132
Dengan demikian hubungan antara orang tua dan sekolah dalam memantau perkembangan belajar anak sudah berjalan, namun tidak
semua. Jam tambahan belajar yang dilakukan sekolah belum semua guru menjalankan setiap harinya, oleh karena itu peran orang tua
dirumah tetap diperlukan. Hal itu untuk menghindari proses pembelajaran yang hanya berakhir saat disekolah selesai, sehingga
ABK dapat lebih berkembang.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY.
Didalam penerapan kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dilakukan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga hingga pada
pengelolaannya disekolah tentu tidak lepas dari berbagai kendala dan dukungan. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan
tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan Bapak P pada wawancara 6 September 2016 yang mengatakan:
“Kemampun guru atau kekurangan guru itu sendiri pertama kurang, kedua mereka belum tahu dan perlu dilatih. Seperti yang pernah
disampikan bapak Rochmat Wahab sekarang ini ada materi PLB sekian SKS masuk dalam mata kuliah di setiap prodi UNY juga
menjadi faktor pendukungnya. GPK alokasi waktunya hanya 2 hari, dengan 4 hari di SLB. Itupun di slb ditinggal 2 hari juga kewalahan.
Faktor penghambat lainnya seperti jumlah sekolah inklusi kan sekian banyak, jadi kendala yang sering ditemui di penganggarannya.
Mungkin juga kendalanya jumlah sekolah itu sekian dan kita hanya bisa melaksanakannya tidak semua kena hanya sekitar 80 saja.
Selain itu termasuk didalamnya pengalokasikan pembinaan sekolah
oleh dinas kota dalam membina sekolah inklusi belum maksimal” . Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari bapak S pada
wawancara 9 September 2016 bahwa:
133
“Faktor penghambatnya itu pemahaman terhadap kebijakan pendidikan inklusi belum semua dipahami guru reguler. Jadi mereka
beranggapan jika siswa inklusi itu akan menghambat prestasi sekolah. Perumpamaanya seperti ini anak lambat belajar ini kalau
diiterima disekolah akan mengurangi rata rata prestasi sekolah kami. Padahal kebijakan di pemerintah pusat itu ada peningkatan mutu
kualitas akademik dan non akademik dan peningkatan akses, semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan dua kebijakan
itu yang kadangkala belum sinkron, jadiyaa bukan penghambat cuman butuh pemahaman saja. Kalau pendukungnya pemahaman
tentang pendidikan inklsui sudah mampu diaksses oleh setiap
masyarakatnya”. Faktor penghambat yang dirasakan Dinas Pendidikan mengacu pada
permasalahan dalam peningkatan akses dan mutu. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui jika kendala yang dialami kebanyakan
dari faktor kemampuan guru dalam hal pendidikan dan pelayanan ABK masih kurang, diperbantukan GPK dari Dinas juga dirasa belum mampu.
Dikarenakan sekolah inklusi yang ada berbanding terbalik dengan ketersediaan GPK yang diambil dari SLB. Upaya yang dilakukan oleh Dinas
dengan membentuk pelatihan juga belum mampu diterima oleh guru- guru reguler. Hal tersebut membuat kemampuan guru reguler dalam melayani
ABK khususnya proses identifikasi dan asesmen cukup terganggu dan tergantung pada keberadaan GPK. Kebanyakan sekolah hanya terbatas
mengikuti pelatihan yang disediakan oleh Dinas terkait. Faktor pendukung dalam implementasi kebijakan asesmen ini dalam
penerapannya di sekolah inklusi sudah mendapat dukungan dengan adanya pemberian materi PLB pada perkuliahan yang mencetak tenaga guru.
Sehingga masalah pemahaman guru kedepannya dapat lebih luas dan siap jika menangani ABK. Apabila GPK terbatas guru sudah mampu menangani ABK
134
tersebut. Pemahaman masyarakat terkait pendidikan inklusi saat ini sudah dapat diketahui serta diakses setiap masyarakat.
