107
Menyediakan layanan konsultasi
e. Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus di SD Negeri
Brengosan I
Sekolah Dasar Negeri Brengosan I merupakan salah satu sekolah inklusi yang ada di Kabupaten Sleman tepatnya berada di Kecamatan
Ngaglik. Sekolah ini merupakan sekolah reguler biasa, namun sejak tahun 2012 telah ditetapkan secara resmi menjadi sekolah inklusi. Hal tersebut
secara resmi telah tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga No. 245 tahun 2012 tentang
peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Selain itu adanya faktor prestasi anak didik di SD N Brengosan
dan kondisi anak berkebutuhan khusus disekitar sekolah yang menjadi dasar sekolah inklusi. Seperti yang diungkapkan bapak A. Sarjiyo selaku
Kepala Sekolah Dasar Negeri Brengosan I pada wawancara 15 September 2016 bahwa:
“Jadi awal mulanya adanya beberapa anak yang selalu tidak naik kelas, kemudian ada masukan dari SLB terdekat supaya dapat
diajukan menjadi sekolah inklusi, sehingga nanti guru- gurunya mendapat pengetahuan dasar untuk membina anak- anak
berebutuhan khusus tersebut, sehingga atas saran saran dari SLB dan adanya ABK maka disini kemudaian dijadikan seklah inklusi.
Sebetulnya kalo kemauan dari sekolah juga tidak tapi karena dari masyarakat ada ABK, juga saran saran dari SLB, kemudian dari
Dinas juga menunjuk sekolah juga dan sudah ada SK dari Dinas
Kota.” Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Yuning selaku
Guru Kelas IV SD Brengosan I pada wawancara 15 September 2016 yaitu:
108
“Pada mulanya itu ada anak di lingkungan sekitar SD yang memiliki kebutuhan khusus, dan siswa yang tidak naik kelas juga
cukup banyak. Kebetulan ada guru SLB setelah bermusyawarah dengan kami kemudian menyarankan kita untuk menjadi sekolah
inklusi. Kemungkinan beliau laporan dan tahu-tahu disini sudah
menjadi inklusi. “ Latar belakang SD N Brengosan I yang semula reguler menjadi
inklusi cenderung dipengaruhi oleh keadaan peserta didik serta adanya saran dari guru SLB. Dikarenakan adanya siswa yang setelah masuk
mengalami hambatan dalam pembelajaran dan ada ABK yang akan masuk, maka diajukan menjadi sekolah inklusi. Penetapan itu supaya sumber daya
manusia di SD N Brengosan I mempunyai pengetahuan penanganan ABK. Hingga saaat ini kebanyakan siswa di sekolah tersebut
kecenderungan hambatan kecerdasan, untuk siswa yang berkebutuhan pada panca indra beberapa tahun lalu ada, namun disarankan untuk ke
SLB. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan SDM dan perkembangan anak. Diketahuinya siswa ABK tersebut melalui sebuah proses yang
disebut identifikasi dan assessmen, untuk memastikan kondisi anak, kelemahan, potensi anak, serta rencana pembelajaran yang akan diberikan.
1 Perencanaan Pengelolaan Asesmen
Sekolah dalam memutuskan seorang anak ketunaan dan pelayanananya didahului dengan proses asesmen. Sekolah telah
merencanakan pelaksanaan asesmen setiap tahun ajaran baru dimulai tepatnya saat masuk kelas I satu. Hal tersebut seperti pernyataan dari
ibu A selaku Guru Pendamping Khusus pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan:
109
“Perencanaan pelaksaanaan asesmen yang dilakukan sekolah, kita merencanakan pelaksanaan asesmen tiap tahunnya, nanti ada
instrumen pelaksanaan asesmen, kemudian saya memberikan instrumen itu ke guru kelas, nanti guru kelas mengadakan
asesmen. bahkan ada yang dilakukan setiap satu semester. Jadi tetap kita pantau perkembangannya. Selain itu ada instrumen
untuk ke orang tua, itu biasanaya lebih ke riwayat anak, kelahiran,
riwayat pertumbuhan dan lainnya”. Pendapat tersebut diperkuat oleh bapak SA pada wawancara 15
September 2016 yaitu: “Kalau diharuskan walaupun tidak diharuskan kami sekolah inklusi
tetap melaksanakan di awal tahun pelajaran, karena akan menentukan anak tersebut berkebutuhan atau tidak. Jadi asesmen
tetap diadakan di awal tahun pelajaran. Karena kami menyadari kalo sekolah inklusi ya harus ada asesmen”
Hal tersebut menunjukkan jika perencanaan pelaksanaan asesmen dilakukan sejak kelas rendah, dan dilakukan secara berkesinambungan
dari kelas rendah ke kelas yag lebih tinggi. Sehingga perkembangan anak akan terus teramati apakah anak masih mengalami hambatan
belajar atau tidak, apabila tidak anak tersebut tidak akan diberikan asesmen lagi. Selain itu pada penerimaan peserta didik baru sekolah
juga melakukan pengamatan terhadap calon siswa yang diduga mengalami kebutuhan khusus. Secara teknis sekolah mempunyai tim
pelaksana yang secara tidak langsung terlibat. Seperti halnya yang dikatakan bapak Sa pada wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu:
“Pertama, ada guru kelas mereka yang mengerti dan mengenal siswanya sendiri, GPK yang lebih tahu tentang anak
berkebutuhan khusus, kepala sekolah, lalu orang tua siswa yang mengetahui perkembangan anak dari lahir, dan pihak Puskesmas
Ngaglik I yang mampu melakukan tes IQ”
110
Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat ibu A pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan:
“Guru kelas nanti saya beri instrumen untuk pengamatan siswa karena guru kelas yang setiap hari bertatap muka dengan siswa,
lalu saya sebagai GPK mendampingi guru kelas bersama dengan kepala sekolah sebagai konsultan. Peran orang tua kita libatkan
untuk mencari riwayat anaknya, dan bantuan dari Puskesmas
Ngaglik, karena disana sudah ada psikolognya” Jadi secara tak langsung pihak yang terlibat dalam proses
identifikasi dan asesmen anak cukup beragam dan mempunyai perannya masing masing. Pihak tersebut akan terlibat mulai dari proses identifikasi
hingga pelayanan pendidikan khusus. 2
Pengelolaan Asesmen di Sekolah Pelaksanaan
asesmen dapat
dilakukan setelah
dilakukan identifikasi, pelaksanaan identifikasi untuk menentukan dugaan ketunaan
pada anak dan penanganan dini. Strategi pelaksanaan asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan sebagai berikut:
a. Tahap Identifikasi
SD N Brengosan I melakukan identifikasi terlebih dahulu sebelum tahap asesmen dilakukan. Identikasi tersebut dilakukan dengan
menghimpun data anak, menganalisa data anak, pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah, dan menyelenggarakan pertemuan kasus, untuk
kemudian melakukan perekapan data yang diperoleh. Identifikasi dilakukan terhadap anak
– anak di sekolah yang diduga mengalami kelainan berdasarkan pengamatan guru, hasil belajar, dan perilaku
111
siswa. Seperti halnya pendapat dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29 September 2016 bahwa:
“Dilihat dari prestasinya bagaimana, perilakunya, kepribadiannya juga. Kalau prestasinya jauh dari temen lainnya, Oh anak ini
kemungkinan ABK, nanti saya lapor ke GPK baru GPK yang
menindak lanjuti” Pendapat tersebut didukung dengan pernyataan dari Bapak SA
pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Pertama, ada pengamatan yang dilakukan guru kelas dan
dikonsultasikan ke GPK dan Kepala Sekolah. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan wawancara atau pengisian instrumen
blangko untuk penentuan ketunaan sementara. Tahapan selanjutnya dengan membawa anak itu untuk diasesmenkan di
Puskesmas” Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Andini Lestari
selaku Guru Kelas III pada wawancara 15 September 2016 yakni: “Kalau saya menilai dengan cara lisan, dan mengamati
perkembangan belajar anak seperti keakftifan anak, hasil belajar dan nanti berdiskusi den
gan GPK” Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui pelaksanaan identifikasi
dilakukan guru kelas melalui pengamatan, dan instrumen. Kriteria yang menjadi acuan penetapan sementara ABK biasanya berupa faktor
prestasi, perilaku,dan kepribadian anak. Identifikasi tersebut dilakukan untuk menentukan dugaan sementara bahwa anak tersebut memiliki
ketunaan dan sebagai dasar tindak selanjutnya. Pelaksanaan sendiri dilakukan dengan menggunakan instrumen identifikasi dengan bentuk 5
Form Identifikasi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 yaitu:
112
“Jadi pelaksanaan identifikasi sudah ada intrumennya. Jadi setelah diidentifikasi nanti kita rekap. Berdasarkan hasil dari
identifikasi nanti bisa kita lihat oh ternyata anak ini treatmentnya harus seperti ini, oh ternyata anak ini perlu dites IQ, ternyata ada
beberapaa indikator dari identifikasi ini yang menunjukkan dia ada permasalahan dalam belajar. Nah setelah itu misallkan anak
terdeteksi slow learner nanti kita putuskan untuk Tes IQ di Puskesmas, jadi saya tidak saya ngejudge saya gak berani. Jadi
identifikasi dilakukan oleh guru kelas dulu, nanti saya baru
mendampingi” Berdasarkan hal tersebut diketahui jika pelaksanaan identifikasi
hanya menduga sementara, yang dilakukan oleh guru kelas. Sekolah tidak bisa menetapkan seorang anak sebagai ABK, sebelum dilakukan
asesmen. Form Identifikasi yang digunakan SD Negeri Brengosan I untuk menghimpun data anak diantaranya sebagai berikut:
- Form I : instrumen berisikan penggalian informasi terkait
perkembangan anak mulai dari anak lahir hingga masuk pendidikan terakhir anak.
- Form II : bertujuan untuk memperoleh informasi terkait data
orang tua atau wali murid siswa yang diduga anak berkebutuhan khusus.
- Form III : instrumen tentang AI ABK, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi atau mengamati anak yang diduga berkebutuhan khusus dikelas, dengan melihat gejala- gejala
yang nampak pada anak sesuai dengan tolak ukur yang ada pada instrumen.
- Form IV : instrumen ini memuat tentang uraian kasus atau
masalah yang ditemui pada anak yang terindikasi berkelainan
113
dan membutuhkan pelayanan khusus. Penemuan kasus berdasarkan hasil pengamatan guru kelas.
