142
Berdasarkan penjelasan diatas koordinasi SDM dan pembiayaan sudah dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori
Lineberry. Koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian tanggung jawab antar
agen. Koordinasi dilakukan antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kota.
d. Pengalokasian Sumber Daya
Tahapan dalam mengalokasikan sumber daya ini untuk mendapatkan dampak penerapan kebijakan. Suatu proses pendidikan atau
pembelajarannya tidak akan lepas dari peran serta guru, murid, kurikulum dan fasilitas. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang
peranan penting dalam proses pembelajaran. Guru merupakan tenaga pendidik yang mempunyai tugas untuk membimbing, membelajarkan,
dan melatih peserta didik. Guru harus mampu untuk memberikan materi atau bimbingan dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak yang
dapat dilakukan melalui proses asesmen baik di sekolah umum inklusi atau sekolah luar biasa. Guru kelas akan melaksanakan tugasnya bersama
dengan guru pendamping khusus GPK. Hal ini untuk menyeimbangkan pengetahuan tentang kekhususan
pada ABK yang belum secara penuh dipahami beberapa guru kelas. Kebijakan terkait GPK masih bersumber dari DISDIKPORA Provinsi
DIY, sehingga pengalokasian GPK tersebut bersumber dari tenaga yang ada di SLB, untuk diperbantukan di sekolah inklusi, namun tidak bisa
143
memenuhi semua permintaan sekolah inklusi, dikarenakan SLB justru akan kekurangan guru atau bahkan tutup.
Jadi sumber daya guru di SLB sendiri terbatas, perbandingan antara SLB dengan sekolah umum sangat jauh, dan tidak semua sekolah
inklusi mampu. Apabila guru di SLB dipinjamkan ke sejumlah sekolah inklusi, dampak yang ditimbulkan adalah siswa SLB akan tertinggal
bahkan SLB akan tutup. Kabupaten Kota sendiri beberapa saja yang sudah memapu memberikan GPK ke tiap sekolah, sedangkan dari
Kabupaten Sleman masih bergantung pusat, sehingga sulit terpenuhi. Seorang GPK berperan dalam memberikan bimbingan yang
berkesinambungan, dan melaksanakan pengelolaan asesmen disekolah bersama guru kelas. Asesmen menjadi proses awal dari pembelajaran
inklusi untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal meningkatkan potensi, dan meminimalisir kelemahan pada
anak. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam menyusun rencana pembelajaran, penanganan, pelayanan dan pembimbingan kepada ABK..
Didalam pelaksanaannya asesmen dilakukan jika telah dilakukan proses identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Secara khusus
asesmen merupakan penyaringan, dengan mengumpulkan informasi lebih rinci. Asesmen harus diberikan oleh lembaga yang kompeten, jika
asesmen dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten nanti menyangkut harga diri orang tua. Namun jika dikeluarkan salah satu lembaga yang
144
sudah menjadi profesi seperti rumah sakit, atau psikolog, itu sudah profesional.
Jika asesmen khususnya bagian psikologis tidak bisa dilakukan oleh guru kelas, atau guru pendamping kelas GPK. Sedangkan alokasi
GPK masih terbatas dan pengetahuan guru reguler juga terbatas, maka pelayanan pendidikan inklusi akan kurang optimal. Disisi lain yang
berhak melakukan hanyalah seorang pakar dibidangnya, sekolah tidak memiliki tolak ukur dalam penanganan ke PLB- an. Guru tidak bisa
melakukan asesmen yang menyangkut besaran IQ seorang anak dan minim pengetahuan PLB. Hal tersebut menunjukkan jika seorang guru
kelas harus mempunyai pengetahuan tentang asesmen ABK, atau keinklusiannya.
Langkah kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY dalam mengatasi dampak yang ada, maka hasil
dari kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan terkait adalah:
1 Mengadakan Pelatihan Asesmen
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di DIY berupaya memberikan pelatihan bagi guru reguler untuk mengikuti pelatihan
yang berkaitan dengan pengelolaan asesmen dan keinklusian. Khusus pelatihan assessmen masih dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Provinsi DIY, sedangkan pelatihan asesmen di Kabupaten Sleman terintegrasi dengan materi inklusi. Pelatihan
145
tersebut dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada guru reguler dalam mengelola pelaksanaan asesmen di sekolah, namun
bukan asesmen pada tingkat psikologinya. Pelatihan tersebut untuk meminimalisir kekurang mampuan guru dalam bidang pelayanan
ABK karena guru reguler kebanyakan dari jurusan PGSD bukan PLB. Selain itu untuk mempersiapkan guru agar tidak tergantung dengan
GPK, dan dapat memberikan apa yang didapat kepada rekan guru lainnya.
2 Menjalin mitra kerja dengan lembaga rerkait
Pemerintah DIY bekerja sama dengan pihak – pihak terkait
guna membantu terlaksananya program pelatihan serta pelaksanaan asesmen disekolah. Baik dari bidang akademis seperti Perguruan
Tinggi, dan bidang Kesehatan seperti Puskesmas, Dinas Kesehatan. Sesuai Permendiknas No.70 Tahun 2009 Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif PENSIF pasal 11 bahwasanya satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan inklusif berhak memperoleh bantuan
operasional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah, dengan membentuk jaringan kerja sama dengan organisasi profesi, rumah
sakit, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Pihak akademis tersebut berperan sebagai pembina akademik,
konsultan, atau narasumber. Pihak kesehatan yang menjalin kerja dengan Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman umumnya Puskesmas ditiap kecamatan. Sebagai
146
pihak yang memiliki tolak ukur dalam melakukan asesmen, dan dipandang lebih berkompeten di bidang psikiologis dalam melakukan
asesmen. Pemberian pelatihan dilakukan untuk memberikan bekal pengetahuan tentang pengelolaan asesmen, kelemahan yang dimiliki,
serta penangananya. Hal tersebut penting karena, keahlian sekolah untuk ke PLB-an masih kurang, mereka tidak bisa termasuk
didalamnya standar tes pengukuran psikologi. Puskesmas dianggap mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh
dengan keberadaan sekolah- sekolah inklusi di Kabupaten Sleman, dibandingkan dengan Rumah Sakit yang terpusat di Kota. Persebaran
Puskesmas sendiri saat ini dirasa masih minim yang mempunyai pakar psikologinya. Hanya 15 Puskesmas dari 27 Puskesmas di Kabupaten
Sleman yang mampu melakukan asesmen psikologis. Pemilihan Puskesmas dirasa lebih ringan dibandingkan Rumah Sakit dalam hal
pengeluaran biayanya dan dapat memperpendek alur pengelolaan asesmen.
3 Membentuk Lembaga Khusus
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di DIY membentuk sebuah lembaga khusus yang bertujuan membantu pelaksanaan
pendidikan inklusi ditiap daerah melalui Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber. Pembentukan lembaga tersebut berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun 2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY. Beserta Surat
147
Keputusan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 91 Kep tahun 2015 tentang
Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan Inklusif. Tujuan dari lembaga tersebut adalah untuk
- Menjalin kemitraan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten
Kota, sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, dan atau lembaga lain yang bergiat dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi di masing wilayah -
Menyediakan layanan pendidikan khusus bagi sekolah inklusi
- Menyediakan layanan assessmen fungsional dan akademik
- Menyediakan layanan konsultasi
Pusat Sumber dan sub pusat sumber tersebut dapat membantu mengatasi permasalahan di sekolah inklusi, baik berupa konsultasi,
bantuan sarpras, pelatihan, dan pelaksanaan asesmen. Lembaga ini dapat menjadi rujukan jika sekolah akan mengadakan asesmen bagi
ABK. Namun saat ini Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber belum mampu dimanfaatkan oleh sekolah inklusi, dikarenakan kurang
adanya sosialiasasi dan letaknya yang berjauhan. Berdasarkan penjelasan diatas pengalokasian SDM untuk
mendapatkan dampak dari penerapan kebijakan yang dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry dalam Sudiyono, 2007:
80. Pengalokasian GPK yang terbatas memunculkan kebijakan baru yaitu : 1
148
pengadaan pelatihan guru SPPI; 2 menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait; dan 3 membentuk lembaga khusus. Hal tersebut untuk mendukung
pelaksanaan asesmen dan pembelajaran di sekolah inklusi, dikarenakan terbatasnya GPK.
e.Pengelolaan Asesmen di Sekolah Inklusi Implementasinya di sekolah sendiri sudah dapat dilakukan, SD Negeri
Brengosan I sebagai salah satu sekolah inklusi di Sleman sudah menerapkan kebijakan inklusi dan pengelolaan asesmen ini. Namun masih belum bisa
maksimal dan memenuhi target. Secara pembelajaran, setiap anak di sekolah sudah ditempatkan pada ruangan yang sama antar anak yang lain. Hal tersebut
sesuai dengan Staub dan Peck dalam Budiyanto 2014: 4 menyebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan
berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan pendidikan yang sama. Sedangkan upaya dalam memenuhi kebutuhan belajar
anak sudah dilakukan melalui beberapa penyesuaian dalam pembelajaran, yang dihasilkan dari proses sistematis melalui identifikasi dan assessmen.
