Jumlah Titik Panas Hot Spot