Pengembangan Skala Usaha Ternak Ayam Buras Petelur (Studi Kasus : Kelompok Ternak Hidayah Alam Kecamatan Klapa Nunggal Kabupaten Bogor)
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rata-rata laju pertumbuhan populasi ternak unggas selama enam tahun dari tahun 2004 hingga 2010 menunjukkan peningkatan, diantaranya ternak ayam ras petelur dan pedaging serta itik (Tabel 1). Sementara, perkembangan ternak ayam buras mengalami penurunan dengan rata-rata laju penurunan 0,29 persen selama enam tahun di Indonesia. Namun demikian, rata-rata kontribusi populasi ternak ayam buras terhadap populasi ternak unggas di Indonesia selama tujuh tahun sebesar 20,60 persen menunjukkan bahwa budidaya ayam buras juga menyumbang pertumbuhan output nasional pada subsektor peternakan unggas sebagai salah satu sektor riil perekonomian di Indonesia, yaitu sektor pertanian. Selain itu, kontribusi populasi ayam buras terhadap pemenuhan konsumsi daging dan telur nasional potensial untuk dikembangkan.
Tabel 1. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2004-2010
(dalam 000 Ekor)
Ternak Unggas 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
Ayam Buras 276.989 278.954 291.085 272.251 243.423 249.964 268.957 Ayam Ras Petelur 93.416 84.790 100.202 111.489 107.955 99.768 103.841 Ayam Ras Pedaging 778.970 811.189 797.527 891.659 902.052 991.281 1.249.952
Itik 32.573 32.405 32.481 35.867 38.840 42.318 45.292
Total Populasi Unggas 1.181.948 1.207.338 1.221.295 1.311.266 1.292.270 1.383.331 1.668.042
Keterangan: *) Angka Sementara
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011) 1) (Diolah)
Jumlah produksi unggas nasional tersebut sebagian besar disumbang dari Pulau Jawa, antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Besar sumbangan populasi ternak ayam buras di Provinsi Jawa Barat terhadap populasi nasional 11,11 persen menunjukkan masih rendahnya pengusahaan ternak ayam buras dibandingkan dengan ayam ras pedaging dan petelur. Data populasi ternak ayam buras belum memilah antara usaha ternak ayam pedaging dan petelur, sehingga data populasi
1)
(http://www.bps.go.id). Populasi Ternak (000) Ekor 2000-2008. Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.
(2)
2 yang ditunjukkan merupakan total keseluruhan populasi ayam buras pedaging dan petelur.
Tabel 2. Perbandingan Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi
Lain dan Kontribusinya terhadap Nasional Tahun 2010* No Ternak
Populasi (Ekor) % Kontribusi
Populasi** Jawa Barat JawaTengah JawaTimur Nasional
1 Ayam Buras 29,022,875 36,741,465 23,964,085 261,173,531 11.11 2 Ayam Ras
Pedaging* 512,626,821 59,302,085 154,356,580 1,115,108,029 45.97 3 Ayam Ras
Petelur 11,125,158 17,583,669 34,037,999 116,188,087 9.58
4 Itik
8,840,386 5,188,611 3,691,306 43,367,193 20.38
Keterangan: *) Angka Sementara
**) Persentase kontribusi populasi unggas Provinsi Jawa Barat terhadap populasi unggas Nasional Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2011) 2)
Populasi unggas ayam buras di Provinsi Jawa Barat yang masih rendah tersebut disebabkan pengusahaan oleh rumah tangga peternak yang organisasi produksinya masih bersifat subsisten atau hanya sebagai rumah tangga pemelihara (Tabel 3). Kedua jenis rumah tangga yang berbeda dalam Tabel tersebut menjelaskan corak usahatani yang terdapat dalam masyarakat pembudidaya ternak unggas di Jawa Barat.
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga Peternakan Unggas di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2008
Jenis Unggas Jumlah Rumah Tangga
Pemelihara (orang)
Jumlah Unit Usaha Komersial (orang)
Ayam Buras 1.277.792 20.258
Itik 94.075 34.657
Ayam Ras Petelur 5.425 1.328
Ayam Ras Pedaging 10.894 9.738
Jumlah (orang)
Rumah Tangga
Pemelihara 1.388.186
Unit Usaha
Komersial 65.981
Peternakan Total 1.454.167
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2011)3)
2)
(http://disnak.jabarprov.go.id). Perbandingan Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Lain dan Kontribusinya terhadap Nasional Tahun 2010*. Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.
3)
(http://disnak.jabarprov.go.id). Rumah Tangga Peternakan di Jawa Barat (SPN 08). Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.
(3)
3 Rumah tangga pemelihara dimaksudkan dengan corak usaha ternak yang subsisten dan rumah tangga usaha merupakan corak usaha ternak yang komersial. Umumnya, budidaya ternak ayam buras diusahakan secara terpencar-pencar oleh individu peternak di wilayah pedesaan dengan skala yang sangat kecil dan corak subsisten. Jumlah rumah tangga peternak, baik rumah tangga pemelihara maupun rumah tangga usaha dalam membudidayakan ternak ayam buras sangat besar jumlahnya, tetapi populasi ayam buras masih rendah.
Berbeda halnya dengan populasi ayam ras pedaging dan petelur yang pengusahaannya oleh rumah tangga peternak lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga peternak ayam buras. Persentase jumlah rumah tangga pemelihara ternak ayam buras terhadap jumlah rumah tangga pemelihara unggas di Provinsi Jawa Barat mencapai 92,05 persen adalah lebih besar daripada jumlah rumah tangga pemelihara ayam ras pedaging dan petelur yang masing-masing hanya 0,78 persen dan 0,39 persen terhadap jumlah rumah tangga pemelihara unggas di Jawa Barat pada tahun 2008. Sementara, rumah tangga peternak usaha (komersial) untuk ternak ayam buras baru diusahakan sekitar 1,39 persen terhadap seluruh rumah tangga peternakan unggas di Jawa Barat.
Namun demikian, pengusahaan ayam ras pedaging dan petelur secara komersial pun tidak lebih besar dari rumah tangga peternak ayam buras komersial masing-masing hanya 0,64 persen dan 0,09 persen dari rumah tangga peternakan unggas di Jawa Barat. Hal ini disebabkan pengusahaan ayam ras pedaging dan petelur saat ini banyak dikembangkan dengan berkelompok melalui kelembagaan-kelembagaan sosial dan ekonomi yang terdapat dalam lingkungan masyarakat, seperti kelompok ternak, Kelompok Wanita Tani (KWT) dan diarahkan dengan bentuk kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Dengan prinsip kolektivitas tersebut, baik melalui kelembagaan maupun kemitraan, ternyata mampu meningkatkan produksi ayam ras pedaging dan petelur. Bentuk kolektivitas ini masih jarang ditemukan dalam perkembangan budidaya ayam buras hampir di sebagian besar wilayah pedesaan Indonesia.
Produksi ternak unggas ayam buras yang masih kecil itu membuat harga jual hasil ternak, baik daging maupun telur ayam buras lebih mahal daripada hasil ternak ayam ras, selain karena produk ayam buras memiliki diferensiasi dan
(4)
4 karakteristik yang lebih diminati masyarakat tertentu. Beberapa karakteristik daging dan telur ayam buras tersebut, diantaranya seperti tekstur yang liat pada daging dan kandungan lemak yang lebih tinggi sehingga rasanya lebih gurih daripada daging dan telur ayam ras. Pemeliharaannya yang tradisional dengan membebaskan ayam secara liar untuk mencari pakan sendiri, membuat tingkat keaktifan ayam buras lebih tinggi dan secara biologis membentuk rasa dan tekstur spesifik. Hasil ternak telur ayam buras lebih banyak diminati karena manfaat fungsionalnya untuk menjaga stamina dan kesehatan tubuh daripada telur ayam ras yang manfaatnya untuk makanan konsumsi sehari-hari. Implikasinya adalah bahwa permintaan hasil ternak ayam buras masih lebih besar daripada produksinya, seperti yang dapat dijelaskan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Pemasukan dan Pengeluaran Unggas Antar Kabupaten di Wilayah
Provinsi Jawa Barat Angka Tetap Tahun 2010
No. Kabupaten/Kota
Pemasukan Unggas (Ekor) Pengeluaran Unggas (Ekor) Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging 1 Kab. Bogor 492.882 1.046.000 5.533.439 157.130 5.078.704 14.518.050 2 Kab. Sukabumi 88.721 - - 41.700 69.160 8.795.862 3 Kab. Cianjur 1.420.000 - - - 1.186.480 870.700 4 Kab. Bandung 409.134 63.223 1.200.000 412.101 1.795.200 - 5 Kab. Garut 972.800 - 2.362.970 151.600 - 295.226 6 Kab.
Tasikmalaya
11.892 800.900 1.266.060 20.257 365.310 7.608.900 7 Kab. Ciamis 217.333 - - 466.814 - 15.209.816 8 Kab. Kuningan 49.582 124.900 17.882 13.716 69.400 24.226.571 9 Kab. Cirebon 1.011.045 14.819 5.289.998 461.978 60.095 4.923.712 10 Kab. Majalengka 123.502 61.090 546.861 694.465 30.190 4.378.611 11 Kab. Sumedang 402.200 85.900 133.500 - 134.700 - 12 Kab. Indramayu 666.452 - 29.551.723 51.115 - - 13 Kab. Subang 781.133 16.963 837.847 116.477 52.012 7.218.235
14 Kab. Purwakarta 46.090 - - - - -
15 Kab. Karawang 658.950 - 7.805.640 208.800 - 4.518.150 16 Kab. Bekasi 213.600 4.144 5.855.500 147.651 - 4.596.000 17 Kab. Bandung
Barat
225.975 7.240 970.277 5.891 319.352 2.806.800
18 Kota Bogor 104.701 - - 35 - 6.602
19 Kota Sukabumi - - - -
20 Kota Bandung - - - 7.000 5.897 583.283 21 Kota Cirebon 48.000 500 1.850.300 25.077 - 1.887.952 22 Kota Bekasi 114.375 116.744 7.971.058 343.092 25.500 1.100.499 23 Kota Depok 14.510 - 8.610.000 70.800 47.962 - 24 Kota Cimahi 9.401 - 52.332 - 1.200 141.540 25 Kota
Tasikmalaya
305.041 52.323 1.432.265 13.051 12.636 1.724.371 26 Kota Banjar 72.862 18.000 18.709.500 8.470 - 17.561.000 Jawa Barat 8.460.181 2.412.746 99.997.152 3.417.148 9.253.798 122.971.880
Keterangan : Tanda (-) menunjukkan bahwa tidak ada pemasukan dan pengeluaran unggas Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2011) 4)
4
(http://disnak.jabarprov.go.id). Pemasukan Unggas (Ekor) dan Telur (Butir) Antar Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat Angka Tetap Tahun 2010. Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.
(5)
5 Istilah pemasukan menjelaskan tentang kebutuhan suatu daerah akan ternak tertentu yang dikirimkan berasal dari daerah di luar Provinsi Jawa Barat. Sementara, istilah pengeluaran menjelaskan jumlah unggas yang dapat diproduksi oleh peternak daerah tersebut yang dapat dikonsumsi dan atau dikirimkan ke luar daerah tersebut. Jumlah pemasukan ayam buras untuk Kabupaten dan Kota Bogor yang lebih besar dibandingkan jumlah pengeluaran pada tahun 2010 menunjukkan bahwa permintaan ayam buras di daerah Bogor masih lebih besar daripada produksinya. Hal ini pun terjadi juga di beberapa kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian, pengembangan ternak ayam buras ini menjadi penting untuk meningkatkan produksi dalam memenuhi peluang permintaan yang masih besar.
1.2. Perumusan Masalah
Rekapitulasi data kelompok peternakan ayam buras dalam Tabel 5 menunjukkan potensi ternak ayam buras yang dikembangkan di Kabupaten Bogor. Menurut data dari Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Kehutanan (BP4K), terdapat lima kecamatan di Kabupaten Bogor yang membudidayakan ayam buras dengan berkelompok, salah satunya adalah di Kecamatan Klapa Nunggal.
Tabel 5. Rekapitulasi Data Kelompok Peternakan Ayam Buras Tahun Anggaran
2009 di Kabupaten Bogor
Kecamatan Desa Nama Kelompok Ternak Jumlah Anggota (orang) Kelas Kelompok Tahun Pendirian Luas Kandang (m2) Jumlah Populasi (ekor) Tamansari
Sukajadi Harapan Maju 2 14 Pemula 1998 58 97 Sukajadi Harapan Maju 1 22 Pemula 2005 116 215 Tamansari Tanjung 3 14 Pemula 2005 63 128 Tamansari Tanjung 2 20 Lanjut 1998 145 154 Tamansari Tanjung 1 20 Pemula 1998 116 162 Cigombong Ciburuy Motekar/KWT 15 Pemula 2005 81,75 155 Rumpin
Luwibatu Rahayu Mekar 15 Lanjut 2000 112 303 Rabak Giri Mulya 15 Lanjut 2000 132 381 Gobang Karya Mandiri 20 Lanjut 2000 151 454 Rabak Tunas Harapan 16 Lanjut 2000 132 413 Klapa Nunggal Nambo Hidayah Alam 6 Pemula 2000 1048 6250
Sukamakmur
Sukamulya Herang Mulya 22 Pemula 94 289 Wargajaya Mekar sari 20 Pemula 46 252 Antajaya Harapan Jaya 10 Pemula 2006 790 323
TOTAL 3.048,75 9.576
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011) 5) (Diolah).
5)
(http://bp4k.bogorkab.go.id). Rekapitulasi Data Kelompok Peternakan Tahun Anggaran 2009. Diakses Tanggal 10 Oktober 2011.
(6)
6 Kelompok ternak yang mengusahakan ternak ayam buras di Kecamatan Klapa Nunggal Desa Nambo merupakan kelompok ternak ayam buras yang mempunyai jumlah populasi ternak ayam buras terbanyak dibandingkan dengan kelompok-kelompok ternak ayam buras lainnya di Kabupaten Bogor, yaitu Kelompok Ternak Hidayah Alam.
Pada tahun 2009, Kelompok Ternak Hidayah Alam Desa Nambo memiliki
kandang terluas yaitu 1.048 m2 dengan jumlah populasi ternak ayam burasnya
sebesar 6.250 ekor. Dengan jumlah anggota peternak yang tergabung didalamnya sebanyak enam orang, Kelompok Ternak Hidayah Alam yang berdiri pada tahun 2000 telah berkembang menjadi peternakan unggas yang bercorak komersial dengan skala kecil, karena jumlah kepemilikan ayam yang lebih dari 1.000 ekor (Bamualim, Inounu dan Talib 2007). Namun dalam perkembangannya hingga tahun 2011, populasi ternak ayam buras tersebut semakin berkurang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Ketua Kelompok Ternak Hidayah Alam, bahwa sebelumnya terdapat beberapa peternak ayam buras yang pernah menjadi anggota kelompok tersebut, tetapi kemudian meninggalkan usaha ternak ayam burasnya. Hal ini disebabkan jumlah ayam buras yang dipelihara cukup besar dan akan membutuhkan tenaga kerja tambahan. Tetapi, sebagian besar peternak yang mengusahakan ayam buras dalam kelompok ini menjadikan usaha ternak ayam buras sebagai pekerjaan sampingan, sehingga peternak mencurahkan jam kerja sebagian besar kepada pekerjaan utamanya di luar usaha ternak, diantaranya sebagai pegawai pemerintahan dan karyawan perusahaan.
Keterbatasan tenaga kerja keluarga untuk mengelola usaha ternak ayam buras ini menyebabkan manajemen pemeliharaan, terutama untuk seleksi bibit ayam untuk memperoleh produksi telur yang diharapkan, semakin menurun sehingga mengurangi pertumbuhan produktivitas telur ayam. Peternak tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga, karena selain pertimbangan munculnya biaya produksi tambahan, tetapi juga beralihnya peternak dalam penggunaan jenis pakan. Sejak 1,5 tahun sebelumnya, peternak meramu pakan manual meliputi dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan dan jagung giling, tetapi kini peternak lebih memilih menggunakan jenis pakan jadi ayam petelur yang dapat dibeli dengan mudah dan dapat diberikan secara praktis. Akibatnya,
(7)
7 beberapa peternak yang mempunyai mesin pemecah jagung saat ini jarang dimanfaatkan, terutama karena ketersediaan bahan-bahan untuk membuat pakan manual yang semakin langka. Harga pakan jadi ayam petelur ini relatif mahal bagi sebagian besar peternak, terlebih lagi konsumsi ayam buras petelur untuk memproduksi telur konsumsi membutuhkan jumlah pakan yang relatif besar, berkisar antara 80-100 gram per ekor per hari.
Harga pakan jadi ayam petelur yang digunakan peternak Kelompok Hidayah Alam rata-rata sebesar Rp 200.000,00 setiap 50 kilogram yang diberikan untuk 400 ekor ayam dan habis dikonsumsi dalam satu hari. Kebutuhan dan harga pakan jadi yang tinggi ini ikut mendorong sebagian besar peternak untuk memutuskan menjual ayam-ayam yang dipeliharanya, di samping untuk mengurangi biaya tambahan tenaga kerja untuk mempertahankan manajemen pemeliharaan tanpa menurunkan produktivitas telur ayam, tetapi juga untuk membiayai penggunaan jenis pakan jadi yang lebih besar daripada biaya pakan manual untuk membudidayakan ternak ayam buras pada tahun berikutnya.
Namun demikian, pembudidayaan ayam buras petelur di Desa Nambo ini terus dikembangkan dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam dan dijalankan melalui kemitraan dengan perusahaan di sekitar desa tersebut dalam suatu
program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR). Tetapi, tidak semua peternak bermitra dan menerima bantuan modal tersebut, sehingga terdapat peternak yang bermitra dan tidak bermitra. Kemitraan yang dijalankan antara perusahaan dengan kelompok ternak berupa pemberian pinjaman modal dalam bentuk input bibit ayam betina umur lima bulan, yang sifatnya bergulir di antara peternak dengan jangka waktu pengembalian selama tiga tahun. Di samping itu, peternak yang menjalankan kemitraan juga memperoleh pelatihan budidaya ayam buras dari perusahaan swasta tersebut.
Kemitraan ini dilaksanakan oleh dua perusahaan swasta, yaitu PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. dan PT. Holcim Indonesia, Tbk. Peran kemitraan ini sebagai sumber penyedia permodalan bagi peternak merupakan salah satu upaya pengembangan usaha ternak dalam kaitannya dengan penyediaan input usaha ternak. Oleh karena itu, penting sekali mengkaji perbedaan keputusan bermitra pada peternak terhadap tingkat keberhasilan usaha ternak. Selain itu,
(8)
8 usaha ternak yang dijalankan Kelompok Hidayah Alam ini memiliki variasi jumlah populasi ayam buras yang dipelihara, yaitu skala pengusahaan paling kecil sebanyak 150 ekor dan skala paling besar sebanyak 1.325 ekor.
Perluasan skala pengusahaan ternak dapat menurunkan rata-rata komponen biaya input tetap per unit output sehingga keuntungan produsen meningkat (Teken dalam Fatma 2011). Perbedaan skala pengusahaan ternak ini membutuhkan kajian mengenai analisis usaha ternak antara peternak skala besar dan peternak skala kecil untuk melihat perbedaan tingkat keberhasilan usaha ternak. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi usaha ternak yang dijalankan Kelompok Ternak Hidayah Alam saat ini, sehingga dapat menjadi rekomendasi alternatif pengembangan usaha ternak ayam buras petelur. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:
(1) Bagaimana perbedaan kemitraan dan skala pengusahaan ternak terhadap
tingkat keberhasilan usaha ternak ayam buras petelur Kelompok Hidayah Alam?
