Seni Budaya 89
A. Pendekatan Saintiik
Merupakan teknik pembelajaran untuk dapat merangsang siswa lebih aktif mencari dan meneliti sendiri permasalahan kritik seni rupa. Khususnya dalam aktivitas mengevaluasi
karya seni rupa. Ini berarti, aspek pengetahuan dan ketrampilan siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta, akan tetapi adalah hasil penemuannya sendiri. Untuk itu guru seni budaya
perlu merancang siklus pembelajaran dari mengamati karya seni rupa, menanyakan apa makna karya itu, mencoba meru-muskan alternatif penafsiran makna seni, menalar; menganalisis
faktor intrinsik kesenirupaan dan faktor ekstrinsik pesan moral seni dan menyajikan hasil penilaian itu secara lisan praktik dan tertulis penulisan kritik seni rupa.
Dalam pendekatan saintiik asumsi dibangun berdasarkan data dan fakta, artinya setiap kesimpulan akhir yang diperoleh dalam pemecahan suatu masalah, misalnya, menafsirkan
makna suatu lukisan, semuanya dapat dipertanggungjawabkan dari hasil deskripsi dan analisis gejala rupa lukisan itu sendiri.
B. Pembelajaran Inkuiri
Dalam konteks pendidikan seni rupa, metode pembelajaran ini, berarti proses pembelajaran yang memungkinkan para siswa menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat
menerapkan cara memperoleh pengetahuan kesenirupaan. Suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk
selalu mencari jawab atas masalah seni rupa yang dihadapi secara ilmiah. Sasaran akhir metode ini ialah, lahirnya satu generasi yang mampu mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan seni rupa, teknik artistik seni rupa, dan nilai-nilai seni rupa yang berkualitas sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan pada umumnya.
Proses pembelajaran ini memerlukan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, pendidik yang profesional, sistem evaluasi yang berkelanjutan, komprehensif, objektif, dan suasana sekolah
yang demokratis. Jika hal itu terpenuhi, maka para siswa akan sampai pada tingkat “kesenangan menemukan” dari proses belajar yang ditempuhnya. Contoh sederhana misalnya:
Merumuskan masalah Apresiasi Seni. “Bagaimanakah proses penemuan makna seni dalam kegiatan apresiasi seni?” Mengamati lukisan; “Apa sajakah yang diamati ketika berapresiasi
seni lukis? Menganalisis dan menyajikan hasil apresiasi seni dalam bentuk tulisan, gambar, bagan, tabel, dan lain-lain. Menyajikan hasil kegiatan apresiasi seni di kelas mendiskusikannya
dengan teman sekelas yang dipandu oleh guru seni budaya.
BAB
2
Metode Pembelajaran
90 Buku Guru kelas XI SMAMASMKMAK
Discovery Learning adalah metode pembelajaran seni rupa murni, desain, dan kria yang berbasis penemuan, yakni pembelajaran pengetahuan baru yang dilakukan dan ditemukan sendiri
oleh siswa, artinya bukan pengetahuan teoritik yang diberikan oleh guru dalam bentuk inal untuk dihafal. Dalam hal ini siswa, atas upaya sendiri menemukan konsep-konsep dan prinsip
misalnya hakikat seni rupa murni, seni lukis, desain, kria dan lainnya melalui pengamatan, penggolongan, pendugaan, penjelasan, dan kesimpulannya sendiri.
C. Pembelajaran Berbasis Proyek
Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru kesenirupaan berdasarkan pengalaman siswa mengunjungi pameran seni
rupa, museum seni rupa, sanggar seni rupa, asosiasi seni rupa, dan lain-lain. Dengan cara kerja kolaboratif antar siswa dengan siswa, atau antar siswa dengan guru, dengan perupa yang
berpameran, seksi edukasi museum, tokoh perupa, pedesain, pekria, dan lain sebagainya. Dalam pembelajaran proyek yang mementingkan kerjasama ini, harus ada permasalahan kesenirupaan
sebagai tantangan untuk diinvestigasi. Siswa mendesain proses pemecahan masalah itu sebagai solusi yang disepakati bersama oleh siswa dan guru seni budaya.
D. Bahasa Sebagai Penghela
Guru seni budaya atau seni rupa, di samping tugas utamanya melaksanakan pembe-lajaran kesenirupaan, juga adalah menjadi pelaksana pembelajaran bahasa Indonesia. Artinya, ketika
melaksanakan proses pembelajaran guru menjadi pengarah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, misalnya dalam kegiatan diskusi, diharapkan para siswa mampu menggunakan
bahasa formal dalam konteks berdiskusi. Termasuk tata krama berbahasa dan etiket berdiskusi yang baik. Dalam konteks ini, guru seni budaya bertindak sebagai moderator yang arif dan
sekaligus menjadi “teladan” penggunaan bahasa Indo-nesia yang jelas, logis, dan sistematis.