Gambar 4 Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, Gardner, and Walker 1999, diacu dalam
Kusumastanto 2003.
IAD secara teoritik merupakan suatu kerangka kerja yang dapat membantu untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan.
Diferensiasi analisis kelembagaan berasal dari bentuk analisis organisasi yang terfokus pada aturan. Aturan yang bersifat formal hukum, kebijakan,
peraturan dan informal norma sosial Kusumastanto 2003. Oleh karena itu, analisis kelembagaan mencoba untuk menguji
permasalahan yang dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan bagaimana aturan itu digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
IAD menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi desain kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu ekosistem dan problem yang bersifat alami,
budaya individu organisasi, sehingga mampu menyelesaikan problem yang dihadapi. Selain itu, IAD juga dapat melakukan penyusunan kelembagaan yang
bersifat individu maupun organisasi Kusumastanto 2003.
• Atribut fisik dari sistem • Aturankelembagaan
• Atribut masyarakatbudaya Arena aksi :
• Pelaku actor • Situasi yang diputuskan
decision situation Pola interaksi
antar jaringan kerja pemerintah
• Performa kelembagaan • Hasil kebijakan
Evaluasi • Biaya informasi
• Biaya koordinasi • Biaya strategi
Performa kelembagaan secara keseluruhan
• Efisiensi • Keseimbangan fiskal
• Redistribusi keadilan • Akuntabilitas
• Adaptabilitas Evaluasi Dampak
• Menilai hasil dari kebijakan
Kelebihan IAD adalah 1 tidak memiliki bias normatif dalam menggambarkan aransemen kelembagaan yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan; 2 IAD juga tidak mengandalkan keragaman kriteria evaluasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
aransemen kelembagaan yang berbeda, seperti pasar, hierarki yang sentralistik, hierarki yang desentralistik, dan aransemen yang polisentrik Kusumastanto
2003. Kerangka analisis IAD dapat digunakan untuk mengevaluasi performa
kelembagaan secara menyeluruh dari berbagai perspektif yang berbeda. Salah satu cara untuk melihat performa kelembagaan adalah efisiensi yang definisinya
dibatasi pada aspek administrasi dan biaya yang berkaitan dengan pengelolaan administrasi program. Performa kelembagaan juga dapat dilihat dari aspek
keadilan equity. Dua hal yang berkaitan dengan konsep keadilan adalah : 1 Prinsip keseimbangan fiskal yang bermanfaat untuk menunjang masalah
beban keuangan 2 Redistribusi keadilan yang berkaitan dengan struktur kegiatan suatu
program. Yang terpenting untuk diingat adalah bahwa efisiensi program tidak membutuhkan program yang adil. Jadi efisiensi menentukan
bagaimana sumberdaya dimanfaatkan agar memberikan manfaat benefit yang besar, dan keadilan menentukan bagaimana mengalokasikan
sumberdaya yang berbeda. Performa kelembagaan juga dapat dievaluasi dari aspek akuntabilitas
accountability. Akuntabilitas berperan penting dalam aransemen kelembagaan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang terlibat agar melakukan
monitoring terhadap perilaku behavior satu sama lain. Performa kelembagaan dapat dilihat dari aspek adaptabilitas adaptability. Jika aransemen
kelembagaan merespon perubahan politik, ekonomi, budaya, dan kondisi lingkungan, maka performa kelembagaan mungkin akan mengalami problem
Kusumastanto 2003.
2.13. Definisi dan Perkembangan Sea Farming
Sea farming berasal dari bahasa Inggris yang terdiri atas kata sea berarti laut dan farming yang berarti berusaha tani, sehingga secara harfiah berarti
berusaha tani di laut dalam rangka memproduksi ikan. Laut dijadikan ladang atau lahan untuk memproduksi ikan dengan menerapkan prinsip usaha tani. Sea
farming dapat didefinisikan pula sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenil atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan atau hasil tangkapan
Effendi 2006. Sea farming sudah dimulai sejak abad ke-17 di Jepang, Norwegia, dan
Amerika Serikat. Di Norwegia dan Amerika Serikat kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini
terus berlangsung sampai dengan tahun 1967 di Norwegia. Jepang sebagai negara yang dianggap paling berhasil menerapkan sea farming mendefinisikan sea
farming sebagai kegiatan memproduksi benih seed production, kemudian melepaskan benih tersebut ke laut releasing atau restocking dan selanjutnya
menangkap kembali ikan tersebut recapturing atau harvesting untuk dijual sebagai produk perikanan laut. Perairan laut untuk restocking ini dianggap sebagai
kawasan sea ranching, bisa berupa teluk atau gosong laut dangkal terlindung dengan luas ratusan hingga ribuan hektar Effendi 2006.
Secara umum FAO 2004, diacu dalam Adrianto 2007 mendefinisikan kegiatan pemacuan stok ikan sebagai kegiatan sistematik berbasis budidaya
culture-based fisheries melalui pelepasan benih ikan dengan ukuran tertentu ke perairan alamiah atau buatan dengan tujuan merestorasi cadangan sumberdaya
ikan di perairan tersebut dan pada jangka panjang mendukung kegiatan perikanan tangkap yang berkelanjutan sustainable capture fisheries. Kegiatan pemacuan
stok ikan menjadi wacana yang menarik mengingat gejala umum di dunia perikanan bahwa stok sumberdaya ikan di perairan alamiah baik laut maupun
tawar relatif mulai terkuras akibat tingginya tekanan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan.
Kegiatan sea farming awalnya dikategorikan menjadi tiga kegiatan berdasarkan tujuan, yakni : 1 membangun suatu populasi atau meningkatkan
populasi ikan di suatu areal yang rendah, 2 sport fishing dan rekreasi, dan 3 meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Sehingga berdasarkan aktivitas ini sea
farming berkembang menjadi 5 kegiatan, mulai dari pembenihan, pembesaran ikan sampai mencapai ukuran tertentu yang siap dilepas ke laut, penandaan,
pelepasan ikan ke laut, dan penangkapan kembali Effendi 2006. Berdasarkan arealnya, kegiatan sea farming dapat dilakukan di daratan
land based mariculture dan laut. Berdasarkan arealnya di laut, pelepasan ikan dibagi menjadi dua macam, yaitu untuk farsea 200 mil dari garis pantai dan
coastal. Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan, dan daerah pelepasan. Selanjutnya di laut sendiri kegiatan tersebut dapat
dilakukan pada enclosure, pen culture, cage culture dan sea ranching dimana satu dan lainnya saling terkait sangat erat. Keberhasilan kegiatan itu sangat ditentukan
oleh 5 faktor utama yang perlu diperhatikan, yakni 1 sumberdaya alam, 2 teknologi, 3 kemasyarakatan, 4 kelembagaan, dan 5 hukum Effendi 2006.
Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dan teknologi yang sudah maju memiliki tujuan
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Oleh karena itu, pengembangan kegiatan sea farming di Indonesia seharusnya ditujukan pada
kegiatan untuk meningkatkan pendapatan nelayan di suatu daerah yang kegiatan utamanya adalah menangkap ikan dan secara simultan memastikan kelestarian
stok ikan tersebut Effendi, 2006.