(2) Bagaimana alternatif pengembangan usaha ternak ayam buras petelur
dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan dalam:
(1) Menganalisis perbedaan kemitraan dan skala pengusahaan ternak terhadap
pendapatan dan efisiensi usaha ternak ayam buras petelur dalam Kelompok Hidayah Alam;
(2) Menganalisis perbedaan kemitraan dan skala pengusahaan ternak terhadap
tingkat keuntungan investasi usaha ternak ayam buras petelur dalam Kelompok Hidayah Alam; dan
(3) Menganalisis alternatif pengembangan usaha ternak ayam buras petelur
(9)
9
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari adanya penelitian ini diantaranya adalah:
(1) Bagi Masyarakat Desa Nambo
Masyarakat Desa Nambo, khususnya peternak ayam buras petelur yang tergabung dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam merupakan pihak yang sangat terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk membantu peternak dalam memberikan alternatif solusi permasalahan dalam pengembangan usaha ternak ayam buras petelur dan pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan peternak. Sementara itu, manfaat penelitian bagi masyarakat secara umum adalah memberikan informasi mengenai potensi pengembangan usaha ternak telur ayam buras sebagai tambahan penerimaan dalam rumah tangga dan upaya peningkatan kemandirian pangan secara lokal;
(2) Bagi Mahasiswa
Penelitian ini merupakan tugas akhir mahasiswa sebagai bentuk pertanggungjawaban akademik dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat yang terkait dengan bidang keahliannya. Perencanaan dan pelaksanaan penelitian yang dirancang ini melatih mahasiswa untuk tanggap melihat permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat dan kemudian menganalisis permasalahan-permasalahan tersebut serta memberikan rekomendasi solusi berbekal ilmu yang diperoleh selama bangku perkuliahan. Di samping menambah pengalaman selama di lapangan, penelitian ini juga dapat meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa dalam tataran aplikasi; dan
(3) Bagi Institut Pertanian Bogor
Institut Pertanian Bogor merupakan salah satu pihak akademis yang mempunyai tanggung jawab untuk memajukan daerah-daerah pedesaan sekitar kampus maupun luar kampus dalam sektor pertanian secara luas. Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan mahasiswa sebagai perwakilan Institut Pertanian Bogor dalam membangun daerah-daerah pedesaan tersebut. Hasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan dapat membantu menggambarkan kondisi daerah-daerah pedesaan yang perlu
(10)
10 mendapatkan perhatian dari pihak IPB, sehingga pembangunan desa-desa tersebut dapat terus dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan pertanian Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengembangan usaha ternak ayam buras petelur Kelompok Ternak Hidayah Alam, Desa Nambo, Kecamatan Klapa Nunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian ini adalah seluruh peternak yang tergabung ke dalam kelompok ternak Hidayah Alam yang berjumlah enam orang. Sedangkan, periode produksi dalam satu tahun yang menjadi patokan analisis usaha ternak ini yaitu produksi hasil ternak yang terjadi dalam Januari sampai dengan Desember pada tahun 2011. Unit analisis dalam penelitian ini adalah usaha ternak penetasan telur ayam buras yang dibudidayakan oleh peternak-peternak yang tergabung ke dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam. Artinya, usaha lain yang terkait dengan usaha ternak ayam buras petelur, seperti misalnya usaha pembesaran telur ayam buras, usaha pembesaran daging ayam buras, usaha pembibitan ayam buras, perusahaan mitra penyedia permodalan dan saluran-saluran pemasaran telur ayam buras menjadi faktor ekstern unit analisis tersebut.
(11)
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di
Indonesia
Beberapa penelitian yang mengkaji permasalahan usaha ternak ayam buras banyak menunjukkan pertumbuhan produksi ayam buras yang berbeda dengan pertumbuhan produksi yang terjadi pada usaha ternak ayam ras. Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh Bamualim, Inounu dan Talib (2007), bahwa pengembangan ayam buras yang dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah untuk mendapatkan bibit ayam yang spesifik sifatnya dan berfungsi untuk hiburan atau hobi karena warna dan keunikannya. Tidak banyak yang membudidayakan ternak ayam buras ini berdasarkan orientasi produksi daging atau telur dalam jumlah besar. Peternak budidaya ayam buras memilih ternak tersebut sebagai tabungan yang mudah untuk dijual dan menghasilkan uang tunai. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usaha ternak ayam buras hanya ditujukan untuk melestarikan salah satu plasma nutfah di Indonesia.
Masih rendahnya usaha ternak ayam buras yang ditujukan untuk produksi daging dan telur dalam jumlah yang besar juga didukung oleh penelitian Amrawaty (2009) bahwa usaha ternak ayam buras pada peternak berada pada kategori usaha sambilan, karena tingkat pendapatan usaha ternak tidak lebih tinggi dari 30 persen total pendapatannya. Besarnya kontribusi usaha ternak ayam buras terhadap total pendapatan usahatani untuk rata-rata skala kepemilikan ayam buras sebesar 30 ekor adalah 11,65 persen, skala kepemilikan 31 ekor sebesar 5,8 persen dan skala kepemilikan 28 ekor sebesar 2,43 persen. Usaha sambilan ternak ayam buras ini yang telah menjadi tulang punggung penyedia ternak di tanah air yang persentasenya mencapai 90 persen. Kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengembangan usaha ternak ayam buras di Indonesia sebagian besar diusahakan sebagai usaha sambilan atau sampingan dan belum berorientasi kepada peningkatan produksi daging dan telur dalam jumlah yang besar.
(12)
12
2.2. Perkembangan Penampilan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia
Usaha ternak ayam lokal dengan sistem pemeliharaan yang intensif melalui perbaikan pakan, manajemen dan pengendalian penyakit yang baik dapat menghasilkan produksi telur per tahun 51 butir per ekor dengan daya tetas 78-80 persen (Sumanto dan Zainuddin 2005). Penelitian tersebut juga menjelaskan perbaikan koefisien teknis penampilan usaha ayam lokal melalui perbaikan pakan dan sistem perkandangan disertai pembinaan teknis bagi peternak yang meningkatkan produksi telur hingga 63 butir per induk per tahun dengan daya tetas 86 persen per ekor per periode. Namun demikian, produksi ayam lokal ini masih belum menunjukkan tingkat produktivitas ayam yang maksimum.
Perkembangan penelitian selanjutnya menyebutkan bahwa rata-rata jumlah ayam yang dipelihara peternak di Indonesia dengan sistem intensif yaitu 104 ekor setiap peternak dan dapat memproduksi telur sebesar 80,30 butir per ekor induk per tahun (Sinurat dalam Hasbianto dan Suryana 2008). Upaya dalam meningkatkan produktivitas tersebut dapat dilakukan melalui introduksi teknologi pemeliharaan intensif dengan melaksanakan “Sapta Usaha” ayam buras, yang meliputi pemilihan bibit, pencegahan penyakit, perkandangan, pemberian pakan dengan gizi seimbang, sistem reproduksi, pasca panen, pemasaran dan manajemen usaha. Pada usaha ternak ayam buras yang dilakukan dengan sistem tersebut, induk baru dapat memproduksi telur pada umur pertama bertelur rata-rata 7,5 bulan dan daya tetas telur mencapai 83,70 persen. Tingkat mortalitas ternak hingga umur enam minggu rata-rata 27,20 persen, sedangkan ternak yang berumur produktif hingga afkir memiliki tingkat mortalitas kurang dari 27 persen.
Namun, produktivitas telur ayam buras akan semakin menurun dengan bertambahnya umur induk. Septiwan (2007) menggambarkan respons produktivitas dan reproduktivitas ayam buras dengan umur induk yang berbeda bahwa induk ayam buras yang berumur 6 bulan dapat memproduksi telur 3,24 butir per ekor per minggu, umur 12 bulan memproduksi 2,21 butir per ekor per minggu dan umur 18 bulan dapat memproduksi 1,78 butir per ekor per minggu. Pertambahan umur induk ini juga diikuti dengan menurunnya daya tetas telur ayam buras hingga 88,21 persen pada induk yang berumur 18 bulan untuk telur yang fertil. Sapta Usaha sebagai upaya meningkatkan produktivitas telur ayam
(13)
13 dapat dilakukan dengan memelihara tatalakana perkandangan yang baik, pengendalian penyakit dan perbaikan mutu genetik untuk memperoleh bibit dengan produksi telur yang baik.
Kondisi perkandangan yang gelap, ventilasi kurang cahaya, lembab, kotor dan kapasitas kandang yang tidak berimbang dengan jumlah ternak serta manajemen dan iklim, merupakan media yang sangat bagus untuk berkembangnya penyakit koksiodisis, dimana penyakit ini dapat menghambat pertumbuhan, menurunkan berat badan, menurunkan jumlah telur, mengundurkan masa bertelur hingga lima sampai tujuh minggu serta menimbulkan kematian 20-90 persen
(Salvina, et al dalam Jarmani 2005). Upaya pencegahan penyakit yang
menggunakan ramuan jamu berasal dari tanaman-tanaman berkhasiat obat seperti kunyit, lempuyang, jahe, daun sambiloto, kencur, bawang merah dan daun papaya yang dicampurkan ke dalam pakan dan minum ayam dapat meningkatkan produktivitas.
Di samping itu, perbaikan mutu genetik ayam lokal petelur untuk mengurangi sifat mengeram, salah satunya dapat dilakukan dengan persilangan antara ayam lokal dengan ayam ras (Setioko dan Iskandar 2005). Penelitian tersebut menyebutkan juga besarnya produksi telur hasil seleksi generasi ketiga
mencapai 178 butir per ekor per tahun. Diwyanto et al. dalam Hasbianto dan
Suryana (2008) menjelaskan juga mengenai konsumsi pakan ayam buras dengan sistem pemeliharaan intensif yaitu antara 80-100 gram per ekor per hari. Kebutuhan pakan dalam pemeliharaan tersebut 30 persen lebih besar daripada penggunaan pakan yang dikeluarkan dalam sistem pemeliharaan semi intensif dan tradisional. Beberapa nilai yang dijelaskan tersebut dapat menggambarkan parameter produksi atau koefisien teknis dalam usaha ternak ayam buras pada umumnya, antara lain produktivitas telur per ekor induk per tahun dapat mencapai
92,56 – 168,48 butir pada umur berbeda (Septiwan 2007). Daya tetas telur
terrendah dan tertinggi masing-masing adalah 78 persen (Sumanto dan Zainuddin 2005) dan 88,21 persen (Septiwan 2007) per periode bertelur. Tingkat mortalitas pada pemeliharaan intensif yaitu kurang dari 27,2 persen (Septiwan 2007).
(14)
14
2.3. Arah Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia
Komoditi daging ayam buras memang merupakan salah satu komoditi yang terdiferensiasi, artinya komoditi tersebut memiliki permintaan yang spesifik. Namun, bukan berarti potensi pembudidayaannya hanya bertujuan untuk mendapatkan hasil yang spesifik dan melestarikan plasma nutfah. Ternak ayam buras yang telah menjadi akar dasar perekonomian bagi sebagian besar masyarakat pedesaan Indonesia ini dapat dikembangkan dengan berorientasi kepada produksi, sama halnya dengan pertumbuhan produksi yang terjadi pada komoditi ayam ras, baik ayam ras pedaging maupun petelur. Ilham, Sejati dan Yusdja (2003) menyebutkan bahwa populasi ayam ras pedaging yang tinggi di Pulau Jawa berhubungan dengan ketersediaan pasar yaitu kepadatan penduduk, ketersediaan modal, lahan, dan keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya potensi pengembangan ayam karena adanya permintaan dari jumlah penduduk yang cukup besar untuk Pulau Jawa. Kenyataan ini memberikan peluang bagi pengembangan ayam buras, mengingat semakin bertambahnya populasi penduduk di Pulau Jawa sebagai potensi permintaan daging dan telur ayam yang semakin meningkat.
Upaya pengembangan ayam buras untuk memenuhi potensi permintaan daging dan telur ayam buras yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1980, yaitu dengan menetapkan kebijakan melalui program INTAB (Intensifikasi Ayam Buras) dan dilaksanakan dengan pendekatan kelompok tani yang menerapkan Sapta Usaha meliputi teknologi bibit, pakan, kandang, kesehatan, manajemen,
pasca panen dan pemasarannya. Bakrie et al (2003) menyebutkan bahwa
pemeliharaan ayam buras pada kandang batere menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur pada kandang umbaran terbatas.
