94 Buku Guru kelas XI SMAMASMKMAK
penata tari koreografer, penata musik pengiring tari pebusana penata busana, perias penata rias dan lain-lain]. Dalam bidang sinematograi, “pencipta” dapat berarti, penaskah,
pelakon, peperan pemeran utama, aktor, artis, pemeran pembantu-pendukung, pekamera kameramen, pesunting penyunting, editor, pelaku editing penata laku sutradara, pemusik
ilustrasi musik pengiring ilm pecahaya penata cahaya, pesuara penata suara, peanimasi animator, dan lain-lain]. Di bidang ilmu pengetahuan seni, “pencipta” dapat berarti [peteliti
seni peneliti seni, pesejarah seni sejarahwan seni, peilmu seni ilmuwan seni, sosiolog seni, psikolog seni, antropolog seni, pekritik seni kritikus seni, dan lain-lain]
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa luas profesi seni yang harus mendapatkan perlindungan hak cipta, dan masing-masing profesi ini secara ideal memerlukan jaminan
perlindungan hukum atas kreativitas dan hasil ciptaannya yang unik dalam undang-undang keunikan ini dihargai sebagai hak eksklusif sebagai seniman. Yang dimaksud dengan hak
eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak yang lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam
pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan,
mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepa-da publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Cipataan kepada publik melalui sarana apapun. Di sini tidak kita lihat
faktor “pemalsuan” karya seni yang menjadi masalah yang merisaukan di kalangan perupa, terutama pemalsuan karya seni lukis di tingkat nasional maupun internasional.
Jadi Undang-Undang Hak Cipta memerlukan pengembangan untuk dapat menampung semua keluhan tentang “pemalsuan” itu. Di samping perlu menampung kecenderungan seni
dalam era posmodernisme yang telah menjungkirbalikkan semua kriteria seni modernisme. Sudahkah karya-karya posmodernisme mendapat perlindungan hukum? Atau sudahkah
para seniman conseptual art mendapatkan perlindungan hak cipta? Yang terakhir ini kiranya perlu dipertimbangkan, mengingat dalam undang-undang disebut-kan “Perlindungan
Hak Cipta hanya diberikan pada perwujudan suatu Ciptaan dan bukan pada ide, prosedur, metode pelaksanaan atau konsep-konsep matematis semacamnya. Perlindungan hak cipta
tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya seni harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan
kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Dengan demikian berarti conseptual art yang lebih mementingkan makna konsep sebagai seni
dibandingkan dengan karya jadinya, jelas menjadi persoalan yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Dalam hal ini mendengar dan memper-timbangkan nilai kreativitas atau “ciptaan” seni
konseptual merupakan tindakan yang arif. Agar kehadiran UUHC benar-benar memberikan perlindungan pada seniman, dan bukan sebaliknya.
2. Seni dan Budaya Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang
secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari kekayaan intelektual yang dapat dan perlu
dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu
Seni Budaya 95
sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para Penciptanya. Dengan demikian kekayaan seni dan budaya
yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Artinya warisan seni budaya Indonesia adalah aset
bangsa yang wajib dilindungi keberadaannya.
Undang-Undang Hak Cipta berlaku bagi semua ciptaan warga negara, penduduk, dan badan hukum Indonesia. Semua Ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk
Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang diumumkan untuk pertama kali di Indonesia. Semua penciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan
badan hukum Indonesia, dengan ketentuan: i Negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan hak cipta dengan Negara Republik Indonesia; atau ii Negaranya
dan Negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta. Jadi jelas bahwa UUHC tidak hanya berlaku
dalam tataran nasional, melainkan berlaku juga dalam tataran internasional.
3. Eksploitasi Seni Budaya Tradisional
Pengarang, seniman dan pencipta dari masyarakat tradisional atau pedesaan jarang menerima imbalan inansial yang memadai untuk kekayaan intelektual berupa Pengetahuan Tradisional
yang dieksploitasi. Sebagai contoh misalnya, seorang Achim Sibeth antropolog memasuki wilayah masyarakat desa di Tanah Batak dan kemudian menulis buku Living with Ancestors
he Batak People of Island of Sumatra. Sebuah buku Antropologi kebudayaan yang lengkap, termasuk Art and Craft, Batak Script and Literature, Black-smith’s work, Bronze Work, Works
of goldsmiths and silversmiths, Textil, Ulos, Dance and Music, Domestic Architecture Toba and Karo Batak, dan dengan bebas memotret karya-karya itu untuk ilustrasi penerbitan buku 239
halaman itu. Fenomena pemberlakuan Hak Cipta pada kasus ini paling tidak menyajikan dua masalah: 1 Achim Sibeth, memperoleh untung dari penjualan buku, sementara mas-yarakat
desa tidak mendapatkan imbalan inansial apapun. 2 Karena buku itu mempunyai nilai budaya atau spiritual untuk seluruh masyarakat Batak, maka pemanfaatan komersial seperti itu
dapat menying-gung perasaan masyarakat. Misalnya cerita adat yang kerahasiaannya dijaga ketat dan bersifat sangat penting dan dipelihara secara turun temurun oleh masyarakat Batak
secara terbuka diungkapkan ke-pada dunia. Adakah perlindungan hukum bagi kasus seperti ini? Dalam hal ini Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah,
dan benda budaya nasional lainnya. Negara meme-gang Hak Cipta atas folkor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad,
lagu, kerajinan tangan, koreograi, tarian, kaligrai, lukisan, patung, topeng, wayang, ornamen, arsitektur, batik, reog, tari, drama, dan banyak lagi karya seni lainnya. Namun pelaksanaan
Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Dikenal seperti ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dan kita berharap Peraturan itu akan segera “diciptakan” dengan memperhatikan
kepen-tingan masyarakat banyak yang menjadi subjek dan objek penerapan Hak Cipta.