2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola
Budaya berkaitan dengan cara hidup way of living. Karena cara hidup itu membawakan cara berkomunikasi way of comunication, dan dapat dikatakan
bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu bertutur. Dapat dikatakan bahwa budaya mengatur penggunaan bahasa.
Tampubolon, 2005:45 mengatakan bahwa budaya berkaitan dengan aturan yang harus diikuti oleh para anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, dan karena
itu ia bersifat normatif, budaya menentukan standar perilaku. Pandangan tradisonal suku Batak yaitu berkisar angka tiga. Pertama, alam
semesta ini dilihat sebagai yang terdiri atas tiga bahagian yang disebut banua na tolu, banua ginjang dunia atas, banua tonga dunia tengah dan banua toru
banua bawah. Menurut Sihombing dalam Tampubolon, 2005:46, ketiga dunia itu sederejat, yang berbeda adalah jenis penghuniya. Kedua dalam masyarakat
Batak kesatuan sosial diibaratkan sebagai bonang na tolu benang yang terdiri atas lilin yang masing-masing mewarnai, putih dan hitam, yang mungkin sekali
melambangkan tiga unsur utama di dalam masyarakat Batak Angkola. Ketiga yang paling penting dalam falsafah orang batak Angkola karena ia tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari adalah azas dalihan na tolu tungku yang tiga yang di dalam hal ini tiga itu merujuk ke tiga buah batu yang dipakai untuk
Universitas Sumatera Utara
menanak nasi. Apabila diamati betapa pentingnya perlambang batu ketika kita melihat menanak beras. Beras adalah makanan pokok suku Batak maupun suku
Jawa sebagai lambang kehidupan. Agar kehidupan berlangsung terus , belanga tempat menanak beras itu harus seimbang, dan ini dapat terlaksana dan
dipertahankan tiga syarat dipenuhi. Tiga batu di dalam masyarakat Angkola yaitu dongan sabatuha.
Kebudayaan Masyarakat Angkola-Sipirok dalam banyak hal mempunyai persamaan dengan kebudayaan masyarakat Padang Bolak dan Masyarakat
Mandailing. Adat istiadat tersebut tidak banyak berbeda, demikian juga bahasanya.
Masyarakat Angkola–Sipirok merupakan masyarakat agraris yang hidupnya tergantung kepada pertanian, sawah, dan perkebunan yang ditanami dengan karet,
kopi, kulit manis, dan lain-lain. Masyarakat Angkola – Sipirok adalah masyarakat yang sejak dahulu kala
mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah Angkola terdiri atas tiga bagian, yaitu; 1 Angkola Jae
Angkola Hilir, 2 Angkola Julu Angkola Hulu, 3 Angkola DolokAngkola Pegunungan.
Pada saat ini wilayah Angkola atas sepuluh wilayah kecamatan. Sepuluh kecamatan tersebut meliputi; 1 Kecamatan Batang Angkola, 2 Kecamatan
Universitas Sumatera Utara
Batang Toru, 3 Kecamatan Padang Sidempuan Barat, 4 Kecamatan Padang Sidempuan Timur, 5 Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, 6 Kecamatan
Padang Sidempuan Utara, 7 Kecamatan Sipirok, 8 Kecamatan Saipar Dolok Hole, 9 Kecamatan Padang Bolak, dan 10 Kecamatan Dolok. Wilayah
masyarakat Angkola-Sipirok berdampingan dengan wilayah Padang Bolak Padang Lawas dan Wilayah Mandailing.
Masing-masing kelompok etnik suku bangsa yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Oleh karena itu,
dalam kehidupan bangsa Indonesia terdapat mosaik kebudayaan etnik sebagai aset kultur yang tidak ternilai harganya. Karena itu, bahasa-bahasa daerah itu tetap
dipelihara keberadaannya, baik secara Internasional maupun secara Nasional. Secara Internasional, adanya jaminan hak asasi bahasa untuk tetap bertahan dan
mengembangkan diri. Untuk itu, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional Alwasilah, 2001:1. Dalam konteks
mayarakat Indonesia, umumnya Bahasa Ibu mereka adalah bahasa daerahlokal vernacular.
Menurut Bahri, Samsul dalam Www.harian.global.com bahwa, Jauh sebelum penjajahan Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada
penduduk yang mendiami Wilayah Angkola, yang diperkirakan 9000 tahun sebelum masehi, itulah yang dinamakan Etnik Angkola asli Angkola, bukan
Universitas Sumatera Utara
pecahan atau yang memisahkan diri dari etnik lain. Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan di sekitar SabunganPadangsidimpuan, Batunadua,
SipirokParau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu, Mandalasena dan lain-lain.
Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti: -
Falsafah dasar “Dalihan Na Tolu”, sebagai tatananpandangan hidup sampai saat ini telah dipedomani,
- Adat Istiadat Budaya,
- Pakaian Adat dengan Tenunan sendiri,
- Bahasa dengan Aksara. Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya
Bisaa, Andung, Bura atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola ni Hata. Sedangkan Aksara Angkola yang jika dibaca menurut ejaan Latin
adalah A, HA, NA. RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA, BA, LA, NGA, KA, CA, NYA, GA, YA Konsonan Ina ni Surat. Dilengkapi dengan
simbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal E, I, O, dan U serta Simbol Pembatas disebut Pangolat menandakan huruf mati, misalnya NGA
menjadi NG, dll. Bentuk hurufabjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara etnik lainnya.
- Mempunyai Kesenian dan Alatnya serta Ornamen khas.
- Ciri khas kebudayaannya telah dianut secara turun menurun.
Universitas Sumatera Utara
Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata pelajaran di SD dan SMPsederajat di seluruh Tapnanuli Selatan, baik pelajaran
Tata Bahasa Impola Ni Hata, Bahan Bacaan Turi-turian, dan lain-lain yang dipergunakan adalah versi Angkola.
Dari segi garis keturunan yang menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan MargaClan yang dominan seperti Harahap, Siregar,
Pane dengan rumpun marganya, seluruhnya mendiami ketiga order distrik tersebut.
Dilihat dari segi Falsafah Balihan Na Tolu, hubungan kekeluargaan Etnik Angkola dibagi kepada: 1 Mora, yaitu pihak keluarga pemberi boru. Mora ini
mendapat posisi didahulukan, karena pihak Mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, disamping raja-raja maupun Pemangku
Adat; 2 Kahanggi, yaitu keluarga yang mempunyai hajatan atau Horja Adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah; 3 Anak Boru, yaitu pihak
keluarga pemberi Boru pangalehenan Boru. Di dalam pelaksanaan suatu pekerjaan adat, masing-masing unsur Dalihan Na Tolu tersebut masih mempunyai
teman kelompok sajuguan seperti Mora dengan Mora ni Mora bisaa juga disebut Hula Dongan, KahanggiSuhut dengan Pareban, saudarakeluarga
sepengambilan, dan Anak Boru bersama Anak Borunya yaitu Pisang Raut yang sering juga disebut Piso Pangirit.
Universitas Sumatera Utara
Dari segi garis keturunan menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan marga yang dominan seperti Harahap, Siregar, pane
dengan rumpun marganya. Dalam sejarah mencatat bahwa sebelum Indonesia merdeka, wilayah
pemeintahan di Tapanuli Selatan dahulunya bernama Afdeling dipinpin seorang Residen dengan pusat pemerintahan di Padang Sidempuan, membawahi 3 order
Afdeling dan masing-masing dipimpin oleh Controlleur, seterusnya membawahi Order Distrik yang dpimpin oleh Asisten Demang. Order Afdeling di bawah
Afdeling, antara lain Angola dan Sipirok berpusat di Sidempuan, Order Afdeling Padang Lawas di Sibuhuan, dan Order Afdeling Mandailing di Kota Nopan.
2.1.3.3 Terjemahan Sebagai Objek Peninjauan Beberapa Bidang Ilmu