Subkategori Menegaskan Kategori Melanggar Norma

pragmatik juga digunakan sebagai acuan untuk menentukan subkategori dari setiap tuturan.Berikut ini adalah contoh tuturannya.

4.3.1 Kategori Melanggar Norma

Locher and Watts 2008 dalam Rahardi 2012, lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif negatively marked behavior, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat tertentu.

4.3.1.1 Subkategori Menegaskan

Cuplikan tuturan 1 A1 MT : “Tadi beli es ya?” P : “Enggak” MT : “Makanya jangan beli es sembarangan Jadi sakit to?” Cuplikan tuturan 2 A2 MT : ”Mau kemana dek?” P : ”Arep ngaji” MT : “Kui...mbasan ono gawean malah alasan ngaji, nek raono mung dolan wae.” P : “Yo ben... wong arep ngaji kok ra oleh.” MT : “Dia gag nyapu dibiarin. Malah aku yang jadinya nyapu.” mengadu kepada pamannya. Cuplikan tuturan di atas merupakan contoh tuturan yang termasuk dalam kategori melanggar norma dengan subkategori menegaskan. Kedua tuturan di atas memiliki beberapa kesamaan. Penutur tidak mengindahkan teguran atau suruhan mitra tutur, hal ini ditunjukkan penutur dengan cara ketus dalam penyampaian tuturannya. Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua, sehingga membuat tuturannya tidak santun. Yang membedakan wujud pragmatik dari kedua tuturan tersebut adalah ada tuturan A1, penutur berusaha berbohong kepada mitra tutur. Sedangkan pada penutur A2, penutur melimpahkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan penutur menjadi dilakukan mitra tutur. Dilihat dari penanda linguistik, tuturan A1 menggunakan pilihan kata bahasa populer, sedangkan tuturan A2 menggunakan pilihan kata bahasa nonstandar. Diksi bahasa populer yang digunakan pada tuturan A1 adalah penggunaan bahasa Indonesia tidak baku, dan kata-kata ini telah dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan pada tuturan A2, penutur lebih memilih bahasa nonstandar sebagai pilihan katanya. Bahasa nonstandar disini adalah bahasa yang memiliki unsur kedaerahan, yakni bahasa Jawa. Tuturan A1 dan A2 dituturkan dengan tekanan keras. Tekanan keras pada tuturan A1 dimaksudkan untuk menegaskan apa yang penutur yakini. Penutur A1 memberi tekanan kerasnya pada kata seru enggak . Sedangkan pada tuturan A2, penutur hanya memberi tekanan keras pada frasa Yo ben dari keseluruhan tuturannya yang tidak santun. Penutur A2 menekankan tuturannya dengan tujuan menyanggah dengan tegas pernyataan mitra tutur. Intonasi yang digunakan oleh penutur dalam tuturan A1 dan A2 berbeda. Tuturan A1 menggunakan intonasi seru. Kalimat seru adalah kalimat yang menyatakan perasaan hati, atau keheranan terhadap suatu hal. Kalimat seru ditandai dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi Keraf, 1991:208. Penutur A1 menggunakan intonasi seru dalam penyampaian tuturannya karena ia menjawab dengan tegas pertanyaan dari mitra tutur. Selain itu, penutur mencoba untuk menyakinkan mitra tutur dengan kebohongannya. Sedangkan, penutur A2 menggunakan intonasi berita dalam tuturannya. Kalimat berita deklaratif ditandai dengan pola intonasi datar- turun Muslich, 2009:115−117. Tuturan A2 berintonasi berita karena tuturan tersebut .memiliki tujuan untuk memberitahukan alasan penutur menghindar dari kewajibannya. Penutur A1 dan A2 sama-sama menggunakan nada sedang dalam menyampaikan tuturannya. Meskipun kedua tuturan tersebut memiliki nada sedang dalam penyampaiannya, kedua tuturan tersebut tetap dianggap tidak santun. Hal ini dikarenakan pada tuturan A1, penutur berbohong kepada mitra tutur sekaligus melanggar aturan yang telah disepakati. Tindakan yang serupa juga dilakukan oleh penutur A2, walaupun ia menggunakan nada sedang, tetapi penutur telah melanggar aturan yang telah disepakati, sehingga tuturannya dianggap tidak santun. Pembahasan penanda ketidaksantunan pragmatik akan dibahas dengan menggunakan aspek-aspek konteks menurut Leech 1983 dalam Wijana 1996:10 −13, yakni aspek penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma berdasar subkategori menegaskan mengambil contoh pada tuturan A1 dan A2. Pada tuturan A1, penutur merupakan perempuan berusia 12 tahun, sedangkan mitra tutur adalah laki-laki, ayah dari penutur. Hubungan mereka berdua adalah anak dan ayah. Penutur masih duduk