Sistem pemeliharaan untuk memproduksi telur konsumsi merupakan
implementasi dari pemeliharaan ayam buras secara intensif. Pada sistem ini, ayam dipelihara pada kandang batere individu, sehingga produksi telur masing-masing ayam dapat diketahui. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ayam buras untuk tujuan memproduksi telur konsumsi adalah kandang individu dengan ukuran 20 x 20 x 40 cm dengan posisi lantai miring agar telur yang diproduksi dapat keluar dari kandang. Di samping itu juga, peternak mengurangi lama
(15)
15 mengeram dengan mencampur ayam pejantan. Pada sistem kandang batere ini, teknologi seleksi ayam secara sederhana dengan mengeluarkan ayam-ayam yang produksinya rendah dan diganti dengan ayam baru yang diperkirakan mempunyai produktivitas tinggi, sehingga produktivitas telur secara keseluruhan dapat relatif seragam dan sesuai dengan yang diharapkan.
Namun, permasalahan dalam pengembangan ayam buras terutama adalah penggunaan teknologi budidaya yang selama ini menghasilkan produktivitas rendah dan tidak diikuti dengan upaya perbaikan. Rohaeni (2005) menjelaskan beberapa cara untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui peningkatan pembinaan teknis dengan adanya penyuluhan dan pengkajian atau penelitian, perbaikan sistem kelembagaan, peningkatan hubungan dengan lembaga penyedia permodalan, baik bank atau perusahaan swasta untuk bermitra, perbaikan
teknologi dengan memperhatikan tiga faktor seperti breeding, feeding dan
tatalaksana yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan identifikasi dan
optimalisasi bahan pakan lokal. Perbaikan pakan diarahkan dengan
memperhatikan kandungan protein ransum dan efisiensi biaya pakan. Perbaikan pengendalian penyakit dapat mengurangi kematian ayam dan meningkatkan
replacement sehingga mengurangi biaya bibit (Gunawan 2005).
Bakrie et al. (2003) menjelaskan bahwa proses pembibitan ayam telah
diarahkan untuk mencapai kualitas ayam yang diinginkan yaitu untuk memproduksi telur konsumsi dalam jumlah tinggi, sehingga dilakukan persilangan dengan ayam ras petelur. Selain itu, upaya pembibitan ini didukung oleh sistem perkandangan ayam berupa batere individu, sehingga peternak lebih mengetahui induk yang produksinya menurun karena adanya proses manajemen seleksi. Proses pembibitan dilakukan dengan melakukan pencatatan data atau seleksi pada sistem perkandangan batere individu, karena dengan data yang diperoleh dari pemeliharaan di kandang batere individu merupakan data individu, sehingga pemilihan ternak yang akan dijadikan tetua (pejantan dan induk) untuk dikawinkan akan lebih teliti. Ketelitian ini akan menghasilkan peluang dihasilkannya keturunan yang sesuai dengan tujuan perbibitan. Perkawinan pada kandang batere individu dalam pembibitan ini menggunakan teknologi IB
(16)
16 (Inseminasi Buatan) dengan pertimbangan lebih efisien dan biaya yang relatif murah.
Penampilan ayam buras saat ini mulai dikembangkan untuk memperoleh kesamaan sifat seperti ayam ras, terutama dalam tingkat pertumbuhan atau produksi telurnya. Bakrie, Suwandi dan Lotulung (2005) menggambarkan persilangan Ayam Arab jantan dengan ayam buras betina seperti ayam Kedu merah, Sentul dan Wareng atau Ayam Buras Hibrida (Ayam Buras Super) yang merupakan persilangan antara ayam buras jantan dengan ayam ras petelur atau
ayam broiler dengan ayam buras betina dapat meningkatkan produksi telur
konsumsi pada ayam buras. Hal ini juga diungkapkan oleh Juarini, Sumanto dan Zainuddin (2005), bahwa untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal, maka bibit harus diseleksi sehingga harus ada pemeliharaan secara mantap yaitu persilangan antar ayam lokal yang menghasilkan peningkatan performans, dengan memperhatikan segi pemuliaan dan efisiensi biaya pakan.
Kebutuhan telur konsumsi selain dipenuhi dari ayam buras, terutama sebagian besar diproduksi oleh ayam ras petelur. Pertumbuhan produksi ayam ras petelur yang cukup besar salah satunya dipengaruhi faktor harga jual hasil produksi ayam ras dan luas kandang ternak (Nurwanti 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurwanti (2005) di Desa Sukamulya, Kecamatan Ciamis, faktor harga jual hasil produksi ternak memiliki pengaruh terbesar, yaitu sebesar 95 persen terhadap pengembangan usaha ternak tersebut. Harga jual yang dimaksudkan adalah harga jual yang dapat menutupi biaya operasionalnya dan cenderung stabil, dimana harga jual yang diamati pada objek peternak plasma adalah harga jual yang disepakati dengan pihak inti. Demikian juga dengan luas kandang ternak yang memiliki pengaruh sebesar 90 persen terhadap pengembangan usaha ternak ayam ras pedaging tersebut dapat dicapai pada skala efisiennya ketika peternak melakukan kerjasama dengan pihak inti. Hal ini terutama dikarenakan adanya penyediaan modal dalam pembuatan kandang tersebut.
Fitriyani (2006) dan Kesuma (2006) yang mengkaji usaha ternak ayam ras pun mendukung alternatif pengembangan melalui peningkatan skala produksi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kesejahteraan peternak yang dilihat
(17)
17 melalui ukuran penerimaan atas total biaya yang dikeluarkan lebih baik pada peternak yang memiliki skala usaha besar dibandingkan dengan peternak berskala kecil. Kedua penelitian tersebut yang menggunakan pengambilan contoh secara
purposive sampling rata-rata menyimpulkan bahwa semakin besar skala usaha
yaitu semakin besar jumlah kepemilikan ayam, maka semakin besar pendapatan bersih dan semakin besar penerimaan yang dimiliki petani atas total biaya yang dikeluarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang penting dalam mempengaruhi pengembangan atau meningkatkan pendapatan dan kelayakan usaha ternak tersebut adalah skala usaha, baik dari pemeliharaan ayam maupun luas kandang pemeliharaannya. Menurut Gunawan dalam Hasbianto dan Suryana (2008) menyatakan bahwa skala pemeliharaan ayam buras yang menguntungkan adalah lebih dari 50 ekor setiap peternak. Pengembangan produksi dengan skala pemeliharaan besar tersebut diusahakan dengan meningkatkan luas kandang ternak melalui penyediaan modal dalam pembuatan kandang bagi peternak. Hal tersebut merupakan salah satu alternatif pengembangan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan hasil produksi ayam buras.
2.4. Pengaruh Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ternak Ayam
Buras
Karakteristik usaha ternak ayam buras memiliki perbedaan dengan usaha ternak ayam ras. Pola usahatani ayam buras masih bersifat tradisional dan belum diusahakan secara komersial. Padahal ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai
sumber pendapatan keluarga (cash income), sebagai tabungan dan sebagai sumber
dalam membantu penyediaan pangan hewani bergizi bagi keluarga petani di pedesaan (Agustian dan Sehabudin 2001). Oleh karena itu, dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak ayam buras, pola pengembangannya dapat diusahakan seperti halnya pengembangan ternak ayam ras. Pola kerjasama kemitraan seperti pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada peternakan ayam ras dapat ditempuh oleh peternak ayam buras dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam penanganan pemasaran hasil ternak, penyediaan sarana produksi peternakan dan melakukan pembinaan terhadap peternak.
(18)
18 Dalam upaya pengembangan ternak ayam buras masih belum terlihat secara nyata adanya kegiatan pola kerjasama antara peternak di satu sisi dengan pihak lainnya dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan secara seimbang. Sedangkan pola kerjasama pada usaha ternak ayam ras telah terjalin antar peternak sebagai “plasma” dengan Poultry Shop sebagai “inti” (Taryoto et al
dalam Agustian dan Sehabudin 2001). Struktur ongkos peternakan ayam buras yang dikaji dalam penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras lebih
ditujukan untuk menghasilkan pendapatan tunai (cash income) karena hanya
sebagian kecil porsi telur ayam buras yang ditetaskan (digenerasikan menjadi ternak lagi). Sebagian besar adalah dijual untuk mendapatkan pendapatan tunai tersebut.
Selama ini, petani lemah dalam menentukan harga produksi karena sulit mendapatkan akses informasi pasar. Petani harus melakukan konsolidasi yang bersifat horizontal dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berusahatani. Maka, pihak swasta dapat memberikan penyuluhan (pendidikan dan pelatihan) yang sifatnya berkelanjutan. Keterkaitan dan kerjasama kelembagaan kelompok tani dengan pihak swasta tersebut identik dengan konsolidasi vertikal. Priyono, Nufus dan Dessy (2004) mengungkapkan bahwa strategi kemitraan usaha yang tepat untuk mendorong pengembangan agribisnis di pedesaan adalah melalui konsolidasi vertikal. Usahatani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu usaha agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta satu unit industri pertanian (agroindustri).
Hal ini dikarenakan peternak tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membeli input dan akses mendapatkan informasi dan akibatnya, permintaan pasar yang tinggi tidak mendapatkan respon dari petani. Penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan yang dapat disarankan adalah membangun organisasi komunikasi yang dapat menggerakkan subsistem agribisnis bahwa model organisasi yang dibangun tersebut harus mampu:
(1) Memadu kegiatan input dan output terintegrasi;
(19)
19
(3) Memiliki azas kebersamaan dengan kriteria zero cost pada tingkat
peternak dan atau biaya pokok pada tingkat lembaga input dan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan.
Kriteria zero cost ini merupakan salah satu prinsip yang dikembangkan
dalam sistem kemitraan saat ini, dimana antara subsistem agribisnis suatu komoditi tersebut memiliki nilai biaya dan keuntungan yang sama besarnya pada setiap lini. Beberapa manfaat penting dari adanya pola kemitraan yang dapat diperoleh yaitu adanya pihak perusahaan yang berniat untuk bermitra akan menyediakan modal kepada peternak dalam memperluas skala usaha ternak dan membuka lapangan kerja baru. Manfaat lainnya adalah harga penjualan ayam stabil karena dijamin perusahaan, manfaat ini tergantung dari kondisi harga jual ayam, jika harga jual ayam cenderung tetap maka peternak dapat merasakan manfaatnya namun jika harga jual mengalami perubahan maka peternak tidak bisa komplain karena sudah terikat kontrak.
Persentase terbesar yang ditunjukkan penelitian tersebut mengenai manfaat kemitraan adalah jaminan pemasarannya, dimana dalam pelaksanaan kemitraan pengusaha yang bermitra bertanggungjawab untuk memasarkan hasil produksi, maka dari itu peternak tidak khawatir dengan tidak lakunya hasil panen Hal ini dapat membantu peternak dalam menghindari risiko tidak terjualnya hasil panen dan sekaligus mendapatkan harga produk yang wajar. Pelaksanaan kemitraan memperkecil risiko karena masing-masing kedua belah pihak menanggung risiko yang berbeda. Sementara, kelemahan-kelemahan dalam mendukung usaha
kemitraan meliputi terjadinya over supply apabila panen ayam terjadi bersamaan
bagi perusahaan inti. Sementara penetapan harga jual ayam oleh perusahaan menyebabkan peternak tidak mendapatkan keuntungan maksimal, peternak tidak bisa memasarkan ayamnya kepada pihak lain, karena terikat perjanjian dengan pihak inti.
Pembagian komposisi insentif antara perusahaan inti dengan peternak plasma dapat dideskripsikan dalam penelitian Andini (2005). Ada komposisi insentif inti yang diperoleh dari penjualan pakan, DOC, obat-obatan, vaksin dan vitamin serta dari selisih harga jual ayam di pasar dengan harga kesepakatan. Dalam hal pemasokan DOC, inti memperoleh insentif berupa keuntungan dari
(20)
20 selisih harga beli DOC dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada plasmanya. Insentif dari pakan diperoleh inti berupa keuntungan dari selisih harga beli pakan dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada plasma. Sedangkan dari komposisi insentif untuk obat-obatan, vaksin, vitamin dan bahan kimia lainnya, inti memperoleh potongan harga antara 15-25 persen karena melakukan pembelian dalam jumlah besar.
Kesuma (2006) juga mendukung sistem kemitraan inti plasma ini dengan membandingkan usaha ternak yang dijalankan antara melalui Sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan Sistem Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Kesejahteraan peternak yang melakukan kemitraan PIR tersebut lebih baik dibandingkan dengan peternak yang tergabung dalam pola KOA. Selain itu, jika pemerintah ingin melestarikan usaha rakyat maka perlu kebijakan pengembangan kemitraan (Ilham, Sejati dan Yusdja 2003). Peternakan rakyat membutuhkan suatu konsep kemitraan dengan pihak inti (perusahaan swasta skala besar) dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Kemitraan ini harus berlangsung secara terbuka dan memudahkan pengawasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
(21)
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Organisasi Produksi Usahatani
Menurut Rivai dalam Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi usahatani yaitu usahatani sebagai suatu organisasi, dimana didalamnya terdapat pelaku yang mengorganisir dalam hal memimpin dan mengambil keputusan (Hernanto 1989). Pelaku itu adalah petani dan keluarganya untuk mengorganisir faktor-faktor produksi yang dikuasai atau dapat dikuasai. Faktor-faktor produksi tersebut merupakan unsur-unsur pokok yang selalu ada dalam suatu usahatani (faktor intern), diantaranya tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan (manajemen).
(1) Tanah sebagai Faktor Produksi Usahatani
Tanah merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lain, distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Tanah memiliki beberapa sifat, antara lain: (1) Luasnya yang relatif tetap; (2) Tidak dapat dipindah-pindahkan; dan (3) Dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Sumber-sumber pemilikan tanah yang dikelola oleh petani dapat diperoleh dengan membeli, menyewa, menyakap (sistem bagi hasil), pemberian dari negara, warisan, wakaf dan membuka lahan sendiri (Hernanto 1989). Sumber-sumber pemilikan tanah tersebut berkaitan dengan status tanah pengolahan usahatani. Ada beberapa status tanah yang dikenal, antara lain tanah milik atau tanah hak milik, tanah sewa, tanah sakap, tanah gadai dan tanah pinjaman.
Tanah dapat dijadikan sebagai ukuran besar kecilnya suatu usahatani. Ukuran-ukuran itu antara lain total tanah usahatani, total luas pertanian dan luas tanaman utama. Intensitas penggunaan tanah menunjukkan perbandingan (rasio) dari total luas pertanaman dengan luas tanah usahatani. Biasanya diukur dengan persentase. Semakin besar nilai intensitas menunjukkan tingkat penguasaan yang semakin tinggi.
(22)
22
(2) Tenaga Kerja sebagai Faktor Produksi Usahatani
Jenis tenaga kerja dalam usahatani digolongkan menjadi tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia terdiri dari tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia tersebut dapat diperoleh dari dalam keluarga dan dari luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga diperoleh dengan cara upahan, sambatan dan arisan tenaga kerja. Potensi tenaga kerja keluarga petani adalah jumlah tenaga kerja potensial yang tersedia pada satu keluarga petani. Kegiatan usaha ternak yang memerlukan tenaga kerja meliputi hampir semua proses produksi berlangsung, diantaranya: (1) Pembuatan kandang/bila dikandangkan; (2) Pemeliharaan, yaitu pengobatan, perbaikan kandang dan pemberian makanan; dan (3) Panen.
Yang dalam Hernanto (1989) membuat konversi tenaga kerja, yaitu dengan membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku dan jenis tenaga kerja lain dikonversikan atau disetarakan dengan pria yaitu: 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; 1 ternak = 2 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP. Satuan ukuran yang umum dipakai untuk mengatur tenaga kerja adalah jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan kerja dari sejak persiapan sampai panen. Perhitungan dapat menggunakan inventarisasi jam kerja yaitu 1 hari = 7 jam kerja, kemudian dijadikan hari kerja total (HK Total).
Satuan ukuran yang kedua yang dipakai juga adalah jumlah setara pria (Men
Equivalent) yaitu jumlah kerja yang dicurahkan untuk seluruh proses produksi
diukur dengan ukuran hari kerja pria. Hal ini berarti menggunakan konversi berdasarkan upah, dimana pria dinilai 1 HKP, wanita 0,7 HKP, ternak 2 HKP dan anak 0,5 HKP.
(3) Modal sebagai Faktor Produksi Usahatani
Modal adalah barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan yang menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian (Hernanto 1989). Modal yang paling tinggi di antara tiga faktor produksi lain, khususnya modal operasional. Modal operasional dimaksudkan sebagai modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk
(23)
23 membiayai pengelolaan. Dalam usahatani, yang dimaksud dengan modal adalah tanah, bangunan-bangunan seperti gudang, kandang, lantai jemur dan pabrik,
alat-alat pertanian antara lain traktor, cangkul, parang dan sprayer, tanaman,
ternak dan ikan di kolam, bahan-bahan pertanian (pupuk, bibit dan obat-obatan), piutang di bank dan uang tunai.
Modal dibedakan berdasarkan sifatnya menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap adalah modal yang tidak habis dalam satu periode produksi, misalkan tanah dan bangunan. Jenis modal ini memerlukan pemeliharaan agar dapat berdaya guna dalam jangka waktu yang lama. Jenis modal ini pun ada yang mengalami penyusutan, artinya nilai modal menyusut menurut jenis dan waktu. Modal bergerak adalah modal yang habis atau dianggap habis dalam waktu satu periode proses produksi, misalkan alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak dan ikan. Sumber pembentukan modal dapat berasal dari modal milik sendiri, pinjaman atau kredit antara lain kredit bank atau dari pelepas uang/tetangga/famili, hadiah warisan, dari usaha lain dan kontrak sewa. Modal usahatani dapat berupa biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan dan biaya pengelolaan.
(4) Manajemen sebagai Faktor Produksi Usahatani
Hernanto (1989) menjelaskan bahwa manajemen usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi syarat bagi seorang pengelola. Pengertian dan pemahaman prinsip teknis meliputi: (1) Perilaku cabang usaha yang diputuskan; (2) Perkembangan teknologi; (3) Tingkat teknologi yang dikuasai; (4) Daya dukung faktor yang dikuasai; dan (5) Cara budidaya dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Sementara, pengenalan dan pemahaman prinsip ekonomis, diantaranya: (1) Penentuan perkembangan harga; (2) Kombinasi cabang usaha; (3) Pemasaran hasil; (4)
(24)
24 Pembiayaan usahatani; (5) Penggolongan modal dan pendapatan; serta (6) Ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim.
3.1.2. Teori Produksi
Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara input-output dan mendeskripsikan tingkat dimana sumberdaya dirubah menjadi bentuk produk. Ada beberapa hubungan input-output dalam pertanian karena tingkat dimana input dirubah menjadi output akan bervariasi antara jenis tanah, hewan, teknologi dan sebagainya. Ada hubungan input-output tertentu yang mengkhususkan kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dibutuhkan untuk memproduksi produk tertentu. Doll dan Orazem (1978) memberikan contoh empiris fungsi produksi dengan beberapa asumsi tertentu, antara lain ketidakpastian sempurna, tingkat teknologi dan lama periode waktu (Gambar 1).
Keterangan : TPP = Total Physical Product
Gambar 1. Fungsi Produksi Klasik
Sumber : Doll dan Orazem (1978)
Gambar tersebut menjelaskan bahwa output yang dihasilkan nol pada saat input variabel nol, kemudian output meningkat pada peningkatan beberapa input
C
A
2 4 B 6 8 10 12 14 D 16 160 -
140 - 120 - 100 - 80 - 60 - 40 - 20 -
0
TPP Y (Output)
(25)
25 variabel pertama yang ditambahkan. Selanjutnya, output meningkat dengan tambahan yang semakin menurun pada tingkat input yang semakin tinggi.
Sementara, Lipsey dan Steiner (1928) menjelaskan bahwa untuk membatasi keputusan perusahaan dengan secara tetap membuat proporsi yang dapat diatur, para ahli ekonomi menguraikan keputusan tersebut ke dalam tiga kelompok teori diantaranya: (1) Bagaimana cara terbaik untuk membudidayakan tanaman dan perlengkapan saat ini (keputusan jangka pendek); (2) Apa jenis tanaman dan perlengkapan baru dan proses produksi dalam memilih kerangka kemungkinan teknis tertentu yang telah diketahui (keputusan jangka panjang); dan (3) Apa yang harus dilakukan mengenai percobaan penemuan baru atas teknologi baru (keputusan jangka sangat panjang). Keputusan jangka pendek dibuat ketika kuantitas sejumlah input tidak dapat bervariasi. Perusahaan tidak dapat memperoleh lebih banyak input-input tetap dari yang dimilikinya saat ini. Input-input yang dapat bervariasi dalam jangka pendek disebut dengan Input-input variabel. Keputusan jangka panjang dibuat ketika semua input dari seluruh faktor produksi dapat bervariasi tetapi teknologi produksi dasar tidak berubah.