Pengelolaan asesmen yang dilakukan SD N Brengosan dilakukan melalui beberapa tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan asesmen, tindak
lanjut, dan pemberian pelayanan khusus. a.
Perencanaan Pelaksanaan Asesmen Proses Perencanaan asesmen yang dilakukan sekolah dengan
mengkoordinasikan beberapa pihak yang akan terlibat didalamnya serta waktu pelaksanaan. Pihak yang terlibat diantaranya seperti Kepala
149
Sekolah, Guru Kelas, Guru Pendamping Khusus, Orang tua dan Psikolog. Sekolah telah merencanakan pelaksanaan asesmen setiap tahun ajaran baru
dimulai tepatnya saat masuk kelas I satu. Proses tersebut akan berlanjut hingga kelas selanjutnya dan dirasa sudah tidak mengalami hambatan
belajar lagi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa strategi asesmen yang
diterapkan sekolah adalah Static Assessment Procedure SAP, sebagai proses asesmen yang konvensional karena terkait aspek yang telah ada
pada diri anak, maupun sesuatu yang telah didapat, serta dilaksanakan sesuai waktu yang telah ditetapkan diawal tahun ajaran Marit Holm
dalam Tarmansyah, 2007: 185. b.
Pelaksanaan Pengelolaan Asesmen Pada pelaksanaan di sekolah, asesmen ABK dilakukan setelah
dilaksanakan proses idnetifikasi. 1
Proses Identifikasi Budiyanto 2014: 34 mengatakan identifikasi adalah usaha
sesorang orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan untuk mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional,
sosial, neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari konteks anak normal. SD N Brengosan I melakukan identifikasi
terlebih dahulu sebelum tahap asesmen dilakukan. Identikasi tersebut dilakukan dengan menghimpun data anak, menganalisa data anak,
pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah, dan menyelenggarakan
150
pertemuan kasus, untuk kemudian melakukan perekapan data yang diperoleh.
Tolak ukur yang digunakan guru dalam melihat anak umumnya dilihat dari prestasi belajar, perilaku, dan keaktifan saat disekolah.
Selain itu sekolah juga dengan mengkaitkan pernyataan dari orang tua siswa yang diduga ABK. Jadi metode yang digunakan sekolah selain
pengamatan menggunakan instrumen form identifikasi yang digunakan SD Negeri Brengosan I untuk menghimpun data anak
diantaranya sebagai berikut: -
Form I : instrumen berisikan penggalian informasi terkait perkembangan anak mulai dari anak lahir hingga masuk
pendidikan terakhir anak. -
Form II : bertujuan untuk memperoleh informasi terkait data orang tua atau wali murid siswa yang diduga anak
berkebutuhan khusus. -
Form III : instrumen tentang AI ABK, yang bertujuan untuk mengidentifikasi atau mengamati anak yang diduga
berkebutuhan khusus dikelas, dengan melihat gejala- gejala yang nampak pada anak sesuai dengan tolak ukur yang ada
pada instrumen. -
Form IV : instrumen ini memuat tentang uraian kasus atau masalah yang ditemui pada anak yang terindikasi berkelainan
151
dan membutuhkan pelayanan khusus. Penemuan kasus berdasarkan hasil pengamatan guru kelas.
- Form V : memuat laporan hasil pertemuan kasus anak yang
memerlukan pelayanan khusus. Form tersebut diberikan kepada guru Form III, IV, V dan
beberapa kepada orang tua Form I, II siswa. Hal yang sering dialami sekolah adalah orang tua yang mengisi form tersebut tidak sesuai
dengan apa yang dirasakan guru, terkadang form tidak diisi sehingga menyulitkan pengumpulan informasi dari orang tua. Setelah data
diperoleh, data yang diperoleh akan direkap oleh guru kelas bersama GPK dan melihat perkembangan anak yang diduga ABK tersebut.
Selain itu sebagai bahan pertimbangan sebelum berkonsultasi ke Kepala Sekolah,dan bahan data rujukan.
