157
• “Memang iya. Tapi ribuan, bahkan jutaan teman-temannya, lalu bagaimana?
Kalau pabrik-pabrik pada gulung tikar karena
kapok dipalak preman berseragam.117 Maksud penutur
:penutur menanyakan nasib para teman- teman wisudawan lainnya kalau pabrik-pabrik pada menutup
usahanya, mereka akan jadi penganguran.
c. Tindak Tutur Tidak Langsung
• “ Foto Mas ndut berjubah hitam dengan toga bertengger dikepala. Dengan begitu, kelak setiap tamu yang singgah dirumahnya
jadi tahu,” Awas, di sini ada sarjana lho.”118 Maksud penutur
:penutur secara tidak langsung memberi peringatan kepada semuanya kalau di rumahnya ada seorang
sarjana.
• “ Terus apa guna pendidikan jika setelah berani memalak bayaran tinggi, ternyata pendidikan tidak bisa menjadikan
orang siap tarung kedunia kerja?”119 Maksud penutur:
penutur secara tidak langsung meminta pemerintah agar memperhatikan nasib para lulusan sarjana
yang kini banyak menjadi pengangguran. d.
Tindak Tutur Harfiah • “ Coba keluarga mana yang tidak bungah, jika salah seorang
anggota keluargnya, dinyatakan lulus menjadi sarjana dengan predikat cumlaude, dengan indek prestasi 3,62? Sarjana lho,
sarjana lho.120 Maksud penutur:
ati kata sarjana merupakan arti yang sebenarnya yaitu gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang
yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi.
e. Tindak Tutur Tidak Harfiah
• “ Kalau pabrik–pabrik pada gulung tikar karena kapok dipalak
preman berseragam, kalau setiap usaha ditakut-takuti gerakan anarki berkedok agama.121
Maksud penutur : arti kata gulung tikar merupakan
perumpamaan yaitu bangkrut atau kehabisan modal dalam berbisnis.
2. Fungsi Pragmatis Tuturan Ekspresif a.
Fungsi Ekspresif Mengkritik • “Apakah Depnaker, Depdiknas, Depdagri dan Kementrian
Pemuda, bisa memberikan kepastian atas ketersediaan lowongan kerja ,
sehingga arus gelombang sarjana-sarjana baru berusia muda itu, benar-benar bisa menjemput masa
depannya dengan aman dan penuh kepastian?122 Maksud penutur
: penutur memberi kritikan pada pemerintah tentang ketersediaan lowongan pekerjaan bagi para wisudawan
sehingga mereka mempunyai masa depan yang cerah.
158
b.
Fungsi Ekspresif Mengeluh • “Oaalah.., pemerintah-pemerintah, sampeyan kok tega-
teganya membudidayakan pengangguran? Terus, apa guna pendidikan jika setelah berani memalak bayaran
tinggi,ternyata pendidikan tidak bisa menjadikan orang siap bertarung ke dunia kerja?”123
Maksud penutur
: penutur mengeluhkan mengenai
pengangguran
di indonesia. Setelah berani mentargetkan sarana pendidikan yang tinggi dan ternyata tak menjamin orang
siap bertarung kedunia kerja.
c. Fungsi Ekspresif Menyanjung
• “ Wuaah…, ilmu multi media memang jos tenan. Anak kita
nggak salah milih sekolahan,” ujar Mbakyu celathu girang.124
Maksud penutur:
penutur memuji anaknya yang tidak salah pilih memilih sekolahan. Ilmu multi media memang bagus.
3. Kemungkinan Efek yang Timbul dalam Tuturan Ekspresif a.
Efek lega • “Zaman mendatang kan zaman digital. Pasti laku. Lowongan
kerja tersedia dimana-mana”.125 Maksud penutur
:penutur bermaksud bahwa sekarang ini mencari kerja mudah karena zaman digital suatu zaman
multimedia sehingga pasti dapat segera diterima kerja.hal tersebut membuat sang ayah merasa lega karena tidak khawatir
anaknya jadi pengangguran.
