Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran

22rajapangondian, 23 raja ni mora, 24parina-inagelar untuk perempuan yang tua-tua, 24atcimuntimun.25jolmaorang,26obukrambut, 27ulukepala, 28anak boru tidak dapat diterjemahkan artinya.,29anggiadik, 30bayoanak laki-laki, 31donganteman. Dari hubungan leksikal nomina seperti ketiga teks , terdapat leksikal yang khas dimiliki oleh masyarakat Angkola namun tidak terakomodir, seperti ambaroba, siantunas, tamboung, karena leksikal tersebut hanya muncul satu kali. Namun, dalam pembentukan taksonomi hubungan leksikal dengan perimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam Halilian adalah bahasa sehari- hari. Terdapat pemakaian leksikal yang tidak sama seperti pada kata leksikal soban dan hayu pemakaian ini dilihat dari konteks situasinya karena makna leksikalnya tidak sama, begitujuga dengan leksikal pada anak boru.

4.5 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran

Analisis yang dilakukan tidak berhenti pada pemerian deskriptif tentang pergeseran unit, struktur dan kelas yang terjadi tetapi juga mencoba memperkirakan aspek kemengapaan, yakni faktor-faktor apa saja yang memungkinkan terjadinya pergeseran tersebut. Penjelasan berikut mencoba memberi argumentasi terhadap mengapa terjadi pergeseran secara linguistik dan non-linguistik. Faktor lain yang barangkali dapat memberi gambaran lebih jelas atas terjadinya pergeseran dalam terjemahan adalah pernyataan bahwa setiap bahasa bersifat arbitrer manasuka, terutama yang berarti bahwa suatu konsep atau Universitas Sumatera Utara gagasan tertentu dapat secara bebas diekspresikan oleh setiap dan semua bahasa, menurut cara berekspresi bahasa masing-masing. Misalnya, konsep dahanon diekspresikan dengan kata beras dalam bahasa Angkola. Tetapi dalam bahasa Indonesia dipergunakan kata beras untuk mengekspresikan konsep yang sama. Contoh lain, konsep ’seorang wanita cantik’ dalam bahasa Angkola diekspresikan dengan ungkapan frasa na jeges. Tetapi dalam bahasa Indonesia dipergunakan kata cantik untuk mengekspresikan dengan ungkapan seorang wanita cantik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keunikan sifat bahasa dan kearbitreran cara berekspresi setiap bahasa boleh dikatakan sebagai faktor terjadinya pergeseran dalam penerjemahan. Barangkali atas dasar kedua sifat bahasa yang dikemukakan di atas, yakni bahwa setiap bahasa bersifat unik sui- generis dan arbitrer, maka Nida 1975 lebih memberi perioritas pada perpadanan makna daripada kepada kesejajaran bentuk dalam proses penerjemahan. Pergeseran ditentukan oleh perbedaan kaidah gramatikal antara bahasa Angkola dengan bahasa Indonesia. Keputusan manasuka adalah keputusan yang diambil oleh penerjemah berdasarkan alternatif yang tersedia bagi pemadanan teks sumber ke dalam teks target sesuai dengan kemampuan penerjemah, karakteristik teks, tujuan penerjemahan, dan sasaran terjemahan target audience serta gaya penerjemah. Dengan demikian pergeseran yang dihasilkan berupa pergeseran manasuka optional shift. Dengan adanya variasi perspektif inilah dalam penerjemahan yang dilakukan mendapat variasi padanan untuk teks yang sama. Universitas Sumatera Utara TS TT 110 “Ia bo ale amang sinua tunas, dohot parmaen panyunduti baen d i ari on ari na tama ari na tupa, ari na martua marsahala, dipajuguk hamu di juluan, najuguk dipatobang adat. Di son tarpayak di olo munu upa-upa pangupa tondi, upa-upa torkis, upa horas. Na horas tondi madingin, -upa sayur matua bulung. Horbo siomang bahal Na marguluan marsosopan Di son pangupa ni patibal Tanda nadung dapotan Horbo na marbara Manuk na marlobu Martamba hama mora Markoum martamba rosu Di son pira manuk na dihobolonan Dohot sra siancim pandaian Anso hobol tondi dohot badan Mura dohot pancarian On mada surat tumbaguoling, sise- sise on dung matobang, malo- malo hamu mahula marga, malo marhula dongan. 110 wahai penerus turunan dan menantuku, dihari yang baik ini, yaitu hari yang bertuah dan penuh semangat, didudukkan kalian berdua, di depan, didudukkan secara adat. Di sini dihadapan kalian, terletak upa-upa jiwa upa-pa raga, upa-upa pembawa kesehatan, upa-upa pembawa keselamatan. Semoga kalian Kerbau penghempang jalan punya tempat mandi lumpur Di sini pangupa diletakkan sebagai tanda sudah mendapat yang didambakan. Kerbau yang terkandang Ayam yang terkandang Semoga kalian bertambah muia Dan bertambah akrab berkaum kerabat Di sini terletak telur ayam pembawa kebal Dan sejemput garam yang asin rasanya Semoga kebal jiwa dan raga kalian Dan mudah mendapat pencaharian. Inilah surat tumbaga oling naskah te Dan mudah mendapat pencaharian. Inilah surat tumbaga oling naskah tembaga untuk dibacadihari tua, pandai- pandailah kamu bersahabat. Dalam contoh-contoh di atas item leksikal bergarisbawah memiliki makna berkonteks budaya Angkola yang juga dimiliki oleh budaya target Indonesia. Dengan kaidah potensialitas perluasan bukan saja berarti perluasan secara Universitas Sumatera Utara fisik, yaitu penambahan ataupun penghilangan unsure-unsur opsional pada struktur unit bersangkutan, tetapi juga potensi itu berfungsi sebagai unit yang lebih besar atau yang lebih kecil dalam teks. Potensi untuk berfungsi sebagai unit yang lebih besar dan unit yang lebih kecil dalam teks menyangkut hal yang sangat kompleks, karena sering ditentukan oleh faktor semantis. Mengacu berbagai konsep di atas dan mencermati kasus-kasus pemadanan ketiga teks sumber kedalam bahasa Indonesia berbagai pergeseran komponen pragmatik dapat diidentifikasi. Pergeseran tersebut pada dasarnya menyangkut pergeseran kohesi dan koherensi yang bersifat tekstual seperti misalnya acuan references, elipsis, kolokasi, subsitusi, reiterasi atau pengulangan, informasi lama dan baru, fokus, dan kedefinitan. Berikut adalah sejumlah kasus pergeseran . Pergeseran komponen tekstual lainnya yang teridentifikasi adalah elipsis seperti yang terlihat dalam data berikut. TS 111 Ise do bayo na mangoban daganak i. Di oban tudia do daganak i d0hot bayo i. NPR TT 111 Siapa laki-laki yang membawa anak-anak itu. Mau di bawa ke mana mereka. NPR Dalam pencermatan terhadap pemadanan teks tersebut di atas, beberapa catatan bisa dibuat dalam kaitannya dengan pergeseran yang terjadi. Pertama, adalah kasus pergeseran acuan jamak plural menjadi tunggal singular yang dituntukkan oleh pemadanan kalau danak-danak i ke dalam anak. Makna jamak dalam bahasa sumber ditandai oleh perulangan sedangkan makna tunggal dalam bahasa target tidak ditandai oleh perulangan.. Catatan ke dua yang bisa dikemukakan adalah pergeseran struktur kalimat dari kalimat interogatif menjadi Universitas Sumatera Utara kalimat deklaratif seperti yang diperlihatkan dalam pemadaman kalimat “ Di oban tu dia do danak-danak i ?’’Dalam bahasa sumber menjadi “ Hendak di bawa ke mana anak-anak itu? Kasus yang ke tiga adalah pergeseran komponen tekstual berupa ellipsis seperti yang diperlihatkan dalam pemadanan kalimat, Inda maila do ho maligin na? “Apakah engkau tidak malu melihatnya? Kami akan malu.” Dalam bahasa sumber pengulangan dalam hal ini predikat, maila adalah hal yang bisaa dan begitu juga dalam kaedah bahasa target bahasa Indonesia umumnya pengulangan tidak dihindarkan. Oleh karena itulah dalam bahasa target padanan malu yakni dimunculkan pada kalimat yang akhir. Kalau dicermati lebih dalam pemadanan kalimat Miila do hami maligin na? “Kami akan malu.” ke dalam “Kami malu” proses ini tidak saja menunjukkan elipsis predikat tetapi juga pergeseran perluasan jangkauan