kapal yang diatur dalam UU ini belum efektif dalam memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan akibat pencemaran dari kebocoran minyak
dari kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal nelayan di kawasan ini.
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Pengembangan usaha budidaya laut harus mengacu pada tata ruang, sehingga akan menciptakan keterpaduan dengan sektor lain, keselarasan dan
keseimbangan dalam pembangunan berkelanjutan. Namun penataan ruang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu belum dimanfaatkan secara
optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang, yaitu 1 Rencana tata ruang belum
merupakan satu kesatuan dalam produk rencana pembangunan daerah lainnya seperti Renstra, RTRW, dan lain-lain: 2 Rencana tata ruang terlambat
dibanding dengan perkembangan pembangunan; 3 Rencana tata ruang belum diperkuat oleh aturan perundangandan lemahnya penegakkan hukum dalam
menangani konflik kepentingan antara stakeholders; 4 Kualitas sumberdaya manusia perencan di daerah yang masih perlu peningkatan, sehingga belum
bisa memahami dan memanfaatkan rencana tata ruang secara optimal; dan 5 Rendahnya kesadaran publik akan nilai strategis sumberdaya kelautan,
khususnya sumberdaya hayati Soebagio 2004.
d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Merupakan undang-undang yang mengamanatkan untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai jaminan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Namun masalah limbah rumah tangga penempatan jambanwc dan pembuangan sampah masih menjadi kendala dalam menjaga kelestarian
lingkungan.
e. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Obyek Retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah
dapat dipangut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut
pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Pajak daerah belum mampu mendorong terciptanya infrastruktur yang memadai,
seperti keterbatasan air tawar, keterbatasan sumber energilistrik, serta sarana dan prasarana lainnya.
f. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 2 tertuang delapan asas pengelolaan perikanan, yaitu asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Larangan melakukan penangkapan ikan danatau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat danatau cara, danatau bangunan yang dapat merugikan danatau membahayakan kelestarian
sumberdaya ikan dan atau lingkungannya kadang-kadang masih dijumpai.
g. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Permasalahan yang masih dihadapi terkait UU No. 32 tahun 2004 adalah belum optimalnya pengaturan administratif dan tata ruang daerah Kabupaten
Administrasi Kepulauan seribu, sehingga menimbulkan berbagai konflik pemanfaatan ruang.
h. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir HP3 untuk kurun waktu 20 tahun bertujuan mendorong
orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumberdaya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.
Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh Pemerintah Daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha dan dinilai akan
memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi dan sekaligus perlindungan kawasan pesisir. HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir
dan menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan
di perairan. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 diharapkan menjadi payung hukum bagi para stakeholders untuk mengelola wilayah pesisir secara
terpadu dan berkelanjutan. Hadirnya UU tersebut dinilai banyak kalangan