di bangku sekolah, yakni SMP. Sedangkan mitra tutur, bekerja sebagai nelayan di pantai Congot. Penutur dengan tuturan A2 merupakan laki-laki berusia 12 tahun, sedangkan mitra tutur merupakan perempuan berusia 15 tahun, kakak dari penutur. Mereka berdua masih duduk di bangku sekolah, penutur menempuh pendidikannya di SMP dan mitra tutur menempuh pendidikannya di SMA. Tingkat keakraban mereka sangat erat, karena mereka merupakan adik kakak kandung. Aspek yang kedua adalah konteks tuturan yang berisi mengenai semua latar belakang pengetahuan back ground knowledge yang dipahami oleh penutur dan mitra tutur. Konteks tuturan A1 adalah penutur dan mitra tutur telah menyepakati sebuah aturan, yakni penutur tidak boleh membeli dan meminum es sembarangan, karena penutur mempunyai penyakit yang apabila minum es sembarangan, penyakit tersebut langsung kambuh. Penutur malanggar aturan tersebut dan berusaha menutupinya dengan kebohongan, tetapi mitra tutur tahu bahwa penutur telah melanggar aturan, hal ini terlihat dari penutur yang kambuh kembali penyakitnya. Sedangkan pada tuturan A2, penutur dan mitra tutur telah diberikan tanggung jawab masing-masing mengenai tugasnya dalam bersih-bersih rumah dan lingkungannya oleh peman mereka. Penutur dan mitra tutur tinggal di rumah pamannya. Penutur diberi tanggung jawab untuk mengurus kebersihan halaman rumah dan mitra tutur mengurus kebersihan di dalam rumah. Mitra tutur menyuruh penutur untuk menyapu halaman rumah karena sudah kotor, tetapi penutur tidak mau dan justru beralasan mengaji. Penutur sadar bahwa dirinya telah melanggar peraturan yang telah disepakati oleh bersama. Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech 1983 dalam Wijana 1996 adalah tujuan penutur. Tujuan penutur A1 berbicara demikian adalah untuk menutup-nutupi apa yang terjadi sebenarnya. Penutur berbohong kepada mitra tutur karena ia takut akan dimarahi mitra tutur bila tahu ia telah melanggar janjinya. Tujuan dari tuturan penutur A2 adalah menghindari pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya, yakni membersihkan halaman rumah. Penutur berbicara demikian karena dipojokkan oleh mitra tutur. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan A1 terjadi pada malam hari saat penutur akan tidur malam di rumah, tepatnya di kamar penutur. Sedangkan, tuturan A2 di halaman rumah, pada jam 4 sore saat penutur akan pergi mengaji. Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech 1983 menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur A1 dan A2 adalah tindak representatif. Tindak representatif pada penutur A1 adalah menegaskan apa yang diyakini oleh penutur. Penutur menegaskan bahwa ia tidak minum es sembarangan, hal ini dilakukan untuk meyakini mitra tutur. Sedangkan, tindak representatif penutur A2 hampir sama dengan tindakan penutur A1, yakni sama- sama melakukan penegasan, yang membedakan hanyalah kasusnya. Pada tuturan A2, secara tersirat penutur menegaskan bahwa mengaji lebih penting daripada membersihkan halaman. Tindak perlokusi mitra tutur dari tuturan A1 adalah menasihati penutur, karena mitra tutur sebenarnya mengetahui bahwa penutur telah berbohong dan telah minum es. Mitra tutur mengetahui keadaan tersebut terlihat dari kondisi penutur yang jatuh sakit karena penyakitnya kambuh. Mitra tutur pada tuturan A2 memilih tindak perlokusi berupa aduan. Mitra tutur mengadu kepada pamannya selaku pembuat peraturan. Berdasar aspek penanda pragmatik yang telah dikemukanan di atas, tuturan A1 dan A2 termasuk ke dalam subkategori menegaskan. Hal ini terlihat dari tindak verbal kedua penutur yang menggunakan tindak verbal representatif, dan mereka cenderung untuk menegaskan apa yang mereka yakini. Kedua penutur dalam subkategori ini memiliki maksud yang berbeda dalam penyampaian tuturannya. Maksud penutur dalam tuturan A1 adalah untuk membohongi mitra tutur. Ia melakukan kebohongan tersebut karena takut ketahuan bahwa penutur telah melanggar aturannya. Sedangkan, penutur A2 memiliki maksud membela diri. Penutur merasa dirinya tidak bersalah, karena mengaji memang penting bagi penutur. Alasan lain sehingga penutur mempunyai maksud membela diri adalah ia dipojokkan oleh mitra tutur.

4.3.1.2 Subkategori Menunda