deiktik persona dari eksklusif menjadi inklusif. Kami dalam teks sumber merupakan titik acuan yang hanya melingkupi pembicara orang pertama jamak sementara padanannya maila do dalam teks target tidak saja melingkupi pembicara orang pertama jamak. Contoh elipsis lain yang perlu dikemukakan di sini adalah elipsis yang terdapat dalam data 133 berikut: TS 112 Dung do i mamolus anak sikola sian jolo panopaan Uda, nanggo lupa halaki mangumam-umami sora ni panakko ni Uda Dja Gokkon. Dungi muse didookon hala sora i pandusdus ni Arsad, Arsad, Arsad...”, ninna dibege halaki. Nabinoto bagi ise parjolo mandokon, sora ni bosi na haiha hararaanna dibuat sian api arong lalu dipahelpat-kelpat dung TT 112 Setiap anak sekolah melitasi depan panopaan tidak lupa mereka menyoraki pencuri bapak Dja Gokkon. Sesudah itu mereka bersorak pembohong si Arsad, Arsad..”,Itulah yang terdengar. Tidak tahu siapa yang pertama mengatakannya, suara itu suara seperti besi yang dipanaskan dengan arang dan setelah itu seperti diam seperti hilang-hilag Universitas Sumatera Utara disornopkon tuaek nangali, sora na nikkalahi: “Boleraaaam, Boleraaaam, ...”, ninna ma nikalai. BVD timbul, begitulah suara orang itu; dengan mengatakan ‘boleram, boleraaaam . BVD Secara tekstual kasus pemadanan teks sumber kalimat yang bergaris bawah tersebut di atas menunjukkan pelesapan lawan bicara dalam teks target. Orang ke dua orang itu dalam kalimat , sora na nikkalahi: “Boleraaaam, Boleraaaam, ...”, . tidak dimunculkan dalam padanannya Boleraaaam, Boleraaaam. Dari segi pragmatik pemadanan kalimat di atas menunjukkan suatu pergeseran modalitas yakni sikap pembicara dan fungsi kalimat. Melihat hubungan pembicara dan lawan bicara, kalimat , so didookon ra na nikkalahi: “Boleraaaam, Boleraaaam, dan pandusdus ni Arsad, Arsad, Arsad,...”’ bersifat anjuran atau saran untuk tidak berbuat sesuatu terhadap seseorang untuk kepentingan keselamatannya sementara padanannya ulang ho songoni lebih berupa larangan atau keharusan memiliki makna inferatif untuk tidak melakukan yang dinyatakan oleh predikat tersebut. Di samping elipsis, wujud pergeseran pragmatik lain yang teridentifikasi berupa pergeseran hubungan kohesif intra kalimat seperti yang ditunjukkan oleh data berikut: TS 113 Sude halak na kayo adong supir na. Tai anggo malanggar aha giot halaki martanggung-jawab? TT 113 Tapi semua direktur bank punya sopir pribadi Apa mau si direktur bertanggung jawab karena sopirnya yang nabrak? Dalam proses pemadanan teks 134 di atas telah terjadi pergeseran hubungan kohesif intra kalimat yang bergarisbawah dari hubungan kausal sebab Universitas Sumatera Utara akibat dalam teks sumber yang ditandai oleh piranti formal karena “Apa mau si direktur bertanggungjawab karena sopirnya yang nabrak?” Seperti yang pernah diungkapkan bahwa sampai batas-batas tertentu tak bisa dihindarkan karena perbedaan sistem linguistik bahasa sumber dengan bahasa target di satu sisi dan keputusan penerjemah di sisi lain. Perbedaan sistem linguistik tersebut mewajibkan penerjemah untuk melakukan penyesuaian sistem dengan alasan kealamiahan dan keterbacaan teks padanan dalam bahasa target. Sementara keputusan yang diambil oleh penerjemah dalam menentukan strategi pemadanan diwarnai oleh perspektif dan sikap penerjemah terhadap teks dan dampak yang ingin ditimbulkan terhadap teks padanan dikalangan pembaca target audience. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, sebuah teks dibangun oleh dua jenis hubungan struktural dan kohesif, yakni hubungan lokal, yakni hubungan antar kalimat yang mencakup hubungan-hubungan yang tidak bisa dijelaskan tanpa mengacu pada fitur-fitur antar kalimat inter-sentence features dan bagian-bagian teks diluar kalimat yang menjadi pusat perhatian. Dengan demikian elemen- elemen dalam kalimat tertentu yang disamping berperan dalam struktur kalimat tersebut, dalam hubungannya dengan kalimat-kalimat lainnya juga memberikan kontribusi pada kesatuan atau keutuhan teks secara keseluruhan. Berangkat dari pandangan konseptual di atas maka dalam kasus pemadanan teks 133 tersebut diatas telah terjadi pergeseran koherensi berupa pergeseran hubungan menjadi global. Yang menjadi topik dalam teks sumber adalah “Uda Dja Gokkon, yang ditunjukkan oleh kalimat topik padanan “ pencuri bapak Dja Gokkon. Item Universitas Sumatera Utara leksikal “Uda” dalam teks sumber secara tekstual memiliki hubungan kohesif lokal, yakni hubungan intra kalimat sedangkan padanannya “Bapak” secara pragmatik disamping memiliki hubungan lokal intra kalimat juga berfungsi sebagai piranti formal yang memiliki hubungan koherensi yang bersifat global, yakni hubungan inter-kalimat yang membentuk kesatuan dan koherensi teks secara keseluruhan berupa tema. Teks sumber cerpen tidak sekedar berbicara tentang Uda sebagai keadaan tetapi Uda sebagi proses. Sama halnya dengan pergeseran mikro, faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya pergeseran makro juga dapat diberikan secara teoritik dan praktik. Secara teoretik, faktor yang pertama dapat dikatakan bahwa keunikan setiap bahasa adalah faktor utama terjadinya pergeseran mikro. Faktor utama dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam terjemahan adalah sifat arbriter manasuka suatu bahasa, yang berarti bahwa suatu konsep atau gagasan tertentu dapat secara bebas dieksplisitkan oleh setiap dan semua bahasa, berekspresi bahasa masing-masing. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Quine 1992:446 bahasa merupakan sistem keseluruhan dan kita tidak bisa memadankan makna atau kata secara lintas bahasa yang berbeda. Apa yang bisa dilakukan adalah memahami skema konseptual pada skema mana kata tersebut termasuk walaupun hal ini tidak sepenuhnya bisa dicapai. Makna harus dikaitkan dengan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan penutur. Karena tidak ada dua budaya yang sama maka gejala ketidaksamaan komponen makna dari dua bahasa merupakan masalah yang melekat dalam proses penerjemahan. Universitas Sumatera Utara Secara praktis, pergeseran makro bisa bersifat wajib dan manasuka standart dan free menurut Newmark, 1988:86; mandatory dan optional menurut AL-Zoubi dan AL-Hasnawih 2001. Pergeseran wajib disebabkan oleh faktor perbedaan sistem makna kosa kata antar bahasa dalam kasus ini antara bahasa Angkola dan bahasa Indonesia. Perbedaan sistem makna antar bahasa ini dinyatakan oleh Lapoliwa 2003:112-114 tercermin dalam bentuk gejala divergensi seperti ho dalam bahasa Angkola yang bisa berarti engkau, kamu, anda atau kalian dalam bahasa Indonesia Pergeseran makro yang bersifat manasuka bisa dikatakan disebabkan oleh faktor internal penerjemah seperti kemampuan, perspektif yang dibangun dalam melihat teks sumber, orientasi berupa kesetiaan pada bentuk ataukah makna dan pembaca sasaran target audience yang semuanya merupakan dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan seperti pemilihan strategi penerjemahan dan padanan dalam merekontruksi teks sumber tersebut ke dalam teks tersebut. Di samping itu potensi pergeseran makro yang bersifat manasuka juga bisa terealisasi akibat dari tipe-tipe makna seperti yang diungkapkan oleh Larson 1984:6-12, yakni suatu bentuk form merepresentasikan beberapa makna alternatif sehingga suatu kata memiliki makna primer primary meaning, yakni makna yang bisa muncul dalam ingatan bila suatu kata diucapkan secara terpisah in isolation, dan makna skunder secondary meaning yakni makna tambahan yang dimiliki oleh suatu kata dalam konteks dengan kata lainnya. Universitas Sumatera Utara Dalam proses pemadanan makna yang tercermin dalam ketiga teks sumber tersebut dicapai kesepadanan dalam berbagai tataran level, yaitu 1 kesepadanan referensial, 3 kesepadanan konotataif, 4 kesepadanan prakmatik. TS 114 Si Sakkot anak ni Raja dung magodang. BNH. 115 “O, Oppung tola dehe masuk tu kobun “Oppung , bolehkah aku masuk ke kebun oppung ini? NPR TT 114 Anak raja yang bernama Si Sakkot, sudah besar. BNH 115 “Oppung , bolehkah aku masuk ke kebun oppung ini? NPR Data 114,115 menunjukkan kesejajaran bentuk antara teks sumber dan teks target sedangkan pada data 114, juga menunjukan kesejajarn bentuk antara teks sumber dan teks target seperti pada kata oppung sebagai unit kata dan tergolong kelas nomina berpadanan dengan Nenek dalam teks target yang juga berupa unit kata kelas Nomina. Kesepadanan formal pada tataran frasa pada nomor 114, anak ni raja sebagai unit frasa nomina berpadanan dengan anak raja dalam teks bahasa target yang juga berupa frasa nomina. Kesepadan referensial atau denotatif adalah kesepadanan yang ditunjukkan oleh kesamaan acuan dunia nyata oleh kedua item leksikal teks sumber dan teks targt. Berikut ini akan disajikan sejumlah data yang menunjukkan tingkat kesepadanan referensial antar teks sumber dan teks target. Universitas Sumatera Utara TT 116Adong do opatpulu dua mocom pulungan ni ubat na didokkon ni bayo datu i. BNH 117Dung lalu halaki di bagas sopo- sopo I, manigor ma si Tapi Mombang Suro matubekbek.NPR 118Bajukku do na husapai di ho. NPR 119Hira-hira habis sapangidupan timbako bakkal, mulai ma manuat si Tigor tu pambuatan soban. BVD TS 116Ada empat puluh dua macam ramuan obat yang dikatakan dukun itu. BNH 117Setelah mereka sampai rumah- rumah kecil, langsung si Tapi Mombang Suro marah-marah. NPR 118Baju ku yang kutanyakan di kau. NPR 119Kira- habis sebatang rokok tembakau, baru si Tigor pergi ke tempat pengambilan kayu. BVD Kesepadanan konotatif merupakan kesepadanan yang ditunjukkan oleh kesamaan atau kemiripan asosiasi yang ditimbulkan dalam pikiran penutur bahasa sumber maupun bahasa target, seperti dalam data ini; Universitas Sumatera Utara TS 120Bia ma he’ttong baenon, rupa madung sibat di na mardunia on do. Muda taradong di iba, kecet pe mur bahat. Na pola maralang-alang iba makkuling gogo di lopo-lopo. Bisa muse iba mandok sipaingot tu halak, on na tusi on na tuson Bope na so tutu nadidokkonan i, halak pe na bagi aha didokkon na manangihon kalak. Anggo hum na ditangihon, napola hatcit di lala. Tai muda batcing mata ni na mambegesa, nama murdangol dilala. Hohom kohom iba, didokkon halak iba si longas. Songon na didokkon halak Hutasuhut i, sip muap bau, makkuling muap et . Tarsongon i ma si Tigor, sai hohom kohom.BVD 121“Sattabi sapulu noli maradopkon raja nami, haruaya parsilaungan dohot tu sude akka na mora-mora diparluhutanta on. BNH TT 120Apalah mau diperbuat rupanya sudah memang sifat di dunia ini. Kalau kita kaya, komburpun banyak. Tidak segan-segan cerita dengan suara keras-keras di kedai. Bisa pula kita memberi nasehat kepada orang mengenai ini dan itu. Walalupun apa yang dikatakan itu tidak benar orang yang mendengarpun tidak bilang apa- apa. Tapi kalau kita miskin, cerita kita pun tak didengar orang, kalau tak didengar tidak apa-apa, tapi kalau yang mendengar itu menatap kita dengan tajam, sungguh sedih perasaan. Kita diam-diam dibilang orang si Longas seperti apa dibilang orang Hutasuhut” diam bau sekali, berbicara bau kotoran. Seperti itulah si Tigor, selalu diam-diam saja.BVD 121Mohon maaf beribu kali maaf. kehadapan raja kami, beserta mora- mora kami yang berkumpul diperkumpulan ini. BNH Sebagaimana yang telah disajikan pada data 120 di atas bahwa kata-kata itu diberikan pada orang-orang yang dianggap tidak mampu dalam berkehidupan susah. Kata budaya, sip muap bau, makkuling muap et oleh penerjemah dengan teks a menghasilkan padanan frasa diam bau sekali, berbicara bau kotoran yang tidak berkorespondensi secara formal Verba → Frasa Verba sedangkan pada terjemahan b padanan kata tersebut tidak muncul. Dalam terjemahan nomor 120 disebut berpadanan zero. Penerjemah yang menghasilkan teks a memandang sip muap bau, makkuling muap et sebagai fokus Universitas Sumatera Utara kehidupan atau keberadaan tentang keadaan manusia. Pada kasus pemadanan sip muap bau, makkuling muap et pemadanan melalui ekplanasi yaitu dengan melakukan parafrase dan pemberian penjelasan atau pemerian mengenai konteks situasi dari makna kontekstual. “Sattabi sapulu noli”, dalam contoh 121 teks sumber bukanlah memiliki makna denotatif, tetapi memiliki makna konotatif berupa mohon maaf yang berasosiasi dengan keadaan, yang merupakan acuan yang sudah dipahami setiap pembaca. Untuk mencegah pemahaman yang keliru atas makna “Sattabi sapulu noli” maka perlu memperhatikan makna kontekstual. Kesepadan normatif teks adalah kesepadanan yang ditunjukkan oleh penggunaan item-item leksikal yang memiliki konteks yang sama atau mirip dalam bahasa sumber dan bahasa target; TS 122Anggo andospotang si Tigor na jopan jugug-jugug di sopo- sopo.NPR 123idung mambaen goar, dibaen ma upa-upa lalu dibaen ma horja godang pitu haripitu borngin paidahon godang ni roha. BNH 124Sabotulna, si Tigor inatta nia dua. BVD TT 122Sore-sore si Tigor suka duduk – duduk balai-balai. NPR 123elesai membuat nama, dibuat pula upa-upa dan pesta besar tujuh hari tujuh malam, sebagai rasa besar hatinya. BNH 124Sebenarnya, si Tigor mempunyai dua ibu. BVD Pada dasarnya ketiga item leksikal teks terget memiliki kesepadanan normatif dengan teks target ditinjau dari komponen makna acuan yang dimiliki komponen fungsibentuk acuan. Pemadanan kata sopo ke dalam bahasa Indonesia terlihat melalui subtitusi budaya disertai dengan deskripsi bentuk dan fungsi. Pasangan pemadanan sopo dengan balai mengindifikasikan bahwa padanannya lebih bersifat umum. Dari sudut fungsi baik teks sumber maupun Universitas Sumatera Utara padanannya dalam bahasa target adalah ‘bangunan yang berfungsi sebagai tempat pertemuan atau aktifitas masyarakat umum’ sekali pun mereka yang bukan berdomisili di sekitar bangunan atau kelompok sosisal tertentu. Sedangkan pada nomor 70 item leksikal ‘sopo’ dalam bahasa Angkola dan balai dalam bahasa Indonesia memiliki konteks yang sama berdasarkan makna kontekstual, karena itu kesepadanan normatif dapat tergambar pada teks dan kesamaan pengertian pada bahasa Indonesia. Begitu juga pada nomor 124 memiliki makna yang sama antara ‘inatta’ bahasa Angkola dan bahasa Indonesia ‘ibu’. Kesepadan prakmatik merupakan tingkat kesepadan yang ditunjukkan oleh kesamaan efek atau dampak yang ditimbulkan oleh item-item leksikal pada pembaca masing-masing teks sumber maupun teks target seperti yang tergambar di bawah ini; TS 125“O, Oppung Tola dehe masuk tu kobun ni Oppung on? NPR 126“Hupangido di raja dohot boru na mora”’ ning ia manambai, atco dipasadiohon ma jolo parroppa sadun na lambat buruk, TT 125“O, Nek bolehnya masuk ke kebun nenek ini. NPR 126“Kuminta kepada raja bersama istri” agar mempersiapkan berupa kain adat yang lambat buruk”. Dari segi semantik kedua kasus pemadanan di atas menunjukkan tercapainya padanan fungsional yang sesuai dengan konteks situasi penggunaanya. Pada contoh 125, Oppung adalah sapaan atau ungkapan yang diucapkan pada saat mendatangi berkunjung ke kebun orang yang tidak di kenal. Senada dengan Universitas Sumatera Utara contoh di atas dari segi makna sebutan boru na mora dalam bahasa Angkola memiliki nuansa makna hubungan kedekatan pembicara dan lawan bicara. Dengan demikian secara prakmatik ungkapan boru na mora pada teks sumber memiliki kesepadanan pada kekeluargaan. Dalam pengalihan makna lebih banyak terjadi pergeseran makna menjadi lebih luas dan umum dengan kata lain dari makna spesifik ke arah generik. Ketepatan padanan accuracy dicapai lebih banyak melalui strategi modifikasi dengan memberi elemen pemodifikasi modifer seperti dalam bahasa Angkola “Holong rohamu diangkang, namborumu na matua bulung sedangkan bahasa Indonesia “ Kamu harus sayang sama namborumu yang sudah sendiri”. Dalam kasus pemadanan konsep yang abstrak dan tidak dimiliki oleh budaya target kesepadanan dicapai melalui penyepadanan komponen distingtif bentuk dan fungsi. Kecenderungan yang pertama secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa penerjemahan ketiga teks sumber tersebut lebih berorientasi pada makna sehingga prioritas ketersampaian dan ketepatan pesan dalam teks target menjadi prioritas utama. Hal ini dibuktikan oleh tingkat kesepadanan paling menonjol yang mampu dicapai adalah kesepadanan formal dan referensial. Ini dapat diilustrasikan pada data di bawah ini Kesepadanan formal merupakan kesepadanan yang dicapai pada tingkat bentukstruktur yang ditujukan oleh kesejajaran bentuk unit, struktur, dan kelas antara teks sumber dan teks target seperti pada padanan ideal. TS 127Si Sakkot anak ni Raja dung TT Universitas Sumatera Utara magodang. BNH. 128Memang tarsusa mada ngolu ni halaki. BVD 129 “O, Oppung ola dehe masuk tu kobun “Oppung , bolehkah aku masuk ke kebun oppung ini?NPR 127Anak Raja yang bernama si Sakkot sudah besar. BNH 128 Hidup orang itu memang agak susah. BVD 129Bolehkah aku masuk ke kebun oppung ini? NPR Ketiga teks di atas 127,128, dan 129 menunjukkan kesejajaran bentuk antara teks sumber dan teks target. Data 129, menunjukan kesejajaran bentuk antara teks sumber dan teks target. Oppung sebagai unit kata dan tergolong kelas nomina berpadanan dengan Nenek dalam teks target yang juga berupa unit kata kelas Nomina. Kesepadanan formal pada tataran frasa pada nomor 127 anak ni raja sebagai unit frasa nomina berpadanan dengan anak raja dalam teks bahasa target yang juga berupa frasa nomina. Kesepadan referensial atau denotatif adalah kesepadanan yang ditunjukkan oleh kesamaan acuan dunia nyata oleh kedua item leksikal teks sumber dan teks targt. Berikut ini akan disajikan sejumlah data yang menunjukkan tingkat kesepadanan referensial antar teks sumber dan teks target. TS 130Adong do opatpulu dua mocom pulungan ni ubat na didokkon ni bayo datu i. BNH 131 ung lalu halaki di bagas sopo- sopo I,manigor ma si Tapi Mombang Suro matubekbek.NPR TT 130Ada empat puluh dua macam ramuan obat yang dikatakan dukun itu. BNH 131Mereka sampai di tempat peristirah Si Tapi Mombang Suro marah-marah. NPR Universitas Sumatera Utara 132Bajukku do na husapai di ho. NPR 133Hira-hira habis sapangidupan timbako bakkal, mulai ma manuat si Tigor tu pambuatan soban. BVD 132Aku menatanyakan bajuku. NPR 133Kira- habis sebatang rokok tembakau, baru si Tigor pergi ke tempat pengambilan kayu. BVD

BAB V TEMUAN PENELITIAN

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada Bab II, penelitian deskriptif tidak dimaksud untuk menguji hipotesis tertentu tetapi lebih menggambarkan “apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Fenomena sosial yang ditemukan adalah: 5.1 Temuan 5.1.1 Kesepadanan yang Diperoleh dalam Proses Padanan yang Terdapat dalam Teks Sumber dan Teks Terjemahan Berkenaan dengan tipe padanan yang dihasilkan dalam bahasa target adalah antara mempertahankan makna dan bentuk tipe padanan dalam ketiga teks ditemukan: 1 padanan ideal, 2 terjemahan yang sepadan namun bentuknya Universitas Sumatera Utara