Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Kakak :“Nulis kayak gitu aja lama” sambil melihat tulisan adiknya “Pantesan lama, ngebatik gitu ko’ nulisnya.” Adik : “Biarin.” Berdasarkan contoh tersebut, dapat dilihat seorang kakak yang ‘melecehkan muka’ adiknya. Dari percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang kakak bermaksud untuk mengejek tulisan adiknya. Hal tersebut terlihat dari tuturan kakak “pantesan lama, ngebatik gitu ko’ nulisnya”, kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan yang tidak santun, walaupun disampaikan kepada adiknya sendiri dan penyampaian tuturan tersebut disampaikan dengan nada guyonan, tetapi tuturan tersebut seharusnya tidak disampaikan karena akan menyinggung perasaan mitra tutur. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya.

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield 2008:3 dalam Rahardi 2012, ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘ The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ gratuitous, dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka. Kemudian ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono gratuitous , hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan purposeful . Berhubungan dengan dimensi-dimensi tersebut, tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Bousfield 2008. Latar belakang situasi: Sore hari bapak dan ibu duduk santai di beranda rumah. Tiba-tiba janda kembang menyapa mereka. Janda : “Permisi, Pak, Bu...”Sambil melanjutkan perjalanan. Bapak : Menggrutu kepada sang istri “Ayu-ayu ko’ janda yo, Bu. Eman-eman banget .” Ibu : “Ya sana, kawin meneh karo jandane kae” Berdasarkan contoh tersebut, dapat dilihat bahwa bapak menyampaikan tuturan secara ‘sembrono’, hingga tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan ‘ konflik ’. Hal tersebut terlihat dari tuturan bapak “ayu - ayu ko’ janda yo, Bu. Eman- eman banget”. Kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan yang tidak santun, walaupun disampaikan bukan dengan maksud yang negatif suka atau mempunyai rasa terhadap janda tersebut. Tuturan tersebut seharusnya tidak disampaikan, karena jelas disampaikan secara sembrono dan mungkin akan menimbulkan konflik. Kemungkinan timbulnya konflik telihat dalam tuturan yang dilontarkan oleh ibu “ya sana, kawin meneh karo jandane kae ”. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield 2008 ini lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mengancam muka yang dilakukan secara sembrono dan dapat memungkinkan terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper