Jenis-Jenis Riba Terbebas dari Unsur Riba

42 perbuatan haram, karena seringkali riba fadhl ini dapat menggiring kepada riba nasi’ah. Bahkan dikhawatirkan dapat menimbulkan bibit-bibit berkem- bangnya budaya riba dalam masyarakat, karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorong suatu saat untuk menjualnya dengan pembayaran tertunda dengan bunganya. b Riba Nasi’ah tempo Riba Nasi’ah adalah adanya tambahan atas penangguhan penyerahan jenis barang ribawi. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Bentuk riba ini diharamkan dengan berlandaskan kepada al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ ulama. 2 Riba ad-Duyun utang-piutang Yang termasuk dalam kategori riba utang-piutang ini yaitu, a Riba Qard Riba qard adalah adanya tambahan suatu manfaat atau kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang di awal akad. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank konvensional dengan sistem bunga. b Riba Jahiliyah Riba jahiliyah adalah adanya tambahan atas pokok yang dikenakan setiap kali si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba ini merupakan jenis riba yang dimaksud dalam surat Ali Imran [3] ayat 130, yaitu riba yang berlipat ganda ad’afan mudha’afah. 43

c. Riba dan Bunga Bank Usury and Interest

Riba pada masa kontemporer seperti sekarang menjelma dalam berbagai bentuk. Salah satu yang cukup lazim yaitu bunga bank. Walaupun banyak kalangan sempat berselisih pendapat mengenai apakah bunga bank termasuk riba, namun mayoritas ulama baik di dalam maupun luar negeri telah berkonsensus dan menyatakan bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan, entah hanya secuil ataupun berlipat ganda. Kalangan cendekiawan muslim yang melarang praktek bunga 47 , menganggap bahwa bunga bank memiliki kriteria yang sama dengan riba yaitu merupakan tambahan yang berikan atas pokok pinjaman. Seseorang yang meminjam uang di bank telah terhukum usahanya nanti harus untung, serta diwajibkan mengembalikan 47 Bagi kalangan yang melegalkan sistem bunga, setidaknya mereka mengemukakan sembilan pendapat. Namun kesemua alasan tersebut kurang tepat dan dapat disanggah, diantaranya yaitu pertama, boleh mengambil bunga karena darurat. Namun kondisi darurat tidak terpenuhi karena menyimpan uang tidak harus di bank. Selain itu, sekarang lembaga keuangan syariah telah tersebar hampir di seluruh pelosok bumi. Ditambah, sesuatu yang bersifat darurat seharusnya memiliki batasan waktu sampai kapan keadaan darurat tersebut berlangsung. Kedua, pada tingkat wajar tidak mengapa bunga dibebankan. Namun, tingkat bunga yang wajar sangat tergantung waktu, tempat, jangaka waktu, serta jenis dan skala usaha. Ketiga, opportunity lost yang ditanggung pemilik dana disebabkan penggunaan uang oleh pihak lain. Namun di dunia ini tidak ada yang bisa memastikan bahwa seseorang akan berhasil atau tidak. Keempat, bunga untuk konsumtif dilarang, tetapi bunga untuk produktif dibolehkan. Namun produksi pada dasarnya adalah konsumsi barang‐barang modal dan konsumsi itu sebenarnya memproduksi zat lain, seperti energi dan kerja. Kelima, uang sebagai komoditi, karena itu ada harganya, dan harga uang itu adalah bunga Boehm‐Bawerk. Namun uang tidak dapat disamakan dengan komoditi karena tidak memenuhi sifat barang dan jasa, sehingga tidak dapat dijual atau disewakan. Uang hanya merupakan alat tukar. Keenam, bunga sebagai penyeimbang laju inflasi. Namun tingkat inflasi dapat mencapai nol ataupun negatif deflasi sehingga alasan ini tidak relevan. Ketujuh, bunga sebagai upah menunggu abstinence concept, Senior, Irving Fisher. Namun motif menitipkan uang selain karena keuntungan juga karena keamanan. Kedelapan, nilai uang sekarang lebih besar daripada nilai uang di masa depan Time Value of Money. Namun nilai uang dapat turun, tetap, atau naik. Kesembilan, di zaman Nabi tidak ada bank, dan bank bukan Syakhsiyyah Mukallafah yang terkena kewajiban menjalankan hukum syariah. Namun hukum syariah meliputi semua sendi kehidupan manusia. Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, h. 16‐17. 44 utang plus beban bunganya. Bunga bank tersebut mengharuskan kepastian pengembalian pre-determined revenue sejak awal transaksi, padahal untung-rugi suatu usaha merupakan ketidakpastian. Lantas, jika ia tidak mampu membayar tepat waktu maka bunga itu akan terus berbunga, sesuai prinsipnya yaitu double countable. Islam secara tegas melarang mengambil harta saudaranya secara bathil QS an-Nisa [4]: 29. Jadi, baik bunga pinjaman maupun bunga simpanan, bunga rendah maupun yang berlipat ganda, kesemuanya tetap haram. Ini diperkuat dengan hadis Nabi tentang laknat bagi orang yang memakan riba, pemberi riba, juru tulis dan saksi- saksinya. 48 Di Indonesia, pengharaman riba secara resmi baru diputuskan sekitar 6 tahun lalu dengan dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang Bunga InterestFa’idah . Hal ini cukup jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia, negeri yang juga memiliki penduduk mayoritas Muslim tersebut telah lama menggunakan sistem finansial non- ribawi . Meskipun otoritas perbankan Malaysia baru menerapkan sistem finansial Islami ini di tahun 1983 ditandai dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad BIMB, sejatinya pemberlakuan sistem non-ribawi telah diperkenalkan Malaysia sejak tahun 1969 melalui Lembaga Tabung Haji. 48 Lihat kembali hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah pada bagian sebelumnya. 45

d. Dampak Negatif Bunga

Dalam bukunya, Muhammad Syafi’i Antonio 49 menjelaskan bahwa salah satu yang merupakan dampak ekonomi dari riba adalah efek inflatoir yang disebabkan adanya bunga sebagai biaya uang. Tingkat suku bunga tersebut menjadi elemen penentuan harga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Para ekonom banyak yang mengatakan bahwa sistem bunga merupakan salah satu jeratan lingkaran setan, karena utang yang menggunakan sistem bunga akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan utang. Hal ini disebabkan oleh biaya bunga yang tinggi, serta rendahnya tingkat pendapatan peminjam, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan double countable . Contoh paling nyata adalah utang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah dan tempo yang panjang, pada akhirnya negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah utang yang terus-menerus. Negara maju menjadi korban debt addicted, sementara negara-negara miskin dan berkembang tidak pernah bisa terbebas dari jeratan utang yang terus menerus menggelembung. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia. Dalam aspek sosial, riba merupakan pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Para pemungut riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan memaksa 49 Muhammad Syafi‘i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press – Tazkia Cendekia, 2001.