2 Tahap Asesmen ABK
Tarmansyah 2007: 183 mengungkapkan jika kegiatan asesmen merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya
memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat
menjadi dasar pembuatan rencana pembelajarn sesuai kemampuan anak. Proses Asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan I
menggunakan teknik assessmen psikologi yang bekerja sama dengan Psikolog di Puskesmas Ngaglik I. Asesmen ini merupakan proses
penyaringan terhadap anak yang telah teridentifikasi sebagai ABK
152
untuk menyiapkan pembelajaran yang sesuai bagi anak. Selain itu untuk lebih dapat melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
anak. Puskesmas dipilih sekolah sebagai pihak yang berkompeten melakukan assessmen dikarenakan sudah mempunyai ahli psikolog
Strata 2 S2 yang mampu melakukan tes IQ. Perencanaan Puskesmas Ngaglik II sebagai mitra disarankan oleh GPK setelah berkonsultasi ke
Puskesmas. Tes IQ dianggap mampu menunjukkan tingkat intelegensi anak
yang bersangkutan, selain itu karena kebanyakan siswa yang dianggap ABK berparas seperti anak normal. Tes dilakukan tergantung dari
kebijakan Puskesmas dan usia anak, umumnya menggunakan tes Byne dan Wyse. Peran GPK di SD Negeri Brengosan I lebih beragam karena
selain memberikan pendampingan dikelas juga mencari Puskesmas. Pemilihan Puskesmas sesuai dengan yang disampaikan Dinas
Pendidikan Kabupaten Sleman, karena lebih dekat dan alur yang praktis. Besaran anggaran yang dikeluarkan sekolah diambil dari dana
BOS Bantuan Operasional Sekolah dan memakan Rp 20.000, 00 untuk operasional tes IQ di Puskesmas.
Hasil dari asesmen itu akan diberitahukan kepada sekolah dan diteruskan ke orang tua, atau dengan mengikutsertakan orang tua untuk
datang ke Puskesmas dan berdiskusi dengan GPK serta pihak Psikolog. Kebijakan SD Negeri Brengosan I yang telah dilaksanakan, jika anak
berkebutuhan khusus yang ada di sekolah sudah tidak mengalami
153
hambatan akan dilepas dari status ABK dan tidak dilakukan identifikasi dan asesmen padanya.
3 Pembahasan Hasil Asesmen
Sekolah telah mampu melaksanakan proses identifikasi dan asesmen pada anak yang terindikasi ABK bekerja sama dengan
psikolog di Puskesmas. Setelah asesmen dilakukan oleh Puskesmas, akan diketahui karakter anak yang menjadi klien mulai dari kelemahan,
kelebihan, dan bentuk pelayanan yang dianggap cocok diberikan pada anak. Sekolah dapat memastikan ketunaan anak, dan pengembangan
anak bagaimana. selain itu peran orang tua diutamakan untuk memberikan bimbingan di rumah berdasarkan saran dari sekolah dan
Puskesmas. Bentuk hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Puskesmas berupa skor tingkat intelegensi yang didapat anak dan saran. Jika orang
tua kooperatif akan diberikan penyuluhan secara khusus dari psikolog. Rincian pengukuran yang dicari dalam tes IQ tersebut berupa
kemampuan pengetahuan umum, visual motorik, penalaran aritmatik, konsentrasi dan memori, kemampuan kata dan verbal, dan evaluasi dan
penalaran. Tindakan selanjutnya yang dilakukan sekolah adalah melakukan pembahasan terhadap hasil yang didapat serta meneruskan
memberikan arahan kepada orang tua. Sehingga peran orang tua dituntut aktif dalam membimbing anak dilingkungan keluarga agar
ABK dapat berkembang. Selain memberikan pengarahan, upaya selanjutnya dengan mempersiapkan penyesuaian
– penyesuaian
154
pembelajaran yang akan dilakukan dikelas. Jika kebanyakan anak yang terindikasi ABK mengalami hambatan kecerdasan, arahan yang
diberikan berupa penambahan jam belajar, penyesuaian RPP, pengajaran pendampingan, dan perutinan belajar dirumah.
