Teori Konstruktivistik Dasar Teori Pengembangan E-Learning
28 Selwyn 2009: 32 mengkaji budaya dan gaya hidup yang khas di
kalangan generasi muda dengan istilah seperti born digital lahir sudah digital dan net savvy fasih berjaringan, ia menganggap bahwa konsep
digital native tak dapat secara objektif menggambarkan budaya generasi
muda dan teknologi yang mereka gunakan. Banyak klaim Prensky tentang keterampilan dan kefasihan generasi muda dalam menggunakan
teknologi komputer tidak didukung oleh bukti-bukti empirik. Selain itu, diskusi tentang karakteristik digital native ini juga seringkali diwarnai
oleh debat tentang moral dan ideologi sehingga lebih mencerminkan kepanikan moral” moral panic di masyarakat katimbang konsep
ilmiah tentang perilaku generasi muda saat ini. Pernyataan Williams dalam Putu Laxman 2014: 4-5 menegaskan
bahwa bagaimana teknologi sesungguhnya digunakan sehari-hari dan – jika teknologi itu adalah sebuah media – apa isi yang disampaikannya,
tak dapat diabaikan dalam upaya memahami kehadiran maupun efeknya di sebuah masyarakat. Selain itu, Williams sangat berpegang pada
pandangan bahwa semua teknologi muncul karena ada maksud dan tujuan, serta ada peran manusia sebagai pihak dalam sosiologi, disebut
agent yang punya kuasa untuk menentukan. Maksud dan tujuan ini juga ada di dalam kelompok sosial untuk memenuhi hasrat atau tujuan
mereka, sehingga setiap teknologi sebenarnya mengandung aspek historis dan budaya yang spesifik.
29 Oleh karena itu, kesimpulan yang didapatkan dari berbagai
literatur yang melandasi pemikiran digital native – digital immigrant, bahwasannya dalam kajian teori ini menekankan peran perkembangan
pengaruh teknologi terhadap kebutuhan psikologis, sosial, dan budaya yang secara perlahan mempengaruhi semua aspek pelaku pendidikan
terutama pola berfikir siswa. Hal ini akan senantiasa berdampingan seiring berkembangnya inovasi dalam pendidikan baik melalui program
pembelajaran maupun metode-metode pembelajaran. 3. Fungsi Pembelajaran E-Learning
Menurut Lantip 2011: 223 terdapat tiga fungsi di dalam pembelajaran E-Learning, yaitu sebagai suplemen tambahan, komplemen
pelengkap, dan substitusi pengganti. a. E-Learning sebagai suplemen, artinya adalah E-Learning sebagai
program pembelajaran yang berperan sebagai metode opsional yang memberikan bebasan kepada siswa untuk belajar dengan menggunakan
metode pembelajaran E-Learning. b. E-Learning sebagai komplemen, artinya adalah E-Learning sebagai
media yang melengkapi proses pembelajaran konvensional. Dengan kata lain E-Learning digunakan sebagai penguat reinforcement atau
pengulangan sekaligus sebagai remedial bagi siswa. Penguat ditujukan untuk memantapkan penguasaan dan pemahaman materi. Sedangkan
remedial ditujukan untuk siswa yang mengalami kesulitan pemahaman terhadap materi yang sudah diberikan di dalam kelas.
30 c. E-Learning sebagai substitusi, artinya adalah E-Learning sebagai
pengganti alternatif pembelajaran bagi siswa. Hal ini bertujuan agar pembelajaran lebih bersifat fleksibel. Siswa dapat memilih dan
mengelola sendiri waktu dan aktivitasnya di dalam kegiatan belajar menggunakan E-Learning.
Berdasarkan fungsi pembelajaran E-Learning di atas, dapat disimpulkan bahwa E-Learning berperan sebagai metode pembelajaran
opsional yang berarti tidak sepenuhnya menggantikan pembelajaran konvensional di dalam kelas. E-Learning dapat diposisikan ke dalam tiga
hal, yaitu sebagai suplemen tambahan, komplemen pelengkap, dan substitusi pengganti.