- Form V : memuat laporan hasil pertemuan kasus anak yang
memerlukan pelayanan khusus. Instrumen identifikasi yang dilaksanakan oleh guru kelas tersebut
diberikan kepada wali siswa khusu untuk Form 1 dan II, sedangkan form III, IV, dan V berdasarkan pengamatan guru kelas serta diskusi
dengan GPK. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 bahwa:
“Saya hanya menyerahkan blangko atau instrumen ke orang tua. Jadi nanti GPK memberi blangko itu untuk diserahkan ke wali
murid. Sebagai bahan pertimbangan rujukan ke puskesmas. Tapi itu juga lama, anaknya sering lupa memberikannya. Bahkan diberi
blangko kadang hilang” Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu A pada
wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “...Jadi instrumen saya tujukan ke orang tua, tetapi kadang orang
tua itu mengisikan instrumen itu tidak sesuai kenyataan, terkadang orang tua itu malu atau bagaimana, mereka cenderung
menutupi. Kadang saat saya memberikan intrumen itu, orang tua mengisi tidak seperti apa yang saya lihat gitu lho mas. Itu
menghambat pengumpulan informasi, ada lagi orang tua yang pemahamanya juga kurang untuk memahami apa maksud dari
yang saya inginkan, jadi terkait assessmen itu juga perlu
pemahaman mas, kalo orang tua tidak mampu ya bagaimana lagi” Hal tersebut diperkuat pernyataan dari Ibu Ika Pratiwi selaku wali
siswa berkebutuhan pada wawancara tanggal 6 November 2016 bahwa: “Kalau dulu itu ada angket – angket kesaya, isinya pertanyaan itu
seperti anak anda kelahiran normal atau tidak, bisa berjalan umur berapa, saat di TK bagaimana, semacam pendataan gitu mas. Tapi
itukan
sudah lama jadi sedikit lupa keadaan saat itu”
114
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui jika pembuatan instrumen masih tergantung pada pemberian GPK, guru kelas lebih
pada menyampaikan pada orang tua dan proses pengamatan saja. Selain itu adanya kendala yang ditemui di SD Negeri Brengosan I dalam
menghimpun data anak cukup beragam mulai dari adanya instrumen yang hilang, anak yang tidak memberikan ke orang tua, orang tua yang
kurang mengetahui maksud dari instrumen, dan orang tua yang cenderung menutupi keadaan anaknya.
Setelah data diperoleh, data yang diperoleh akan direkap oleh guru kelas bersama GPK dan melihat perkembangan anak yang diduga
ABK tersebut. Selain itu sebagai bahan pertimbangan sebelum berkonsultasi ke Kepala Sekolah,dan bahan data rujukan. Jadi sebagai
tindak lanjut identifikasi ABK untuk dapat diberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang tepat, maka tindak lanjut yang dilakukan
adalah melaksanakan asesmen. b.
Tahap Asesmen ABK Asesmen ini merupakan proses penyaringan terhadap anak yang
telah teridentifikasi sebagai ABK, proses ini penting dalam menyiapkan pembelajaran yang sesuai bagi anak. Selain itu untuk lebih dapat
melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri anak. Proses Asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan I menggunakan teknik
asesmen psikolgi yang bekerja sama dengan Psikolog di Puskesmas Ngaglik II. Puskesmas dipilih sekolah sebagai pihak yang berkompeten
115
melakukan asesmen dikarenakan sudah mempunyai ahli psikolog Strata 2 S2 yang mampu melakukan tes IQ. Perencaanaan Puskesmas
Ngaglik II sebagai mitra di sarankan oleh GPK setelah berkonsultasi ke Puskesmas. Seperti halnya pernyataan dari Ibu A pada wawancara 19
Oktober 2016 bahwa: “Asal mulanya saya sendiri, jadi saya datang ke puskesmas, saya
tanyakan disana apakah ada psikolognya, jadi saya kan memang mencari psikolog yang sudah S-2 karaena yang mempuyai
wewenang melaksanakan tes IQ kan pskolog Strata 2, kalau S1 kan belum ada, jadi karena sudah terjalin, nanti sewaktu saya
akan tes IQ disana saya tingga menghubungi nanti pihak
Puskesmas yang akan menyiapkan persiapan dan jadwalnya” Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Bapak SA pada
wawancara 19 Oktober 2016 yang mengatakan : “Puskemas II Ngaglik itu yang memilihkan itu dari GPK,
karena disana sudah ada Psikolog yang berstrata S-2 dan mampu untuk melakukan tesIQ pada siswa, selain itu lokasinya pun
cukup dekat dari sekolah hanya beberapa meter saja” Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui jika peran GPK
selain sebagai pendamping juga mencarikan mitra Puskesmas sebagai mitra yang mempunyai pakar psikologinya, selain itu sekolah juga
mengupayakan untuk memilih mitra yang dapat melakukan tes IQ. Lokasi yang dekat juga dapat mempersingkat alur pengelolaan asesmen
di sekolah. Tes IQ dianggap mampu menunjukkan tingkat intelegensi anak yang bersangkutan, selain itu karena kebanyakan siswa yang
dianggap ABK berparas seperti anak normal. Setelah mengikuti pembelajaran baru diketahui jika anak mempunyai hambatan
kecerdasan. Jadi dapat diketahui jika alur pengelolaan asesmen yang
116
dilakukan di SD N Brengosan I mulai dari tahap identifikasi, perujukan, pemberian arahan dan pembahasan hasil asesmen dari
Puskesmas. Seperti pernyataan dari Ibu A pada wawancara 15 September 2016 bahwa:
“Kalau metode asesmen kita pertama melakukan wawancara pada orang tua atau mulai dari lahir selama perkembangan
bagaimana. Kemudian jika saya berdiskusi dengan guru kelas kita lihat bagaimana perkembangan anak selama pertama
masuk mungkins setelah satu bulan nanti bisa kelihatan apakah anak itu kita curigai sebagai abk, setelah itu kita konsultasi,
dan memberi tahu ke orang tua bahwa ini anak ibu seperti ini, kemudain kita ke Puskesmas untuk dites IQ. Kalau sudah ada tes
IQ kita tahu dan memastikan bagaimana kondisi anak, kemudian orang tua tahu kita beri arahan kalo dia memang tidak bisa
berkembang secara akademik kita arahkan ke SLB. Tapi itu kembali ke orang tuanya lagi mas, apakah orang tua tidak mau
dipindah anaknya akan dikeluarkan kan juga eman- eman dan tidak boleh kan mas, dan tetap itu tanggung jawab kita
bersama”.
Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu I pada wawancara tanggal 6 November 2016yaitu:
“Kalau tes IQ sudah pernah di tes IQ kan satu kali, hasilnya diberikan kesekolah. Dari surat itu dikasih tahu anak ibu itu
usianya berkisar 4 tahun 6 bulan, kemudian diberikan saran harus belajar rutin dan dipantau terus menerus, ada saran untuk
dileskan namun kami sedikit kesulitan, jadi hanya saya ajari saja dirumah”
Hal tersebut menunjukkan jika asesmen dilakukan secara sistematis, mulai pengumpulan informasi, pengamatan, konsultasi, dan
tes IQ. Peran orang tua juga dilibatkan dan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya. Jikalau orang tua tidak begitu peduli
117
dengan hasil dan arahan, anak akan sulit berkembang. ABK yang sulit berkembang akan disarankan untuk dirujuk ke SLB.
Sedangkan besar anggaran untuk melakukan tes IQ yang digunakan berasal dari dana BOS yang diterima oleh sekolah.
Pernyataan tersebut berdasarkan wawancara dengan Bapak SA pada tanggal 15 September 2016 yaitu:
“Anggaran khusus itu hanya saat proses asesmen itu kami ambilkan dari BOS, jadi dari bos ini ada melakukan asesmen,
jadi alokasi bos itu kami gunakan untuk keperluan proses
pelaksanaan Asesmen” Pendapat tersebut didukung oleh Ibu A pada wawancara tanggal
15 September 2016 bahwa: “Biaya dari sekolah, karena itu kebijakan Puskesmas sekarang.
Pembiayaanya biasanya sekitar Rp 20.000, itupun tergantung jenis tesnya seperti Wyse atau BINe, dan itu tergantung usia
anak. Jadi kalau dia kelas 1-2 biasanya tes dengan model SPM Bine. Tetapi kalau sudah pindahan dari sekolah lain
menggunakan tes Wyse, karena yang diamati lebih luas, berbeda dengan SPM dia lebih berfokus pada kesiapan anak masuk
sekolah”. Berdasarkan peryataan tersebut biaya asesmen pada orang tua
digratiskan. Sekolah bertanggung jawab dalam pengelolaan biaya yang dibutuhakan selama proses asesmen. Tes yang digunakan
bergantung dari kebijakan Puskesmas dan melihat usia anak yang akan dites IQ. Proses identifikasi dan asesmen ini akan tetap berlanjut
dikelas yang lebih tinggi, jika anak yang sebelumnya mengalami gangguan dan masuk kelas selanjutnya sudah tidak mengalami
gangguan. Anak tersebut sudah dilepas dari kategori ABK yang ada di SD Negeri 1 Brengosan.
118
c. Pembahasan Hasil Asesmen
Setelah asesmen dilakukan oleh Puskesmas, akan diketahui karakter anak yang menjadi klien mulai dari kelemahan, kelebihan,
dan bentuk pelayanan yang dianggap cocok diberikan pada anak. Sekolah dapat memastikan ketunaan anak, dan pelayanananya. Bentuk
hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Puskesmas berupa skor tingkat intelegensi yang didapat anak dan saran. Hal seperti itu diungkapkan
oleh Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa: “Saran yang diberikan Pukesmas itu ada, seperti gambaran anak
itu seperti apa, kelemahan anak sepertai apa, kelebihanya, terus yang bisa dikembangkan seperti apa itu ada. Jadi biasanaya
kalau orang tuanya kooperatif nanti juga saya ajak untuk
diberikan penyuluhan dari Puskesmas”. Selain itu terdapat rincian pengukuran yang disertakan
diantaranya dalam kemampuan pengetahuan umum, visual motorik, penalaran aritmatik, konsentrasi dan memori, kemampuan kata dan
verbal, dan evaluasi dan penalaran. Tindakan selanjutnya yang dilakukan sekolah adalah melakukan pembahasan terhadap hasil yang
didapat serta meneruskan memberikan arahan kepada orang tua. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Bapak SA pada wawancara 19
Oktober 2016 bahwa: “Pembahasan hasil identifikasi.asesmen biasanya dilakukan oleh
GPK, guru kelas dan orang tua, untuk digunakan sebagai perumusan rancangan pembelajaran, kalau orang tua untuk
memberikan hasil assessmen dan apa
–apa saja yang perlu diberikan kepada anak saat dirumah. Karena kalau hanya dari
pihak sekolah sendiri, nantinya anak akan sulit berkemban g”.
119
Pernyataan tersebut didukung dengan pendapat dari Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 yang mengatakan:
“Jadi antara saya dan guru kelas setelah diadakan identifikasi, asesmen dan tes IQ nanti ada pembahasan, oh anak ini
mengalami masalah seperti ini, maka pemecahan masalahnya seperti ini, pembelajarannya seperti ini. Dan kemudaian guru
kelas yang meneruskan ke orang tua, jadi saya hanya membantu saja atau mendampingi saja agar guru itu bisa mandiri, ataupun
saat nanti saya ditarik mereka sudah siap. Jadi setelah di asesmen ini ada pembahasan antara GPK, guru kelas, orang
tua”. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu I pada
wawancara tanggal 1 Oktober 2016 bahwa: “Dulu pernah disuruh Ibu wali kelas sama Ibu Astuti untuk
memantau belajar anak dan perutinan belajar, dan dulu pernah saya leskan ke tempat wali kelas tapi karena anaknya dulu tidak
penuh berangkat, kemudian saya stop, karena hanya membuang
biaya”. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui
bahwa setelah dilakukan tes IQ dilakukan pembahasan hasil untuk mencari solusi memecahkan masalah atau kelemahan pada anak, serta
menyampaikan arahan kepada wali siswa terkait hasil dan penanganan anak dirumah. Selain memberikan hasil dari tes IQ tertulis, Psikolog
di Puskesmas II Ngaglik juga memberikan saran kepada guru atau orangtua. Beberapa hal tersebut yang menjadi dasar dalam
pertimbangan pembuatan RPP oleh guru. Selain itu menyiapkan pelayanan pembelajaran yang dapat sesuai dengan anak. Seperti
halnya pernyataan dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29 eptember 2016 yaitu:
120
“Setelah diasesmen saya menanangi anak tergantung saran dari Puskesmas, contohnya kalau anak slow learner nanti ditambahi
atau membutuhkan pendampingan khusus, jadi kalo saya diberi tugas pada teman lain bisa jalan tapi nanti saya mendampingi
terus abk itu. Juga ada diskusi dengan GPK dalam membuat
RPP,sama pemberitahuan ke wali siswanya”. Hal tersebut didukung pernyataan dari Ibu AL pada wawancara
tanggal 15 September 2016 bahwa: “Setelah dites IQ saya berdiskusi dengan GPK berdasarkan hasil
dan saran dari Puskesmas, kemudian memberi tahu orang tua anak”.
Dengan demikian pembahasan yang dilakukan sekolah dalam menanggapi hasil asesmen yang diperoleh anak dilaksanakan oleh
Guru Kelas, Guru Pembimbing Khusus dan Orang tua anak. Selain sebagai dasar pertimbangan dalam membuat rencana pembelajaran
dan pelayanan bagi anak, namun juga mengupayakan agar selain mendapatkan pembelajaran di sekolah, peran orang tua dirumah dalam
memberikan pengajaran tetap diutamakan agar anak tersebut benar –
benar dapat berkembang. Berdasarkan data di sekolah, dikarenakan banyak anak yang mengalami gangguan kecerdasan maka upaya yang
sering dilakukan dengan meningkatkan jam pembelajaran, dan penyesuaian pada RPP.
3 Tindak Lanjut Asesmen
Tujuan utama asesmen adalah untuk kepentingan penyusunan program belajar ABK. Jika sekolahtelah mendapati gambaran dari
hasil asesmen, kemudian guru membuat rancangan pembelajaran bagi ABK.
121
a. Perencanaan Pembelajaran Pada tahap ini SD N Brengosan I akan menganalisa hasil
asesmen untuk menyesuaian dengan kurikulum yang digunakan. Dikarenakan faktor hambatan yang ditemui sekolah adalah hambatan
pada kecerdasan, maka kurikulum yang digunakan menggunakan model modifikasi sesuai karakter anak meyesuaikan tingkat
intelegensi anak. Jadi kurikulum yang digunakan sekolah sama dengan kurikulum pada umumnya, hanya dimodifikasi saja.
Penyusunan RPP sendiri dilakukan oleh guru kelas dan GPK, namun GPK hanya mendampingi. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ibu
A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa: “Rencana pembelajaran itu saya dan guru kelas, jadi saya
hanya membimbing dan mendampingi guru kelas dalam membuat RPP, karena kecenderungan RPP di sini
menurunkan indikator kesulitan, dilihat dari banyak ABK yang mengalami ha
mbatan kecerdasannya”. RPP yang digunakan oleh guru kelas di SD N Brengosan I
kebanyakan menggunakan model terintegrasi. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu Y pada wawancara tanggal 29 September
2016 yaitu: “Kalau penyusunan RPP terintegrasi, RPPnya masih sama
jika yang saya buat, belum disendirikan. Karena kalau saya sendirikan nanti repot mas”.
Peryataan tersebut didukung pernyataan dari Bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa:
“...kami dalam perencanaan RPP, ada RPP yang di modifikasi jadi RPPnya itu tujuannya sudah dibagi dua
122
untuk ABK dan reguler, dan itu sudah ada penurunan tingkat kesukaran materi, dari kelas satu sampai kelas 5. Untuk kelas
6 kami tidak menurunkan kesukaran materi, karena agar kelas enam bisa mengikuti ujian nasional semua. Karena untuk
naik masuk ke SMP inklusi itu disini masih jauh, kasihan orang tua mereka. Karena kan jika sekolah sendiri yang
membuat ujian nanti anak tidak punya ijazah hanya STTD. Dan saat mau melanjutkan ke SMP harus SMP inklusi dan itu
jauh, jadi kami justru takut kalau anak itu bisa putus sekolah. Jadi kelas enam kami paksakan untuk sama rata, hanya kami
menurunkan nilai KKM sehingga mendekati ABK itu bisa lulus, bisa KKM itu skor 2. Jadi ada mata pelajaran tertentu
itu kami menerapkan KKM itu bisa 1-2 karena untuk mengawekani
ABK itu agar bisa lulus”. Hal tersebut diperkuat dengan hasil dokumen berupa RPP yang
dibuat oleh Ibu AL selaku guru Kelas III dan wawancara dengan beliau pada tanggal 15 September 2016 bahwa :
“Saya menggunakan RPP yang terintegrasii. Tapi RPP yang saya buat saya rasa belum mampu meningkatkan kemampuan
anak, jadi jika saya setarakan dengan anak nomal kemungkinan gak bisa mengikut. Kalau RPP khusus ABK
juga dirasa belum mampu juga. Terkadang saya buat soal dua macam yang satu normal dan satu abk. Tapi kadang
matematika saya turunkan angkanya”. Hal ini menunjukkan kebanyakan guru mempunyai satu RPP
namun didalamnya memuat dua rumusan perencanaan yaitu untuk siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Terdapat komponen
pembelajaran yang tidak dimodifikasi seperti rumusan Standar Kompetensi SK, Kompetensi Dasar KD dan alokasi waktu.