Dengan demikian pembahasan yang dilakukan sekolah dalam menanggapi hasil asesmen yang diperoleh anak dilaksanakan oleh Guru
Kelas, Guru Pembimbing Khusus dan Orang tua anak. Guru mempersiapkan penyesuaian pembelajaran atau rencana belajar sesuai
karakter anak. SD N Brengosan I tetap mengutamakan agar perhatian dan bimbingan orang tua di keluarga harus berjalan, namun hal tersebut
kurang dapat berjalan karena masih banyak wali siswa yang kurang peduli. Hal tersebut menunnjukkan jika pelaksanaan yang dilakukan
sekolah sesuai dengan teori konsep pendidikan inklusi Moh. Takdir Ilahi 2013: 117-132 yakni konsep memajukan sekolah inklusi dan
konsep sumber daya, bahwa setiap sumber daya manusia bergerak bersama untuk mengoptimalkan potensi anak. Oleh karena itu, SD N
Brengosan I mengupayakannya melalui pelaksanaan tambahan jam pembelajaran khusus ABK, dan penyesuaian pada RPP.
c. Tindak Lanjut Asesmen
1. Perencanaan Pembelajaran Proses ini SD N Brengosan I akan menganalisa hasil asesmen
untuk menyesuaian dengan kurikulum yang digunakan. Kurikulum yang diterapkan sama pada umumnya hanya terdapat beberapa
155
modifikasi. Penyesuaian tersebut dilakukan oleh guru kelas dengan didampingi GPK. Kebanyakan guru membuat RPP satu jenis, tidak
dipisahkan antara siswa ABK dan anak normal. Hanya diberikan penyesuaian seperti arah, tujuan, materi pembelajaran ataupun
tingkatatan evaluasi belajar. Sedangkan Standar Kompetensi SK, Kompetensi Dasar KD,dan alokasi waktu tetap disamakan. Hal
tersebut menunjukkan kesesuaian dengan teori dari Budiyanto 2009: 27 terkait alur identifikasi dan asesmen bahwa data yang diperoleh dari
proses asesmen menjadi pedoman dalam penyusunan rencana belajar. Kebijakan lain yang dibuat SD N Brengosan I adalah
menyamakan RPP pada tingkatan kelas VI baik siswa ABK dan normal. Hal tersebut didasarkan agar semua anak dapat mengikuti ujian nasional
dan mendapatkan ijazah. Selain itu untuk memberikan akses yang luas dalam melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Sesuai dengan
Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 bahwa pendidikan inklusi menjunjung prinsip keberlanjutan, berkesinambungan pada setiap
jenjang pendidikan 2
Pelaksanaan Pembelajaran Proses belajar mengajar dikelas sama dengan sekolah lainnya
pada saat penulis mengikuti proses belajar di kelas III dan IV, umumnya guru menggunakan metode ceramah dan dikte dengan
sesekali menghampiri tiap siswa. Khusus untuk ABK mereka mendapat porsi pendampingan lebih sering oleh guru kelas maupun GPK. Tahap
156
setelah menyusun RPP, guru melaksanakan pembelajaran dan mengorganisasikan siswa berkebutuhan sesuai rencana yang telah
dibuat. Semua siswa berada dalam satu kelas dan menerima penyampaian topik yang sama, ruang dan waktu yang sama.
Kunjungan GPK masuk kekelas setiap harinya dijadwal sesuai kesepakatan sekolah dan GPK selama dua hari di sekolah. GPK lebih
fokus mendampingi anak yang mempunyai hambatan kecerdasan cukup berat seperti tunagrahita. Penempatan tempat duduk antara siswa
berkebutuhan dan reguler diletakkan secara terpisah. Hal yang umum dilakukan guru sebelum memulai pembelajaran
guru hanya menanyakan kesiapan belajar siswa, serta menyiapkan materi belajar. Sesudah usai pembelajaran terkadang guru akan
memberikan PR, dan anak akan melakukan bersih – bersih ruang kelas
serta meletakkan kursi daiatas meja. Kegiatan tersebut teramati sama untuk kelas III dan kelasIV di SD N Brengosan I.
Selain itu guru banyak mengalami kesulitan mengajar pada ABK khususnya tunagrahita. sedangkan anak slow learner beberapa guru
masih sanggup untuk memberikan pengajaran walau pelan. kebanyakan guru merasa sulit dalam memfokuskan siswa dan cara agar ABK
tersebut tidak tertinggal dalam prestasi. Namun tetap sekolah berupaya memberikan pelayanan terbaik agar anak dapat berkembang, sesuai
dengan prinsip pendidikan inklusi. Sesuai dengan Permendiknas RI No.70 tahun 2009 tentang prinsip kebermaknaan, sekolah mampu
157
memberikan pelayanan pendidikan dengan lingkungan yang ramah anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan.
