pergeseran shifts makro yang mencakup komponen tekstual yang membangun kohesi dan koherensi teks. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa analisis
pergeseran pragmatik dalam terjemahan hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan konteks situasi dan budaya.
Budaya dalam bahasa target untuk bisa menunjukkan bidang-bidang pergeseran yang mungkin terjadi tatkala penerjemah mencoba memadankan
makna. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam kajian makna dengan pendekatan semantik dan pragmatik harus berjalan bersama. Dalam kajian ini
pendekatan semantik mengungkap hubungan antar simbol dengan konsep dan benda atau hal yang diacu oleh makna tersebut sedangkan pragmatik mengungkap
makna dengan memperhatikan konteks situasi yang berkaitan dengan pemakaian unsur lingual pengungkap makna tersebut.
2.1.3.1 Bahasa Bahasa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya para
penuturnya. Perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa terlihat jelas pada kosa katanya. Kosakata adalah wadah konsep yang terdapat dalam budaya.
Sebagai contoh; Segala sesuatu yang bertalian dengan perkawinan ”Horas tondi madingin sayur matua bulung” dalam bahasa Indonesia tidak terdapat padanan
yang terdiri kalimat tersebut. Setiap bahasa memiliki kosakata yang
Universitas Sumatera Utara
mencerminkan kekhasannya budaya penuturnya yang belum tentu dimiliki oleh bahasa lain.
Proses penerjemahan melibatkan dua bahasa dan di dalam bahasa-bahasa tersebut terkandung berbagai makna. Oleh karena itu sebelum sampai pada tahap
pengkajian masalah penulis memandang perlu untuk menentukan paradigma terhadap bahasa dan budaya serta keterkaitan penerjemahan dengan keduanya.
Untuk menentukan paradigma tersebut perlu dilakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena
penerjemahan. Bahasa di dalam masyarakat adalah wujud untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Saragih 2006:1 menegaskan, untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam berbagai kegiatan sebagai anggota masyarakat dan bahasa yang didasarkan
pada kegunaan, penggunaan, fungsi bahasa bagi manusia atau unsur lain di luar teks yang diucapkan dapat dikatakan dengan pendelatan fungsional. Berdasarkan
ini maka kajian terjemahan bahasa Angkola ini memakai pendekatan fungsional. Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan simbol merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran,
perasaan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani pikiran manusia. Sibarani, 2004:47 mengatakan bahwa “Bahasa
Universitas Sumatera Utara
adalah bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir”. Karena budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan sistem simbol merupakan salah satu dari komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran,
perasaan dan perbuatan. Di dalam tulisan ini kata budaya, bukan kebudayaan dipakai sebagai
padanan bahasa Inggris culture tetapi budaya di sini diartikan sebagai mengacu pada seperangkat praktik, kode, dan nilai yang menandai suatu kelompok
Morgan, 1999:495. Defenisi ini sesuai dengan pengertian budaya menurut Farr dan Ball dalam Tampubolon 2005:45, yang mengatakan bahwa budaya adalah
sistem pengetahuan yang dipunyai bersama oleh kelompok orang, yang berkaitan dengan perilaku dan yang dipakai oleh mereka untuk menafsirkan pengalaman.
Tampubolon 2005 menjelaskan lebih lanjut budaya terdiri atas “Apa saja yang perlu diketahui atau dipercayai oleh seseorang agar ia dapat bertingkah laku
dengan cara yang berterima oleh para anggota masyarakat”. Defenisi budaya seperti yang dikutip di atas menyiratkan bahwa budaya
itu berkaitan dengan cara hidup ways of living. Karena cara hidup itu membawahkan cara berkomunikasi ways of communicating, dapat dikatakan
bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau bertutur, Richard dkk 1985:97.
Universitas Sumatera Utara
Fishman 1985:99 menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni 1 sebagai bagian dari budaya, 2
sebagai indeks budaya, dan 3 sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan perilaku manusia. Misalnya upacara,
ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa
karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan
menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis.
Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai idiologi dan pandangan hidup
way of life dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu
dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa target. Hubungan bahasa dan budaya begitu dekat
sehingga dalam penerjemahan kedua aspek tersebut harus dipertimbangkan. Penerjemah harus menangani teks bahasa sumber sedemikian rupa sehingga versi
teks bahasa target berkorespondensi dengan versi bahasa sumber.
Universitas Sumatera Utara
Newmark 1988:94 mendefenisikan kebudayaan sebagai ”They way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular
language as its means of expression”. Konsep budaya tersebut mengandung kata- kata kunci “way of life peculiar to community”, dan “particular language”
sebagai inti suatu budaya dan sekaligus ciri pembeda dengan budaya lain. Dari defenisi tersebut dapat dimengerti bahwa budaya merupakan keseluruhan konteks
di mana manusia berada berfikir dan berinteraksi satu sama lainnya dan sekaligus menjadi perekat suatu komunitas. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan
sekaligus merupakan sarana membangun dan mengekspresikan budaya sehingga perbedaan budaya berarti perbedaan bahasa.
Secara spesifik Newmark membedakan ciri bahasa ke dalam tiga kategori; 1 bahasa bersifat universal, contohnya, kata-kata yang berupa artefak seperti
meja, atau cermin, kata-kata ini tidak akan menimbulkan masalah karena semua budaya memiliki bahasa yang mampu mengekpresikan konsep-konsep tersebut.
2 bahasa bersifat kultural, contoh dalam kosakata bahasa Angkola seperti “marhusip, suhut, dan pisangraut penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia akan
menimbulkan permasalahan yang cukup rumit akibat kesenjangan pemahaman konsep. 3 bahasa bersifat personal.
Selanjutnya newmark 1988:95- 103 dalam Yadnnya desertasi 2004 mengelompokkan makna berkonteks budaya ke dalam katagori 1 ecology
Universitas Sumatera Utara
termasuk flora, fauna, angin lembah, gunung, 2 material culture culture atau artefak seperti makanan, pakaian, perumahan dan kota, 3 social culture
termasuk kerjawork dan waktu luang leisure, 4 organisations, customs, activities, procedures, concepts, yang bersifat politik dan aministratif, religius,
dan artistik dan 5 gesture dan hubits. Kebudayaan terungkap dalam bentuk kebudayaan eksplisit yang berwujud
artefak yang diproduksi masyarakat seperti pakaian, makanan, teknologi, dan lain lain. Memahami budaya lain tidaklah mudah karena budaya itu secara langsung
dapat diamati. Langkah pemahaman suatu kebudayaan dapat dilakukan dengan memahami terlebih dahulu konsep kebudayaan, kosmologi, pandangan hidup dan
nilai budaya karena ketiga inti tersebut akan teraktualisasi dalam perilaku manusia pendukungnya.
Cerminan budaya dalam bahasa tidak hanya terbatas pada tingkatan kosa kata saja tetapi juga terdapat pada tingkat yang lebih luas lagi seperti pada aspek
retorika. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang orang yang satu berbeda dengan orang yang lain, begitu juga kebudayaan. Pernyataan ini sesuai
dengan defenisi kebudayaan yang diberikan Newmark 1888: 94 dalam Yadnya Putra yaitu, “The way of life and its manifestation that are peculiar to a comunity
that uses a particular language as its means of expression”. Dari defenisi tersebut
Universitas Sumatera Utara
terkandung pengertian bahwa masing-masing gayub bahasa language group memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya.
Sebagaimana diungkapkan dalam subpembicaraan asumsi dasar di muka, Sibarani, 2004:46 mengatakan bahasa adalah alat intelektual yang paling
fleksibel dan paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Dan Sibarani, juga menegaskan, melihat bahasa sebagai instrumen utama manusia dalam
mengintegrasikan dirinya baik secara eksternal maupun internal sebagai invidu yang berfungsi dan partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia.
Dalam konteks budaya bahasa termasuk produk penggunaannya seperti karya sastra atau teks non-sastra lainnya tidak saja bisa dipandang sebagai sarana
komunikasi individu atau kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada
individu atau kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber daya unutk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas
dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya. Berangkat dari paradigma ini
maka studi tentang bahasa tidak hanya terbatas pada penelitian mikro yang dilakukan secara intrinsik semata-mata untuk kepentingan bahasa itu sendiri tetapi
juga bersifat makro secara ekstrinsik untuk mengungkapkan apa yang berada di balik bahasa yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola