kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan kesengsaraan. Bila penutur memiliki tindak verbal, mitra tutur memiliki tindak perlokusi. Tindak perlokusi
mitra tutur B1 adalah menanggapi tuturan dan tindakan penutur dengan ancaman, karena dirinya merasa telah diganggu oleh penutur, tetapi penutur
tidak peduli dengan ancaman mitra tutur, dan penutur pergi begitu saja dengan acuh. Sedangkan mitra tutur B9 memiliki tindak perlokusi yang sama yakni
menaggapi tuturan penutur. Mitra tutur menanggapi penutur dengan sanggahan karena ia merasa benar, tetapi penutur tetap saja mengejeknya dengan ejekan
yang sama. Penutur B1 mengungkapkan bahwa dirinya hanya bermaksud sekedar
menggoda mitra tutur, dan tidak memiliki maksud lain. Penutur B9 memiliki maksud mengejek karena ia menilai apa yang dikeluhkan mitra tutur tidak
sepenuhnya benar, dan penutur lebih memilih untuk mengejeknya ketimbang menanggapi mitra tutur dengan pernyataan.
4.3.2.3 Subkategori Menunda
Cuplikan tuturan 6 B2 MT
: “Tangi-tangi... Mengko bar tangi langsung asah-asah piring.”
P : “Mengko ah...” Melanjutkan tidurnya.
MT : “Wolhaa... Anak jaman saiki nek dikon ra tau mangkat.”
Berdasar hasil analisis, hanya terdapat 1 tuturan yang termasuk ke dalam kategori mengancam muka sepihak dengan subkategori menunda, yakni pada
tuturan B2. Dilihat dari segi wujud pragmatik tuturan ini dikatakan tidak santun karena penutur berbicara dengan orang yang lebih tua dan dengan menggunakan
cara yang ketus dalam penyampaian tuturannya. Selain itu, penutur yang menunda
suruhan mitra tutur justru melanjutkan tidutnya dan tidak peduli bahwa tindakannya membuat mitra tutur kesal.
Pembahasan mengenai penanda linguistik dapat dilihat dari unsur segmental dan suprasegmental, yakni diksi atau pilihan kata, gaya bahasa, kata fatis,
intonasi, tekanan, dan nada bicara penutur. Tuturan B6 memiliki intonasi seru, yakni dengan ditandai dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
Kalimat seru adalah kalimat yang mengungkapkan perasaan hati. Hal ini terlihat dari tuturan B2 yang menggambarkan perasaan hati penutur yang masih malas
untuk bangun. Penutur juga menggunakan kata fatis dalam tuturannya. Kata fatis yang penutur gunakan adalah kata fatis
ahh
, yang artinya menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Makna kata fatis tersebut tergambar dari penolakan
penutur dari suruhan mitra tutur. Nada yang digunakan penutur dalam menyampaikan tuturannya adalah nada sedang. Meskipun penutur menggunakan
nada sedang, tuturannya tetap menjadi tuturan tidak santun karena mitra tutur merasa tidak dihiraukan oleh penutur. Nada yang digunakan penutur adalah nada
sedang, tetapi penutur menekankan tuturannya dengan tekanan keras. Tekanan keras yang diberikan penutur karena ia menuturkan dengan sedikit tegas, yang
memiliki arti bahwa ia benar-benar belum ingin bangun. Pilihan kata bahasa nonstandar menjadi pilihan kata yang digunakan penutur. Faktor utama alasan
penutur memilih diksi ini adalah bahwa setiap hari ia berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan keluarganya.
Penanda ketidaksantunan pragmatik yang dipaparkan oleh Leech 1983 dalam Wijana 1996:10−13 meliputi aspek penutur dan mitra tutur, konteks
tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek yang pertama adalah aspek penutur dan
mawan tutur. Penutur B2 adalah laki-laki berusia 16 tahun, sedangkan lawan tuturnya adalah perempuan, yakni ibu dari penutur. Penutur bersekolah di salah
satu SMA di kabupaten Bantul. Ia merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Mitra tutur adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sebagai
petani. Suami mitra tutur atau ayah dari penutur berkerja sebagai nelayan, selain bekerja sebagai nelayan, ia mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani.
Hubungan antara penutur dan mitra tutur tidaklah sedekat penutur dengan ayahnya. Keadaan tersebut dikarenakan penutur lebih sering bersama dengan
ayahnya dalam melakukan banyak hal. Aspek yang kedua adalah konteks tuturan, yakni mengenai semua latar
belakang pengetahuan
back ground knowledge
yang dipahami oleh penutur dan mitra tutur.
Konteks tuturan B2 adalah penutur masih tidur saat mitra tutur berusaha membangunkannya. Terdapat kerjaan yang harus dilakukan penutur
setelah bangun tidur, yakni mencuci piring. Penutur menunda suruhan mitra tutur dan melanjutkan tidurnya. Mitra tutur merasa kesal karena suruhannya tidak
dilaksanakan sesuai kehendak mitra tutur. Tanggapan mitra tutur yang kesal tersebut menjadikan tuturan penutur tidak santun.
Aspek ketiga yang dikemukakan oleh Leech 1983 dalam Wijana 1996 adalah tujuan penutur. Tujuan penutur B2 adalah melanjutkan tidurnya, sehingga
penutur harus menunda suruhan mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini akan membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Tuturan
B2 saat pagi hari di kamar tidur penutur. Aspek yang terakhir adalah tuturan sebagai tindak verbal. Leech 1983
menjelaskan bahwa aspek ini memaparkan tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindakan penutur tersebut termasuk ke dalam tindak
komisif. Karena tindak komisif merupakan jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikat dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang, hal ini bisa berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Penutur B2 menunda suruhan mitra tutur, sehingga ia menunda suatu tindakan di masa datang
yang seharunya akan penutur kerjakan. Tindak perlokusi mitra tutur adalah bergumam terhadap kelakuan penutur yang sulit untuk dibangunkan. Mitra tutur
semakin kesal karena penutur tidak memperhatikan mitra tutur dalam bertutur kata dan justru melanjutkan tidurnya. Hal ini yang menjadi ciri dari tuturan B2
termasuk ke dalam kategori mengancam muka sepihak dan masuk ke dalam subkategori menunda.
Penutur menjelaskan bahwa sebenarnya ia malas dengan kerjaan mencuci piring, apalagi pada waktu itu masih pagi. Sehingga penutur menyampaikan
tuturannya dengan maksud menghindari pekerjaan yang diberikan mitra tutur.
4.3.2.4 Subkategori Menolak