Salah satu upaya yang dilakukan sekolah dengan memberikan pengarahan pada orang tua, dan penambahan jam belajar. Hal tersebut
menunjukkan jika sekolah berupaya untuk memberikan pelayanan pendidikan pada anak, meskipun pelan- pelan. Sesuai dengan
Tarmansayah 2007: 84 bahwa pendidikan inklusi adalah hak asasai manusia, dimana pelayananan pendidikan harus diterima oleh setiap
anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik, intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan
dan bakat istimewa. 3
Pelaksanaan Evaluasi Belajar Setelah dilakukan proses identifikasi dan asesmen, serta
diberikan pembelajaran dari hasil temuan- temuan. Dilaksanakan evaluasi belajar untuk dapat memantau perkembangan belajar anak
dilakukan melalui ulangan.. Standar dan alat penilaian yang diterapkan oleh guru menyesuaikan kebutuhan anak terutama ABK. Evaluai ini
dengan sekolah lainnya sama bentuknya, hanya berbeda pada indikator khusus ABK.
Model evaluasi yang dilakukan sekolah disesuaikan dengan kondisi siswanya, terkadang siswa juga mendapat pendampingan saat
mengerjakan soal. Hal itu untuk membantu ABK yang lemah dalam membaca maupun menulis, selain itu tingkatan kesukaran soal juga
158
dibedakan. Penyesuaian lebih pada tingkat indikator soal ABK yang lebih rendah dibanding anak normal, serta nilai KKMnya. Sesuai
dengan Permendiknas RI No.70 tahun 2009 tentang prinsip kebutuhan individual bahwa potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan
pendidikan harus menyesuaikan dengan keadaan anak Hasil ulangan yang didapat akan diberikan kepada orang tua
sekaligus pengarahan. Jika siswa ABK mengikuti ulangan dan sudah mendapatkan hasil yang bagus, kelemahan yang ada telah hilang. Anak
akan dilepas dari status anak berketunaan, namun jika anak masih mengalami hambatan. Pihak sekolah tetap memberikan pelayanan
khusus bagi ABK dan dikemudian hari proses identifikasi dan asesmen tetap berlanjut. Siswa yang mengalami gangguan ringan banyak
dirasakan wali murid di SD N Brengosan I sudah mengalami perubahan perlahan. Akan tetapi jika ditemukan ABK tersebut sulit untuk
berkembang ABK berat dan terbatasnya sarana dan tenaga. SD N Brengosan I akan mengarahkan ABK tersebut untuk pindah ke SLB.
Orang tua akan diberikan pengarahan kondisi anak didiknya. pengarahan yang dilakukan sekolah setelah mendapat hasil asesmen
dan evaluasi ini untuk mengetahui dan menyesuaikan kemampuan anak. Orang tua yang kooperatif akan menerima arahan sekolah untuk
memindahkan anaknya ke SLB. Namun jika bersikeras, sekolah tetap bersedia menampung ABK berat tersebut. Guru akan tetap memantau
secara berkala perkembangan ABK dikelas. Kebijakan tersebut
159
dilakukan pihak SD N Brengosan I tersebut untuk mengantisipasi jika anak keluar sekolah justru putus sekolah.
Berdasarkan data yang diperoleh pelaksanaan pembelajaran di SD N Brengosan I belum semua dilaksanakan sesuai dengan pedoman
PPI yang dinyatakan Loughin Budiyanto, 2014: 65. Dikarenakan dalam prakteknya PPI masih dilakukan secara tertulis saja.
d. Pelayanan pendidikan khusus
Tindakan dalam mengoptimalkan hasil dari asesmen yang dilakukan sekolah dilakukan dengan mengadakan penambahan jam
tambahan belajar bagi ABK sebagai wujud dari pelayanan khusus. Sekolah memberikan waktu tambahan belajar khusus bagi ABK pascapembelajaran
kurang lebih 30 sampai 60 menit perkelas untuk mengulang dan menguatkan materi yang diterima anak. Hal tersebut berkaitan dengan
kebanyakan kelemahan siswa yang lemah intelegensi, sehingga perlu disokong dengan perutinan belajar. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari
dilaksanakan asesmen yang disampaikan oleh Sunardi dan Sunaryo Budiyanto, 2014: 56 yaitu: 1 untuk mendapatkan informasi yang
akurat, obyektif, relevan tentang keadaan anak berkebutuhan khusus; 2 untuk mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam diri anak,
hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan, kebutuhan pelayanan khusus; dan 3 untuk menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan
kondisi anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan perkembangan anak.
160
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan