163
Maksud penutur :penutur mengkritik para atasan yang selalu
mengabaikan kritikan dari kalangan bawah.
b. Fungsi Ekspresif Menyindir
• “ya biar pendengarannya lebih peka. Kalau perlu, sebelumnya saya akan mengikuti kursus, belajar menjadi seorang
pendengar yang baik.135
Maksud penutur:
penutur bermaksud menyindir para atasan yang tidak sedia untuk mendengar kritikan dari
bawahannya.sehingga diperlukan kesediaan untuk belajar mendengar.
3. Kemungkinan Efek yang Timbul dalam Tuturan Ekspresif
a. Efek Introspeksi diri
• “Status dan jabatan tidak membuat orang menjadi supermen. Kedudukan tidak membuat semua persoalan
dikuasai seorang atasan. Karena itulah, adakalanya diperlukan kesediaan untuk mendengar.136
Maksud penutur
:penutur menuturkan bahwa kesediaan untuk mendengarkan atasan maupun dari bawahan sangat diperlukan.
Hal tersebut tidak mengenal jabatan maupun status. Hal itu membuat mitra tutur introspeksi diri akan sesuatu yang telah
dilakukan.
164
No.Data: Sumber Data
12. Buku “Presiden Guyonan”
Tangis Independen
Etika menyaksikan Jaksa Agung Hendarman Supandji berurai air mata lantaran gemas dikhianati anak buahnya yang doyan sogokan, Mas Celathu
merasa lega. Dia berharap, itu hanyalah tangis tuius dari seorang pemimpin yang kebingungan mau ngapain. Bukan tangis dengan airmata buaya. Juga bukan
tangis putus asa. Mungkin Pak Jaksa Agung hanya sedang bingung, tak jelas mau bagaimana lagi. Justru orang-orang terpilih dan terpercaya yang didapat lewat
seleksi ketat, yang antara lain ditugasi menjaga benteng hukum, yang kini show of force
memamerkan pengkhianatan terhadap hukum dengan cara paling menjijikkan.
Pagar makan tanaman, kata pepatah. Pagar yang semestinya melindungi tanaman justru memangsa tanaman itu. Orang yang dipercaya menjadi penjaga,
malah membiarkan pihak lain merongrong dan memporakporandakan apa yang semestinya dijaga itu. Ini tak beda dengan penjaga gawang yang mempersilakan
bola lawan menjebol gawangnya sendiri. Kalau sekadar terjadi di lapangan hijau sih, paling banter cuma berurusan dengan sorakan huuuuuu dari para penonton, -
dan setelah itu paling yang bersangkutan cuma kena timpukan batu dan botol air mineral.
Tentu hal itu tak bisa dibenarkan. Sekecil apa pun pengkhianatan, niscaya akan terasa menyakitkan. Terlebih jika “penjaga gawang” itu adalah penjaga
utama tegaknya hukum dan keadilan sebuah bangsa. “Itulah tangis yang sangat mengharukan. Saya juga ikut sedih. Orang
kalau sudah terjebak di jalan buntu, akhirnya ya hanya bisa menangis. Mau gimana lagi coba,” kata Mas Celathu dengan nada bergetar dan suaranya tercekat
di tenggorokan, kepada bininya suatu pagi.
Demi melihat mata sang suami sudah mbrambangi, seperti akan menangis, Mbakyu Celathu mengingatkan, “Sedih ya sedih. Tapi sampeyan
nggak usah ikutan nangis. Kayak sinetron aja.” “We lha, aku ini sedih beneran. Bukan akting. Asem ki.”
Yah, barangkali itulah risiko tukang main sandiwara. Orang sering susah membedakan antara beneran dan pura-pura. Apa pun yang dilakukan atau terjadi
dengan dirinya, selalu dicurigai. Disangka sekadar main-main, padahal pagi itu Mas Celathu benar-benar turut merasakan sakitnya akibat pengkhianatan yang
dilakukan seorang “penjual permata” berpredikat jaksa melakukan transaksi sogokan sebesar 660.000 -US.
“Kalau saya sampai mengeluarkan air mata, ini tangisan yang tulus. Tidak dibuat-buat. Saya berharap tangisnya Pak Jaksa Agung juga tangis yang
165
tulus,” kata Mas Celathu, kali ini dengan rada sesenggukan. “Tumben sampeyan serius. Kalau mau nangis, ya nangis aja. Nggak usah
repot cari pembenaran. Gitu aja kok repot,” jawab Mbakyu Celathu begaya Gus Dur. Lalu lanjutnya, “Saya ini sudah imun dengan politik tangis. Rakyat sodah
bosen diapusi dengan air mata.”
Sinisme Mbakyu Celathu bisa dipahami. Mungkin lantaran ia pernah menjadi korban dari politisasi air mata. Dulu dia pernah punya pemimpin yang
setiap dibelit persoalan selalu mencucurkan air mata. Dikit-dikit menangis. Dikit- dikit sesenggukan. Dikiranya air mata adalah jurus pamungkas yang mampu
mengatasi semua persoalan. Nyatanya, meski sudah diguyur air mata, kehidupan rakyat kecil belum berubah menjadi lebih baik. Nasib mereka masih terombang-
ambing, dipermainkan harga kebutuhan pokok yang gampang melejit. Dan masih kerap dikerjain oleh ketidakpastian memperoleh jaminan sosial: sandang,
pangan, kesehatan, pendidikan dan papan. Kalau toh rakyat itu diperhatikan dan diakui eksistensinya, itu hanya terjadi saat menjelang Pemilu saja. Keberadaan
rakyat selalu dihitung, dikalkulasi, dirayu dan disembah, - dan setelah coblosan berlalu sang rakyat kecil akan kembali dilupakan.
Pendek kata, kendati pun Mas Celathu meyakini tangis Jaksa Agung adalah tangis serius yang hendaknya kelak bisa menyelamatkan sistem hukum
kita, Mbakyu Celathu nggak mau percaya lagi. Dia sudah terlanjur krisis kepercayaan pada tangis pejabat publik. Baginya semua itu adalah cipoa.
Bohong-bohongan. Hanya air mata buaya. Karena tahu rakyatnya gemar sineton, lalu pejabatnya mengambil hati dengan gaya sinetron pula. Mbelgedheeessss....
Mbakyu Celathu mengobral celoteh itu sambil berkacak pinggang dan memelototkan matanya lebar-lebar, bagai tokoh ibu tiri di sinetron televisi.
“Lho, kok jadi ngamuknya sema aku. Kita kan sama-sama korban politik air mata,” sungut Mas Celathu, menyabarkan bininya. Sambil memintanya
isterinya duduk kembali, dia berkata lagi, “Saya sih hanya berharap, dari tangis Pak Jaksa Agung akan lahir kekuatan baru yang mampu membongkar semua
kebusukan dan kejahatan yang dilakukan semua aparat hukum. Ya polisi, pengacara, panitera, jaksa, hakim dan juga hakim agung.”
“Kalau saya sih tetap nggak percaya. Tangis itu nggak ada nilainya. Nggak ada harganya. Memangnya air mata bisa dijadikan agunan untuk kredit di
bank,” sergah Mbakyu Celathu lagi dengan mulut mencibir. “Mbok ya jangan pesimistik gitu. Kita hams selalu berpikir positif. Para
pejabat itu kan juga manusia. Bisa sakit dan sedih. Bisa nangis juga. Nangis itu kan manusiawi,” kata Mas Celathu mencoba meng-adem-kan emosi isterinya.
“Prek Saya tetap nggak percaya.” “Terus gimana caranya supaya karnu bisa percaya lagi?”
“Pemerintah harus segera membuat, KAMI, Komite Air Mata Indipenden.” Mbakyu Celathu lalu menerangkan konsepnya. Komite ini
beranggotakan para ilmuwan lintas disiplin ilmu, keberadaannya diongkosi APBN dan berkedudukan di tingkat nasional. Tugas komite, mendeteksi setiap
166
air mata pejabat publik yang bercucuran saat menyampaikan pidato atau bikin pernyataan publik. Komite akan bekerjasama dengan para ajudan pejabat-pejabat
itu. Begitu air mata ndlewer, sang ajudan harus segera mengambil sample-nya, dan harus secepat kilat mengirimkan contoh air mata itu ke laboratorium KAMI.
Jika setelah diteliti ternyata air mata itu mengucur dari tangisan palsu, maka si pejabat harus rela mengundurkan diri dari kursinya. Dan apabila terbukti, itu
adalah air mata suci yang keluar dari nurani terdalam, maka si pejabat akan memperoleh bonus 10 kali lipat gaji bulanannya.
Pipi Mas Celathu mencucu menahan tawa. Ditahannya kuat-kuat karena tak ingin melecehkan gagasan bininya. Jadinya ia hanya mengulum senyum demi
mendengar usulan ngawur itu. Dengan sok serius, dia bertanya dengan halus, “Saya boleh nggak melamar jadi anggota KAMI.”
“Nggak boleh. Sampeyan masih cengeng. Syarat utama anggota KAMI harus tidak lagi mempunyai stok air mata. Harus ada rekomendasi dari DEPKES,
bahwa yang bersangkutan nggak bisa menangis lagi,” kata Mbakyu Celathu tegas.
Mendengar penjelasan ini, Mas Celathu berketetapan hati tidak ingin menjadi anggota KAMI. Soalnya, dia sadar bahwa dia masih manusia. Demi
membesarkan hati istri yang dicintainya itu, Mas Celathu bilang, “Gagasanmu baguuuuus banget. Nanti kalau ada acara dengar pendapat di DPR, usulkan saja.
Siapa tahu bisa diterima.” Mas Celathu lalu ngeloyor pergi, sambil membatin dalam hati, “Kalau sampai diterima, ya berarti edan kabeh.”
Analisis 1. Tindak Tutur dalam Tuturan ekspresif
a. Tindak Tuturan ilokusi