Hasil Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

dan 7 sumber dan penggunaan source and sink.

2.8. Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan kayu dan non kayu maupun yang sifatnya non-use value dapat dinilai ekonomi totalnya dengan menggunakan berbagai pendekatan penilaian ekonomi. Menurut Pearce dan Moran 1994, penilaian manfaat langsung menurut harga pasar atau produktivitas terhadap sumberdaya hutan seperti nilai kayu, buah dan lateks yaitu sekitar US 6.280ha atau Rp 13.627.600ha IDR= Rp 2.170. Peneliti lain sebagaimana dikemukakan dalam Pearce dan Moran 1994, antara lain Watson 1988 menduga produksi hutan di Malaysia sebesar US 2.445ha atau Rp. 4.136.940ha IDR= Rp. 1.629 dibanding US 217ha Rp 367.164ha untuk pertanian intensif. Kramer et.al 1993 menduga nilai kayu bakar kebutuhan rumah tangga sekitar Taman Nasional Mantadia di Madagaskar sebesar US 39tahun atau Rp. 81.744thn IDR= Rp 2.096. Gutierrez dan Pearce 1992, menduga nilai ekonomi hutan Amazone Brasil dengan pendekatan willingess to pay sebesar US 199tahun atau Rp. 405.363tahun IDR= Rp 2.037, total nilai ekonomi US 91 billion Rp. 185 trilyun dengan nilai guna langsung US 15 milyar Rp. 30 trilyun, kegunaan tidak langsung US 46 milyar Rp. 93 trilyun dan nilai keberadaan sebesar US 30 milyar Rp. 61 trilyun. Hasil penelitian lain yang dikemukakan dalam Pearce dan Moran 1994 yaitu penilaian total ekonomi hutan di Meksiko dengan luas 51,5 juta hektar Pearce et al., 1993 terdiri atas nilai manfaat untuk wisata US 31,2 juta atau Rp. 67 milyar IDR= Rp. 2.096, nilai karbon C sebesar US 3.788,3 juta Rp. 7,9 trilyun, perlindungan daerah aliran sungai DAS US 2,3 juta Rp. 4,8 milyar, nilai pilihan US 331,7 juta Rp. 695 milyar dan nilai eksistensi US 60,2 juta Rp. 126 milyar. Sementara Ruitenbeek 1989 dengan pendekatan net present value NPV menduga nilai manfaat hutan Korup di Kamerun yaitu perlindungan banjir US 23ha atau Rp. 39.606ha IDR= Rp. 1.722, pengendali erosi US 8ha Rp. 13.776ha, tanaman obat US 7ha Rp. 12.054 dan untuk wisata US 19ha Rp. 32.718ha. Pearce 1990 dan Schneider 1992, menduga nilai karbon hutan tropis antara US 1.300 sampai US 5.700hatahun atau sekitar Rp. 2,4 jutathn sampai Rp. 10,5 jutathn. 31 Menurut Swanson 1996, proyeksi pendugaan kehilangan biodiversitas dari beberapa hasil penelitian adalah sangat besar, yang ditunjukkan bahwa pada tingkat tertentu kehilangan hutan sebesar 5 sampai 9 akan menyebabkan kehilangan biodiversitas sebesar 15 sampai 50. Demikian pula dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan nilai sumberdaya non kayu juga bernilai tinggi sebagaimana dikemukakan oleh McNeely 1992 bahwa pada tahun 1990 nilai produk non kayu dari hutan di Indonesia sebagai sumber devisa yaitu US 200 juta atau Rp. 369 milyar IDR= Rp. 1.849. Sebagai pembanding antara nilai sumberdaya kayu dan non kayu, Myers 1988 dalam McNeely 1992 menyimpulkan bahwa sebuah kawasan hutan seluas 500 km 2 di Brazil dan pengelolaannya efektif dapat menghasilkan tanaman pangan dan tanaman obat dengan nilai sedikitnya US 10 jutathn Rp. 16,9 milyarthn atau kurang lebih US 200ha Rp. 338.400ha, sedang pembukaan hutan untuk kegiatan komersial nilainya hanya US 150 perhektar Rp. 253.800ha dengan nilai IDR = Rp. 1.692 tahun 1998. Hasil penelitian menggunakan pendekatan penilaian atas dasar penggunaan produktif dari sumberdaya hutan. Namun, tidak dijelaskan secara rinci metode perhitungannya. Sementara hasil studi yang dilakukan oleh Kramer dan Mercer 1997 dengan menggunakan contingent valuation method di Amerika Serikat terhadap perlindungan hutan hujan tropik, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata responden bersedia membayar US 21 - US 31 per rumah tangga atau sekitar Rp. 62.055 - Rp. 91.605 IDR=Rp. 2.955 untuk melindungi 5 hutan hujan tropik. Hasil penelitian penilaian ekonomi total hutan produksi di Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB 1999 menunjukkan bahwa nilai total hutan produksi pada lahan kering Rp. 49 jutahathn dan di lahan basah Rp. 79 jutahathn. Pada lahan kering, nilai guna langsung Rp. 2,21 jutahathn, nilai guna tidak langsung Rp. 11,21 jutahathn, nilai pilihan Rp. 1.631hathn, dan nilai keberadaan Rp. 35,7 jutahathn. Sementara untuk lahan basah, nilai guna langsung Rp. 1,18 jutahathn, nilai guna tidak langsung Rp. 40,7 jutahathn, nilai pilihan Rp. 1.681hathn, dan nilai keberadaan Rp. 37,8 jutahathn. Penelitian secara makro nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 19971998 dengan perkiraan luas kebakaran 5 juta hektar 32 yang dilakukan oleh EEPSEA bekerjasama dengan WWF Indonesia diperkirakan sebesar US 4.469,5 juta atau sekitar Rp. 11 trilyun IDR=Rp. 2500, meliputi kerugian yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Metode perhitungan yang digunakan antara lain: pendekatan produksi, nilai pasar, biaya kerusakan tanaman, pendapatan yang hilang, dose respons, biaya pengobatan akibat penduduk sakit dan transfer benefit. Dari hasil penelitian ini diketahui pula besarnya kerugian ekonomi Indonesia sehubungan dengan kebakaran dan asap yang dialami pada periode Agustus – Desember 1997 sebesar US 3.799,9 juta 85 atau sekitar Rp. 9,4 trilyun. Sedang negara lain sebesar 669.6 juta dollar 15 atau setara dengan Rp. 1,6 trilyun. Nilai kerugian dirinci menurut dampak kebakaran hutan dan lahan sebesar US 3073.4 juta Rp. 7,6 trilyun serta dampak asap kebakaran sebesar US 1.396,1 juta Rp. 3,4 trilyun. Bentuk kerugian kebakaran hutan meliputi nilai: kayu US 493,7 juta Rp. 1,2 trilyun, pertanian US 470,4 juta Rp. 1,1 trilyun, manfaat langsung hutan US 705 juta Rp. 1,8 trilyun, manfaat hutan tidak langsung US 1.077,1 Rp. 2,6 trilyun, biodiversity US 30 juta Rp. 75 milyar, biaya pemadaman api US 25,1 juta Rp. 62 milyar, dan pelepasan Carbon US 272,1 juta Rp. 680 milyar. Kerugian yang berhubungan dengan adanya asap kebakaran hutan dan lahan, terdiri atas: menurunnya kesehatan dalam jangka pendek US 940,8 juta Rp. 2,7 trilyun, kerugian dari sektor wisata US 256,2 juta Rp. 757 milyar, dan kerugian lainnya US 199,1 juta Rp. 588 milyar. Sementara perhitungan kerugian nasional akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 yang dilakukan oleh UNDP dan KLH 1998 dengan menggunakan luas kebakaran 383.870 ha, kerugian Rp. 5,96 trilyun atau rata-rata Rp. 15,55 jutaha, terdiri atas kerugian perkebunan dan tanaman pangan, kehutanan, biaya kesehatan, transmigrasi, transportasi, pariwisata, dan biaya pemadaman. Kerugian terbesar hilangnya fungsi perosot karbon Rp. 2,03 trilyun. Secara umum metode penilaian yang digunakan ada tiga jenis pendekatan penilaian yaitu: pendekatan pasar atau produktivitas, biaya kerugian dan transfer benefit dari hasil perhitungan Pangestu dan Ahmad 1998 dan perhitungan EEPSEA dan WWF 1998. 33

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Secara geografis lokasi penelitian kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 terletak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat 1 ° 00 LU - 1 ° 00 LS dan 111 ° BT - 113 ° BT Gambar 3. Penelitian kebakaran hutan dan lahan on site seluas 12.923 ha, dengan unit analisis setiap tapak areal terbakar yaitu pada: a HTI Trans Inhutani III, b HTI Non Trans PT Finantara Intiga, c Taman Wisata Alam Baning TWA, d Taman Nasional Bukit Baka TNBB, e Lahan Perkebunan TCSDP, dan f Lahan Perkebunan Masyarakat. Sedang penelitian dampak asap kebakaran hutan dan lahan off site yaitu daerah-daerah di sekitar lokasi tapak kebakaran hutan dan lahan, yang meliputi 17 desa dalam 5 kecamatan, yaitu: Kecamatan Sintang Ladang, Tanjung Puri, Baning, Kecamatan Nanga Pinoh Tanjung Sari, Tanjung Pauh, Sidomulyo, Nanga Kayan, Kebubu, Nanga Man, Kecamatan Menukung Nanga Siyai, Ella Hulu, Menukung Kota, Kecamatan Belimbing Nanga Paya, Langan, UPT X Nanga Keberak, dan Kecamatan Ketungau Hulu Sei Serian dan Empura, dengan unit analisis penelitian adalah wilayah Kabupaten Sintang. Penentuan lokasi penelitian kebakaran hutan dan lahan didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: 1 kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat cukup luas yaitu 43.978 ha dari total kebakaran hutan seluas 263.992 ha di Indonesia pada tahun 19971998, terdiri atas hutan 26.590 ha dan perkebunan 17.388 ha, 2 kebakaran hutan di Kabupaten Sintang seluas 20.437,23 ha 76,86 dari luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat meliputi areal HTI, Taman Wisata Alam dan Taman Nasional, 3 kebakaran lahan perkebunan sawit dan karet TSCDP dan Masyarakat di Kabupaten Sintang diperkirakan seluas 3.674,32 hektar atau 20,60 dari luas lahan perkebunan yang terbakar di Kalimantan Barat.