138
menyelamatkan kehidupan, belum bisa dinobatkan sebagai pahlawan77
Maksud penutur : penutur mengkritik gelar pahlawan hanya
untuk mereka yang berjuang dengan kekuatan fisik saja sementara mereka yang berjuang dengan kekuatan otak belum
dapat dikatakan sebagai pahlawan.
• “ Khusus untuk aparat hukum, kalian akan jadi pahlawan,
asalkan mulai hari ini kalian bener-bener kapok memperdagangkan pasal-pasal hukum.78
Maksud penutur: p enutur mengkritik para apatrat hukum
yang selalu tidak adil dalam menangani soal hukum.
b. Fungsi Ekspresif Menyalahkan
• “Jika kita sepakat bahwa nilai-nilai dan semangat kepahlawanan lebih penting,
berarti kepahlawanan jangan hanya dimonopoli tentara, preman atau mereka yang cuma
mengandalkan kekuatan badaniah.79 Maksud penutur
: penutur menyalahkan tentang arti kepahlawan yang hanya dimonopoli tentara atau preman atau
yang cuma mengandalkan kekuatan badaniah.
3. Kemungkinan Efek yang Timbul dalam Tuturan Ekspresif a.
Efek introspeksi diri • “Betapa pun terkadang masih ada yang sekedar waton sulaya,
waton ngamuk lantaran kepentingannya terganggu Haruslah semua itu diartikan sebagai tabungan untuk membangun
kehidupan yang lebih baik di masa depan”.80 Maksud penutur
: penutur menuturkan agar dalam menjalani hidup jangan pantang menyerah, seharusnya semua itu
diartikan sebagai bekal di masa depan. • “ Tapi, persoalannya memang bukan bagaimana cara
memperingatinya, melainkan bagaimana kepahlawanan harus diartikan. Apakah manusianya, atau nilai-nilai yang
diperjuangkan manusia?81 Maksud penutur
:penutur menuturkan tentang arti kepahlawanan. Hal tersebut memberi introspeksi pada kita
semua bahwa Selama ini kita hanya memberi penghargaan pahlawan pada orang yang telah berjuang, tetapi bukan pada
apa yang diperjuangkannya.
139
No.Data: Sumber Data
7. Buku “Presiden Guyonan”
nafasnya alias “mati secara instant” gara-gara menunggang alat transportasi Indonesia.
Di udara, bukan hanya pesawat bertiket murah yang bisa memberi bonus kecelakaan atau kematian, tetapi perusahaan penerbangan nasional yang
dipersepsikan “lebih aman” pun, setali hga uang. Bisa menciptakan peristiwa ngeri sebagaimana terjadi di bandara Adisucipto Yogya, dengan lakon “Manusia
Obong”. Catatan tragedi transport udara masih bisa diperpanjang dengan kasus hilangnya Adam Air, yang ternyata nyungsep di puluhan kilometer bawah laut.
Belum lagi pesawat yang tergelincir, gagal terbang dan mendarat, terbang salah alamat, dan lain lain.
Sementara di darat, sudah puluhan kali transportasi kereta api nasional membuktikan kebobrokan manajemennya dengan membuat kereta api menjadi
benar-benar berapi karena gerbong penumpangnya terbakar. Juga tergulingnya sejumlah gerbong dan tabrakan sesama kereta karena petugasnya keliru menarik
sinyal.
Begitu pun di laut. Tentu kita belum melupakan bagaimana ratusan manusia harus bertarung melawan ganasnya ombak, lantaran kapal dan ferry
yang dinaiki tenggelam gara-gara kelebihan beban penumpang. Dan lihatlah data-data kecelakaan di jalan raya dan jalan tol. Selalu saja memperlihatkan
grafik yang meningkat. Kerugian bukan saja pada hilangnya sejumlah nyawa, tapi juga efek ekonomi akibat sistem transportasi yang amburadul.
Kemacetan di ruas-ruas jalanan ibukota, juga tertahannya ratusan truk di pelabuhan penyeberangan antarpulau, ujung-ujungnya juga akan mematikan
peluang ekonomi dengan nilai triliyunan rupiah. Coba berapa ton buah-buah, sayuran, ikan segar dan daging membusuk gara-gara pengangkutnya tertahan
berhari-hari di pelabuhan Bayangkan, suatu hari kemacetan di Jakarta bisa mengekor sampai sejauh 20 kilometer Jarak tempuh yang biasanya cukup 20
menit, di hari apes itu harus dilakoni 5 jam Gila
Mas Celathu benar-benar senewen. Apalagi jika imajinasinya mulai ngelantur
membayangkan efek domino dari berbagai kecelakaan iru. Misalnya, lalu bagaimana nasib keluarga korban setelah orang-orang yang dicintai mati
dengan tragis, terlebih jika yang gugur itu adalah rulang punggung ekonomi keluarga. Pastilah keluarga itu secara ekonomi dan sosial akan ikutan ambruk.
Belum lagi adanya korban-korban yang cacat permanen dan karenanya jadi kehilangan mata pencarian. Mas Celathu membatin, “Kenapa semua itu bisa
terjadi? Dimana letak kesalahannya? Apakah negara harus ikut bertanggungjawab?”
“lya harus dong. Kan negara yang memberikan ijin beroperasi-nya armada transportasi itu. Lagian negara juga memetik pajak dari semua itu. Coba,
kalau pemberi ijin itu tidak doyan sogok, pasti tidak akan sembarangan kasih
140
ijin,” katanya sewot. “Lho, kok jadi nuduh kalau ada sogok-menyogok. Jangan ngawur Iho,”
sergah Mbakyu Celathu mengingatkan suaminya, “Ati-ati kalau njeplak. Nanti bisa kena somasi.”
“Disomasi juga nggak takut. Saya yakin pasti ada kongkali-kongnya. Mana mungkin peraturan negara membiarkan rakyatnya celaka. Peraturannya
sudah bener, tapi pelaksana peraturan itu yang keblinger. Kalau pesawat dan kapal bobrok diijinkan mengangkut manusia, itu namanya “pembunuhan
berencana”. Bisa kena pasal KUHP,” ujar Mas Celathu lantang sambil berkacak pinggang. Nada bicaranya meninggi. Apalagi ngomongnya sambil tudang-tuding
seakan-akan ada musuh di hadapannya. Jika sudah begitu nyali Mbakyu Celathu langsung mengkerut.
Mas Celathu jadi kayak pemain monolog. Suaranya bergetar naik turun. Anak-anaknya yang sedari tadi nggak peduli, beringsut menyingkir dari arena.
Wuaaah , bapakku kayak pemain jathilan ndadi, kangslupan dhemit, begitu Jeng
Genit membatin. “Coba lihat, kemarin orang-orang di Tangerang pada ketiban besi baja
dari pesawat Batavia. Untung cuma jatuh di ladang dan kebun. Kalau jatuhnya nancep di kepala orang, gimana? Lha wong montor mabur kok bisa-bisanya pada
mrotholi di udara. Apa itu namanya kalau bukan pesawat bobrok? Kok dibiarkan
terbang? Hayo bilang, kalau nggak ada sogok-sogokan” tantang Mas Celathu, kali ini nafasnya megap-megap kayak ikan koi menyedot udara.
Mbakyu Celathu langsung menyorongkan segelas air putih, “Sudahlah Mas, sabar, sabar. Orang sabar nggak gampang modar. Nanti saya temani deh
sowan pemerintah.” Sambil mengelus-elus dada Mas Celathu yang masih tersengal-sengal, Mbakyu Celathu bilang, “Nanti saya juga akan mengusulkan
kepada pemerintah, supaya Departemen Perhubungan digabung saja dengan Departemen Agama. Lebih cocok.”
Mas Celathu yang masih lenger-lenger terperangah, “Apa? Kok aneh? Apa hubungan dengan Departemen Agama?”
“Lha ya jelas, ta. Departemen Perhubungan terbukti sukses meningkatkan kualitas iman manusia Indonesia, padahal ini semestinya tugas Departemen
Agama. Setiap pemakai jasa transportasi, begitu mau naik montor mabur, numpak sepur, berlayar nunggang kapal maupun berkendara di mana pun di
Indonesia, mereka akan langsung menjadi manusia religius dadakan, karena yang biasanya nggak ingat Tuhan pun jadi langsung berdoa agar selamat dalam
perjalanan. Semakin banyak kecelakan, maka semakin doanya menjadi lebih khusuk. Jadi tugas rama pastor, pendeta, biksu dan ulama yang selalu
menganjurkan doa dan ingat Tuhan, sudah tergantikan oleh Departemen Perhubungan,” ujar Mbakyu Celathu kalem.
Mendengar ide brilian sang isteri, Mas Celathu njenggirat bangkit. la tambah kagum kepada bininya. “Wuah, istriku yang hajjah, benar- benar
mbakyu liberal,” puji Mas Celathu dalam hati. Jika kelak gagasan ini disetujui,
141
pastilah Departemen Agama hanya akan ngurusi brosur-brosur doa bagi calon penumpang, membangun tempat ibadah di terminal, bandara dan pelabuhan.
Asyiiikk. Tentunya nanti urusan agama tidak lagi diatur oleh negara, tetapi dikembalikan ke wilayah privat seperti halnya mandi, gosok gigi, makan, tidur
dan mengatur aurat.
Departemen Agama pastilah tak akan punya waktu lagi mengobok-obok iman dan kepercayaan yang memang seharusnya menjadi urusan pribadi setiap
orang.
Analisis
1. Tindak Tutur dalam Tuturan ekspresif a.
Tindak Tuturan ilokusi • “ Supaya lebih fokus, dan bener-bener mengurusi problem
transportasi yang dari hari kehari tambah ruwet, dan selalu saja panen korban”.82
Maksud penutur : penutur bermaksud mengkritik pemerintah
dalam urusan transportasi yang selalu saja memanen korban yang disebabkan oleh tidak ada penanganan dari pihak
pemerintah.
b. Tindak Tutur Perlokusi