Hal terpenting dari keputusan jangka panjang dalam teori produksi yaitu menunjukkan situasi yang dihadapi perusahaan untuk merencanakan bisnis, memperluas skala usaha, mendirikan cabang usaha ke dalam produk baru atau wilayah usaha yang baru, atau memodernisasi, memindahkan atau mengorganisasi metode produksi yang baru. Keputusan ketiga yaitu keputusan jangka sangat panjang dimana muncul dari adanya perubahan teknologi. Perubahan ini dapat disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh perusahaan, terutama program penelitian dan pengembangan. Hubungan antara faktor jasa yang digunakan sebagai input ke dalam proses produksi dan kuantitas output yang ditentukan disebut dengan fungsi produksi. Lipsey dan Steiner (1928) menjelaskan fungsi produksi sederhana yang terdiri dari hubungan dua faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan modal. Variasi output dan biaya dibentuk dengan asumsi bahwa satu dari dua faktor tersebut adalah tetap. Gambar selanjutnya menjelaskan hubungan antara produk total, produk rata-rata dan produk marjinal dengan penggunaan input tenaga kerja.
(26)
26
Keterangan : TP = Total Product (Produk Total)
AP = Average Product (Produk Rata-Rata)
MP = Marginal Product (Produk Marjinal)
Gambar 2. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata dan Produk Marjinal
Sumber : Lipsey dan Steiner (1928)
Total Product (TP) menjelaskan bahwa jumlah total yang diproduksi
selama periode waktu tertentu dengan memanfaatkan seluruh faktor produksi. Jika satu dari seluruh input tetap, produk total (TP) akan berubah karena penggunaan
faktor variabel yang lebih besar atau lebih kecil. Average Product (AP)
menggambarkan produk total per unit dari faktor variabel yang digunakan, AP awal meningkat dan kemudian menurun. Tingkat output (34 unit seperti contoh Gambar), dimana produk rata-rata (AP) mencapai maksimum disebut dengan titik
produktivitas rata-rata yang semakin menurun (point of diminishing average
productivity). Marginal Product (MP) kadangkala disebut dengan incremental
product (tambahan produk) adalah perubahan dari produk total yang dihasilkan
dari penggunaan satu unit input lebih banyak atau satu unit input lebih sedikit dari faktor variabel. Tingkat output dimana produk marjinal (MP) mencapai maksimum disebut dengan titik produktivitas marjinal yang semakin menurun
(point of diminishing marginal productivity).
Variasi input yang dihasilkan dari penggunaan faktor variabel lebih banyak atau lebih sedikit pada kuantitas faktor tetap tertentu memunculkan hipotesis ekonomi baru yang disebut dengan hukum kenaikan hasil yang semakin
berkurang atau law of diminishing returns. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa
0
Quantity of Labor
MP AP
Point of diminishing marginal
productivity
Point of diminishing average productivity TP T ot al P rodu ct (T P ) P roduc t pe r uni t o f L a bor
Quantity of Labor
(27)
27 jika sejumlah faktor variabel yang digunakan dengan sejumlah faktor tetap tertentu, maka unit tambahan dari faktor variabel yang ditambahkan akan mengurangi produk total daripada unit sebelumnya. Kemudian, jika peningkatan faktor variabel yang digunakan pada sejumlah faktor tetap tertentu, produk marjinal dan produk rata-rata dari faktor variabel akan menurun.
3.1.3. Teori Biaya Produksi
Lipsey dan Steiner (1928) juga menggambarkan teori biaya, dimana perusahaan diasumsikan tidak dapat mempengaruhi harga faktor produksi. Oleh karena itu, perusahaan mengikuti harga faktor produksi menurut pasar untuk seluruh faktor produksi yang digunakan. Gambar 3 menjelaskan mengenai hubungan antara output yang diproduksi dengan biaya total dan biaya per unit.
Total Cost (TC) menggambarkan biaya total yang digunakan untuk memproduksi
berapapun tingkat output. Biaya total (TC) terdiri dari biaya total tetap atau total
fixed cost (TFC) dan biaya total variabel atau total variable cost (TVC). Biaya
tetap adalah biaya yang dikeluarkan tidak bervariasi bergantung kepada output yang diproduksi. Sementara, biaya yang dikeluarkan bervariasi bergantung kepada output, dimana biaya meningkat jika produksi output ditingkatkan dan menurun jika produksi output dikurangi.
Average Total Cost (ATC) juga disebut sebagai Average Cost (AC) adalah
biaya total dari memproduksi berapapun tingkat output dan dibagi dengan sejumlah unit output yang diproduksi atau biaya per unit. Biaya total rata-rata (ATC) juga dibagi ke dalam dua kelompok biaya, yaitu biaya tetap rata-rata atau
average fixed costs (AFC) dan biaya variabel rata-rata atau average variable costs
(AVC). Meskipun biaya variabel rata-rata dapat meningkat atau menurun jika produksi meningkat (tergantung peningkatan atau penurunan produksi lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan dengan biaya total variabel), maka biaya tetap rata-rata (AFC) akan menurun secara terus-menerus seiring dengan peningkatan output.
(28)
28
Keterangan : TC = Total Cost (Biaya Total)
TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel Total)
TFC = Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total)
MC = Marginal Cost (Biaya Marjinal)
ATC = Average Total Cost (Biaya Total Rata-Rata)
AVC = Average Variable Cost (Biaya Variabel Rata-Rata)
AFC = Average Fixed Cost (Biaya Tetap Rata-Rata)
Gambar 3. Kurva Biaya Total, Biaya Rata-Rata dan Biaya Marjinal
Sumber : Lipsey dan Steiner (1928)
Marginal Costs (MC) atau kadangkala disebut dengan incremental cost atau biaya
tambahan adalah peningkatan biaya total yang dihasilkan dari peningkatan tingkat produksi satu unit output. Karena biaya tetap tidak bervariasi terhadap output, biaya tetap marjinal selalu bernilai nol. Oleh karena itu, biaya marjinal selalu merupakan biaya marjinal variabel dan perubahan dalam biaya tetap tidak akan mempengaruhi biaya marjinal. Berdasarkan Gambar kurva biaya, pada harga faktor tetap, ketika produk rata-rata per tenaga kerja yang digunakan adalah maksimum, biaya variabel rata-rata adalah minimum.
Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap tambahan tenaga kerja yang digunakan pada sejumlah biaya yang sama tetapi sejumlah output berbeda, maka output per tenaga kerja akan meningkat, biaya per unit output akan menurun dan sebaliknya. Output yang menunjukkan biaya total rata-rata minimum pada Gambar tersebut disebut sebagai kapasitas perusahaan (Lipsey dan Steiner, 1928). Kapasitas yang dimaksudkan adalah bukan kapasitas batas tertinggi yang dapat
TFC TVC
TC
0 Output 0 qc Output
AFC AVC ATC MC
T
ot
al
Cos
t
Cos
t
p
er
u
ni
(29)
29
diproduksi. Kapasitas output pada qc unit dapat ditingkatkan dan perusahaan akan
menghadapi tambahan biaya dengan meningkatnya output tersebut. Perusahaan yang memproduksi dengan kapasitas berlebih merupakan produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan titik biaya total rata-rata minimum. Perusahaan sebaiknya tidak memproduksi sama sekali jika penerimaan rata-rata dari produknya minimal tidak sama atau melebihi biaya rata-rata variabelnya. Perusahaan dapat memproduksi dengan kondisi menguntungkan jika penerimaan marjinal lebih besar daripada biaya marjinal, sehingga perusahaan dapat melakukan ekspansi atau perluasan usaha hingga penerimaan marjinal sama dengan biaya marjinal.
Di samping itu, klasifikasi biaya menjadi penting dalam membandingkan pendapatan usahatani, ada empat kategori atau pengelompokkan biaya, yaitu:
(1) Biaya tetap (fixed costs) yang dimaksudkan dengan biaya yang
penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Biaya tetap tersebut antara lain pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, traktor dan lain sebagainya. Tenaga kerja keluarga dapat dikelompokkan ke dalam biaya tetap apabila tidak terdapat biaya imbangan dalam penggunaannya, terutama untuk usahatani maupun di luar usahatani;
(2) Biaya variabel (variable costs) yaitu biaya yang besar kecilnya tergantung
kepada skala produksi dan dapat digolongkan ke dalam biaya tunai dan tidak tunai. Biaya variabel ini diantaranya seperti biaya pupuk, bibit, obat pembasmi hama dan penyakit, buruh untuk tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya pengolahan tanah, baik yang merupakan kontrak maupun upah harian dan sewa tanah;
(3) Biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa air dan pajak tanah. Sedangkan,
untuk biaya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja keluarga; dan
(4) Biaya tidak tunai (diperhitungkan) meliputi biaya tetap, biaya untuk tenaga
kerja keluarga. Sedangkan, biaya variabel tidak tunai antara lain biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai.
(30)
30 3.1.4. Teori Pendapatan Usahatani
Soekartawi et al (1986) menjelaskan mengenai penerimaan tunai usahatani
(farm receipts) sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani
dan pengeluaran tunai usahatani (farm payments) sebagai jumlah uang yang
dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pendapatan tunai
usahatani (farm net cash flow) merupakan selisih dari penerimaan dan
pengeluaran tunai usahatani yang menggambarkan kemampuan usahtani untuk menghasilkan uang tunai. Penerimaan tunai usahatani yang tidak berasal dari penjualan produk usahatani, seperti pinjaman tunai harus ditambahkan dan pengeluaran tunai usahtani yang tidak ada kaitannya dengan pembelian barang dan jasa, seperti bunga pinjaman dan uang pokok harus dikurangkan. Neraca ini
merupakan kelebihan uang tunai usahatani (farm cash surplus) dan dihasilkan
usahatani untuk keperluan rumah tangga. Kelebihan uang tunai yang ditambah dengan penerimaan tunai dari luar usahatani seperti upah kerja di luar usahatani
adalah pendapatan tunai rumah tangga (household net cash income). Berdasarkan
kedua ukuran terakhir ini, yaitu kelebihan uang tunai dan pendapatan tunai rumah tangga, dapat diketahui besarnya kemampuan petani atau likuiditas usahatani dalam mengembalikan pinjaman usahatani serta kontribusi usahatani dan pekerjaan di luar usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Arus uang tunai belum menceritakan keadaan seluruhnya. Ukuran pendapatan juga mencakup nilai transaksi barang dan perubahan nilai inventaris
atau kekayaan usahatani selama kurun waktu tertentu (Soekartawi et al 1986).
Pendapatan kotor ternak dapat dihitung dari total penjumlahan atas penjualan ternak, nilai ternak yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pembayaran dan hadiah, nilai ternak pada akhir tahun pembukuan, nilai hasil ternak seperti susu dan telur. Total pendapatan tersebut kemudian dikurangi dengan pembelian ternak, nilai ternak yang diperoleh sebagai upah dan hadiah dan nilai ternak pada awal tahun pembukuan.
Pengeluaran total usahatani termasuk pengeluaran tunai dan pengeluaran tidak tunai. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total
usahatani adalah pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan
(31)
31 faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Penghasilan bersih usahatani
(net farm earning) diperoleh dari pendapatan bersih usahatani dengan
mengurangkan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan penghasilan yang diperoleh dari usahatani untuk keperluan keluarga dan merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai dalam usahatani. Apabila penghasilan bersih usahatani ditambahkan dengan pendapatan rumah tangga yang berasal dari luar usahatani, seperti upah
dalam bentuk uang atau benda, maka diperoleh penghasilan keluarga (family
earnings).
Ukuran ketiga yaitu analisis R/C rasio yang dilakukan untuk menunjukkan besar rasio kelipatan penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam rangka kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C rasio maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan kelayakan suatu usahatani sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan. Tingkat kelayakan suatu usahatani apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu yang berarti bahwa setiap selisih biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan selisih penerimaan yang lebih besar daripada selisih biaya. Dan apabila nilai R/C rasio lebih kecil dari satu maka setiap selisih biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan selisih penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya.
Sedangkan apabila nilai R/C rasio sama dengan satu berarti setiap selisih biaya yang dikeluarkan sasma dengan selisih penerimaan yang diperoleh sehingga memperoleh keuntungan normal. R/C rasio yang dihitung terdiri dari R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. R/C rasio atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu, sementara R/C rasio atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Rumus analisis imbangan penerimaan antara biaya usahatani sebagai berikut (Soekartawi, 1986):
R/C rasio atas biaya tunai = TR/Biaya Tunai
(32)
32
Keterangan: TR = Total penerimaan usahatani (Rp)
TC = Total biaya usahatani (Rp)
Penyusutan nilai untuk alat-alat pertanian yang digunakan termasuk ke dalam biaya yang diperhitungkan, dihitung melalui metode garis lurus yaitu setiap tahun biaya penyusutan yang dikeluarkan relatif sama hingga habis umur ekonomis alat tersebut. Penghitungan penyusutan nilai alat-alat pertanian dimaksudkan untuk menilai aset usahatani.
Rumus metode garis lurus tersebut yaitu sebagai berikut:
Dp = c – s
n
Keterangan:
Dp = penyusutan/tahun s = nilai sisa
c = nilai beli n = umur ekonomis barang
3.1.5. Teori Skala Usaha (Return to Scale)
Skala usaha (return to scale) perlu diketahui untuk mengetahui apakah
kegiatan dari suatu usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing,
constant atau decreasing return to scale. Analisis skala usaha merupakan analisis
produksi untuk melihat kemungkinan perluasan usaha dalam suatu proses produksi. Dalam suatu proses produksi, perluasan skala usaha pada dasarnya merupakan suatu upaya maksimisasi keuntungan dalam jangka panjang. Dengan perluasan skala usaha, rata-rata komponen biaya input tetap per unit output menurun sehingga keuntungan produsen meningkat. Dalam hal ini tidak selamanya perluasan skala usaha akan menurunkan biaya produksi, sampai suatu batas tertentu perluasan skala usaha justru dapat meningkatkan biaya produksi. Analisis skala usaha sangat penting untuk menetapkan skala usaha yang efisien.
Hubungan antara faktor-faktor produksi atau input dengan tingkat
produksi atau output skala usaha (return to scale) menggambarkan respon dari
output terhadap perubahan proporsional dari input. Dalam hal ini Teken (1977) yang diacu dalam Fatma (2011) menyebutkan ada tiga kemungkinan hubungan antara input dengan output, yaitu: (1) Skala usaha dengan kenaikan hasil
bertambah (increasing return to scale) yaitu kenaikan satu unit input
(33)
33
kenaikan hasil tetap (constant return to scale), yaitu penambahan satu unit input
menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama; dan (3) Skala usaha
dengan kenaikan hasil yang berkurang (decreasing return to scale) yaitu apabila
pertambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin berkurang.
Pengetahuan mengenai keadaan skala usaha sangat penting sebagai salah satu pertimbangan mengenai pemilihan ukuran usahatani. Keadaan skala usahatani dengan kenaikan hasil berkurang berarti luas usaha sudah perlu dikurangi. Jika keadaan skala usaha berada pada kenaikan hasil yang bertambah, maka luas usaha diperbesar untuk menurunkan biaya produksi rata-rata dan diharapkan dapat menaikkan keuntungan. Keadaan skala usaha dengan kenaikan hasil yang tetap, berarti luas rata-rata unit usaha yang ada tidak perlu dirubah.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kerangka berpikir operasional memberikan kemudahan dalam melakukan pelaksanaan penelitian dalam menjawab tujuan dan permasalahan penelitian. Masing-masing kotak dalam Gambar 4 merupakan variabel-variabel yang mempunyai hubungan sebab akibat dan ditunjukkan melalui tanda panah. Kerangka berpikir ini berlaku untuk seluruh responden peternak yang menjadi objek penelitian, baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra. Tingkat perbedaan pendapatan dan efisiensi usaha ternak dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha ternak dan dinilai berdasarkan masing-masing harga faktor produksi tersebut. Faktor-faktor produksi yang diidentifikasi antara lain modal dan tenaga kerja.
Faktor produksi modal menjelaskan penggunaan modal investasi yang merupakan alat-alat peternakan dan modal operasional yang meliputi penggunaan bibit, pakan, obat-obatan dan vitamin serta vaksin. Faktor produksi kerja menjelaskan tentang penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga dalam usaha ternak. Faktor-faktor produksi bersama harga masing-masing faktor produksi menghasilkan biaya usaha ternak, sehingga menyebabkan munculnya biaya usaha ternak. Faktor-faktor produksi usaha ternak diorganisir oleh setiap peternak dan menghasilkan produksi usaha ternak, kemudian dinilai
(34)
34 menurut harga jual hasil produksi (output) usaha ternak dan menghasilkan penerimaan usaha ternak. Biaya dan penerimaan usaha ternak menentukan pendapatan usaha ternak setiap peternak meliputi pendapatan tunai dan pendapatan total usaha ternak. Kedua ukuran tersebut merupakan ukuran keuntungan usaha ternak. Pendapatan total usaha ternak digunakan untuk menentukan dua ukuran lainnya, yaitu R/C rasio usaha ternak yang merupakan efisiensi usaha ternak dan ukuran imbalan atas modal dan tenaga kerja keluarga yang merupakan ukuran tingkat keuntungan investasi usaha ternak sebagai penentu kelayakan pengembangan usaha ternak pada kondisi saat ini.
Program kemitraan yang dijalankan usaha ternak bersama perusahaan swasta berupa modal pinjaman usaha ternak dan pelatihan dalam manajemen pemeliharaan ternak. Modal pinjaman usaha ternak yang digunakan dengan tingkat keuntungan investasi usaha ternak yang dihasilkan pada kondisi saat ini memunculkan alternatif pengembangan skala usaha ternak. Alternatif pengembangan skala usaha ternak ini mempertimbangkan beberapa faktor yang diterapkan dalam manajemen pemeliharaan usaha ternak, seperti tatalaksana perkandangan, pembibitan ayam buras dan pengendalian penyakit ternak.
(35)
35
Gambar 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional Pengembangan Usaha
Ternak Ayam Buras Petelur Kelompok Hidayah Alam Tahun 2011
Harga Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Biaya Usaha Ternak Produksi Usaha Ternak Harga Jual Produksi Usaha Ternak Pendapatan Tunai Usaha Ternak
Imbalan atas Modal & Tenaga Kerja Pendapatan Usaha Ternak
Penerimaan Usaha Ternak
Tingkat Keuntungan Investasi Usaha Ternak
Alternatif Pengembangan Skala Usaha Ternak Pendapatan Total
Usaha Ternak
R/C Rasio Usaha Ternak
Efisiensi Usaha Ternak
Keuntungan Usaha Ternak Pelatihan Manajemen Pemeliharaan -Tatalaksana Perkandangan -Pembibitan
-Pengendalian Penyakit
Program Kemitraan
Modal Usaha Ternak
Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak
Modal
- Modal Investasi Alat-Alat Peternakan - Modal Operasional
Bibit Pakan Obat & Vitamin Vaksin
Tenaga Kerja
-Tenaga Kerja Dalam Keluarga
-Tenaga Kerja Luar Keluarga
(36)
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan dalam kelompok ternak Hidayah Alam yang terletak di Desa Nambo, Kecamatan Klapa Nunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian berlangsung selama satu bulan, yaitu yang telah dilaksanakan antara tanggal 1 Desember 2011 sampai dengan 5 Januari 2012. Pemilihan lokasi penelitian dalam kelompok ternak Hidayah Alam ini berdasarkan pertimbangan peneliti secara sengaja untuk mencapai tujuan penelitian tertentu, yaitu untuk mengetahui dan pengembangan yang dilakukan kelompok ternak tersebut yang telah menjalankan kemitraan dengan program CSR
(Corporate Social Responsibility) perusahaan di sekitarnya, sehingga menjadi
kelompok ternak yang memiliki populasi ayam buras terbesar di Kabupaten Bogor. Sementara, pembudidayaan ayam buras ini belum banyak yang dikembangkan dengan kemitraan, khususnya kelompok ternak ayam buras yang terdapat di Kabupaten Bogor.
4.2. Metode Penentuan Sampel
Sebuah populasi adalah seluruh kumpulan elemen yang dapat digunakan untuk membuat beberapa kesimpulan (Cooper dan Emory 1996). Anggota populasi yang menjadi satuan analisis dalam penelitian ini adalah kelompok ternak Hidayah Alam, Desa Nambo. Sementara sebuah elemen adalah subjek dimana pengukuran untuk menarik kesimpulan tersebut dilakukan dan elemen ini
merupakan unit penelitian (the unit of study). Metode penentuan elemen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sensus, yaitu studi yang mencakup seluruh elemen dalam populasi sebagai unit penelitian. Adapun jumlah seluruh elemen atau unit penelitian yang diambil adalah sebanyak enam orang peternak yang tergabung dalam kelompok ternak Hidayah Alam di Desa Nambo tersebut.
Pemilihan metode sensus sebagai teknik penentuan unit penelitian dari populasi kelompok ternak tersebut didasarkan karena jumlah populasi sasaran penelitian, yaitu peternak yang tergabung dalam kelompok ternak ayam buras petelur Hidayah Alam kecil dan masing-masing elemen, yaitu peternak ayam
(37)
37 buras petelur antara satu dengan lainnya memiliki karakteristik usaha ternak yang berbeda-beda, misalnya dalam hal produksi telur dan luas kandang pemeliharaan.
4.3. Desain Penelitian
Ruang lingkup topik penelitian pengembangan usaha ternak ayam buras petelur ini lebih sempit dalam suatu kelompok ternak, yaitu kelompok peternak ayam buras petelur Hidayah Alam, berdasarkan pertimbangan alternatif kemitraan yang telah dikembangkan dalam pengembangan telur ayam buras. Oleh karena itu, kedalaman identifikasi dan analisis yang diharapkan adalah terperinci secara mendetail dalam kelompok ternak tersebut. Cooper dan Emory (1996) menyampaikan bahwa studi kasus lebih menekankan kepada analisis konteks secara penuh berdasarkan peristiwa atau kondisi yang lebih sedikit dan hubungannya satu dengan yang lain. Karena menekankan kepada hal-hal secara rinci, maka studi kasus sangat cocok untuk penyelesaian masalah, evaluasi dan strategi. Dengan demikian, untuk memverifikasi hipotesis yang telah disusun sebelumnya melalui identifikasi permasalahan secara spesifik itulah, desain studi kasus ini digunakan dalam penelitian ini.
4.4. Data dan Instrumentasi
4.4.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang sengaja dikumpulkan khusus untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Sementara, data sekunder adalah data yang bersifat
cross section atau menunjukkan titik waktu tertentu dan telah terdokumentasi
sebelumnya yang diterbitkan oleh pihak lembaga-lembaga terkait.
1) Data Primer
Sumber data primer ini dapat diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara kepada narasumber-narasumber yang terkait dengan Kelompok Ternak Hidayah Alam, antara lain peternak-peternak yang tergabung ke dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam, lembaga-lembaga pemasaran yang terkait dengan pemasaran telur ayam buras Kelompok Ternak Hidayah Alam dan perusahaan yang memberikan bantuan permodalan kepada peternak-peternak
(38)
38 Kelompok Hidayah Alam. Wawancara dilakukan dengan metode wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dalam kuesioner, dimulai dengan kuesioner yang ditujukan kepada peternak, lembaga pemasaran telur ayam buras dan perusahaan mitra. Kuesioner peternak terdiri dari tahapan pertanyaan mengenai identitas karakteristik peternak responden, komponen penerimaan atau produksi telur usaha ternak, komponen biaya, kepemilikan alat-alat peternakan, usaha lain di luar usaha ternak dan pola produksi telur atau siklus bertelur tahun 2011. Pertanyaan juga dilengkapi dengan informasi pemasaran telur ayam buras dan aktivitas kemitraan dari peternak.
Wawancara yang dilakukan oleh lembaga pemasaran telur ayam buras meliputi identitas usaha penjualan telur, profil pola pembiayaan usaha, kegiatan pembelian dan kegiatan penjualan telur ayam buras untuk mengetahui pengsa pasar dan pasar potensial telur ayam buras. Wawncara terhadap perusahaan mitra terdiri dari pertanyaan mengenai kondisi perusahaan mitra, pelaksanaan teknis kemitraan dan pembiayaan atau pendanaan oleh perusahaan mitra kepada peternak.
2) Data Sekunder
Sumber data sekunder ini diperoleh melalui pihak Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) unit Gunung Putri yang salah satu wilayah cakupannya adalah Kecamatan Klapa Nunggal dan data monografi desa yang diperoleh dari Kantor Desa Nambo. Selain itu, data sekunder yang digunakan juga diperoleh dari berbagai sumber literatur dan bahan bacaan seperti
text book, skripsi dan internet.
4.4.2. Instrumentasi Penelitian
Dalam mengumpulkan data dan informasi , alat ukur atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner ini disusun menjadi tiga bagian kuesioner, yang terdiri dari kuesioner yang ditujukan untuk peternak Kelompok Hidayah Alam, kuesioner yang ditujukan untuk lembaga pemasar telur ayam buras dan kuesioner untuk perusahaan mitra yang memberikan permodalan.
(1)
Lampiran 18.
Dokumentasi Penelitian Usaha Ternak Ayam Buras Petelur Kelompok Hidayah Alam Desa Nambo Kecamatan Klapa
Nunggal Bogor Tahun 2011
(2)
(3)
(4)
(5)
RINGKASAN
TIA ANIS DHAKHIYAH. Pengembangan Skala Usaha Ternak Ayam Buras Petelur (Studi Kasus : Kelompok Ternak Hidayah Alam Kecamatan Klapa Nunggal
Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan DWI RACHMINA).
Sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengembangkan subsektor peternakan didominasi dengan budidaya ayam ras dan ayam buras. Jumlah populasi ayam Indonesia sebagian besar dikontribusi oleh Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Barat yang berkontribusi sebesar 11,11 persen untuk ayam buras dan 45,97 persen untuk ayam ras. Masih rendahnya populasi ternak ayam buras dibandingkan dengan produksi ayam ras, salah satunya disebabkan oleh pengusahaan ternak ayam buras yang sebagian besar diusahakan oleh rumahtangga peternak yang memiliki skala usaha sangat kecil, rata-rata kurang dari lima ekor setiap peternak dan pengelolaan organisasi yang masih bersifat subsisten. Umumnya, budidaya ini berada secara terpencar-pencar di wilayah pedesaan. Persentase jumlah rumah tangga pemelihara ternak yang bercorak subsisten terhadap seluruh jumlah rumah tangga peternakan di Jawa Barat pada tahun 2008 mencapai 85,35 persen yang didominasi oleh lebih dari 50 persen peternak ayam buras. Produksi yang rendah inilah menyebabkan suplai yang masih terbatas dan harga daging dan telur ayam buras lebih mahal, sedangkan permintaan pasar masih sangat besar. Oleh karena itu, menjadi penting pengembangan usaha ternak ayam buras untuk dilakukan.
Salah satu pengembangan usaha ternak ayam buras yang dilakukan secara intensif dan mulai mengarah kepada kemitraan berupa permodalan input bibit ayam buras petelur dan pelatihan manajemen pemeliharaan yaitu Kelompok Ternak Hidayah Alam yang mengembangkan usaha ternak ayam buras petelur di Desa Nambo Kecamatan Klapa Nunggal, Bogor. Perbedaan keputusan bermitra dan variasi jumlah populasi ayam buras dalam kelompok tersebut mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha ternak ayam buras petelur. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan skala pengusahaan ternak dan kemitraan terhadap pendapatan, efisiensi dan keuntungan investasi usaha ternak serta mengidentifikasi alternatif pengembangan usaha ternak. Penelitian usaha ternak tersebut dilaksanakan di Desa Nambo, Pasar Cileungsi, PT. Indocement Tbk. dan PT. Holcim Tbk. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Desember 2011 hingga Januari 2012. Responden penelitian adalah peternak yang mengembangkan usaha ternak ayam buras petelur yang tergabung dalam Kelompok Hidayah Alam sebanyak enam orang, pihak CSR PT. Indocement Tunggal Prakarsa (PT. ITP) sebanyak dua orang dan seorang Community Relations PT. Holcim Indonesia (PT. HI).
Responden peternak dibedakan menjadi tiga kelompok menurut skala pengusahaan jumlah ternak dan struktur modal dari luar usaha ternak melalui kemitraan, yaitu peternak bermitra skala besar, peternak bermitra skala kecil dan peternak tidak bermitra. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan peternak, lembaga pemasaran telur ayam buras dan pihak perusahaan pengembang program CSR. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menjelaskan deskripsi dan perbandingan proses produksi, sementara analisis kuantitatif diperoleh dengan menganalisis data input dan output serta biaya dan penerimaan usaha ternak melalui tiga ukuran utama, yaitu pendapatan usaha ternak, efisiensi usaha ternak dan tingkat keuntungan investasi usaha ternak. Ukuran tingkat keuntungan investasi usaha ternak menjadi data pendukung dalam melihat tingkat imbalan (return) terhadap modal yang diinvestasikan sebagai tolak ukur alternatif pengembangan skala usaha ternak dan manajemen pemeliharaan usaha ternak.
(6)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum pengembangan usaha ternak ayam buras petelur Kelompok Hidayah Alam melalui kemitraan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik pada skala pengusahaan besar dibandingkan dengan skala pengusahaan kecil dan usaha ternak yang tidak melalui kemitraan. Usaha ternak yang bermitra menghasilkan pendapatan dan efisiensi secara tunai lebih baik daripada usaha ternak yang tidak bermitra. Usaha ternak dengan skala pengusahaan besar menghasilkan pendapatan dan efisiensi secara total lebih baik daripada usaha ternak dengan skala pengusahaan kecil. Usaha ternak yang bermitra dengan skala pengusahaan besar lebih layak dikembangkan. Pengembangan skala pengusahaan ternak besar ayam buras petelur Kelompok Hidayah Alam secara tunai dapat meningkatkan kontribusi pendapatan tunai usaha ternak terhadap pendapatan tunai keluarga sebesar 77 persen per ekor per tahun dan secara total meningkatkan kontribusi pendapatan bersih usaha ternak per ekor per tahun hingga 76,76 persen per ekor per tahun lebih baik dibandingkan dengan usaha ternak dengan skala pengusahaan kecil. Pengembangan kemitraan usaha ternak ayam buras petelur secara tunai dan secara total dapat memperbaiki efisiensi usaha ternak masing-masing hingga 117,6 persen dan 122,5 persen per ekor per tahun lebih besar daripada peningkatan efisiensi usaha ternak yang tidak bermitra. Pengusahaan ternak dengan pengembangan skala usaha besar dapat memberikan tingkat imbalan atas modal total positif sebesar 7,83 persen lebih besar daripada biaya modal peternak 7,37 persen per ekor per tahun serta meningkatkan pendapatan atas satu jam kerja yang dicurahkan peternak ke dalam usaha ternak sebesar Rp 13.717,92 per ekor per tahun daripada pengusahaan ternak skala kecil.
Alternatif pengembangan yang direkomendasikan yaitu pengembangan skala usaha ternak ayam buras petelur dengan minimal skala pengusahaan ternak yaitu 778 ekor per tahun dengan mengikuti upaya manajemen pemeliharaan melalui pengembangan kemitraan, antara lain tatalaksana perkandangan, bibit ayam buras yang dibudidayakan dan pengendalian penyakit ternak ayam buras. Pertimbangan lain yang diperhatikan dalam pengembangan skala usaha ternak ayam buras petelur juga dengan menerapkan manajemen seleksi bibit dengan produktivitas telur yang baik melalui penggunaan tambahan tenaga kerja luar keluarga dan pencarian pasar sasaran baru untuk mengatasi permintaan telur ayam buras pada kondisi menurun, karena pangsa pasar yang dipenuhi Kelompok Hidayah Alam saat ini melalui agen penjual jamu mencapai 67-100 persen.