183
diwujudkan, kita pun maklum. Karena janji kampanye memang seperti perut kembung yang bisa menghasilkan bunyi nyaring: duuuutttt
Yah, begitulah risikonya jadi pejabat publik. Hanya nonton film saja jadi perkara. Begird salah, begitu keliru. Setiap langkah selalu dipandang dengan
kecurigaan. Terutama jika tindakan itu tidak tergolong dalam domain tugas seorang pemimpin. Selama ini, sebagaimana dicitrakan protokol kenegaraan,
tugas pemimpin itu ya sidang kabinet, rapat, pidato, menerima tamu negara, memimpin upacara, memarahi dan memecat bawahan yang bego, dan - ini yang
utama - kesana kemari dikawal nguing-nguing dan bikin macet jalanan. Rakyat belum terlatih melihat keniscayaan bahwa pemimpin juga manusia biasa, dan
tentunya mempunyai kewajiban sosial yang tidak beda dengan umumnya rakyat kecil.
Semua ini bisa terjadi, mungkin salah satunya karena kecenderungan petugas protokol yang selalu meng-hadirkan citra angker bagi para pemimpin
bangsa. Para pejabat daerah atau pengurus organisasi yang bakal menerima kunjungan presiden atau wakilnya, pastilah sudah mencicipi betapa over
aktingnya petugas-petugas itu. Aturan dan tatanan protokoler seperti didesain untuk menjauhkan para pemimpin dari rakyatnya.
Belum lagi urusan pembiayaan untuk kepentingan ini dan itu. Ada yang wajar, ada yang kelewatan. Para petugas protokoler tinggal perintah dan musti
dilaksanakan oleh tuan rumah. Dan ujung-ujungnya sang tuan rumah tinggal garuk-garuk kepala karena harus menanggung tagihan pembelanjaan yang
melejit. Pikir Mas Celathu,
Analisis 1. Tindak Tutur dalam Tuturan Ekspresif
a. Tindak Tutur ilokusi
• “Betapa membahagiakan jika nantinya perspektif kebudayaan akan dijadikan pertimbangan untuk
mengambil keputusan. Bukan hanya didasarkan pertimbangan politik dan ekonomi semata-mata.184
Maksud penutur:
penutur mengungkapkan bahwa alangkah baiknya jika perspektif kebudayaan dijadikan pertimbangan
untuk mengambil keputusan. Tidak hanya pertimbangan politik dan ekonomi.
b. Tindak Tutur Perlokusi
• “Kampanye adalah saat menebar impian. Janji boleh diteriakkan, tapi tak ada jaminan harus dilaksanakan,
184
persis sebagaimana SBY dulu menjanjikan adanya mentri kebudayaan. Pokoknya, janji,janji,janji…185
Maksud penutur: penutur mengkritik janji presiden yang
hanya ucapan saja tetapi tidak dilaksanakan. c.
Tindak Tutur Langsung • “Bukankah dimasa kampanye Pak SBY menjanjikan akan
ada menteri kebudayaan? Dasyat ta?186 Maksud penutur:
penutur secara langsung mempertanyakan
adanya menteri kebudayaan pada masa kampanye SBY. d.
Tindak Tutur Tidak Langsung • “Mas Celathu tidak tau musti bagaimana. Apakah ikut gembira
karena para pemimpin mulai peduli dan apresiatif atas kerja kebudayaan? Atau malah bersedih, kok ya tega-
teganya para pemimpin pada tebar pesona pamer airmata, sementara untuk keterpurukan nasib rakyatnya mereka
pelit mencucurkan airmata?187 Maksud penutur:
penutur secara tidak langsung mengeluhkan sikap para pemimpin yang tidak memedulikan rakyatnya yang
justru menglami kesengsaraan. • “Toh saban hari mereka sudah bekerja keras. Boleh dong
istirahat, buang penat cari hiburan?”188 Maksud penutur:
penutur secara tidak langsung mengungkapkan kebolehannya istirahat bila mereka sudah
selesai bekerja
• “Lha memang sampeyan itu siapa? Siapa yang meminta sampeyan jadi pemimpin? Mbok ya ngaca?”189
Maksud penutur: penutur secara tidak langsung menyindir
seseorang yang tidak pantas jika dia menjadi pemimpin.
e. Tindak Tutur Harfiah
• “Atau malah bersedih, kok ya tega-teganya para pemimpin pada tebar
pesona pamer airmata, sementara untuk keterpurukan nasib rakyatnya mereka pelit mencucurkan airmata?190
Maksud penutur: air mata dalam tuturan di atas mempunyai
arti yang sebenarnya yaitu benda cair yang keluar dari mata , bisa disebut juga menangis.
f. Tindak Tutur Tidak Harfiah