Definisi dan Perkembangan Sea Farming

populasi ikan di suatu areal yang rendah, 2 sport fishing dan rekreasi, dan 3 meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Sehingga berdasarkan aktivitas ini sea farming berkembang menjadi 5 kegiatan, mulai dari pembenihan, pembesaran ikan sampai mencapai ukuran tertentu yang siap dilepas ke laut, penandaan, pelepasan ikan ke laut, dan penangkapan kembali Effendi 2006. Berdasarkan arealnya, kegiatan sea farming dapat dilakukan di daratan land based mariculture dan laut. Berdasarkan arealnya di laut, pelepasan ikan dibagi menjadi dua macam, yaitu untuk farsea 200 mil dari garis pantai dan coastal. Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan, dan daerah pelepasan. Selanjutnya di laut sendiri kegiatan tersebut dapat dilakukan pada enclosure, pen culture, cage culture dan sea ranching dimana satu dan lainnya saling terkait sangat erat. Keberhasilan kegiatan itu sangat ditentukan oleh 5 faktor utama yang perlu diperhatikan, yakni 1 sumberdaya alam, 2 teknologi, 3 kemasyarakatan, 4 kelembagaan, dan 5 hukum Effendi 2006. Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dan teknologi yang sudah maju memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Oleh karena itu, pengembangan kegiatan sea farming di Indonesia seharusnya ditujukan pada kegiatan untuk meningkatkan pendapatan nelayan di suatu daerah yang kegiatan utamanya adalah menangkap ikan dan secara simultan memastikan kelestarian stok ikan tersebut Effendi, 2006.

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI

Berdasarkan studi literatur terhadap hasil penelitian tentang kondisi sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu diketahui bahwa saat ini kondisi sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu sudah mengalami penurunan. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan sumberdaya ikan tersebut, termasuk sistem kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sistem kelembagaan yang ada existing dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Perairan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dengan terlebih dahulu mengkaji karakteristik fisik sumberdaya pesisir terhadap implikasi pengelolaan dan pemanfaatan. Kerangka pendekatan studi menggunakan kerangka analisis Institutional Analysis and Development IAD yang merupakan kerangka kerja yang dapat membantu menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan. IAD ini dapat digunakan juga untuk menguji aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. IAD menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi desain kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu ekosistem, aturankelembagaan yang bersifat formal hukum, kebijakan, peraturan dan informal norma sosial dan budaya. Aturanregulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu. Oleh karena itu perlu diidentifikasi regulasi-regulasi apa saja yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Dengan adanya informasi tersebut diharapkan dapat diketahui bagaimana aturan main rule of the game pengelolaan sumberdaya ikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kelembagaan informal merupakan kelembagaan yang mengacu pada organisasi abstrak yang diakui dan diterima oleh masyarakat namun tidak mempunyai justifikasi hukum, seperti lembaga-lembaga adat. Aturan informal meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subyektif individu tentang dunia tempat hidup mereka. Selanjutnya dalam menentukan format kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah arena aksi para pelakuaktor dan stakeholders. Aktor- aktor yang terlibat sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Oleh sebab itu identifikasi masing-masing aktor yang terlibat dan perannya menjadi salah satu kunci keberlanjutan pembangunan sumberdaya ikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Faktor selanjutnya adalah pola interaksi atau identifikasi konflik yang terjadi antar aktor pengelola sumberdaya ikan. Kemudian dilakukan analisis manfaat ekonomi dan biaya transaksi yang dibatasi pada aspek administrasi dan biaya yang berkaitan dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi. Selanjutnya dilakukan evaluasi performa kelembagaan dan evaluasi keberlanjutan program dalam rangka kesinambungan pengelolaan program sea farming. Secara sistematis kerangka pendekatan studi ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Kerangka pendekatan studi. • Atribut fisik dari sistem • Aturankelembagaan • Atribut masyarakat norma sosial dan budaya Arena aksi : • Pelaku actor • Stakeholders Pola interaksi identifikasi konflik • Manfaat ekonomi • Biaya transaksi Evaluasi performa kelembagaan serta keberlanjutan program