Karakteristik Fisik Common Pool Resources CPRs

kesempatan orang lain dari memanfaatkan sumberdaya tersebut subtractable Ostrom 1990. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumberdaya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus manfaat keuntungan yang bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah sukar untuk mencari contoh-contoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya perikanan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan Dharmawan dan Daryanto 2002. Lebih jauh Berkes et al. 1989 menyatakan bahwa CPRs mengandung dua karakteristik penting yakni a excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial potential users nampaknya tidak dimungkinkan; dan b subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. Permasalahan yang timbul sehubungan dengan CPRs menurut Ostrom 1990 terdiri atas : 1 Appropriation problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya pengambilan sesuatu yang dapat diekstrak dari suatu ekosistem sumberdaya resource unit. Terkait dengan pemanfaatan non excludable dan subtractable, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut : a. Appropriation externalities : kegiatan pemanfaatan oleh seseorang dapat mengurangi manfaat yang bisa diambil orang lain. b. Assigment problem : ketidakmerataan alokasi manfaat CPRs yang dapat memicu konflik. c. Technological externalities : penggunaan suatu teknologi oleh seseorang user CPRs akan meningkatkan biaya penggunaan teknologi lain yang dipakai user lain. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah mengatur user dan mengalokasikan resource unit yang subtractable secara adil. 2 Provision problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya untuk memelihara kondisi resource system agar dapat terus memproduksi resource unit. Terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi produksi CPRs, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut : a. Demand side : pemanfaatan CPRs melebihi kapasitas produksi akan menurunkan kemampuan produktivitas CPRs memenuhi kebutuhan pengguna. b. Supply side : setiap individu memiliki insentif untuk menjadi free rider, ingin mendapat manfaat dari CPRs tetapi tidak mau turut memelihara. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah memaksa atau mengarahkan user agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaanpenjagaan CPRs.

2.6. Aransemen Kelembagaan dalam Tata Kelola Pembangunan Kelautan

Saat ini arah kebijakan pembangunan kelautan masih berjalan sendiri- sendiri. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan kebijakan pembangunan kelautan. Dampaknya, penanganan suatu kasus dalam pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral Kusumastanto 2010. Nikhols et al. 2003 dalam Kusumastanto 2010 menyarankan agar menciptakan aransemen kelembagaan institutional arrangement yang menunjang mekanisme kerja kebijakan kelautan yang disebutnya sebagai ocean governance OG. Aspek yang tercakup dalam OG adalah : a. Pengalokasian masyarakat dan antar institusi negara dalam penggunaan hak, kepemilikan dan mengurusi sumberdaya kelautan. b. Pengaturan regulation hak pemanfaatan, kepemilikan dan mengurusi sumberdaya kelautan. c. Pengembangan suatu lembagainstitusi yang memiliki otoritas untuk memonitoring dan menegakkan hukum dalam pengelolaan sumberdaya kelautan. d. Penciptaan ketentuan yang efektif untuk mencegah konflik pemanfaatan sumberdaya kelautan, baik oleh masyarakat maupun antar institusi negara. Agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan Kusumastanto 2010. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan nasional yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan institutional arrangement yang lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif. Gambar 3 Model alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan Kusumastanto 2010 Tingkatan Politis Eksekutif  Presiden  Gubernur  Bupati Walikota Legislatif  DPR  DPRD Tingkatan OrganisasiImplementasi Lembaga Pemerintah Kementeriannon Kementerian Non-Kementerian Menkoekuin, Bappenas, Mabes TNI, BPPT, Lemhanas, Meneg LH Kementerian Teknis : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Perindustrian, Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan Budaya, Pertahanan, Keuangan, Hukum dan HAM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perhubungan, Koperasi dan UKM, Dalam Negeri, Luar Negeri, Pendidikan Nasional Masyarakat Stakeholders  Nelayan  Petani Ikan  Pengusaha Hasil Akhir Outcome Evaluasi BPK,BPKP Alur Kebijakan Pola Interaksi Implikasi