17 melalui ukuran penerimaan atas total biaya yang dikeluarkan lebih baik pada
peternak yang memiliki skala usaha besar dibandingkan dengan peternak berskala kecil. Kedua penelitian tersebut yang menggunakan pengambilan contoh secara
purposive sampling rata-rata menyimpulkan bahwa semakin besar skala usaha yaitu semakin besar jumlah kepemilikan ayam, maka semakin besar pendapatan
bersih dan semakin besar penerimaan yang dimiliki petani atas total biaya yang dikeluarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang penting dalam
mempengaruhi pengembangan atau meningkatkan pendapatan dan kelayakan usaha ternak tersebut adalah skala usaha, baik dari pemeliharaan ayam maupun
luas kandang pemeliharaannya. Menurut Gunawan dalam Hasbianto dan Suryana 2008 menyatakan bahwa skala pemeliharaan ayam buras yang menguntungkan
adalah lebih dari 50 ekor setiap peternak. Pengembangan produksi dengan skala pemeliharaan besar tersebut diusahakan dengan meningkatkan luas kandang
ternak melalui penyediaan modal dalam pembuatan kandang bagi peternak. Hal tersebut merupakan salah satu alternatif pengembangan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan pertumbuhan hasil produksi ayam buras.
2.4. Pengaruh Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ternak Ayam
Buras Karakteristik usaha ternak ayam buras memiliki perbedaan dengan usaha
ternak ayam ras. Pola usahatani ayam buras masih bersifat tradisional dan belum diusahakan secara komersial. Padahal ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai
sumber pendapatan keluarga cash income, sebagai tabungan dan sebagai sumber dalam membantu penyediaan pangan hewani bergizi bagi keluarga petani di
pedesaan Agustian dan Sehabudin 2001. Oleh karena itu, dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak ayam buras, pola pengembangannya dapat
diusahakan seperti halnya pengembangan ternak ayam ras. Pola kerjasama kemitraan seperti pola Perusahaan Inti Rakyat PIR pada peternakan ayam ras
dapat ditempuh oleh peternak ayam buras dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam penanganan pemasaran hasil ternak, penyediaan sarana produksi
peternakan dan melakukan pembinaan terhadap peternak.
18 Dalam upaya pengembangan ternak ayam buras masih belum terlihat
secara nyata adanya kegiatan pola kerjasama antara peternak di satu sisi dengan pihak lainnya dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan secara
seimbang. Sedangkan pola kerjasama pada usaha ternak ayam ras telah terjalin antar peternak sebagai “plasma” dengan Poultry Shop sebagai “inti” Taryoto et al
dalam Agustian dan Sehabudin 2001. Struktur ongkos peternakan ayam buras yang dikaji dalam penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras lebih
ditujukan untuk menghasilkan pendapatan tunai cash income karena hanya sebagian kecil porsi telur ayam buras yang ditetaskan digenerasikan menjadi
ternak lagi. Sebagian besar adalah dijual untuk mendapatkan pendapatan tunai tersebut.
Selama ini, petani lemah dalam menentukan harga produksi karena sulit mendapatkan akses informasi pasar. Petani harus melakukan konsolidasi yang
bersifat horizontal dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berusahatani. Maka, pihak swasta dapat memberikan penyuluhan pendidikan dan
pelatihan yang sifatnya berkelanjutan. Keterkaitan dan kerjasama kelembagaan kelompok tani dengan pihak swasta tersebut identik dengan konsolidasi vertikal.
Priyono, Nufus dan Dessy 2004 mengungkapkan bahwa strategi kemitraan usaha yang tepat untuk mendorong pengembangan agribisnis di pedesaan adalah
melalui konsolidasi vertikal. Usahatani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu usaha agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta
satu unit industri pertanian agroindustri. Hal ini dikarenakan peternak tidak mempunyai kemampuan finansial
untuk membeli input dan akses mendapatkan informasi dan akibatnya, permintaan pasar yang tinggi tidak mendapatkan respon dari petani. Penelitian ini
menyebutkan bahwa kebijakan yang dapat disarankan adalah membangun organisasi komunikasi yang dapat menggerakkan subsistem agribisnis bahwa
model organisasi yang dibangun tersebut harus mampu: 1
Memadu kegiatan input dan output terintegrasi; 2
Bersifat agribisnis terintegrasi secara horizontal dan vertikal; dan
19 3
Memiliki azas kebersamaan dengan kriteria zero cost pada tingkat peternak dan atau biaya pokok pada tingkat lembaga input dan keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan. Kriteria zero cost ini merupakan salah satu prinsip yang dikembangkan
dalam sistem kemitraan saat ini, dimana antara subsistem agribisnis suatu komoditi tersebut memiliki nilai biaya dan keuntungan yang sama besarnya pada
setiap lini. Beberapa manfaat penting dari adanya pola kemitraan yang dapat diperoleh yaitu adanya pihak perusahaan yang berniat untuk bermitra akan
menyediakan modal kepada peternak dalam memperluas skala usaha ternak dan membuka lapangan kerja baru. Manfaat lainnya adalah harga penjualan ayam
stabil karena dijamin perusahaan, manfaat ini tergantung dari kondisi harga jual ayam, jika harga jual ayam cenderung tetap maka peternak dapat merasakan
manfaatnya namun jika harga jual mengalami perubahan maka peternak tidak bisa komplain karena sudah terikat kontrak.
Persentase terbesar yang ditunjukkan penelitian tersebut mengenai manfaat kemitraan adalah jaminan pemasarannya, dimana dalam pelaksanaan kemitraan
pengusaha yang bermitra bertanggungjawab untuk memasarkan hasil produksi, maka dari itu peternak tidak khawatir dengan tidak lakunya hasil panen Hal ini
dapat membantu peternak dalam menghindari risiko tidak terjualnya hasil panen dan sekaligus mendapatkan harga produk yang wajar. Pelaksanaan kemitraan
memperkecil risiko karena masing-masing kedua belah pihak menanggung risiko yang berbeda. Sementara, kelemahan-kelemahan dalam mendukung usaha
kemitraan meliputi terjadinya over supply apabila panen ayam terjadi bersamaan bagi perusahaan inti. Sementara penetapan harga jual ayam oleh perusahaan
menyebabkan peternak tidak mendapatkan keuntungan maksimal, peternak tidak bisa memasarkan ayamnya kepada pihak lain, karena terikat perjanjian dengan
pihak inti. Pembagian komposisi insentif antara perusahaan inti dengan peternak
plasma dapat dideskripsikan dalam penelitian Andini 2005. Ada komposisi insentif inti yang diperoleh dari penjualan pakan, DOC, obat-obatan, vaksin dan
vitamin serta dari selisih harga jual ayam di pasar dengan harga kesepakatan. Dalam hal pemasokan DOC, inti memperoleh insentif berupa keuntungan dari
20 selisih harga beli DOC dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada
plasmanya. Insentif dari pakan diperoleh inti berupa keuntungan dari selisih harga beli pakan dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada plasma.
Sedangkan dari komposisi insentif untuk obat-obatan, vaksin, vitamin dan bahan kimia lainnya, inti memperoleh potongan harga antara 15-25 persen karena
melakukan pembelian dalam jumlah besar. Kesuma 2006 juga mendukung sistem kemitraan inti plasma ini dengan
membandingkan usaha ternak yang dijalankan antara melalui Sistem Perusahaan Inti Rakyat PIR dengan Sistem Kerjasama Operasional Agribisnis KOA.
Kesejahteraan peternak yang melakukan kemitraan PIR tersebut lebih baik dibandingkan dengan peternak yang tergabung dalam pola KOA. Selain itu, jika
pemerintah ingin melestarikan usaha rakyat maka perlu kebijakan pengembangan kemitraan Ilham, Sejati dan Yusdja 2003. Peternakan rakyat membutuhkan suatu
konsep kemitraan dengan pihak inti perusahaan swasta skala besar dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Kemitraan ini harus berlangsung
secara terbuka dan memudahkan pengawasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis