IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY.

(1)

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS

PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Eka Rachmad Yuliawan NIM 12110244022

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

 Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tertidur

(Richard Wheeler)  Pendidikan yang benar untuk membuat ketimpangan, ketimpangan

individualis, ketimpangan kesuksesan, dan ketimpangan kejeniusan. (Felix E. Schelling)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk :

1. Orang tuaku yang senantiasa

mendukung dan mendoakan keberhasilan studiku

2. Almamaterku Universitas Negeri

Yogyakarta yang telah memberikanku ilmu.


(7)

vii

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS

PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY Oleh

Eka Rachmad Yuliawan NIM 12110244022

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY; 2) Faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah Kepala Seksi PLB, Kepala Kursis TK-SD, Kepala sekolah, guru pendamping khusus, guru kelas, dan orang tua sebagai subyek pendukung. Setting penelitian berada di DISDIKPORA Prov. DIY, DISDIK Kab. Sleman, dan SD N Brengosan I. Metode Pengumpulan data dengan wawancara, dokumentasi, dan observasi. Uji Keabsahan dengan teknik triangulasi. Teknik analisis data menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ini dilakukan dengan membagi pihak yang berperan dalam mengelola pendidikan di DIY, mengembangkan kerangka kerja berdasar kebijakan pusat, mengkoordinasikan sumber daya dan pembiayaan antara Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan mengaloksikan sumber daya dengan memperbantukan GPK. Hasil dari implementasi tersebut berupa pengadaan pelatihan asesmen, menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait, dan membentuk lembaga khusus. SD N Brengosan I sebagai sekolah inklusi sudah dapat merasakan sarana seperti guru pendamping khusus, pelatihan guru, Puskesmas, dan pusat sumber yang diberikan Dinas terkait. Meskipun belum secara optimal, sekolah mampu untuk melaksanakan kebijakan asesmen ini melalui beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut asesmen. Didukung dengan pelayanan khusus berupa penambahan jam belajar siswa ABK; 2) faktor pendukung implementasi tersebut berupa materi PLB (Pendidikan Luar Biasa) sudah diberikan pada mata kuliah kependidikan, tingkat pemahaman masyarakat terhadap pendidikan inklusi sudah meningkat, adanya Puskesmas sebagai mitra kerja sekolah. Sedangkan faktor penghambatnya adalah pemahaman guru reguler masih lemah, alokasi tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) yang terbatas, anggaran pelatihan bagi guru yang terbatas dan belum merata, beberapa orang tua kurang peduli dan sulit memahami arahan dari sekolah.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dengan judul

“Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus

Sekolah Inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY”

Skripsi yang ditulis sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri penulis, namun demikian masih tersirat harapan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa keberhasilan yang penulis capai ini bukanlah karena kerja individu semata, tetapi berkat bantuan semua pihak yang ikut mendukung dalam penyelesaianya proposal skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu dalam memberikan izin atas terealisasikannya penelitian ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Drs. Joko Sri Sukardi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat terwujud.

4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan ilmu kepada penulis.


(9)

ix

5. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY yang telah memberikan izin penuiis untuk melakukan penelitian, memberikan dukungan, kemudahan dan kelancaran selama proses penelitian.

6. Kepala Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD, Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian, memberikan dukungan dan data penelitian, kemudahan dan kelancaran selama proses penelitian berlangsung. 7. Kepala sekolah, guru kelas, guru pembimbing kbusus serta orang tua

siswa berkebutuhan khusus SD N Brengosan I Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian, memberikan dukungan, kemudahan memperoleh data penelitian dan kelancaran selama proses penelitian.

8. Teman-teman Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah membantu dalam rangka pelaksanaan penelitian sampai tersusunya skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat saya sampaikan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyusunan penelitian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih mempunyai kekurangan. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak.

Yogyakarta, 3 Mei 2017 Penulis


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 11

1. Rumusan Implementasi ... 11

2. Pengertian Kebijakan ... 13

3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 14

4. Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 16

B. Pengertian Sekolah Inklusi ... 20

1. Pendidikan Inklusi ... 20


(11)

xi

3. Konsep Pendidikan Inklusi ... 23

C. Kajian Anak Berkebutuhan Khusus ... 24

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 25

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ... 27

D. Kajian Pengelolaan Asesmen ... 30

1. Kajian tentang Pengelolaan ... 30

2. Kajian tentang Asesmen ... 30

3. Tujuan Asesmen ... 37

4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen ... 39

E. Penelitian yang Relevan ... 44

F. Kerangka Pikir ... 48

G. Pertanyaan Penelitian ... 50

BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 51

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

C. Subjek Penelitian ... 53

D. Teknik Pengumpulan Data ... 55

E. Instrumen Penelitian ... 57

F. Teknik Analisis Data ... 61

G. Uji Keabsahan Data ... 63

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A . Deskripsi Umum ... 65

1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Yogyakarta ... 65

2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman ... 74

3. Sekolah Dasar Negeri Brengosan I ... 75

B. Hasil Penelitian ... 84

1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ... 84

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ... 132


(12)

xii

B. Pembahasan ... 136

1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ... 136

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ... 160

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 163

B. Saran ... 164

DAFTAR PUSTAKA ... 166


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Indikator Asesmen ... 43

Tabel 2. Realisasi waktu penelitian ... 53

Tabel 3. Kisi- kisi pedoman wawancara ... 57

Tabel 4. Kisi- kisi pedoman observasi ... 59

Tabel 5. Kisi- kisi pedoman dokumentasi ... 60

Tabel 6. Rekapitulasi data individu sekolah inklusi dan ABK ... 73

Tabel 7. Data kepegawaian ... 80

Tabel 8. Data ruangan ... 81

Tabel 9. Alat peraga/ praktek penunjang ... 81

Tabel 10. Daftar siswa selama 3 tahun ... 83


(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

hal

Bagan 1. Relasi Identifikasi dan Asesmen ... 31

Bagan 2. Program Pembelajaran Individual ... 42

Bagan 3. Kerangka Pikir ... 49


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman observasi, dokumentasi, dan wawancara ... 169

Lampiran 2. Contoh analisis data ... 183

Lampiran 3. Catatan lapangan ... 206

Lampiran 4. Foto dokumentasi ... 212

Lampiran 5. Dokumen peserta didik ... 217

Lampiran 6. Surat-surat keputusan ... 236


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Setiap pelaksanaan kegiatan tidak akan lepas dari sebuah kebijakan baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau pendidikan. Kebijakan menjadi satu hal yang sangat penting dalam pendidikan, dikarenakan menyangkut arah pendidikan itu akan dibawa, kemajuan dan pendidikan yang bermutu, tujuan dari pendidikan serta kepentingan unsur didalamnya. Proses pembuatan kebijakan tidak akan lepas dari beberapa langkah dalam merumuskan kebijakan pendidikan yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

Pada dasarnya kebijakan dapat diungkap sebagai langkah dalam melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk mengatasi beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif Rohman, 2009: 108). Kebijakan pendidikan sendiri merupakan bagian dari kebijakan publik yang didalamnya mengandung acuan atau aturan yang berkaitan dengan alokasi, penyerapan, dan persebaran sumber, juga pengaturan perilaku dalam dunia pendidikan (Arif Rohman, 2009: 108). Kebijakan pendidikan ini merupakan bagian kebijakan publik dalam dunia pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Begitu halnya dengan kebijakan atau program yang ada di DISDIKPORA (Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga) Provinsi Yogyakarta khususnya Seksi PLB (Pendidikan Luar Biasa) dalam usaha


(17)

2

peningkatan mutu pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bertugas melaksanakan perencanaan, pengelolaan, monitoring, serta pengawasan seluruh kegiatan pembelajaran pendidikan luar biasa di Provinsi Yogyakarta. Seksi PLB ini bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang ada di 5 (lima) kabupaten di Provinsi Yogyakarta.

Seksi PLB tidak hanya bertanggung jawab pada Sekolah Luar Biasa, namun juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di setiap Kabupaten terhadap keberlangsungan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI). Hal tersebut dikarenakan persebaran sekolah inklusi di seluruh kabupaten yang terbilang banyak, sehingga butuh peran dari setiap Dinas Pendidikan setempat. Seperti halnya DISDIKPORA Kabupaten Sleman yang turut berperan dalam mengelola pendidikan inklusi di Kabupaten Sleman.

Anak yang dikategorikan sebagai ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) sesuai dengan Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 menimbang bahwa ”anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami kelainanan fisik emosional, mental, sosial, dan/ atau bakat istimewa”. Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh kembang ditengah keluarga, masyarakat, dan bangsa. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap

warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Diperkuat dengan UU

Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 yang mengatakan “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang


(18)

3

bermutu”. ABK memiliki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang normal. Setiap ABK diperlukan layanan pendidikan khusus sesuai dengan keterbatasan pada dirinya. Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah umum (TK, SD, SMP, SMA, atau SMK) melarang ABK untuk masuk ke sekolah tersebut.

Pendidikan inklusi menurut Permendiknas No.70 tahun 2009 didefinisikan sebagai ”sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang mempunyai keterbatasan fisik atau kelainan dan mempunyai kecerdasan maupun bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran didalam lingkungan pendidikan bersama peserta didik pada umumnya”.Sistem layanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan anak yang bersifat khusus. Penyesuain dalam hal adapatasi kurikulum, pembelajaran, sarana prasarana ataupun penilaian. Secara sederhana pendidikan inklusi ini untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak, menghargai keberagaman, tidak diskriminasi kepada setiap peserta didik.

Suatu proses pendidikan atau pembelajaran tidak akan lepas dari peran serta guru, murid, kurikulum dan faktor pendukung lainnya. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Tanpa adanya guru yang berkompeten dapat menimbulkan kegagalan dalam proses pembelajaran. Khususunya peran guru dalam proses pembelajaran di Sekolah inklusi, sehingga dalam menentukan program belajar dan bimbingan anak terlebih pada anak berkebutuhan khusus diperlukan teknik yang berbeda.


(19)

4

Didalam menghadapi anak berkebutuhan khsusus tidak serta merta dapat diamati secara gamblang, sehingga peran guru harus berperan aktif dalam melihat apa yang menjadi kendala siswa dalam belajar ataupun mengetahui kebutuhan khusus yang dibutuhkan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui proses identifikasi dan asesmen pada peserta didik ketika ada anak berkebutuhan khusus masuk ke sekolah.

Identifikasi dan asesmen pada anak berkebutuhan khusus merupakan dua jenis kegiatan yang sangat penting dilakukan oleh seorang guru untuk memahami anak. Hal tersebut sebagai bagian usaha mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khsusus secara dini. Identifikasi anak berkebutuhan khusus sesuai Permendiknas No.70 tahun 2009 sebagai “proses penjaringan, yang akan menghasilkan peserta didik yang berkelainan dan perlu mendapat layanan pendidikan”. Asesmen merupakan “penyaringan, menyusun informasi untuk bahan program pembelajaran siswa, dengan memahami kelebihan dan kekurangan siswa”.

Dengan demikian identifikasi merupakan tahapan pertama sebelum dilakukan asesmen, dan proses asesmen hanya dapat dilakukan setelah ada identifikasi (McLoughlin dan Lewis dalam Budiyanto, 2014: 33). Keduanya merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Pelaksanaan asesmen terhadap ABK di sekolah inklusi lebih tertuju pada peran guru dalam mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal sesuai kebutuhan yang dibutuhkan anak. Pelaksanaan asesmen harus dilakukan secara mendalam terhadap siswa disekolah inklusi yang telah diidentifikasi


(20)

5

sebagai anak berkebutuhan khusus. Dilanjutkan dengan memberikan penanganan secara khusus pada ABK. Berhasil atau tidaknya pembelajaran juga dipengaruhi oleh pemberian pelayanan anak berkelainan melalui asesmen ini.

Jika melihat orang yang melakukannya, proses identifikasi dapat dilakukan oleh guru, ahli yang profesioanal, dapat juga dilakukan oleh orang terdekat, orang tua ataupun keluarga. Hal tersebut dikarenakan proses identifikasi lebih menjaring kekurangan atau kelainan yang memang dapat diamati dan diukur sesuai kriteria yang berlaku, seperti ciri ketunaan, faktor penyebab, data anak dan sebagainya.

Disisi lain proses asesmen yang ideal merupakan suatu proses yang harus dilakukan mendalam, berkesinambungan, melibatkan orang terdekat dan dilakukan oleh pakar atau tenaga ahli yang sesuai bidang kemampuan yang dimiliki seperti, psikolog, terapis ataupun sosiolog. Hal ini dikarenakan dalam memahami kekhususan anak, ada anak-anak yang dapat dikenali dengan mudah sebagai anak berkebutuhan khusus, namun ada juga yang membutuhkan pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan, penanganan yang akan diberikan. Anak-anak yang mengalami kelainan fisik misalnya, dapat dikenali melalui pengamatan guru saja, sedangkan untuk anak-anak yang mengalami kelainan dalam segi emosional dan intelektual memerlukan alat khusus, pemahaman lebih serta penelusuran mendalam untuk dapat menentukan penangan serta pelayanan bagi anak itu. Selain itu pemaknaan hasil asesmen yang diperoleh tidak hanya berakhir di sekolah


(21)

6

dalam penyusunan RPP dan pelayanan. Hasil tersebut dapat menjadi modal orang tua dalam membimbing anaknya dirumah. Berdasarkan proses asesmen inilah muncul keselarasan antara pemberian pembelajaran disekolah dan dirumah, sehingga ABK memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan, dan berkesinambungan sampai anak itu mampu mengembangkan diri

Pada kenyataanya dilapangan banyak guru sekolah inklusi yang sukar untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus, membuat rencana pembelajaran, atau memberikan pelayanan yang sesuai. Selain itu sulitnya guru dalam mengajar atau mengarahkan anak berkebutuhan khusus didalam kelas juga kerap ditemui. Hal ini dapat dipicu karena tidak semua guru di sekolah inklusi berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa sehingga masih minim pengetahuan terkait penanganan anak berkebutuhan khusus. Tidak seimbangnya pula guru pendamping khusus dengan sekolah inklusi dan alokasi waktu yang diberikan. Selain itu adanya hubungan beberapa orang tua ABK dan sekolah yang tidak selaras dengan yang diharapkan, seperti beberapa orang tua yang kurang peduli dengan anaknya. Turut memberi gambaran bahwa sekolahlah yang bertanggung jawab penuh, dan pelayananannya hanya sebatas di sekolah saja.

Perbedaan penilaian dan pemahaman tersebut membuat pemberian pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah menjadi kurang tepat sasaran dan pemenuhan kebutuhan terhadap anak didiknya menjadi terhambat. Hal tersebut membuat guru sulit untuk mengetahui perkembangan anak dan cara guru dalam memberikan pelayanan kebutuhan yang sesuai bagi anak.


(22)

7

Dampaknya justru menghambat bakat, minat, serta intelektual anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran.

Implementasi kebijakan seharusnya mampu mengatasi permasalahan yang ada untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebuah proses penerapan kebijakan, harus ada bentuk pengawasan dan tindak lanjutnya. Apakah kebijakan tersebut mampu mengatasi permasalahan yang ada atau tidak. Berdasarkan permasalahan diatas dibentuklah kebijakan pendidikan dalam pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY. Kebijakan pengelolaan asesmen seharusnya ada sinergi antara Dinas Pendidikan sebagai pemegang kebijakan, pihak-pihak pendukung dan sekolah sebagai sasaran kebijakan. Dinas Pendidikan seharusnya menindaklanjuti kebijakan yang diterapkan, tidak hanya sebatas menerapkan. Sehingga penerapannya tidak hanya sebatas sampai di lembaga saja, namun juga elemen masyarakat. SD Negeri Brengosan I merupakan salah satu satuan pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta berbasis inklusi yang melaksanakan kebijakan pengelolaan asesmen tersebut. Sekolah ini berada di dusun Kayunan, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Tercatat pada tahun 2015/2016 ini ada sekitar 20 anak yang berkelainan (ABK) di SD N Brengosan I.

Kenyataannya, sekolah masih mengalami kendala dalam melakukan asesmen dan pelayanan khusus. Kendala tersebut muncul karena faktor intern disekolah (SDM) dan ekstern (seperti orang tua). Oleh karena itu penelitian ini penting diteliti untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi dari


(23)

8

kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dilaksanakan oleh DISDIKPORA DIY dan ditindaklanjuti dengan mengetahui penerapannya di sekolah inklusi tersebut.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis lampirkan dapat diidentifikasi beberapa masalah diantaranya:

1. Anak Berkebutuhan khusus kurang mendapatkan pelayanan dan penanganan yang sesuai kebutuhan anak.

2. Tidak semua guru berlatarbelakang Pendidikan Luar Biasa 3. Guru sulit mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus 4. Pemenuhan kebutuhan terhadap anak kurang tepat sasaran 5. Terbatasnya guru pendamping khusus di sekolah inklusi.

6. Beberapa orang tua anak berkebutuhan khusus yang kurang peduli. 7. Implementasi kebijakan asesmen di sekolah belum optimal.

C.Batasan Penelitian

Berdasarkan beberapa identifikasi masalah pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus yang luas, maka peneliti disini lebih berfokus pada masalah implementasi kebijakan pengelolaan assesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY.


(24)

9 D.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagaimana proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY?

2. Faktor Pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY?

E.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan:

1. Proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY meliputi taahapan proses implementasi, program hasil implementasi kebijakan, pelaksanaan asesmen di sekolah, peran sekolah, guru kelas, dan guru pendamping khusus, proses belajar mengajar, evaluasi dan tindak lanjut.

2. Faktor yang menjadi pendukung dan penghambat proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:


(25)

10 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan gambaran pengetahuan bagi mahasiswa serta untuk menambah perbendaharaan kepustakaan bagi kampus.

b. Memberikan gambaran dan wawasan bagi penulis terkait masalah yang menjadi fokus penelitian.

c. Menjadikan salah satu penggambaran tentang kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khsusus di sekolah inklusi yang dilaksanakan oleh Dinas terkait.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi: a. Kepala Sie. Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi

Yogyakarta sebagai bahan masukan dalam pengambilan, pelaksanaan, pengembangan, permasalahan serta evaluasi dalam pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepala sekolah dalam penentuan kebijakan pelaksanaaan dan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus, serta pelayanan pendidikan khusus.

c. Guru (guru kelas/ dan guru pendamping khusus) dapat menjadi bahan masukan dalam meningkatkan kompetensi guru dalam pengelolaan asesmen, serta pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi ABK.

d. Mahasiswa tentang kajian yang telah dibuat ini, untuk dapat memperoleh wawasan dan manfaat yang berguna di kemudian hari.


(26)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan

1. Rumusan Implementasi

Pada dasarnya dalam merumuskan kebijakan bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan atau hambatan yang ada. Pencapaian tujuan tersebut dapat dilaksanakan melalui proses implementasi kebijakan yang tepat sasaran.

Webster (Arif Rohman , 2012: 105) menjelaskan implementasi sebagai ;

“To provide the means for carrying out (mempersiapkan sarana untuk melaksanaan sesuatu); to give practical effect to ( mengakibatkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”.

Proses implementasi seperti yang dijelaskan Webster tersebut bahwasanya implementasi seperti sebuah tindakan dalam melaksanakan sesuatu yang dapat memunculkan dampak dan akibat. Dampak tersebut dapat berupa peraturan, kebijakan yang dirumuskan pemerintah atau lembaga untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pandangan lain seperti diungkapkan Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134) bahwa implementasi adalah suatu tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah atau swasta sebagai pemegang kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, tindakan implementasi dilakukan oleh pemegang kebijakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.


(27)

12

M Grindle dalam Arif Rohman (2009: 134) juga mendefinisikan implementasi sebagai berikut:

“Implementasi mencakup tugas dalam membentuk suatu ikatan yang memungkinkan arah suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari aktivitas pemerintah”.

Jadi menurut pendapat tersebut implementasi merupakan keseluruhan hubungan yang berpengaruh dalam merealisasikan kebijakan yang dirumuskan pemerintah. Seorang pakar bernama Charles O, Jones (Arif Rohman, 2009: 135) mendasarkan diri pada konsep aktifasi fungsional, untuk mengoperasikan program. Tiga pilar tersebut adalah :

a. Pengorganisasian, dengan cara pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit, atau metode guna menjalankan program tersebut.

b. Interpretasi, sebagai aktifitas dalam menafsirkan agar suatu program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima dan dilakukan.

c. Aplikasi, meliputi perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran dan lain sebagainya yang disesuaikan dengan tujuan atau keperluan program.

Lineberry dalam Sudiyono (2007: 80) menyatakan bahwa implementasi mencakup beberapa tahap- tahap, yaitu:

a. Membuat dan menyusun staf suatu agen baru guna melaksanakan sebuah kebijakan baru.

b. Menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan.

c. Melakukan koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan pembagian tanggung jawab antar agen.

d. Mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak kebijakan.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat ditegaskan bahwa implementasi merupakan sebuah proses penerapan suatu kebijakan oleh


(28)

13

pemerintah atau organisasi tertentu untuk direalisasikan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Pengertian Kebijakan

Kebijakan Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris yaitu “policy”. Istilah kebijakan kadang disamakan dengan makna kebijaksanaan. Pada dasarnya kebijakan dapat diungkapkan sebagai langkah dalam melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk mengatasi beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif Rohman, 2009: 108). Jadi menurut pendapat tersebut keijakan diartikan sebagai tindakan untuk mengatasi suatu permasalahan, baik disengaja ataupun tidak.

James E. Anderson mengatakan jika suatu kebijakan merupakan tindakan yang mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang, organisasi atau individu guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui (Sudiyono, 2007: 4). Jadi Sebuah kebijakan dibuat untuk berbagai tujuan atau menyelesaikan masalah. Syafaruddin (2008: 75) mengatakan jika sebuah kebijakan atau policy yang menyangkut ide tata kelola, pengaturan didalam organisasi disebut policy berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi diterima pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Dengan demikian kebijakan merupakan ide, atau aturan yang dibuat organisasi atau pemerintah agar diikuti setiap individu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.


(29)

14

Perumusan kebijakan merupakan hal yang penting dan sangat berpengaruh kedepannya, para pemegang kuasa dalam membuat kebijakan tentu didasarkan pada aspek yang dihadapi, sarana yang dibutuhkan, serta pengaruh atau dampak yang dapat timbul. Setiap jenis perumusan kebijakan berkaitan dengan berbagai aspek seperti sudut pandang (perspective), menyangkut hakikat (substance), kajian filosofi (metapolicy), dan perilaku (behaviour) tersembunyi atau nyata dari pembuat kebijakan (Hodgkinson dalam Arif Rohman, 2009: 113). Terdapat dua jenis pendekatan dalam merumuskan sebuah kebijakan menurut Arif Rohman (2009: 114) yaitu:

a. Social Demand Approach

Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang berlandaskan pada aspek tuntutan, aspirasi dan apa yang didesakan oleh masyarakat kepada pemerintah. Pada dasarnya pendekatan ini tidak hanya menanggapi respon dari masyarakat namun juga tuntutan masyarakat terkait pelaksanaan pendidikan.

b. Man-Power Approach

Pendekatan man-power ini berfokus pada perumusan keijakan yang didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan yang dibutuhkan dalam menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia yang cukup di masayarakat. Pendekatan ini lebih memunculkan seorang pemimpin atau aktor kebijakan yang memiliki pandangan yang lebih jauh kedepan, tidak menunggu adanya tuntutan dari masyarakat.

Jadi dua pendekatan kebijakan tersebut didasarkan pada dorongan atau respon dari masyarakat, serta pendekatan yang berlandaskan pada pertimbangan kebutuhan di masyarakat. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat ditegaskan jika kebijakan adalah serangkaian langkah atau


(30)

15

tindakan yang dibuat oleh pemerintah atau organisasi untuk diterapkan dan diikuti, yang bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan yang ada.

3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan

Terdapat beberapa macam teori yang menjabarkan tentang implementasi kebijakan pendidikan yang digagas oleh para ahli. Diantaranya terdapat tiga teori yang paling menonjol. Menurut Arif Rohman (2009: 136-140) ketiga teori tersebut dikembangkan oleh:

a. Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gunn

Dua ahli ini berpandangan bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan yang sempurna (perfect implementation) diperlukan syarat khusus. Syarat tersebut diantaranya kondisi eksternal yang dihadapi instansi pelaksana tidak menimbulkan dampak atau kendala serius. Harus tersedia waktu dan sumber yang cukup bagi pelaksana program. Sumber –sumber yang dibutuhkan harus tersedia dan terpadu. Kebijakan yang akan diimplementasikan harus berdasar pada hubungan kausalitas yang handal. Hubungan kausalitas tersebut harus bersifat langsung dan minim rantai penghubungnya.

b. Van Metter dan Van Horn

Van Metter dan Van Horn menngembangkan sebuah teori yang disebut Model Proses Implementasi Kebijakan (A Model of the Policy Implementation Process). Kedua pakar tersebut kemudian membuat dua tipologi kebijakan. Pertama, yaitu


(31)

16

jumlah setiap perubahan yang akan dihasilkan. Kedua, jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terkait tujuan diantara pihak – pihak yang turut serta dalam proses implementasi. Berdasar pada dua indikator tersebut, suatu proses implementasi kebijakan akan berhasil jika pada sisi segi perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan pada segi yang lain terdapat kesepakatan terhadap tujuan dari para pelaksana dalam mengoperasikan program yang cukup tinggi.

c. Daniel Mazmanian dan Paul. A Sabatier

Teori yang dikembangkan kedua ahli ini dikenal sebagai a frame work for implementation anlysis atau Kerangka Analisis Implementasi (KAI). Peran dari teori KAI ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan pendidikan adalah mengidentifikasi variabel – variabel yang dapat mempengaruhi terwujud tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tercapainya tujuan formal implementasi diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu; (a) tingkat kesulitan yang akan digarap atau dikendalikan, (b) kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menyusun struktur yang tepat dalam proses implementasi, (c) pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan terkait tujuan yang terkandung dalam keputusan kebijakan tersebut.


(32)

17 4. Implementasi Kebijakan Pendidikan

Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat penting dan penuh resiko. Apabila sebuah kebijakan sudah dibuat namun tidak ada tindak lanjut atas penerapan kebijakan tersebut hanya sia –sia, hanya menjadi wacana. Peran dari setiap elemen sangat dibutuhkan agar suatu kebijakan dan terealisasaikan. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi sumber keberhasilan atau kegagalan dari proses implementasi kebijakan, yaitu; (a) faktor yang terletak pada rumusan kebijakan, (b) faktor yang terletak pada personil pelaksana, dan (c) faktor pada sistem organisasi pelaksana (Arif Rohman, 2009: 147). Beberapa faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam penerapan sebuah kebijakan.

Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan diri yang telah dimulai sejak manusia tersebut dilahirkan hingga mereka meninggal. Pendidikan akan menuntun seorang anak untuk tumbuh dan mengembangkan potensinya hingga anak menjadi dewasa. Pendidikan yang mampu memberikan bekal pengalaman bagi siswa pada masa yang akan datang. Proses pendidikan di keluarga sebagai bagian awal dari pembelajaran anak sudah berkembang seiring jaman dengan munculnya sekolah- sekolah. Saat ini proses pendidikan sudah banyak dilakukan di berbagai lingkungan baik itu formal, informal, atau non formal.

Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan tersebut dibutuhkan aturan yang akan mengelola proses pendidikan yang disebut sebagai


(33)

18

kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan tatanan proses dan hasil perumusan langkah strategis pendidikan yang digambarkan melalui visi, misi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu (H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 140). Kebijakan pendidikan menurut Arif Rohman (2009: 86) adalah

“ Kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik yang secara khusus mengatur penyerapan sumber, alokasi, perilaku dan distribusi sumber dalam pendidikan”.

Jadi kebijakan pendidikan dapat dimaknai sebagai aturan tentang proses pendayagunaan berbagai sumber, alokasi, dan perilaku dalam pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan tersebut maka tujuan dari lembaga pendidikan dapat tercapai. Implementasi kebijakan pendidikan sebagai proses yang tidak hanya menyangkut lembaga administratif yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program serta memunculkan kepatuhan kepada kelompok sasaran, melainkan faktor hukum, politik, sosial, ekonomi yang secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh pada perilaku pihak yang ada dalam program (Arif Rohman, 2009: 135).

Tidak jarang munculnya kebijakan juga dipicu oleh adanya masalah yang terjadi antara kenyataan dan harapan yang berbanding terbalik. Seperti halnya dalam pemberian pelayanan pendidikan bagi setiap anak untuk bersekolah, namun memunculkan pandangan diskrimanasi pada anak berkebutuhan khusus. Harapan untuk meningkatkan profesionalisme guru di sekolah inklusi yang terbentur pada terbatasnya


(34)

19

pengetahuan guru terhadap penanganan anak berkebutuhan khusus. Beberapa hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor adanya kebijakan pendidikan.

Masalah yang dihadapi oleh suatu daerah atau bangsa tentunya berbeda- beda. Suryati Sidharto dalam Arif Rohman (2009: 87) mengatakan jika Indonseia sendiri mempunyai lima pokok masalah yakni

a) Relevansi pendidikan b) Daya tampung pendidikan c) Pemerataan pendidikan d) Kualitas pendidikan

e) Efisiensi dan efektifitas pendidikan

Kelima pokok masalah tersebutlah yang sering dihadapi oleh Indonesia dan perlu untuk segera diatasi, salah satu nya melalui perumusan kebijakan pendidikan. Kebijakan tersebut akan menjadi pedoman yang dapat bersifat sederhana, rumit, khusus atau umum dan dirumuskan secara proses politik terkait satu arah tindakan, rencana, atau program tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan (Arif Rohman, 2009: 86). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kebijakan pendidikan dibuat dan dirancang untuk mengatasi suatu masalah dalam dunia pendidikan, selain itu sebuah kebijakan hanya akan menjadi wacana jika tidak dimplementasikan dalam suatu program untuk mengatasi masalah dan mencapai tujuan yang diharapkan.


(35)

20 B.Pengertian Sekolah Inklusi

1. Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pendidikan inklusi ini berbeda dengan pendidikan luar biasa. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, seluruh kebutuhan yang dibutuhkan anak diupayakan agar dapat terpenuhi dengan baik melalui penyesuaian dalam pembelajaran yang meliputi guru, sarana dan prasarana, sistem penilaian, bahan ajar, kurikulum yang disesuaikan dari anak normal ke anak yang memilki kebutuhan khusus tersebut. Sehingga dalam pendidikan inklusi bentuk penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dengan menggabungkan anak yang memiliki keterbatasan dengan anak yang normal pada umumnaya untuk saling belajar. Pendidikan inklusi ini menjadi cerminan pendidikan yang tidak membedakan karakter setiap anak (diskriminasi anak) khususnya dengan keterbatasan fisik seorang anak.

Berdasarkan Permendiknas No.70 pasal 1 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah :

“Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama dengan peserta didik pada umumnya”. Jadi berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggara pendidikan umum yang


(36)

21

menerima setiap anak, tanpa memandang latar belakang. Hal tersebut diperkuat dengan Peraturan Gubernur DIY No.21 pasal 1 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi adalah:

“Sistem pendidikan yang memberikan peran kepada semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama dalam satu lingkungan tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik kepercayaan, kondisi fisik/ mental, sehingga sekolah merupakan miniatur masyarakat”.

Oleh karena itu sistem pendidikan inklusi memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak tanpa kecuali, untuk belajar bersama di sekolah pada umumnya. Konsep pendidikan inklusi ini menjadi bagian dalam menghilangkan pandangan diskrimnasi terhadap anak berkebutuhan khusus, serta mampu mengubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi dapat disebut pula sebagai sebuah sistem pelayanan pendidikan yang mengharuskan setiap anak yang mempunyai keterbatasan untuk dapat bersekolah di lingkungan terdekat mereka, dikelas reguler (SD, SMP, SMA, dan SMK) bersama siswa lainnya (O’Neil dalam Muhammad Takdir Illahi, 2013: 27)

Staub dan Peck dalam Budiyanto (2014: 4) menyebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan pendidikan yang sama. Jadi setiap anak akan mempunyai hak yang sama dalam mengikuti proses pembelajaran sekolah yang sama.

Tarmansayah (2007: 84) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah hak asai manusia, dimana pelayananan pendidikan harus diterima


(37)

22

oleh setiap anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik, intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan dan bakat istimewa, kelompok minoritas atau anak dari daerah yang kurang beruntung. Oleh karena itu, setiap sekolah harus menerima setiap anak tanpa memandang latar belakang anak, sehingga pelayanan pendidikan dapat diterima setiap anak.

Berdasarkan beberapa pandangan pendidikan inklusi tersebut dapat ditegaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan bentuk pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh pendidikan layak, yang ditempatkan pada kelas reguler dengan menggabungkan antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal, dengan penyesuaian- penyesuaian yang dibutuhkan.

2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Berdasarkan Permendiknas No.70 tahun 2009 dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi berlandaskan pada beberapa aspek diantaranya, yaitu: a) prinsip pemerataan dan peningkatan mutu; b) prinsip kebutuhan individual; c) prinsip kebermaknaan; d) prinsip keberlanjutan; e) prinsip keterlibatan. Secara lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:

a. Prinsip Pemerataan dan Peningkatan Mutu

Pemerintah mempunyai kuasa dan tanggung jawab didalam merumuskan kebijakan kaitannya dengan usaha mengatasi masalah pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusi merupakan strategi yang dilakukan pemerintah dengan memberikan


(38)

23

kesempatan kepada setiap anak untuk bersekolah menggunakan metode pengajaran yang bervariasi.

b. Prinsip Kebutuhan Individual

Potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan pendidikan harus menyesuaikan dengan keadaan anak.

c. Prinsip kebermaknaan

Pendidikan inklusi sebagai pendidikan dengan lingkungan yang ramah anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan.

d. Prinsip Keberlanjutan

Pelaksanaan pendidikan inklusi secara berkesinambungan pada setiap jenjang pendidikan.

e. Prinsip Keterlibatan

Pelaksanaan pendidikan inklusi melibatkan semua unsur pendidikan terkait.

Berdasarkan penjelasan aspek- aspek pendidikan inklusi yang ada dalam Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 tersebut dapat dimaknai sebagai prinsip-prinsip dasar dalam menciptakan lingkungan pendidikan inklusi yang dapat mengembangkan potensi, memberikan bekal pada anak, dalam upaya memeratakan pendidikan.

3. Konsep Pendidikan Inklusi

Konsep pendidikan inklusi seperti yang dikemukakan oleh Moh. Takdir Ilahi (2013: 117-132) yakni: a) konsep anak dan peran orang tua; b) konsep sistem pendidikan dan sekolah; c) konsep keberagaman dan diskriminasi; d)


(39)

24

konsep memajukan inklusi; e) konsep sumber daya manusia. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:

a. Konsep anak dan peran orang tua, konsep anak ini lebih identik dengan dunia permainan, peran orang tua untuk mendidik dan membimbing perilaku anak hingga terjun di masyarakat.

b. Konsep Sistem Pendidikan dan sekolah, peran lembaga sangat menunjang terhadap pengolahan sistem atau cara bergaul dengan orang lain. Sekolah inilah yang diharapkan dapat memberi skill atau bekal untuk hidup dimasa yang akan datang.

c. Konsep keberagaman dan diskriminasi, konsep ini mencerminkan sikap saling menghormati satu sama lain, juga sebagai bentuk penghargaan terhadap segala perbedaan dalam setiap pribadi anak, baik normal atau cacat.

d. Konsep memajukan inklusi, berkaitan bagaimana setiap unsur masyarakat secara bersama memajukan sekolah inklusi demi ABK. e. Konsep sumber daya manusia, konsep ini berkaitan dengan sumber

daya manusia yang berperan dalam setiap kegiatan pelaksanaan kegiatan belajar anak didik. Sumber daya untuk mengoptimalkan potensi ABK.

Dengan demikian konsep pendidikan inklusi menurut Tarmanysah tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan inklusi harus berpegang pada kelima konsep tersebut agar pembelajaran dapat berjalan sesuai tujuan. Hal tersebut diperkuat dengan konsep pendidikan inklusi yang


(40)

25

dikemukakan oleh Sunaryo (2009:4) yakni konsep sistem pendidikan dan sekolah diantaranya: a) Pendidikan yang lebih luas dibandingkan pendidikan formal umumnya; b) lingkungan pendidikan yang ramah anak; d) sistem yang bersifat responsif; e) perbaikan kualitas sekolah; f) pendekatan yang menyeluruh serta bekerja sama dengan mitra kerja. Jadi pendidikan inklusi juga melibatkan peran serta dari berbagai pihak, demi terwujudnya lingkungan inklusi yang optimal.

Berdasarkan beberapa pandangan konsep pendidikan inklusi tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi sebagai lingkungan pembelajaran yang dekat dengan anak, jauh dari diskriminasi dan menjunjung keberagaman antar sesama.

C. Kajian tentang Anak Berkebutuhan Khusus 1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebtuhan khusus secara sederhana sebagai anak yang mengalami kelainan dan membutuhkan pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, berbeda dengan anak normal pada umumnya. Berdasarkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 menyebutkan jika anak berkebutuhan khusus adalah:

“ Mereka peserta didik yang mempunyai kelainanan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang membutuhkan pelayanan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan dan hak asasinya”.

Jadi ABK adalah peserta didik yang memiliki kelainan dalam hal psikis, fisik, atau tingkat kecerdasaran anak, sehingga membutuhkan pelayanan yang menunjang kebutuhan anak tersebut. Mohammad Takdir


(41)

26

Illahi (2013: 137) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kecacatan ataupun kebutuhan khusus sementara atau permanen dan memerlukan pelayanan pendidikan yang intens. Sehingga anak tersebut membutuhkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu tidak semua kelainan yang ada pada ABK bersifat tetap, namun ada pula yang dapat disembuhkan melalui pelayanan pendidikan berupa terapi, sedangkan ABK tetap dapat melalui pengembangan potensi.

Anak berkebutuhan khusus menurut Lynch dalam Lay Kekeh Marthan (2007: 33) semua anak yang mengalami gangguan fisik, mental, ataua emosi dari gangguan tersebut sehingga mereka membutuhkan pendidikan khusus beserta guru dan lembaga khusus baik permanen atau sementara. Jadi, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kebutuhan dan pelayanan yang bersifat khusus untuk menunjang kemampuan anak.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak- anak yang mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial yang membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus menyesuaikan kebutuhan karakter anak. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka, begitu pula dengan anak berkebutuhan khusus. Mereka mempunyai hak yang sama dengan anak normal lainya untuk dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang mampu mengembangkan potensi anak.


(42)

27

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat digolongkan dalam dua kategori, yakni anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara serta anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (Moh. Takdir, 2013: 139). Perbedaan kelompok tersebut dapat dipicu oleh beberapa faktor yang berasal dari pengaruh luar (eksternal) dan pengaruh dari dalam (internal) diri anak (Budiyanto, 2014: 37). Anak berkebutuhan khusus sementara cenderung dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh tindak kekerasaan, penyalahgunaan narkoba, kerusakan lingkungan, ekonomi, dan sebagainya sehingga mengalami gangguan dalam kesehariaannya. Disisi lain anak berkebutuhan khusus permanen kebanyakan berasal dari faktor dalam diri anak seperti kelainana fisik, emosi yang sangat sulit untuk disembuhkan cenderung menetap.

Perbedaan tersebut menjelaskan jika dalam penanganan anak berkebutuhan khusus tersebut juga berbeda, menyesuaikan kebutuhan anak. Jika pada anak berkebutuhan khusus sementara mereka membutuhkan pelayanan khusus seperti terapi atau pelatihan yang bertujuan untuk proses penyembuhan anak menjadi seperti semula. Sedangkan pada anak yang mengalami kelaianan permanen, penanganan lebih pada pengembangan potensi, ataupun meminimalisir kekurangan anak dengan bakatnya. Penanganan tersebut membutuhkan proses identifikasi dan asesmen agar penanganan dapat sesuai dengan karakter atau klasifikasi anak.


(43)

28

Tarmansyah (2012: 82) menjabarkan konsep anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis ketunaannya seperti: a) anak dengan gangguan penglihatan; b) anak dengan gangguan pendengaran; c) anak ganagguan kecerdasan; d) anak dengan intelegensi diatas rata-rata; e) anak dengan gangguan gerak; f) anak dengan gangguan perilaku; g) autisme; h) hiperaktif, dan i) anak berkesulitan belajar spesifik. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:

a). Anak dengan gangguan penglihatan,

- Anak low vision (menggunakan perabaan, mata bergoyang terus, tidak dapat mengikuti garis lurus)...

- Anak tunanetra total.

b). Gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara).

- Anak kurang dengar (hard of hearing), anak sering memiringkan kepala, tidak ada reaksi terhadap bunyi disekitarnya, sering menggunakan isyarat, kurang tanggap dalam berkomunikasi...

- Anak tuli atau tidak dapat mendengar (deaf).

c). Anak gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata (tunagrahita).

- Anak tunagrahita ringan ( IQ 50 - 70).Kriteria anak ini seperti dua kali anak tidak naik kelas, tidak mampu berpikir abstrak, cenderung acuh terhadap lingkungan, sulit berinteraksi sosial.


(44)

29

- Anak tunagrahita sedang (IQ 25 - 49). Anak hanya mampu membaca kalimat tunggal, sulit berhitung, sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, kurang mampu mengurus diri... - Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah). Anak hanya

mampu membaca satu kata, tidak dapat melakukan kontak sosial, tidak mampu mengurus diri, banyak bergantung pada bantuan orang lain...

d). Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata.

- Giffted dan genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata...

e). Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa).

- Anak layuh anggota gerak tubuh (polio). Anak memiliki anggota gerak yang kaku, lemah, lumpuh dan layu...

- Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy). Gerak yang ditampilkan cenderung kaku dan tremor.

f) Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras). Anak cenderung emosional, menentang otoritas, dan agresif.

g) Anak autisisme, memiliki kecenderungan untuk sulit dalam mengenal dan mersepon emosi dan isyarat sosial, ekspresi emosi yang kaku, perilaku yang meledak – ledak...

h).Anak Hiperaktif ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorders),


(45)

30

- Gangguan belajar membaca (disleksia)... - Gangguan belajar menulis (disgrafia)... - Gangguan belajar berhitung (diskalkula)...

D.Kajian Tentang Pengelolaan Asesmen 1. Kajian tentang Pengelolaan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), kata pengelolaan berasal dari kata “kelola”. Mendapat imbuhan pe- dan an sehingga menjadi pengelolaan. Pengelolaan sebagai proses, cara, perbuatan mengelola atau proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakan tenaga orang lain, dan atau proses yang membantu perumusanan kebijakan dan tujuan organisasi. Kata pengelolaan menurut Tatang M. Amirin (2011: 7) dapat diartikan sebagai :

“manajemen mengandung dua substansi, yaitu sebagai proses atau kegiatan memanajeman dan orang yang melakukan manajemen menjadi manajer. Manajeman bukan sekedar menyelenggarakan atau melaksanakan dengan baik, dengan ditata atau diatur. Penataan dan pengaturan itulah yang kemudian disebut pengelolaan”.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa pengelolaan dapat diartikan sebagai manajemen, yang mempunyai makna sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dengan lebih tertata dan teratur dalam mencapai tujan tertentu.

2. Kajian tentang Asesmen

Kata assessment merupakan istilah asing berbahasa Inggris yang artinya penilaian. Pada akhir suatu program pendidikan dan pengajaran, pada umumnya diadakan assessment atau penilaian, namun dalam kaitannya


(46)

31

dengan pendidikan inklusi makna asesmen merupakan satu rangkaian kegiatan yang diawali dengan identifikasi (penjaringan) dilanjutkan dengan proses asesmen (penyaringan). Proses asesmen tidak dapat dilakukan jika kegiatan identifkasi belum dilakukan. Kedua proses tersebut dilaksanakan saat anak yang berkelainan akan mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Desain relasi identifikasi dan asesmen seperti yang dikemukakan Budiyanto (dalam Modul Training of Trainer, 2009: 27).

Identifikasi

Diperoleh Data Anak Berkebutuhan Khusus

Asesmen

Asesmen Non Akademik Asesmen Akademik

Data

1. Kecerdasan, potensi, bakat, emosi, komunikasi

2. Kondisi Kesiapan Pra Akademik

Data

Kebutuhan khusus sesuai kelainan anak

Data

Kemampuan anak di bidang akademik (kelebihan dan kekurangan

Pedoman

Penyusunan program layanan kompensatoris

Pedoman

Penyusunan rencana pembelajaran


(47)

32 a. Hakikat Identifikasi

Identifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum dilaksanakan asesmen. Suatu proses yang dilakukan terhadap anak yang mengalami kelaianan atau gangguan, baik yang akan masuk di sekolah inklusi dan yang tidak bersekolah. Kegiatan identifikasi anak berkelaianan menurut Permendiknas RI No.70 tahun 2009 adalah ;

“Teknik penjaringan, dengan kata lain proses identifikasi dimaksudkan sebagai upaya seseorang baik guru, orang tua atau tenaga kependidikan untuk melaksanakan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami gangguan atau kelaianan fisik, emosional, sosial, intelektual dalam rangka pemberian pelayanan pendidikan yang sesuai”.