Selain faktor pendukung dan penghambat pada tingkatan Dinas Pendidikan, implementasinya disekolah sendiri tidak lepas dari berbagai
macam hal. Pernyataan tersebut diutarakan oleh pendapat Bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu :
“Kalau faktor pendukungnya yaitu orang tua siswa kooperatif bisa diajak untuk bermusyawarah, gurunya juga sabar, pihak puskesmas
juga bisa menerima kami dengan enak, kalau kekurangannya kami sebatas pengetahuannya, kami guru
–guru tidak lulusan SLB, kebanayakan hanya PGSD. Jadi untuk keabkan hanya diberikan saat
ada pelatihan. Jadi ya hanya tahu sedikit sebatas mengisii blangko untuk membuat hasil atau menentukan dari isian itu diputuskan
kebkan anak itu mungkin kurang maskimal. Jadi pengetahuan tentang
keabkan hanya sebatas jika ada pelatihan”
Faktor pendukung pelaksanaan asesmen di SD N Brengosan Idiantaranya sudah terbantu dengan adanya Puskesmas. Ketersediaan tenaga
yang profesional dan jarak yang dekat membantu sekolah dalam melaksanakan assessmen bagi anak didik. Selain itu pemahaman masyarakat
terkait pendidikan inklusi sudah tinggi, dalam bekerja sama pelaksanaan asesmen disekolah sudah terlibat.
Faktor yang menjadi penghambat banyak dalam bentuk kerjasama yang diberikan orang tua, tidak semua orang tua mengisi instrumen yang
diserahkan oleh sekolah sesuai kenyataan. Beberapa orang tua cenderung menutupi keadaan siswanya, dan menyulitkan guru dan sekolah dalam
mengumpulkan informasi terkait proses identifikasi dan asesmen. Hal
135
tersebut seperti yang diungkapakan Ibu A pada wawancara 15 September 2016 bahwa:
“Kalau faktor pendukungnya yaitu instrumen sudah ada, sedangkan kalau faktor penghambat kadang orang tua itu mengisikan instrumen
itu tidak sesuai apa kenyataan kadang orang tua itu yang malu atau bagaimana, cenderung menutupi. Jadi instrumen saya tujukan ke
orang tua. Kadang saat saya memberikan intrumen itu, orang tua mengisi tidak seperti apa yang saya lihat gitu lho mas. Itu
menghambat pengumpulan informasi, ada lagi orang tua yang pemahamanya juga kurang untuk memahami apa maksud dari yang
saya inginkan, jadi terkait assessmen itu juga perlu pemahaman mas, kalau orang tua tidak mampu ya bagaimana lagi”.
Pernyataan tersebut didukung oleh Ibu AL pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan:
“Pendukungnya hanya dari pihak puskesmas sudah kooperatif dengan sekolah, dan pemerolehan informasi oleh orang tua saya rasa
cukup baik walaupun ada beberapa yang belum sesuai dengan kenyataaan. Kalau penghambatnya itu peran orang tuanya, jadi orang
tuanya itu yang kurang peduli dengan kemampuan anaknya, dan ada orang tua yang sama dengan kemamp
uan anaknya”. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Ibu Y pada wawancara 29
September 2016 bahwa: “Kalau penghambatnya ini orang tua itu hanya sesuatunya itu
menyerahkan pada sekolah. Dirumah tidak ditangani bagaimnanya tidak. Soalnya diberi PR tetap berangkat masih utuh, tidak diajari oleh
orang tua. Kan orang tuanya banyak yang kurang mampu, banyak yang SD, dan kalau pelajaran dikelas tinggi kurang mampu. Kalau
mengisi blangko itu tidak disi semua, ngisinya tidak sesuai pengamatan saya dan diiisi yang bagus bagus saja kebanyakan.
Pendukungnya pihak Puskesmas yang kooperatif”’.
Melihat keadaan yang dialami beberapa guru dalam menerapkan proses identifikasi dan asesmen tersebut, akan menghambat pengumpulan data
sebagai dasar penetapan ABK sementara dan rujukan ke Puskesmas. Peran
136
guru kelas atau sekolah dalam hal ini perlu untuk meningkatkan komunikasi dan arahan kepada orang tua agar dapat lebih kooperatif. Jika melihat dari hal
tersebut banyak faktor yang mempengaruhi implemantasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK di sekolah inklusi baik oleh Dinas maupun sekolah
itu sendiri.
C. Pembahasan
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi di
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
Kebijakan menurut pendapat James E. Anderson dalam Sudiyono, 2007: 4. mengatakan jika suatu kebijakan merupakan tindakan yang
mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang, organisasi atau individu guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Implementasi kebijakan
merupakan seluruh tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan memiliki beberapa tahapan yang harus
dilakukan agar sesuai dengan tujuan kebijakan, Lineberry dalam Sudiyono , 2007: 80 menyatakan bahwa implementasi mencakup beberapa tahap-
tahap, yaitu membuat dan menyusun staf , menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh
– sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan.,
melakukan koordinasi terkait sumber daya dan pembiayaan, dan mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak kebijakan.
Dinas Pendidikan tentu saja harus melewati tahapan tersebut untuk dapat mengatasi permasalahan dan menerapkan kebijakan pengelolaan