9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka pikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang
dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori
pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur segmental, unsur suprasegmental, dan maksud dan makna. Kerangka pikir berisi tentang
acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori terdahulu yang relevan yang akan digunakan untuk menjawab rumusan
masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Kajian pragmatik tentang ketidaksantunan dalam berbahasa merupakan fenomena pragmatik baru dan belum banyak dikaji secara mendalam oleh peneliti
bahasa. Maka itu, penelitian pragmatik yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa ini belum banyak ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang
ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti 2013, Ceacilia Petra Gading May
Widyawari 2013, Elizabeth Rita Yuliastuti 2013, dan Olivia Melissa Puspitarini 2013.
Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti 2013 berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 20122013
. Jenis penilitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa
pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian
ini, peneliti menemukan bahwa
Pertama,
wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud
ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan.
Kedua,
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa 1 nada, 2 tekanan, 3 intonasi, dan 4 pilihan kata diksi. Penanda ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi 1 penutur dan mitra tutur, 2 situasi dan suasana, 3 tindak
verbal, dan 4 tindak perlokusi.
Ketiga
, makna penanda ketidaksantunan dari masing-masing
jenis ketidaksantunan
meliputi 1
makna penanda
ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, 2 makna penanda
ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, 3 makna
penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, 4 makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur
membuat mitra tutur benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan 5 makna penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman
atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan bagi mitra tutur.
Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari 2013 dengan judul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009
—
2011 Universitas Sanata Dharma
. Jenis penelitian dari penelitian
ini adalah
penelitian deskriptif
kualitatif. Penelitian
ini mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan
2009 —2011 di Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini,
pertama
metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap,
kedua
metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti 2013.
Pertama
, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka,
sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur.
Kedua,
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur.
Ketiga,
makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: 1 melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan
dapat melukai hati, 2 memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, 3 kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, 4
menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5 mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti 2013 berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 20122013
. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode
simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa
pertama,
wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut.
Kedua,
penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi.
Ketiga
, makna ketidaksantunan 1 melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, 2 memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, 3 kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, 4 mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan 5
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini 2013 yang mengangkat judul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program
Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009
—
2011
. Penelitian yang menjadikan dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh ketiga peneliti di atas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini
juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumny, yakni
pertama,
wujud
ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut.
Kedua,
penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda
pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana.
Ketiga,
makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi 1 melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra
tutur, 2 memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3 kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra
tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4 menghilangkan muka
yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5 mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra
tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok. Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji mengenai
ketidaksantunan berbahasa, khususnya ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan. Keempat penelitian tersebut menemukan tiga hal penting mengenai
masalah ketidaksantunan, yakni wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam ranah pendidikan. Dengan mengacu
pada keempat penelitian di atas, peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai ketidaksantunan berbahasa, khususnya dalam ranah keluarga nelayan.
2.2 Pragmatik