Evaluasi Program Model CIPP

20 d. Evaluasi product Evaluasi product dalam CIPP diarahkan pada hal-hal yang merujuk kepada perubahan yang terjadi pada masukan Arikunto, 2004: 30. Fungsi ini dapat digunakan sebagai pengambilan keputusan berdasarkan penilaian sumatif data yang dihasilkan. Djudju Sudjana 2006: 56 mengemukakan bahwa evaluasi ini berkaitan dengan pengaruh utama, pengaruh dampak yang dihasilkan, biaya dan keunggulan program. Peran evaluasi product dalam penelitian ini digunakan sebagai evaluasi hasil pembelajaran E-Learning berlangsung dengan indikator ketercapaian tujuan program sehingga mampu menjadi bahan acuan untuk memperbaiki hasil pembelajaran E- Learning muatan lokal Bahasa Jawa di SMA Negeri 2 Bantul. Berdasarkan kajian model evaluasi diatas, kerangka kerja penelitian ini mengacu pada evaluasi CIPP. Pemikiran yang melandasi peneliti memilih model ini yaitu menganggap bahwa model evaluasi program ini mampu memberi gambaran kerangka penilitian secara absolut mulai dari awal program hingga akhir mengenai hasil program. Model evaluasi CIPP dalam penelitian ini mudah dipahami dan diterapkan karena lingkup evaluasi yang spesifik dalam program E- Learning muatan lokal Bahasa Jawa di SMA Negeri 2 Bantul meliputi evaluasi konteks berfungsi untuk meneliti perencanaan program, evaluasi masukan berfungsi untuk meneliti komponen yang terlibat didalam program. Selanjutnya, evaluasi proses berfungsi untuk meneliti 21 pelaksanaan program, dan evaluasi produk berfungsi untuk meneliti outputluaran yang dihasilkan oleh program.

B. Kajian E-Learning 1. Definisi E-Learning

Kata “E-Learning” berasal dari dua kata, yaitu “e” yang berarti elektronik dan “learning” yang berarti pembelajaran terdiri dari huruf “e” yang berarti elektronik dan learning yang berarti pembelajaran. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum saat ini E-Learning merupakan pembelajaran yang memanfaatkan perangkat elektronik melalui pemanfaatan jaringan sebagai penunjang siswa dalam belajar. E-Learning merupakan aplikasi internet yang dapat menghubungkan antara pendidik dan peserta didik dalam sebuah ruang belajar online Prakoso, 2005. Menurut Onno W. Purbo 2002, menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam E-Learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Hal lain dikemukakan ooleh Baskara 2014: 19 mengemukakan pada dasarnya, elektronik yang dimaksud telah dibagi menjadi dua persepsi, yaitu: a Electronic based learning adalah pembelajaran yang memanfaatkan perangkat elektronik sebagai media penunjangnya, misalnya proyektor, LCD, CDDVD, OHP dan sejenisnya. Pembelajaran seperti ini biasa digunakan dalam model klasikal, yaitu bertatap muka secara langsung sychronous. b Internet based adalah pembelajaran yang memanfaatkan sarana internet online sebagai instrumen media utamanya. Pembelajaran seperti inilah yang sekarang banyak digunakan oleh instansi pendidikan karena bisa diakses dimana dan kapan saja tidak terbatas oleh jarak, ruang dan 22 waktu serta tidak memakan biaya relatif tinggi namun jangkauannya luas asynchronous. Clark dan Mayer dalam Lantip 2011: 210 memaparkan bahwa “E- Learning as training delivered on a computer including CD-ROM, Internet, or Intranet that is designed to support individual learning or organizational performance goals”. Memiliki pengertian bahwa E- Learning sebagai sebuah sistem pembelajaran pada sebuah perangkat komputer, maka di desain untuk mempermudah pebelajar mencapai tujuannya. Hal lain juga dikemukakan oleh Dong dalam Kamarga 2002: 17 mengemukakan bahwa E-Learning sebagai kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik komputer yang memperoleh bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Dari beberapa kajian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa E- Learning merupakan sistem media yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dimana perangkat elektronik seperti komputer sebagai media perantara penyampai informasi dan internet sebagai media komunikasi yang mendukung proses pembelajaran baik secara synchronous secara langsung maupun asynchronous secara tidak langsung untuk memudahkan pebelajar mencapai tujuan pembelajaran.

2. Dasar Teori Pengembangan E-Learning

Dalam penerapan dan pemanfaatan E-Learning di dalam pembelajaran tidak akan terlepas dari peran teori belajar dan pembelajaran. Terdapat beberapa teori yang melandasi pengembangan E-Learning, antara lain: 23

a. Teori Kognitif

Teori ini memandang kegiatan belajar dan mendapat pengetahuan sebagai sebuah proses. Dalam teori belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan proses belajarnya Asri Budiningsih, 2008: 34. Dalam teori Jerome Bruner yaitu discovery learning bependapat bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik jika pendidik memberikan kesempatan kepada siswa secara bebas untuk menemukan konsep, teori, maupun materi yang sedang ia pelajari di dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut Bruner Asri Budiningsih, 2008: 41, perkembangan kognitif seseorang di bagi ke dalam tiga tahap berdasarkan cara melihat lingkungannya, yaitu: Pertama, tahap enaktif. Tahap dimana seseorang melakukan aktivitas sehari-hari dalam rangka memahami lingkungan melalui pengetahuan motoriknya. Kedua, tahap ikonik. Tahap dimana seseorang memahami lingkungannya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik. Tahap dimana seseorang memahami lingkungannya melalui simbol-simbol, seperti bahasa, logika, matematika, dsb. Berdasarkan teori kognitif, E-Learning lebih menekankan pembelajaran yang berpusat pada proses. Siswa menjadi subjek utama dalam belajar dan pendidik bertugas sebagai fasilitator. Pada pembelajaran E-Learning, siswa dapat belajar menggunakan media apa 24 saja untuk membangun pengetahuannya secara mandiri. Sumbangsih teori kognitif terhadap perkembangan E-Learning ditinjau melalui penekanan proses belajar, dimana posisi E-Learning bukan hanya sebagai instrumen penilaian tetapi juga instrumen selama proses pembelajaran berlangsung.

b. Teori Konstruktivistik

Teori ini mendefinisikan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan manusia terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Asri Budiningsih 2008: 56 mengatakan, bahwa manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Menurut teori konstruktivistik, pengetahuan merupakan konstruksi bentukan dari orang yang mengenal sesuatu skemata. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema jamak: skemata yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus. Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan 25 landasan berfikir filosofi pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara mendadak. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Asri Budiningsih 2008: 58 menambahkan bahwa siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna terhadap hal-hal yang sedang dipelajarinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Woolfolk dalam Alex Kohang 2009: 92 yang mengemukakan bahwa “students actively construct their own knowledge: the mind of the student mediates input from the outside world to determine what the student will learn. Learning is active mental work, not passive reception of teaching”. Berdasarkan keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Sumbangsih teori konstrustivistik terhadap perkembangan E-Learning memandang bahwa sasaran program bukanlah orang yang polos tanpa pengetahuan dasar melainkan individu yang terus merekonsturksi, mengembangkan dan merefleksikan pengetahuan yang didapat.