Subkategori Menegaskan Kategori Mengancam Muka Sepihak

acara televisi tersebut setelah itu mereka akan pergi belajar, mereka hanya menunda belajarnya sebentar. Jadi, maksud penutur sama dengan subkategori tuturan tersebut yakni penutur memiliki maksud menunda.

4.3.2 Kategori Mengancam Muka Sepihak

Terkourafi 2008 dalam Rahardi 2012 memandang ketidaksantunan bilaman mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka face threaten , dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka dari mitra tutur.

4.3.2.1 Subkategori Menegaskan

Cuplikan tuturan 7 B3 MT : “Langsung tidur aja, gak usah malem2.” P : “Cah enom kok yahene turu, Bu.” MT : “Ohh. Nek cah enom koyo ngno to?” Cuplikan tuturan 10 B6 P : menginjak kaki kakaknya “Walah... kepidak...” MT : “Mah dipidak” P : “Salahe mundur-mundur.” Cuplikan di atas merupakan wujud linguistik dari kategori mengancam muka sepihak yang termasuk ke dalam subkategori menegaskan. Kesamaan dari kedua tuturan tersebut adalah penutur tidak peduli bahwa tuturan atau tindakannya telah mengancam muka mitra tutur. Penutur pada cuplikan tuturan 7 tidak mengindahkan suruhan dari mitra tutur, penutur justru menyanggah suruhan mitra tutur dengan cara sinis. Pada tuturan B6, penutur berbicara dengan spontan, karena ia tidak sengaja menginjak kaki mitra tutur, tetapi tuturannya seolah-olah mengejek mitra tutur. Kedua penutur tersebut sama-sama berbicara dengan orang yang lebih tua, yakni penutur pada tuturan B3 berbicara dengan ibunya dan penutur B6 berbicara dengan kakaknya. Penanda linguis terdiri dari intonasi, nada tutur, kata fatis, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur B3 dan B6 memiliki intonasi yang sama dalam tuturannya. Mereka menggunakan intonasi berita. Penutur B3 memberi informasi kepada mitra tutur bahwa anak muda tidak pantas untuk tidur pada saat mitra tutur menyuruh penutur untuk tidur, sekitar pukul 21.00. sedangkan intonasi berita pada tuturan B6 adalah penutur memberi tahu mitra tutur bahwa ia menginjak mitra tutur, padahal tanpa diberi tahu oleh penutur, mitra tutup pun sudah tahu. Selain memiliki kesamaan dalam intonasi, kedua penutur juga memiliki kesamaan dalam hal nada tutur mereka. Kedua penutur di atas menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Walaupun menggunakan nada yang sedang kedua tuturan tersebut menjadi tidak santun karena penutur B3 tidak menuruti suruhan mitra tutur, justru ia menyanggah suruhan mitra tutur dengan maksud membela diri, sedangkan tuturan B6 memiliki maksud mengejek mitra tutur. Penutur B3 menggunakan kata fatis kok dalam tuturannya. Kata fatis yang digunakan oleh penutur B3 memiliki maksud menekankan alasan dan pengingkaran, seperti dijelaskan oleh Kridalaksana 1986: 113 –116. Tekanan keras yang dilakukan penutur B3 terletak pada kata sapaan Bu . Penutur menekankan pada kata tersebut karena ia menegaskan sedang berbicara dengan ibunya. Lain halnya dengan tuturan B6, penutur lebih memilih menggunakan tekanan lunak pada frasa kepidak untuk menandakan bahwa tuturannya menjadi tidak santun. Persamaan lain dari kedua tuturan di atas adalah pilihan kata yang penutur gunakan. Hampir seluruh tuturan yang terkumpul menggunakan pilihan kata bahasa nonstandar, yakni bahasa daerah bahasa Jawa. Hal tersebut juga dilakukan oleh penutur B3 dan B6. Penanda pragmatik terdiri dari aspek penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal Leech, 1983. Aspek yang wajib ada dalam sebuah percakapan adalah aspek penutur dan lawan tutur. Aspek ini membicarakan mengenai hal yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur, seperti usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. Pada tuturan B3, penutur merupakan laki-laki berusia 16 tahun. Penutur masih duduk di bangku sekolah. Mitra tutur merupakan perempuan, ia adalah ibu dari penutur. Mitra tutur memiliki pekerjaan sebagai petani