Sistem Keuangan Islam Islamic Financial System
24
Sistem ekonomi Islam atau lebih tepatnya sistem keuangan Islami tidak melakukan pemisahan antara aspek positif dan aspek normatif.
25
Pemisahan aspek positif dan normatif mengandung implikasi bahwa fakta ekonomi merupakan sesuatu
yang independen terhadap norma. Kaum materialis dan kapitalis-liberalis dengan dogma sekulernya cenderung menanggalkan nilai-nilai moral dengan mengedepankan
ilmu sebagai pengganti agama dalam penegakan hukum,
26
memaksakan mekanisme pasar sebebas-bebasnya dengan mengandalkan suatu invisible hand dalam pencarian
keseimbangan supply dan demand yang nyatanya cara ini justru menjadikan manusia tamak hingga harta hanya terkonsentrasi dan terakumulasi pada sebagian kecil
masyarakat, serta paham bebas nilai yang dianutnya yang mengabaikan pertimbangan
25
Aspek positif membahas mengenai realitas hubungan dengan ekonomi atau membahas sesuatu
yang senyatanya terjadi, sementara aspek normatif membahas mengenai apa yang seharusnya
terjadi atau apa yang seharusnya dilakukan. ‘Maximizing pleasure and minimizing pain’ adalah
contoh pernyataan positif. Sedangkan bahwa manusia seharusnya tidak mengejar kepuasan maksimum
agar tidak menjadi pribadi yang tamak, serakah, dan kikir, serta ikhlas menolong saudaranya
yang kesusahan adalah contoh pernyataan normatif.
26
Jika kita tilik kembali sejarahnya, sekularisme mulai menggeliat pada pertengahan millenium
kedua sebagai hasil ‘perang’ supremasi antara ilmuwan dan gereja, dimana ketika itu posisi gereja
sedemikian kuat namun terkadang menyimpang dari otoritasnya semula. Kala itu dominasi gereja
yang otoriter, kaku, dan tidak bersahabat dengan perubahan zaman sering bertentangan dengan
ilmu pengetahuan, sehingga pada akhirnya mendorong masyarakat Eropa melakukan gerakan perubahan
yaitu salah satunya dengan Reformasi Gereja sebagai bagian dari apa yang mereka sebut dengan
Renaissance Kelahiran KembaliMasa Pencerahan. Dari sinilah kemudian kemajuan ilmu dan teknologi
tidak diimbangi dengan nilai spiritualitas yang baik, yang secara langsung maupun tidak langsung
telah menenggelamkan nilai keagamaan dalam memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Lantas
paham ini menjadi suatu budaya yang mengakar dominasi peradaban konvensional hingga sekarang.
Kegemilangan ilmu pengetahuan dan budaya Barat yang seringkali ‘ditelan’ mentah‐ mentah
tanpa menyaringnya kembali yaitu dengan mengesampingkan hal‐hal yang dianggap buruk dan
tidak sesuai syariah memperparah kemunduran moral umat Islam. Dampak yang paling nyata adalah
runtuhnya Kekhalifahan Ottoman di Turki yang kini menjadi negara sekuler. Pada gilirannya kesemua
ini turut memudarkan umat Islam dalam mengamalkan nilai‐nilai Islami yang seharusnya menjadi
pedoman dalam segala aktifitas kehidupan.
25
moral.
27
Pemahaman ini terus berkembang di masa modern diperkuat dengan menggunakan perangkat matematika ekonominya, dengan kalkulus diferensial serta
persamaan simultannya yang telah membawa ilmu ekonomi semakin jauh dari matriks norma dan budaya.
Dalam hal ini, ekonomi Islam merupakan suatu bagian yang tidak lepas dari ajaran Islam itu sendiri. Sehingga ekonomi Islam itu merupakan ekonomi positif,
ataupun normatif, atau bahkan kedua-duanya, karena sejatinya ekonomi Islam berupaya mengintegrasikan aspek normatif dan aspek positif tersebut. Ekonomi islam
sebagai salah satu bagian muamalat tidak mengabaikan aspek postulat, konsep, serta diskursus yang menjadi fundamental dalam pembentukan sebuah aktifitas kehidupan
multidimensi ketuhanan dan keduniaan yang mendalam. Menurut Saiful Azhar Rosly
, pencapaian tujuan ekonomi haruslah dilakukan dengan menggunakan pendekatan integral antara fakta rasional dan empiris atau disebut sebagai tabi’
principles , namun juga dengan tidak mengabaikan prinsip etika dan norma keislaman
shariah principles.
28
Jadi, pada dasarnya sistem ekonomi Islam tidak boleh
27
Dalam ekonomi konvensional yang menjadi fokus tujuan ekonomi dasar adalah kepuasan individu
yang maksimal, sementara definisinya sendiri terbatas pada besar‐kecilnya materi yang dimiliki
atau dikonsumsi. Lantas paradigma materialistik ini cenderung mendorong pelaku pasar menjadi
egoistik, individualistik, dan hedonistik, serta mengesampingkan nilai filantropi seperti kebersamaan,
kedermawanan, saling membantu dan menolong.
28
Agar sederhana, pembelajaran atas segala bisnis Islam dapat dibagi menjadi dua prinsip, yaitu
Shari dan tabi. Prinsip tabi berhubungan dengan duniawi dimana orang menggunakan pertimbangan
dan pengalaman untuk menjalankan bisnis mereka sehari‐hari, sementara prinsip Shari
yaitu perintah Allah dilakukan dengan menyampaikan aturan Ilahi bahwa manusia harus memperhatikan
sesama. Jika prinsip Shari’ menguraikan sifat adil dari pasar keuangan Islam, pada dimensi
lain dari kegiatan pasar tidak perlu bergantung pada bimbingan ilahi secara eksplisit. Inilah yang
merupakan aspek tabi’ dari kegiatan keuangan. Ini mendefinisikan efisiensi. Tabi berarti alami. Ini
adalah cara hukum alam. Nilai‐nilai tabi adalah nilai‐nilai universal. Setelah ditemukan, nilai‐nilai
26
mengabaikan prinsip ilmu alamiah tabi’ principles. Prinsip hukum ini haruslah disandingkan dengan etika dan norma syariah agar tidak hanya memperoleh
pencapaian ekonomi semata, tetapi lebih dari itu, kesejahteraan dunia dan akhirat falah. Bekerja melawan ilmu alamiah ini hanya akan menyebabkan bencana dan
kekacauan. Bisnis akan runtuh ketika prinsip tabi’ diabaikan.