55
Rangsangan verbal tulis yang cenderung spontan menimbulkan senyum dan tawa para pembacanya atau pendengarnya berupa kata-kata yang diplesetkan
oleh para pelaku percakapan humor.
2.2.8 Bahasa dan Politik
Susanto 1992 menyatakan bahwa bahasa adalah instrumen politik yang berfungsi untuk melanggengkan kekuasaan. Permainan bahasa menjadi salah satu
strategi yang digunakan sebagai alat provokasi halus yang dimanfaatkan oleh para penguasa untuk mencapai tujuan politiknya. Eufemisme yaitu pemakaian suatu
ungkapan yang kembut, samar atau berputar-putar untuk mengganti suatu presisi yang kasar atau suatu kebenaran yang kurang enak. Semula, eufemisme
dimaksudkan sebagai suatu ungkapan penghalus atau penghalusan bahasa. Pada konteks ini eufemisme jelas bersifat positif, yakni agar tidak menyinggung
perasaan orang lain. Sekarang eufemisme tidak lagi dipakai untuk menjaga perasaan orang lain atau kelompok. Pada perkembangannya oleh para politisi orde
baru, eufemisme bergeser dari maksud semula. Eufemisme dipakai terutama ditujukan untuk menutupi informasi yang sebenarnya, sebagai selubung terhadap
kenyataan yang cenderung mengecewakan. Ia lebih cenderung mengarah ketidakjujuran informasi Anwar dalam Akhmad Sofyan 2001:62.
Rustono 2002 di dalam makalahnya yang berjudul Rekayasa Bahasa di Dalam Panggung Politik Kekuasaan
membahas perlawanan, rekayasa bahasa, rekayasa sebagai pelanggaran. Menurutnya perlawanan bahasa dapat mengarah ke
atas maupun ke bawah. Melawan ke atas berarti melawan penguasa, sebaliknya
56
melawan ke bawah berarti menumpas segala perlawanan baik prefentatif maupun kuratif. Di dalam perlawanan perfentatif bahasa digunakan untuk mengendalikan.
Semetara itu, di dalam perlawanan kuratif bahasa digunakan untuk menyelesaikan perlawanan yang terjadi atau menutup episode yang telah mengancamnya.
Rustono memberikan contoh ungkapan, ‘mereka telah disukabumikan’ dapat menciptakan suasana tenang kembali dan episode pergolakan pun reda.
Ekspresi muncul dari bawah sebagai bentuk perlawanan adalah lahirnya kata-kata yang berbau horor. Susanto dalam Rustono 2002:1 mendaftar kata-
kata yang selalu menjadi lalu-lintas perlawanan, bakar,bantai, bunuh, caplok,cekik, gantung, gorok, pukul, potong, penggal, rusak, sabet, sekap, tabrak,
tampar, tempeleng,, tonjok, tusuk. Secara psikologi kata-kata tersebut mempunyai
efek yang menndorong masyarakat kecil untuk bersikap berontak atau bahkan melawan penguasa akibat kondisi social yang carut- marut.
Rekayasa bahasa di dalam berbahasa menurut Rustono 2002:2 terjadi dengan bertutur secara tidak langsung, tidak terus terang, berbasa-basi, tidak mau
mengatakan yang sebenarnya. Tujuan yang hendak dicapai dengan rekayasa bahasa di dalam panggung politik adalah untuk memperoleh atau
mempertahankan kekuasaan. Bahasa politik kita menggambarkan dengan jelas bahwa kata-kata
memegang peranan penting. Borgias dalam Akhmad Sofyan 2001: 61 menyatakan bahwa pemakaian bahasa dalam konteks politis cenderung
membelenggu dan menjajah masyarakat dengan jalan mengaburkan makna
57
semantisnya. Keadaan yang demikian pada kelanjutannya akan melumpuhkan kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh politisi.
Pada era pemerintah orde baru masyarakat tidak dapat mengungkapkan kontrol dan kritik terhadap pemerintah secara terbuka dan terang-teranan. Sebab,
kalu sampai melakukan kontrol dan kritik secara terbuka dan terang-terangan mereka akan menanggung resiko “ diamankan” dan hidupnya menjadi “ tidak
aman”. Masyarakat hanya dapat menyampaikan kontrol dan kritik secara diam- diam dengan menggunakan bahasa plesetan. Menurut Saryono dalam Akhmad
Sofyan 2001:65, ada dua cara utama masyarakat melakukan kontrol kekuasaan. Pertama, penyelewengan akronim-akronim yang maknanya sudah baku bagi kita
khususnya elite penguasa. Kedua , pemelesetan konsep-konsep dan pengertian – pengertian yang sudah baku dalam bahasa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh
Sutrisno 1993,”…kalau orang mau tahu persis apa yang sekarang ini menjadi perasaan rakyat kebanyakan, carilah itu dalam eufemisme, dalam bahasa plesetan
atau dalam akronim-akronim, juga humor-humor yang disemukan atau dieufemismekan.
Berpijak dari pandangan para ahli tersebut, penulis menganggap bahwa munculnya fenomena rekayasa di dalam panggung politik Indonesia secara
genetik memiliki hubungan dengan kultur budaya timur yang selalu berusaha menyampaikan sesuatu dengan bahasa firasat dan penuh basa-basi, oleh karena itu
humor sebagai medi kritik sosial memanfaatkan gaya bertutur tidak langsung di dalam mengkritik para penguasa. Bentuk ekspresi inilah yang sampai saat ini
masih efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai media kontrol sosial.
58
2.2.9 Presiden Guyonan