Jadi identifikasi merupakan proses penjaringan yang dilakukan guru atau orang tua terkait gangguan atau kelainan pada anak agar pemberian pelayanan dapat sesuai. Proses identifikasi sebagai tahap pertama sebelum melakukan asesmen, cenderung melihat karakter atau kelaianan yang dimiliki anak. Identifikasi menurut Budiyanto (2014: 34) adalah usaha sesorang (orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan) untuk mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial, neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari konteks anak normal. Oleh karena itu, identifikasi dapat dilakukan oleh orang terdekat untuk mengetahui anak yang diduga mengalami gangguan atau penyimpangan dibandingkan anak normal seusianya.

Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa identifikasi adalah proses menemukan dan mengenali anak berkebutuhan khusus, seperti kondisi, perilaku atau kebiasaan anak berkebutuhan khusus.


(48)

33

Proses ini harus dilakukan dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menghimpun atau menafsirkan informasi, demi ketepatan tindak lanjut yang akan dilakukan.

b. Tujuan Identifikasi

Pada dasarnya kegiatan identifikasi untuk memperoleh data terkait kondisi anak sebagai bahan pertimbangan pelayanan kebutuhan dan rencana pembelajarannya. Menurut Lerner dalam Budiyanto (2014: 35) mengelompokkan identifikasi dalam lima keperluan, yaitu:

1) Penjaringan (screening), yaitu kegiatan identifikasi yang berfungsi untuk menetapkan anak yang mempunyai kondisi gangguan atau kelaianan fisik, emosional, intelektual, sosial beserta gejala tingkah laku menyimpang atau berlaianan dengan kondisi anak normal. Jadi proses ini merupakan pengamatan terhadap perilaku anak yang berbeda dengan anak normal, dan diduga mengalami gangguan.

2) Pengalihtanganan (referal), yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengalihtangankan ke tenaga ahli yang berkompeten di bidangnya seperti, seperti psikolog, terapis, dokter, konselor terhadap gejala yang diamati dengan teliti. Oleh karena itu untuk memastikan temuan yang ada, perlu dipastikan melalui tenaga ahli sesuai dibidangnya.

3) Klasifikasi (classification), yaitu kegiatan identifikasi yang dilakukan untuk menetapkan anak yang diidentifikasi termasuk


(49)

34

dalam anak berkebutuhan khusus yang memang mempunyai kelainan fisik, emosional, gejala menyimpang lain, sehingga dibutuhkan penanganan khusus. Jadi anak yang sudah ditetapkan menjadi ABK membutuhkan pelayanan khusus sesuai kebutuhan anak agar dapat berkembang.

4) Perencanaan Pembelajaran (instructional planning), kegiatan identifikasi yang dilakukan untuk bahan penyusunan program pengajaran individu yang bersangkutan berdasarkan hasil dari klasifikasi. Jadi kegiatan ini bertujuan untuk memetakan setiap penyusunan rencana belajar sesuai kebutuhan anak yang telah diklasifikasikan.

5) Pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress), kegiatan untuk mengetahui keberlangsungan program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak dalam meningkatkan kemampuan anak. Jadi berhasil atau tidaknya progam pembelajaran yang diberikan, akan terlihat melalui kegiatan pemantauan belajar seperti tes, atau ulangan anak.

c. Sasaran identifikasi

Setiap anak dalam kehidupan sehari hari seperti dalam pembelajaran pasti mengalami hambatan dan kesulitan, namun kesulitan tersebut dapat diatasi dengan penanganan, pelayanan pendidikan pada umumnya. Berbeda dengan anak yang mengalami kelainan mereka cenderung hanya dapat diatasi dengan pelayanan pendidikan khusus.


(50)

35

Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat dibedakan dari dua faktor, menurut Budiyanto (2014: 37) yakni faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri anak seperti kelaianan fisik, sosial, emosi yang cenderung berifat susah disembuhkan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar anak, seperti korban bencana alam, narkoba, lingkungan. Oleh karena itu, ada ABK yang dapat disembuhkan karena ketunaannya sementara, namun ABK tetap sulit disembuhkan dan hanya diberi pelayanan pengembangan potensi.

Sasaran dalam pelaksanaan identikasi anak berkebutuhan khusus ini sendiri dibatasi pada faktor internal sesuai dengan Munawar Yusuf dalam Budiyanto (2014: 37) seperti:

1) Anak yang mengalami gangguan belajar spesifik - Gangguan belajar membaca (disleksia)

- Gangguan belajar menulis (disgrafia) - Gangguan belajar berhitung (diskalkula) 2) Anak lamban belajar

3) Anak dengan gejala Under Achiever

4) Anak memiliki gejala gangguan emosional (tunalaras) 5) Anak memiliki gangguan komunikasi

6) Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) 7) Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) 8) Anak dengan gangguan kesehatan


(51)

36 10) Anak autisme

11) Anak korban penyalahgunaan narkoba d. Hakekat Asesmen

Kegiatan asesmen merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukan identifikasi pada anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan asesmen hanya dapat dilakukan oleh pakar atau ahli yang ada dibidangnya. Asesmen pada anak berkebutuhan khusus berbeda dengan asesmen pada umumnya. Asesmen pada tingkatan sekolah khusus adalah penghimpunan informasi yang rinci, baik kelemahan, potensi dan perilaku anak untuk penetapan penyusunan rencana pembelajaran.

Kegiatan Asesmen menurut Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 adalah :

“Proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa berkelainan. Asesmen ini ditujukan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar- benar sesuai dengan kebutuhan belajar siswa”.

Berdasarkan pengertian tersebut, asesmen dapat diartikan sebagai proses pengumpulan berbagai informasi tentang potensi, hambatan belajar sebelum disusun program pembelajaran. Lerner dalam Budiyanto (2014: 55) mengartikan asesmen sebagai langkah menghimpun informasi terkait anak berkebutuhan khusus yang dtujukan sebagai bahan pertimbangan dan keputusan terhadap anak tersebut. Jadi asesemen, adalah langkah menggali informasi secara rinci terkait ABK sebagai bahan dasar pertimbangan


(52)

37

keputusan anak tersebut. Serupa dengan Roger Pierangelo (2009: 9) menyatakan bahwa:

assessment is a complex process that needs to be conducted by a multidiciplinary team of trained professionals and involved both formal and informa methods of collecting informatian about students.”

Jadi asesmen sebagai suatu proses kompleks yang membutuhkan peran dari para ahli dalam team serta menggunakan formal dan informal metode asesmen untuk menggali informasi tentang siswa secara rinci. Tarmansyah (2007: 183) mengungkapkan jika kegiatan asesmen merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat menjadi dasar pembuatan rencana pembelajaran sesuai kemampuan anak. Jadi hasil dari asesmen ini menjadi bahan dalam menyusun program belajar anak.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai asesmen tersebut dapat ditegaskan bahwa asesmen sebagai suatu proses menggali informasi tentang karakter, potensi dan kelemahan pada anak yang dilakukan oleh seorang pakar dibidangnya, sebagai bahan kajian dalam penetapan dan penyusunan rencana belajar yang optimal serta pelayanan khusus yang sesuai dengan kebutuhan anak.

3. Tujuan Asesmen

Proses asemen merupakan tahapan penting dalam memberikan pelayanan khusus dan rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru dapat


(53)

38

sesuai dengan kondisi pada anak. Mereka dapat mengikuti proses belajar mengajar di sekolah inklusi sesuai kondisi dan kebutuhan anak, sehingga anak dapat mengoptimalkan potensi yang ada dan meminimalisir kekurangan yang ada pada anak. Secara sederhana tujuan dari kegiatan asesmen (Sunardi dan Sunaryo dalam Budiyanto, 2014: 56) memaparkan tujuan utama dari proses asesmen ini sebagai berikut:

1) Mendapatkan informasi yang akurat, obyektif, relevan tentang keadaan anak berkebutuhan khusus.

2) Mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam diri anak, hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan, kebutuhan pelayanan khusus, serta kondisi lingkungan yang dapat mendukung anak.

3) Menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan perkembangan anak.

Marit Holm (Tarmansyah, 2007: 184) lebih lanjut mengatakan jika tujuan yang akan dicapai dalam melakukan asesmen adalah

a) Menemukan jenis gangguan, apakah siswa memiliki gangguan akademik , maupun gangguan lain .

b) Menganalisa pekerjaan siswa, hasil yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan siswa yang mengalami gangguan, cara kerja, pemahaman, dan merefleksikan kemampuan c) Menganalisa bagaimana cara siswa bekerja, melihat

bagaimana siswa memecahkan masalah, memecahkan soal, hubungan sosial, berinteraksi dengan lingkunannya. d) Menganalisa penyebabnya, bertujuan untuk memahami

apakah anak mengalami gangguan saat pra natal, lahir atau setelahnya.


(54)

39

e) Merumuskan hipotesa, dengan memberikan kesimpulan, cara siswa bekerja, dan masalah yang dialami siswa. f) Mengembangkan rencana intervensi, menyusun rencana

pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, monitoring, evaluasi dan rekomendasi pelayanan.

Hasil dari asesmen tersebut berguna dalam membuat pendidkan khusus untuk mengembangkan potensi yang dimilik anak. Dengan demikian, pelaksanaan asesmen menentukan bagaimana menciptakan lingkungan pembelajaran dan pelayanan yang sesuai dengan anak. Ditujukan agar potensi yang ada dapat lebih menonjol, dan meminimalisir kelemahan yang ada pada diri anak. Selain itu asesmen dilakukan berkesinambungan, tidak dalam waktu singkat agar informasi yang diperoleh akurat dan efektif.

4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen a. Tindakan Asesmen

Pelaksanaan asesmen, pada dasarnya merupakan tahap penyaringan setelah dilakukan penjaringan pada anak berkebutuhan khusus. Sasaran pelaksanaan asesmen ini ditujukan pada anak – anak yang ada disekolah reguler, khususnya anak yang telah teridentifikasi mengalami kelaianan atau berkebutuhan khusus dan membutuhkan pelayanan khusus. Penanganan tersebut diharapkan dapat mengembangkan potensi yang ada dalam anak.

Didalam proses ini para pelaku asesmen dilakukan oleh seorang yang kompeten dibidangnya seperti sosiolog, terapis, psikolog, dokter. Walaupun sebenarnya dapat juga dilakukan oleh guru, namun ada beberapa hal yang harus didampingi oleh tenaga ahli. Proses asesmen ini bertujuan untuk


(55)

40

menggali informasi tentang kondisi anak berkebutuhan khusus sesungguhnya untuk kemudian dapat menjadi acuan penaganan khusus. Didalam pelaksanan asesmen tersebut, informasi yang dibutuhkan dapat didapat melalui media tes. Tes tersebut dapat berupa tes yang dibuat oleh guru, tes yang ada didalam buku, atau observasi sistemik. Marit Holm (Tarmansyah, 2007: 185) juga membagi asesmen dalam dua rangkaian prosedur yang berbeda, diantaranya:

1) Static Assessment Procedure (SAP), kegiatan ini lebih proses asesmen konvensional, terkait aspek yang telah ada pada diri anak, maupun sesuatu yang telah didapat. Dilakukan berdasarkan waktu yang telah direncanakan atau ditetapkan.

2) Dynamic Assessment Procedure (DAP), kegiatan asesmen yang lebih berfokus pada perkembangan yang telah ada atau dicapai siswa saat itu sampai ke depannya. Asesmen ini tidak terikat waktu pelaksanaan.

b. Strategi Pelaksanaan Asesmen

Pelaksanaan asesmen dilakukan untuk mengumpulkan informasi terkait keadaan anak yang teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus, yang meliputi kondisi anak, kelebihan, kekurangan dengan tepat. Hal ini penting sebagai bahan dasar dalam membuat rencana pembelajaran dan pelayanan khusus yang akan diberikan kepada anak. Sehingga pelaksanaan pembelajaran yang diberikan oleh guru nantinya dapat tepat guna. Munawir Yusuf dalam Budiyanto (2014: 58) mengungkapkan jika


(56)

41

prosedur pelaksanaan asesmen ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya:

1) Observasi, proses ini sebagai tahap mengukur melalui pengamatan langsung terhadap perilaku dan keseharian anak berkebutuhan khusus.

2) Analisa sampel kerja, pengukuran informal yang dilakukan menggunakan hasil kerja siswa, seperti hasil tes, hasil praktek kesenian dan sebagainya.

3) Analisis tugas, sebagai kegiatan pemisahan, pengurutan, dan penguraian komponen.

4) Inventory informal, mengumpulkan informasi terkait aspek non akademik siswa, contohnya seperti perilaku, keseharian, komunikasi siswa.

5) Daftar cek (Check list)

6) Skala Penilaian (Rating Scale), teknik assessmen ini untuk mendapatkan informasi tentang opini dan penilaian.

7) Wawancara, sebagai metode tanya jawab yang akan dilakukan kepada anak yang bersangkutan.

Secara garis besar strategi pelaksanaan tersebut umum dilakukan terutamanya oleh guru, namun lebih berfokus pada cara memperoleh informasi terkait karakter anak. Menjadi bahan pertimbangan pembuatan rencana pembelajaran, baik dilaksanakan pada kelas reguler, teman seusia, atau individu melalui Program Pengajaran Individual (PPI). Namun dalam


(57)

42

menyusun atau menyimpulkan hasil tersebut butuh peran dari pakar di bidangnya. Berikut skema kegiatan identifikasi dan asesmen yang dibuat Loughlin (dalam Budiyanto, 2014: 65) tentang penyususnan PPI tersebut:

c. Indikator Asesmen Akademik dan Non Akademik

Pada dasarnya asesmen dapat dikelompokkan pada dua jenis yakni, asesmen akademik dan asesmen perkembangan. Asesmen akademik

Penjaringan dan Identifikasi ABK

Rujukan ke Tim PK

Pertemuan Tim PK

Pertemuan Tim Asesmen

PPI Asesmen

Positif

Positif

Pelaksanaan PPI

Evaluasi

Negatif

Negatif

Kelas Reguler


(58)

43

dilakukan guna mengukur pencapaian prestasi belajar yang dilakukan siswa seperti baca tulis atau berhitung. Asesmen perkembangan menekankan pada keterampilan prasyarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan bidang akademik (Budiyanto, 2014: 59). Asesmen perkembangan ini akan mengumpulkan informasi yang diperlukan atau dapat memacu prestasi akdemik seorang siswa.

Terdapat tiga tingkatan dalam belajar yang dapat digunakan sebagai acuan melakukan asesmen yakni, tingkatan motorik (doing level), tingkat persepsi (matching level), dan tingkatan konseptual (categorization) yang menunjukkan tingkatan proses belajar (Modul Training of Trainer, 2009: 50). Ketiga tingkatan tersebut dijelaskan dalam matrik yang dibuat oleh Mangungsong dalam Modul Training of Trainer (2009: 50- 51), diantaranya sebagai berikut;

Tabel.1 Indikator Asesmen Tingkatan Proses

Belajar

Indikator Asesmen Uraian

Tingkat Motorik (Doing level)

Diferensiasi

Kemampuan memilih dan menggunakan sendiri bagian tubuh secara terkontrol

Keseimbangan

Kesadaran serta kemampuan mempertahankan suatu hubungan ketitik pusat dari gaya tarik bumi Hubungan

keruangan

Kesadaran tubuh, lateeralitas (dua sisi bagian tubu) dan arah memproyeksikannya

Ritme Jarak atau kombinasi dari interval waktu

Mata- tangan

Kemampuan menggabungkan apa yang dilihat melalui gerakan motorik halus


(59)

44 Tingkatan persepsi

(Matching level)

Diskrimnasi Kemampuan membedakan bentuk

Bentuk dan latar

Kemampuan memfokuskan atau membedakan bentuk utama dengan latarnya

Closure Kemampuan menambah

detailyang hilang

Ingatan Kemampuan mengingat dari panca indra

Sekuens Kemampuan mengatur sesuai urutan yang diamati oleh indra Integrasi

Penggunaan dua saluran input

atau lebih serta

menghubungkannya Tingkatan Konseptual

( Caategorization)

Kemampuan anak dalam membuat kategori serta klasifikasi pengalaman yang diperoleh

Sumber: Mangunsong (Modul Training of Trainer, 2009: 50-51) E. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian relevan I: Hasil penelititan yang dilakukan Herdina Tyas Leylasari dari Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi yang beralmamater Universitas Katolik Widya Mandala Madiun dengan judul Pengembangan Panduan Identifikasi dan Asesmen Siswa Berkebutuhan Khusus di SDN Inklusi X Surabaya tahun 2015.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (research and development) yang merupakan suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahap asesmen partisipan penelitian adalah wakil kepala sekolah, lima orang guru kelas (kelas 1-5), dan tiga orang guru kelas khusus. Sedangkan pada tahap intervensi partisipan penelitian adalah lima guru kelas (kelas 1-5)


(60)

45

dan tiga guru kelas khusus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengumpulan data untuk asesmen dan pengumpulan data untuk intervensi.

Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua yakni Analisis Hasil Penelitian Tahap Asesmen dan intervensi. Untuk tahap assessmen diantaranya pelaksanaan identifikasi dan asesmen siswa berkebutuhan khusus di sekolah masih belum memahami cara-cara melakukan identifikasi dan asesmen yang tepat. Pihak sekolah juga selama ini belum mempunyai panduan yang baku dalam melakukan identifikasi dan asesmen. Sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus terbatas. Pengelolaan kelas guru terutama pada siswa berkebutuhan khusus masih disamakan dengan siswa reguler. Guru juga tidak menempatkan posisi duduk siswa secara strategis berdasarkan gangguannya. Pendidik dan tenaga profesional lain yang mendukung layanan pendidikan bukan berasal dari pendidikan luar biasa.

Sekolah memiliki psikolog namun psikolog di sekolah ini belum berperan dalam proses identifikasi dan asesmen. Tugas psikolog hanya membantu guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Kurikulum, proses dan penilaian pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum modifikasi bagi siswa berkebutuhan khusus. Program Pembelajaran Individual (PPI) baru dibuat tiga guru khusus saat ada penilaian kinerja dari Diknas dan modelnya belum sesuai dengan Program Pembelajaran Individual (PPI) yang sebenarnya.


(61)

46

Analisis studi kedua tentang intervensi menunjukkan hasil dari angket evaluasi buku panduan yang diberikan saat proses diseminasi buku panduan maka diperoleh hasil seluruh partisipan (100%) mengatakan bahwa buku panduan menarik. Alasan dikatakan menarik karena dapat digunakan semua guru yang menangani siswa berkebutuhan khusus (45,45%). Ada yang tertarik membaca karena isinya yang memberi banyak informasi tentang langkah-langkah identifikasi dan asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus (27,27%) dan ada pula yang tertarik membaca buku panduan itu karena terdapat checklist atau contoh-contoh cara melakukan identifikasi dan asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus (27,27%).

2. Penelitian relevan II : Hasil Penelitian skripsi Imam Yuwono dari FKIP UNLAM Banjarmasin, dengan judul Penerapan Identifikasi, Asesmen, dan Pembelajaran pada Anak Autis di Sekolah Inklusif. Implementasi dari identifikasi, asesmen dan pembelajaran dalam pendidikan inklusif di Kalimantan Selatan masih memiliki kendala yang dihadapi. Kurangnya pengetahuan guru dan tidak adanya pedoman pelaksanaan identifikasi menjadi alasan penting.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah salah satu guru dan satu kepala sekolah dari Banua Hanyar 8 Banjarmasin bahwa ada anak-anak dengan autisme. Sekolah ini sudah enam tahun penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pengambilan data menggunakan metode tes, observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model interaktif yang


(62)

47

dikembangkan oleh Miles dan Huberman dengan tiga prosedur reduksi data, penyajian data dan verifikasi.

Temuan penelitian 1) bagaimana mengidentifikasi anak autis di SD Banua Hanyar 8 menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh DSM IV, identifikasi dilakukan oleh guru untuk mengidentifikasi anak-anak dengan autisme; 2) asesmen guru dipahami untuk mengambil keputusan di membuat program pembelajaran. Yang dilakukan oleh guru dengan cara anak-anak mengumpulkan data, dan kemudian dianalisis untuk dipertimbangkan bersama-sama program pembelajaran; 3) dalam pembelajaran anak-anak autis dengan guru diperlukan memodifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak-anak autisme; 4) kendala yang dialami oleh guru dalam identifikasi dan asesmen pemahaman guru dari mereka tidak memadai, pendidikan inklusif hanyalah menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Relevansi dengan dari kedua penelitian diatas adalah sama- sama meneliti tentang implementasi pengelolaan asesmen ABK yang dlaksanakan di sekolah inklusi, dan berfokus pada penggambaran penerapan pelaksanaan identifikasi dan asesmen di sekolah. Sedangkan yang membedakan antara peneliti dengan penelitian diatas adalah fokus peneliti yang ingin menggambarkan pula proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi yang diterapkan Dinas Pendidikan. Sumbangsih dari kedua penelitian diatas terhadap penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran tentang penerapan asesmen disekolah, permasalahan yang dihadapi dan faktor yang menyertainya.


(63)

48 F. Kerangka Pikir

Setiap sekolah reguler saaat ini harus menerima anak berkebutuhan khusus dalam pembelajarannya. Pendidikan inklusi memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh pendidikan dengan baik. Pelaksanaan pendidikan inklusi sendiri memerlukan perubahan dalam pembelajaranya yang disesuaikan dengan kebutuhan anak didiknya khususnya anak berkebutuhan khusus.

Guru sebagai pelaku utama dalam menjadi tenaga pendidik pada suatu sekolah yang mempunyai tugas membimbing, mengajar anak didik di sekolah. Oleh karena itu dalam memberikan pembelajaran secara maksimal pada anak didiknya, guru di sekolah inklusi harus mempunyai kemampuan khusus dalam membimbing anak didiknya sesuai dengan kebutuhan anak.

Pada dasarnya tindakan asesmen merupakan tindak lanjut dari kegiatan deteksi. Kegiatan ini berguna untuk menelusuri keadaan perkembangan anak, potensi, kelemahan dan kebutuhannya sehingga dapat diduga anak tersebut diklasifikasikan sebagai anak berkebutuhan khusus, serta cara penanganannya. Informasi tersebut akan menjadi acuan dalam pembuatan rencana pembelajaran. Banyak ditemui guru sulit mengelola asesmen didalam kelas sesuai kebutuhan anak didiknya atau guru yang mengganggap anak berkesulitan belajar sebagai anak berkebutuhan khusus atau sebaliknya. Selain itu ada pengklasifikasian ABK dengan pengamatan panca indra saja, namun ada yang membutuhkan alat dan strategi khusus, maupun pakar dibidangnya. Sulitnya guru untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khsusus


(64)

49

berdampak pada pemenuhan kebutuhan anak yang tidak tepat sasaran. Sehingga anak justru sulit untuk mengembangkan bakat, minat serta intelektualitasnya.

Berdasaarkan kajian teoritis diatas penulis dapat mengemukakan anggapan dasar atau kerangka pikir bahwa dengan melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi, sehingga dapat mengetahui tahapan penerapan kebijakan dan pelaksanaan asesmen tersebut.

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Pergub. DIY No.21 Tahun 2013

- Pengelola Kebijakan Asesmen ABK - Kepala Sekolah, GPK,

Guru Kelas, Wali Siswa

Implementasi Kebijakan Pendidikan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan

Khusus

-Faktor Pendukung -Faktor Penghambat

- Penyusunan Rencana Belajar

- Pemberian Pelayanan Pendidikan khusus

-Bagan.3. Kerangka pikir -Penerapan Pengelolaan

Asesmen di SD N Brengosan I -Hasil Asesmen


(65)

50 G. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian dalam hal ini sebagai berikut:

1. Bagaimana langkah- langkah implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ?

2. Bagaimana hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ?

3. Bagaimana langkah sekolah dalam melaksanakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus ini?

4. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran ABK di sekolah inklusi? 5. Bagaimana faktor pendukung dan faktor penghambat dalam

implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ini?


(66)

51 BAB III

METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian menurut Arikunto (2006: 12) memiliki dua jenis, yaitu pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan penelitian kualitatif adalah penelitian naturalistic (alami), peneliti tidak menggunakan penafsiran terhadap hasil dan data angka, jika pun ada hanya sebagai penunjang dalam mengumpulkan. Metode penelitian kuantitatif, banyak menuntut penggunaan data angka, baik dari pengumpulan, penafsiran data, hingga penampilan hasilnya.

Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan mengumpulkan data berdasarkan fakta di lapangan. Peneliti bermaksud menggambarkan data yang diperoleh dari penelitian baik berupa data tertulis atau lisan melalui wawancara, dan pengamatan berdasarkan narasumber yang diteliti.

Jenis penelitian ini adalah deskripsif kualitatif. Deskriptif menurut Moh Nazir (2005: 23) yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan berusaha menggambarkan suatu subjek/ objek penelitian (gejala,, fakta,lembaga, masyarakat, atau peristiwa), apa adanya sesuai yang terjadi di lapangan. Menjelaskan keterkaitan antara suatu kejadian dengan makna, terlebih menurut pandangan partisipan. Data yang dikumpulkan berwujud kata-kata, gambar bukan angka, jika terdapat data angka sifatnya hanya sebatas data pendukung dalam penelitian.


(67)

52 B.Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga D.I Yogyakarta dan Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, dilanjutkan dengan memilih sekolah inklusi SD N Brengosan I. Alasan pemilihan tempat penelitian tersebut adalah :

a. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY khususnya di bidang PLB yang membawahi pelaksanaan pendidikan luar biasa diseluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Dinas Pendidikan Kab. Sleman yang mengelola sekolah inklusi di Kabupaten Sleman. Hal tersebut untuk mendukung dan memperoleh informasi terkait bentuk implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK.

b. SD Negeri Brengosan I, dipilih oleh peneliti karena menjadi sekolah inklusi dan menjadi anggota dari Seksi PLB dan Kursis TK-SD, mempunyai jumlah murid ABK yang cukup banyak sejumlah 20 siswa, Guru kelas di SD Brengosan I ini juga pernah mengikuti program pelatihan pengelolaan asesmen guru sekolah inklusi yang dilaksanakan oleh Seksi PLB DISDIKPORA DIY.


(1)

(2)

244 C.Surat Keputusan Penetapan Sekolah Inklusi


(3)

(4)

246 A. Surat Ijin Penelitian


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) (Studi Kasus di Sekolah Inklusi SMA Negeri 10 Surabaya)

2 11 20

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF Pengelolaan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri Iii Giriwono Wonogiri.

0 5 21

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF Pengelolaan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri Iii Giriwono Wonogiri.

0 2 13

PENGELOLAAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (INKLUSI) LAMBAT BELAJAR DI SDN 2 SRAGEN Pengelolaan Pendidikan Karakter Anak Berkebutuhan Khusus (Inklusi) Lambat Belajar Di SDN 2 Sragen Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 4 12

PENGELOLAAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (INKLUSI) Pengelolaan Pendidikan Karakter Anak Berkebutuhan Khusus (Inklusi) Lambat Belajar Di SDN 2 Sragen Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 3 15

PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH ALAM BANDUNG.

0 2 38

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA Pengelolaan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Sekolah Dasar Penyelenggara Program Inklusi Di Kab

0 0 19

Pengembangan Buku Panduan Pendidikan Keterampilan Kompensatoris untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi.

0 1 1

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH LUAR BIASA KOTA YOGYAKARTA.

0 1 261

PARTISIPASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) PENDIDIKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA (DIKPORA) DIY.

0 1 107