159
No.Data: Sumber Data
11. Buku “Presiden Guyonan”
Belajar Mendengar
Jika disuruh memilih, menjadi bawahan atau atasan, Mas Celathu mengaku lebih suka jadi bawahan. Kenapa? Sambil nyengenges memamerkan
deretan giginya yang full nikotin, dia bilang, “Ya jelas milih jadi bawahan dong. Jadi bawahan itu enak. Banyak temannya. Jadi selalu punya kawan untuk
ngrasani
atasan. Kalau jadi atasan kan sendirian. Kalau ada gonjang-ganjing pemberantasan kenakalan, atasan akan kena duluan.”
“Tapi, jadi atasan kan rejekinya lebih tinggi, hayooo.” “Rejeki memang tinggi, tapi banyak godaannya. Salah-salah tergiur
korupsi.” “Kalau iman kuat, ya tetap pantang korupsi. Lagian, jika jadi atasan, kan
bisa mengatur dan menentukan arah haluan. Punya kuasa mengatur kebijakan.” “Ya memang. Tapi saya lebih suka diatur kok. Kalau disuruh memilih,
yang paling pas untuk saya, ya jadi bawahan.” Percakapan gombal-gombalan antara Mas Celathu dengan teman barunya
ini, terjadi suatu malam di kedai angkringan, tempat di mana Mas Celathu sering menghabiskan waktu larutnya. Di tempat yang memungkinkan ilmu pengetahuan
bisa saling dipertukarkan ini, dialog model apa pun kerap terjadi tanpa halangan. Tidak ada sekat. Semua yang ngoceh merasa setara. Tidak ada kendala atasan-
bawahan. Tiada hambatan psikis kaya-miskin. Dan biasanya berlangsung begitu saja, dari omongan bermutu laiknya cendekiawan, sampai yang sekadar tong
kosong ditabuh wong edan. Dan uniknya, jawaban sekenanya atau ocehan yang sarat kemunafikan, akan menjadi bumbu sedap yang sangat mengasyikkan jika
didengarkan.
Misalnya, ya seperti jawaban Mas Celathu di atas. Dia mengaku “lebih suka diatur” - padahal, kita tahu, aslinya dia adalah orang yang paling sulit
diatur. Setiap aturan selalu ditawar, terlebih jika aturan itu diperkirakan akan membelenggu gaya hidupnya yang leda-lede seenak wudele dhewe.
Begitu pun pengakuannya bahwa dia nggak ingin jadi atasan. Pastilah gampang dicurigai, itu sekadar pernyataan lamis. Bilang tidak, padahal
maksudnya iya. Ini memang pernyataan khas dari seseorang yang jauh dari peluang dan kemungkinan. Akan lain ceritanya jika peluang kedudukan tersaji di
depan mata. Pasti langsung disambar. Biasanya sih, jenis orang beginian akan langsung menikmati kekuasaan itu tanpa mempedulikan konsistensi omongannya
di masa lalu.
Karena hanya sekadar omongan klas warungan, hendaklah dimaklumkan. Janganlah sekali-kali menuntut setiap pernyataan musti presisi dan berlandaskan
160
kebenaran. Omongan di warung memang bukan dialog di sebuah mimbar akademik yang ribet dengan aneka teori. Juga bukan omongan ala anggota
dewan yang selalu bersumber dari akurasi data dan riset penelitian. Di warung tak ada rambu-rambu yang mengatur lalu lintas pembicaraan. Sangat permisif
dan longgar aturan. Bahkan, andaikan omongan hanya berisi rentetan bualan, siapa pun tak bisa mencegah. Apalagi melarang. Karena itulah kabar angin, info
gothak-gathuk
atawa gossip, akan tumbuh subur di tempat beginian. Mas Celathu bukannya tak menyadari hal ini. Justru karena empan
papan , tahu dimana tempat semestinya, maka dia seperti menemukan kanal
untuk melepaskan omongannya yang super ngawur di warung angkringan itu. Kadang malah ngelantur. Di sini ia bagai menemukan ruang kebebasan untuk
bicara. Yang sangat menyenangkan, dia bisa memanjakan kebiasaannya mengacaukan fakta dan fiksi. Dan jika Mas Celathu berhasil meyakinkan
bualannya kepada para pejajan, dia akan terkekeh-kekeh. Terlebih apabila nantinya fiksi itu berkembang menjadi kisah yang menjelma seakan-akan sebuah
fakta. “Kena, lu” begitu Mas Celathu membatin jika dobosan-nya diyakini sebagai kebenaran.
Keusilan seperti ini, bagi Mas Celathu yang bukan pejabat publik, memang tidak membawa risiko apa pun. Kalau toh kelak ketahuan hanya bualan
kosong, paling banter hanya dicemooh dengan guyonan pula. Inilah yang membuat komunikasi ala warung terasa mengasyikkan.
Lain perkara jika itu terjadi di ruang-ruang terhormat dan dinyatakan orang yang berpangkat. Seumpama orang penting, misalnya wakil rakyat atau
pengurus partai, terlalu sembrono bikin pernyataan yang bersumber dari gosip klas warung
, buntut kisahnya pasti akan berbeda. Misalnya priyayi berpangkat itu menyiarkan kabar angin soal kejahatan kelamin seorang pemimpin, yang
bersangkutan bisa kena imbas omongannya sendiri. Salah-salah bisa diterkam pasal penghinaan, dan terjerumus ke sel penjara. Itu sebabnya, Mas Celathu
selalu mengingatkan agar waspada dan hati-hati berbicara. Lihat tempatnya, lihat status ruangnya, dan lihat pula siapa yang diajak bicara.
“Lha kalau sampeyan dipaksa menjadi atasan, kira-kira apa yang akan pertama kali sampeyan lakukan,” teman nongkrongnya bertanya lagi. Rupanya
simpang siur dialog warunganbelumberakhir. Topik omongan masih soal atasan dan bawahan.
“Weeehh, mosok jadi atasan kok dipaksa?” “Lho, ini kan cuma umpama.”
Karena belum bercita-cita menjadi atasan, tentu saja Mas Celathu tidak siap jawaban. Tapi, berhubungan ini hanya dialog warung yang mengijinkan
orang bicara tanpa argumen, maka Mas Celathu menjawab sekenanya. “Saya akan minta dokter mengoperasi kuping saya. Supaya daun telinga
lebih lebar dari yang sekarang,” kata Mas Celathu sambil menjumput juadah bakar, dan langsung mengunyahnya.
“Maksudnya?”
161
“Ya biar pendengaran lebih peka. Kalau perlu, sebelumnya saya akan mengikuti kursus, belajar menjadi seorang pendengar yang baik.”
Ngomong begitu, bukan lantaran Mas Celathu ingin menyindir. Tapi semata-mata karena gemas, sering ketemu sejumlah orang berstatus atasan, tapi
begonya nggak ketulungan. Pastilah ini jenis atasan yang tidak berkenan mendengar, tapi terlalu rajin bicara. Padahal kita tahu, status dan jabatan tidak
membuat orang menjadi superman. Kedudukan tidak membuat semua persoalan dikuasai seorang atasan. Karena itulah, adakalanya diperlukan kesediaan untuk
mendengar - termasuk kesediaan mendengarkan kritik bawahan. Jika belum terlatih untuk mendengar, ya segeralah belajar untuk bisa mendengar.
“Welhadalah...daleeem banget nih. Tumben ngomongnya serius.” “Hehehe... kalau boleh terus terang, saya kan juga pengin jadi atasan,”
kata Mas Celathu tanpa kemunafikan, sambil membuka earphone yang sedari tadi menyumbat kupingnya. Rupanya Mas Celathu juga menyadari, dirinya pun
juga harus belajar mendengar.
Analisis 1. Tindak Tutur dalam Tuturan ekspresif
a. Tindak Tuturan ilokusi