selain sebagai ibu rumah tangga. Berdasar apa yang telah dijelaskan oleh penutur, tingkat keakraban penutur dan mitra tutur hanya biasa saja. Hal ini dikarenakan penutur lebih dekat dengan ayahnya yang bekerja sebagai nelayan. Alasan penutur mengatakan demikian adalah karena penutur lebih dikenalkan dengan dunia luar oleh ayahnya, misalnya penutur sering diajak ayahnya melaut dan melakukan pekerjaan lainnya. Penutur merasa senang bila ayahnya mengajaknya untuk membantu pekerjaan ayahnya. Aspek yang kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Tuturan B3 memiliki konteks bahwa pada saat itu penutur dan mitra tutur sedang berada di ruang keluarga, sebelumnya mereka sedang menonton televisi. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, mitra tutur beranjak dari ruang keluarga menuju kamar tidurnya sembari menyuruh penutur untuk tidur. Penutur belum ingin tidur dan ia justru menanggapi suruhan tersebut dengan tuturan yang justru membuat mitra tutur kesal. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 10 adalah penutur dan mitra tutur sedang bercanda. Mitra tutur yang merupakan kakak penutur mengganggu penutur karena ia gemas dengan penutur yang memiliki badan gemuk. Penutur menginjak kaki mitra tutur dengan tidak sengaja, dan penutur mengucapkan tuturannya dengan spontan, hal ini yang membuat mitra tutur kesal dan penutur justru berbalik menyalahkan mitra tutur. Kedua penutur di atas memiliki tujuan masing-masing dalam penyampaian tuturannya. Tujuan penutur B3 adalah untuk melanjutkan menonton televisi dan belum ingin tidur. Sedangkan penutur B6 tidak memiliki tujuan yang pasti dalam tuturannya, ia hanya menegaskan bahwa ia telah menginjak kaki mitra tutur. Waktu dan tempat terjadinya percakapan juga menjadi salah satu aspek yang selalu ada dalam komunikasi. Tuturan B3 terjadi di ruang keluarga sekitar pukul 21.00. sedangkan tuturan B6 terjadi di ruang keluarga pada siang hari. Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech 1983 menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal kedua penutur tersebut termasuk ke dalam tindak representatif. Tindak representatif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur suatu kasus atau bukan, hal ini bisa berupa fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Kedua penutur di atas sama- sama menegaskan tuturan mereka. Penutur B3 menegaskan bahwa ia belum pantas untuk tidur pada waktu yang telah dijelaskan di atas. Penutur B6 menegaskan bahwa ia telah menginjak kaki mitra tutur. Selain menjelaskan mengenai tindak verbal penutur, aspek ini juga menjelaskan mengenai tindak perlokusi dari mitra tutur. Tindak perlokusi inilah yang menentukan santun tidaknya penutur. Tindak perlokusi mitra tutur dalam cuplikan tuturan 7 adalah mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan yang sedikit kesal, tetapi penutur tidak menghiraukan mitra tutur dan tetap melanjutkan menonton televisi. Mitra tutur pada cuplikan tuturan 10 lebih memilih untuk membentak penutur sebagai tindak perlokusinya. Bentakan mitra tutur justru menjadi menjadi tameng bagi penutur, dan ia berbalik menyalahkan mitra tutur. Tindakan kedua penutur yang tidak menghiraukan kekesalan mitra tutur menjadikan tuturan penutur termasuk ke dalam kategori mengancam muka sepihak. Masuknya tuturan B3 dan B6 ke dalam subkategori menegaskan karena kedua tuturan tersebut memiliki tindak verbal representatif yakni menegaskan suatu kasus yang diyakini oleh penutur. Penutur B3 menjelaskan maksud dirinya mengutarakan tuturan demikian adalah untuk membela diri dari suruhan mitra tutur. Maksud yang berbeda diutarakan oleh penutur B6, ia menggunakan maksud mengejek karena ia telah diganggu oleh mitra tutur dan dengan tidak sengaja ia menginjak mitra tutur, sehingga tindakan tersebut menjadi senjata untuk berbalik mengejek mitra tutur.

4.3.2.2 Subkategori Mengejek