Komponen yang dimodifikasi terletak pada indikator pembelajaran, tujuan pembelajaran, kegiatan inti, dan instrumen penilaian.
Modifikasi yang dilakukan pada penurunan tingkat kesukaran.
123
Kebijakan yang diterapkan sekolah adanya pengecualian modifikasi RPP di kelas 6, agar semua anak baik reguler atau umum
dapat mengikuti ujian nasional dan mendapatkan ijazah. Selain itu untuk memberikan akses yang luas dalam melanjutkan sekolah.
b Pelaksanaan Pembelajaran
Tahap setelah
menyusun RPP,
guru melaksanakan
pembelajaran dan mengorganisasikan siswa berkebutuhan sesuai rencana yang telah dibuat. Berdasarkan observasi yang dilakukan
diketahui jika proses belajar mengajar pada umumnya sama dengan pengajaran reguler. Semua siswa berada dalam satu kelas dan
menerima penyampaian topik yang sama, ruang dan waktu yang sama, namun untuk ABK ada pengurangan materi, pengulangan, dan
pendampingan baik oleh guru kelas atau GPK jika sedang masuk kekelas. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Ibu A pada wawancara
tanggal 15 September 2016 yaitu: “Pelaksanaan pembelajaran lebih ke guru kelas, dan saya
hanya mendampingi saja jika ada kesulitan”.
Pernyataan terebut didukung pendapat dari Ibu AL pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa:
“Kalau yang saya lakukan pengajaran dilakukan seperti pada RPP yang saya buat, kadang diskusi, ceramah, atau dikte.
GPK kadang masuk kekelas III, biasanya mendampingi anak yang tunagrahita. Kalau penempatan tempat duduknya saya
pisah antara ABK dan yang biasa, namun tetap tempat duduknya berputar setiap minggunya”.
124
Pendapat tersebut diperkuat pernyataan dari Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 yakni:
“Kalau pengelolaan didalam kelas itu diajarkan sama dengan yang umum, tapi ada tambahannya supaya tidak ketinggal
jauh dari temannya diberi jam tambahan. Dan tempat duduknya dicampur tapi disendirikan yang ABK-nya.
Prestasi belajarnya juga jauh dibandingkan dengan anak normal. Kalau ada tugas tetap kita dampingi tidak ditinggal
”.
Hal tersebut diperkuat oleh hasil observasi yang dilakukan peneliti pada tanggal 15 September 2016 bahwa pelaksanaan belajar
dilakukan dengan ceramah dan pendampingan oleh GPK terhadap anak yang mempunyai hambatan kecerdasan cukup berat yaitu
tunagrahita. Sebelum memulai pembelajaran guru hanya menanyakan kepada siswa apakah sudah siap, serta menyiapkan materi belajar.
Sedangkan saat usai pembelajaran terkadang guru akan memberikan PR, dan anak akan melakukan bersih
– bersih ruang kelas. Penempatan tempat duduk antara siswa berkebutuhan dan reguler
diletakkan secara terpisah. Siswa ABK kelas III diposisikan dengan siswa ABK dikelompokkan tersendiri, dan tetap ada rolling tempat
duduk. Sedangkan anak tunagrahita berada didepan meja guru dan duduk sendiri untuk mempermudah pendampingan. Penempatan
tempat duduk ABK di kelas IV pun sama, dan menggunakan sistem pergeseran tempat duduk setiap minggunya.
Pelaksanaan pembelajaran dikelas yang dilakukan oleh guru sendiri juga mengalami kesulitan. Hal tersebut memang tidak dapat
125
dipungkiri karena, faktor anak berkebutuhan yang mempunyai hambatan kecerdasan harus pelan- pelan khusunya slow learner.
Namun untuk tunagrahita dirasa sulit karena kemampuan anak akan seperti itu terus. Banyak guru yang mengatakan jika kesulitan yang
dialami banyak dari segi prestasi dan memfokuskan anak, selain itu juga terbatasnya GPK masuk kelas, membuat guru kelas kesulitan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak SA pada wawancara 15 September 2016 yakni:
“Kekuranganya itu prestasi anak sulit untuk naik karena terbebani oleh ABK itu. Guru-guru menjadi terkonsen ke
sana karena bercabang dua. Karena dalam itukan di katakan anak inklusi harus mendapat perlakuan yang lebih banyak
atau khusus, jadi waktunya ya agak terserap kesana, sehingga prestasinya yang lain agak terbebani, dan KKMnya juga
turun”. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Ibu AL pada
wawancara 15 September 2016: “Kekurangannya karena GPK hanya satu dan seminggu
hanya dua hari, jadi guru kelas itu tidak bisa mengikuti, fokus anak yang ABK karena membaur kan dengan anak yang
normal. Jadi ya tidak bisa fokus untuk memberikan pengajaran. Kaau saya memegang yang ABK nanti anak yang
normal akan ketinggalan”. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 bahwa: “kalau kekurangannya prestasi, jadikan jika sekolah umum
dan sekolah inklusi itukan disamakan hasilnya. Jadi sekolah inklusi yang banyak abknya tidak bisa meraih prestasi seperti
sekolah lain, karena sekolah inklusi lebih mengutamakan
pelayanan pada prinsipnya”.
126
Keadaan seperti itu merupakan hal yang umum dialami oleh sekolah, dan menjadi tanggung jawab bersama dalam meningkatkan
kemampuan anak. Disamping kendala tersebut sekolah juga telah berperan
dalam memberikan
pendidikan bagi
anak yang
membutuhkan, dan sekolah sudah memaklumi. Hal tersebut diungkapkan bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016
yang mengatakan : “Kemudian untuk kelebihannya kita bisa menolong mendidik
anak yang ditolak disana sini, biasanya anak yang ABK jika disekolah umum atau tidak naik anak itu akan keluar dan
ditolak dibebrapa sekolah, nah disini kami bisa menerima. Jadi kita bisa bersyukur kita bisa menolong anak yang
berkebutuhan khusus, kemudian kita juga bisa lebih menghargai, tidak diskrimansi, memberikan pengetahuan
kepada anak anak lain untuk bisa lebih menghargai pada ABK sehingga kita dengan adanya itu ya toleransi kita guru
dan anak bisa lebih tinggi”. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara tanggal 29 September 2016 bahwa: “Kalau kelebihan itu bisa menolong anak yang tidak bisa
diterima disekolah lain” Proses pembelajaran yang dilakukan SD N Brengosan I dapat
dikatakan berjalan baik, banyak guru yang takut prestasi sekolah turun. Salah satu upaya mengatasi dengan memberikan pengarahn
pada orang tua, penambahan jam belajar, memang pembelajaran pada ABK di sekolah harus pelan- pelan. Salah satu kebijakan yang
diambil sekolah karena keterbatasan tenaga dan sarana adalah menyarankan ABK yang memiliki ketunaan sedikit berat untuk
127
pindah ke SLB. Namun itu membutuhkan proses dan persetujuan orang tua.
c Pelaksanaan Evaluasi Belajar
Setelah proses
pembelajaran untuk
dapat memantau
perkembangan belajar anak dilakukan evaluasi atau melalui ulangan. Evaluasi ini dilakukan setiap pembelajaran telah selesai dilakukan.
Standar dan alat penilaian yang diterapkan oleh guru menyesuaikan kebutuhan anak terutama ABK. Evaluai ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai, serta tindak lanjut selanjutnya. Hal tersebut yang dikemukakan Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 bahwa: “Model evaluasi yang dilakukan sendiri, contohnya kalau
misalnya matematika, MTK jika perkalian kalau yang anak normal bilangannya besar tapi kalo ABK masih rendah
bilangannya. jika belum ada peningkatan nanti ada perbaikan, itupun masih tetap saya dampingi, karena anaknya sulit
membaca dan tidak bisa memahami isi bacaan belum tahu maksudnya. Nanti kalo dibiarkan nilainya bisa nol- nol terus
m
as”.
Pernyataan trsebut didukung pernyataan dari Ibu AL pada wawancara 15 September 2016 yaitu:
“...yang khusus inklusi hanya lisan, sedangkan saat pas ulangan ya saya bacakan tapi kadang juga tidak bisa dan sulit
nyambung. Ada juga yang suruh milih pilihan ganda abc, itu disilang semua. Evaluasinya saya kasih soal sendiri untuk yang
normal kalau yang abk ya lisan, jawabanya nanti saya tulis baru bisa saya lakukan penilaian. Kalau lisan dia bisa
jawabnya, tapi kalau nulis itu disilang semua. hal itu dialami
oleh anak abk yang tunagrahita”.
128
Hal tersebut menunjukkan jika pelaksanaan evaluasi disesuaikan dengan kondisi siswanya, terkadang siswa juga
mendapat pendampingan saat mengerjakan soal. Dikarenakan untuk mengatasi ABK yang sulit membaca, menulis, atau yang terlalu
aktif. Hasil dari evaluasi akan diberitahukan kepada orang tua untuk dapat melihat perkembangan yang diperoleh anak mulai dari tahap
identifikasi hingga evaluasi. Biasanya akan ada saran tindakan yang diberikan oleh sekolah. Jadi terkadang orang tua ada yang berperan
aktif dalam proses identifikasi dan asesmen namun tidak semua orang tua turut kooperatif dalam menangani anak. Hal tersebut
disampaikan Ibu AL pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Orang tua itu tidak peduli dengan ABK-nya, dianjurkan ke
SLB orang tua masih tidak mau mendukung, pokoknya saya titip anak saya gak naik tidak papa asalkan tidak ke SLB.
Tapikan kemampuan anak itu ya seperti itu terus dinaikkan ke
kelas empat pun juga sama, soalnya ingatannya supa lupa”. Pendapat didukung oleh pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 yang mengatakan: “Sebenarnya orang tua dilibatkan, tapi orang tauanya tidak
mau tahu. Sudah diberitahu kalo anaknya dibimbing dirumah, tapi nyatanya tidak dibimbing katanya kula nderek ibu mawon
saya sudah tobatme ngajari. Jadi semuanya diserahkan ke sekolah. Jadi kalau dirumah tidak ada bantuan orang tua
manabisa berkembang”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Bapak SA pada wawancara
tanggal 15 September 2016 bahwa: “Sudah,orang tua itu sudah mendukung hanya mendukungnya
itu dalam bentuk kerjasamanya yang bagus, hanyasaja untuk diarahkannya karena misalnya hasil asesmen guru- guru itu
anak itu sudah diberi pelajaran inklusi itu sulit diarahkan untuk
129
dipindahkan ke SLB itu sulit itu susah. Jadi kalau diajak wawancara itu mudah, hanya saat diarahkan disuruh
menyesuaikan kemampuan anak untuk pindah ke SLB itu sulit, bilangnya sudah disini aja, tidak naik tidaak apa-apa begitu.
Jadi mungkin dari orang tua itu imagenya jika sekolah di SLB itu kurang. Kami sarankan kalau yang banget
–banget itu untuk ke SLB tapi orang tuanya susah atau tidak mau, tapi ada juga
orang tua yang mau untuk pindah tapi itu butuh proses panjang. Pemberitahuan hanya kami wawancara lisan dan
menunjukkan hasil ulangan anak, kemudian kemungkinan perkembangan kedepan anak, dan kami beri waktu jika
sekarang belum berkenan, satu dua bulan atau beberapa tahun lagi, jika hasilnya masih kurang ya bagaimana lagi harus
kesana tapi ya prosesnya itu sulit” Hal tersebut menunjukkan jika karakter orang tua berbeda-
beda, pengarahan yang dilakukan sekolah setelah mendapat hasil assessmen dan evaluasi ini untuk mengetahui dan menyesuaikan
kemampuan anak. Namun ada beberapa anak yang sudah mendapati perkembangan dari proses belajar mengajar di SD N Brengosan I
kemajuan yang diperoleh rendah. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu I pada wawancara 6 November 2016 bahwa:
“Saya rasa nilai anak saya sekarang tidak beda jauh dengan nilai anak lainnya, dan perkembangan yang saya rasakan
sekarang anak sudah lebih peka, bisa membaca, menulis dan
tanggungg jawab”. Perkembangan yang dirasakan orang tua sudah lebih baik
setelah diberikan pengajaran dan pendampingan di sekolah. Anak yang diputuskan mengalami slow learner kini sudah mulai
berkembang, hanya kurang di pelajaran matematika. Pembelajaran untuk anak slow learner meang harus pelan, namun untuk anak yang
tunagrahita atau ketunaan yang cukup berat sekolah mempunyai
130
kebijakan sendiri. Dilihat dari keterbatasan tenaga serta hasil tes yang diperoleh anak, jika anak sulit berkembang akan ada arahan
untuk dirujuk ke SLB. Akan tetapi karena berbagai alasan ada orang tua yang tidak berkenan, dan upaya sekolah dalam menanggapinya
dengan menunggu serta tetap menerima keadaan anak. Guru akan tetap memantau secara berkala perkembangan ABK dikelas. Hal
tersebut untuk mengantisipasi jika anak keluar sekolah justru putus sekolah.
4 Pelayanan Pendidikan Khusus
Sekolah mengupayakan setelah dilakukan identifikasiasesmen dan pembelajaran di kelas, membentuk sebuah pelayanan khusus
berupa jam tambahan belajar bagi ABK. Didasarkan pada keberadaan ABK yang belajar kebanyakan mengalami gangguan kecerdasan,
selain memberikan pengajaran bersama dengan teman lainnya. Sekolah tetap memberikan waktu tambahan belajar khusus bagi ABK
pascapembelajaran kurang lebih 30 sampai 60 menit untuk mengulang dan menguatkan materi yang diterima dan sulit dipahami anak. Hal ini
disampaikan bapak SA pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Sebatas pengulangan materi, tambahan kalau disinag hari
sekitar 1-12 jam ada pengulangan materi pada ABK supaya tidak kebingungan dan diakhir pelajaran. Itu hanya tinggal ABK
yang mendapat pendalaman materi”. Hal tersebut didukung pendapat Ibu A pada wawancara 15
September 2016 yakni:
131
“Pelayanan pendidikan khusus hanya pemberian tambahan jam belajar, dan guru kelas ada yang seperti itu mas, tapi ya itu
kesadaran sih mas, kalau saya ingin ngopyak opyak tidak enak gitu mas”.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 yang mengatakan:
“Pelayanan pendidikan khusus hanya penambahan jam belajar, dan pelaksanaanya tidak tentu tapi setelah pulang pelajaran
khusus ABKnya. Tapi kadang kalau teman ABK lainnya sudah pulang , mereka ikut gelisah ingin pulang. Jadi hanya sebentar.
Itupun responya, ada satu anak yang tidak mau dengan pelajaran yang diberikan, responya sulit. Dia itu mudah lupa, suka
bengong, kalau ditanya atau diingatkan menunduk”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui jika sekolah
tetap mengupayakan pelayanan pendidikan yang maksimal bagi anak. Salah satunya dengan memberikan pelayanan khusus berupa
penambahan jam belajar siswa. Sehingga pembelajaran yang diperoleh anak tidak akan lupa. Selanjutnya peran orang tua dirumah yang akan
turut memantau belajar anak. Sehingga pembelajaran tidak akan berjalan disekolah saja, namun dirumah anak tetap berjalan. Senada
dengan yang diungkapkan Ibu I selaku wali yang turut memantau dan mengelola belajar anak dirumah pada wawancara tanggal 6 November
2016 bahwa: “Kalau saya, sekarang setiap hari tetap saya ingatkan harus
belajar, sudah ada perkembangan dibanding kemarin. Kemudian kita lihat juga hasil ulangan anak,untuk saat ini sudah lumayan
bisa menulis, dibanding dahulu kelas satu yang tidak mau menulis, tapi kalau matematika masih pelan-pelan, yang penting
membaca menulis itu dulu mas. Kalau pengelolaan dirumah kadang saya paksa, tapi tergantung juga dari mod anak sendiri,
kadang dia yang meminta untuk diajari. Tanggung jawab sekolah sekarang sudah tinggi dibanding sebelu
mnya.”
132
Dengan demikian hubungan antara orang tua dan sekolah dalam memantau perkembangan belajar anak sudah berjalan, namun tidak
semua. Jam tambahan belajar yang dilakukan sekolah belum semua guru menjalankan setiap harinya, oleh karena itu peran orang tua
dirumah tetap diperlukan. Hal itu untuk menghindari proses pembelajaran yang hanya berakhir saat disekolah selesai, sehingga
ABK dapat lebih berkembang.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan