Fiks Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia sehingga kedudukan teori semantik dalam kajian terjemahan sebagai bidang ilmu terapan lebih
bersifat sebagai means dibandingkan sebagai goal. Dengan demikian kajian padanan dan pergeseran makna dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola ke
Indonesia ini, menempatkan teori semantik sebagai sarana, yakni pisau analisis untuk membedah fenomena pengalihan makna seperti kesepadanan, dan
pergeseran makna untuk mampertahankan hakekat kajian sebagai kajian terjemahan bukan kajian semantik. Berbekal pemikiran bahwa suatu padanan
mutlak tidak akan tercapai maka pengalihan suatu makna kata dari bahasa sumber ke dalam bahasa target akan menimbulkan masalah pergeseran makna
meluas, menyempit, penghalusan, bahkan sampai perubahan total. Begitu pula halnya dengan kasus kesepadanan dan pergeseran terjemahan teks fiksi Halilian
bahasa Angkola ke dalam bahasa Indonesia.
2.2.5 Defenisi Operasional
Dengan adanya begitu beragam batasan-batasan terjemahan, maka perlu ditentukan suatu definisi operasional, sebagai konsep acuan yang bisa dipakai
dalam penelitian ini, berangkat dari simpulan berbagai defenisi yang diberikan, terjemahan dapat dikatakan sebagai, produk atau hasil dari proses penerjemahan
yang menghasilkan “unit terjemahan” suatu teks bahasa sumber ke dalam teks
Universitas Sumatera Utara
bahasa target, dengan menggunakan parameter padanan yang sesuai dengan struktur gramatikal, leksikon, situasi komunikasi dan konteks budayanya.
Pengertian “unit terjemahan” dalam definisi ini adalah segmen terkecil suatu teks bahasa sumber yang dapat diterjemahkan secara tersendiri terlepas dari segmen
yang lainnya. Unit tersebut berkisar dari kata, melalui kolokasi, sampai pada
klausa. Bell, 1991:29.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan, Rencana dan Kerangka Model Penelitian
Penelitian ini bersandar pada perpektif fenomenologis. Fenomenologis merupakan landasan filsafat penelitian etnografi yang berpegang pada prinsip
bahwa perilaku manusia, segala yang diucapkan dan dilakukan manusia merupakan produk dari manusia itu sendiri dalam memandang realitas Munadjir:
1989:155. Landasan filsafat fenimenologi lebih menekankan pada pemaknaan berbagai objek, orang, situasi, dan peristiwa–yang dalam ini merupakan tindak
tutur Stainback: 1988:2. Selain perfektif fenomenologis, pandangan posmodernisme juga diacu
sebagai landasan filosofi dalam penelitian ini. Penelitian ini mendasarkan pengakuan adanya pluralisme budaya Munadjir, 2001:197. Kedua landasan
filsafat ini saling melengkapi dengan sudut pandang masing-masing. Fenomenologis menekankan pada pemaknaan, sedangkan posmodernisme
menekankan pada realitas yang pluralisme dan memandang karya seni termasuk cerita rakyat tidak dapat melepaskan diri dari isu-isu sosial maupun politik. Oleh
sebab itu, kedua landasan filosofis tersebut saling melengkapi dalam pelaksanaan penelitian ini secara menyeluruh.
Universitas Sumatera Utara