d. Penciptaan ketentuan yang efektif untuk mencegah konflik pemanfaatan sumberdaya kelautan, baik oleh masyarakat maupun antar institusi negara.
Agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi
antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan Kusumastanto 2010. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan
kelautan nasional yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah
pendekatan kelembagaan institutional arrangement yang lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif.
Gambar 3 Model alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan Kusumastanto 2010
Tingkatan Politis
Eksekutif Presiden
Gubernur Bupati Walikota
Legislatif DPR
DPRD
Tingkatan OrganisasiImplementasi
Lembaga Pemerintah Kementeriannon Kementerian
Non-Kementerian Menkoekuin, Bappenas, Mabes TNI, BPPT,
Lemhanas, Meneg LH Kementerian Teknis :
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Perindustrian, Perdagangan,
Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan Budaya, Pertahanan, Keuangan, Hukum dan
HAM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perhubungan, Koperasi dan UKM, Dalam
Negeri, Luar Negeri, Pendidikan Nasional
Masyarakat Stakeholders Nelayan
Petani Ikan Pengusaha
Hasil Akhir Outcome
Evaluasi
BPK,BPKP
Alur Kebijakan Pola Interaksi
Implikasi
Secara skematis model alur kebijakan pembangunan kelautan dijelaskan pada Gambar 3 di atas. Dalam konteks itu, maka kebijakan kelautan dan perikanan
pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif dan legislatif yang mempunyai
keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen
kelembagaan peraturan perundangan pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan kelautan.
2.7. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan terdiri atas dua rezim yang dikenal oleh masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah atau yang
dikenal dengan sentralistis Government Centralized ManagementGCM dan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis mesyarakat Community Based
ManagementCBM Nikijuluw 2002. Pengelolaan sentralistik adalah rezim pengelolaan dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang
dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan. Implikasi
dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial
masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir, dan lain-lain.
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya Nikijuluw 2002. Dengan model ini,
masyarakat akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam
membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan
sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari Satria et.al 2002. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih efektif
dan efisien, karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat
lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya Satria et.al 2002.
2.8. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Menurut Fisher et al. 2000, ada 9 alat bantu dalam penelitian untuk menganalisis konflik, yaitu:
1 Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan ini
terdiri atas : 1 Pra konflik, ini merupakan periode dimana terhadap suatu
ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik.
2 Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. 3 Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan danatau
kekerasan terjadi paling hebat. 4 Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak
mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata.
5 Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan
mengarah ke labih normal di antara kedua pihak. 2 Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan
kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar atau obyektif, tetapi untuk
memahami pandangan orang-orang yang terlibat. 3 Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya.
4 Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks SPK, merupakan suatu analisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masing-masing
pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktor-faktor
tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan