Sumatera Barat 1 populasi, Riau 8 populasi, Sumatera Utara 1 populasi dan Nangroe Aceh Darussalam 4 populasi. Populasi gajah Sumatera menurut Blouch
dan Simbolon 1985 memperkirakan antara 2800 sampai 4800 ekor. Dari 44 populasi yang ada 30 mempunyai populasi kurang dari 50 ekor,
36 mempunyai populasi 50-100 ekor, 25 individu 100-200 ekor, dan hanya 9 yang mempunyai ukuran populasi lebih dari 200 ekor Santiapillai dan Jackson
1990, dari jumlah tersebut 14 kelompok berada di dalam kawasan konservasi
dengan jumlah perkiraan 1.030 ekor dan sisanya di luar kawasan konservasi. Populasi gajah yang terdapat di wilayah-wilayah kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat TNKS, menurut Suprahman dan Sutantohadi 2000 adalah di sekitar Sipurak-Sula Wilayah Jambi, Rupit-Bukit Kelam wilayah Sumatera
Selatan dan Air Retak – Air Ipuh-Air Seblat wilayah Bengkulu, dengan perkiraan ukuran populasi masing- masing 40-50 ekor, 30 ekor dan 80 –100
ekor. Dari ketiga populasi tersebut, kecuali populasi Rupit – Bukit Kelam, dua populasi yang lain lebih sering dijumpai di luar kawasan TNKS. Pergerakan dan
mencari makanan lebih banyak daerah sekitar di luar batas kawasan TNKS, yang berupa areal HPH, perkebunan atau perladangan. Hasil penelitian
Rizwar et al. 2001 di sekitar kawasan TNKS menunjukkan kepadatan populasi gajah di Air
Seblat – Air Rami 50 ekor 70 km
2
0,72 ekorkm
2
.
2.4. Punahnya Keanekaragaman Spesies
Manusia melakukan konversi habitat alami menjadi lahan perkebunan, perladanganpertanian, pemukiman, transmigrasi, pertambangan dan untuk
kegiatan industri. Pertambahan penduduk yang terus meningkat akan semakin meningkatkan penggunaan sumberdaya alam dan dapat berdampak terhadap
kerusakan lingkungan yang berarti ancaman terhadap punahnya keanekaragaman spesies akan semakin cepat.
Menurut WRI, IUCN dan UNEP 1992 dalam Iqbal 2004 punahnya keanekaragaman spesies diakibatkan oleh enam penyebab yaitu: 1 laju
peningkatan populasi manusia dan konsumsi sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan; 2 rendahnya keanekaragaman produk yang diperdagangkan dalam
bidang pertanian, kehutanan dan perikanan; 3 sistem dan kebijaksanaan ekonomi
yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumberdayanya; 4 ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan, dan penyaluran keuntungan dari
penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati; 5 kurangnya pengetahuan dan penerapannya; dan 6 sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.
2.5. Habitat Gajah Sumatera
Habitat merupakan tempat organisme untuk dapat hidup dan berkembang biak secara alami serta manusia dapat menemukan organisme tersebut Suwasono
dan Kurniati 1994. Gajah Sumatera dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem. Mulai dari pantai sampai ketinggian di atas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci.
Habitat yang paling disenangi adalah hutan dataran rendah Haryanto 1984; WWF 2005.
Walaupun habitat gajah Sumatera telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, dan gajah Sumatera sebagai satwa yang dilindungi, namun demikian
tidak menjamin akan kelestarian gajah tersebut, menurunnya kualitas dan berkurangnya luas habitat gajah oleh karena rusaknya daerah aliran sungai, vegetasi
hutan khususnya pohon-pohon peneduh dan sumber pakan menyebabkan daya dukung habitat menjadi kecil. Terpecahnya populasi gajah menjadi sub-sub
populasi kecil-kecil yang satu sama lain tidak terjadi komunikasi, menyebabkan keberadaan populasi minimum gajah tidak dapat dipenuhi sehingga kelestarian
satwa gajah pada masa yang akan tidak dapat dijamin. Habitat gajah Sumatera yang dahulu berupa satu kesatuan ekosistem luas,
telah terfragmentasi menjadi habitat- habitat kecil dan sempit. Satu sama lain tidak berhubungan. Daerah jelajah home range gajah menjadi sempit, akhirnya
kecenderungan gajah untuk keluar dari habitat alaminya. Konflik dengan pengguna lahan lain tidak terelakkan. Persaingan yang tinggi diantara anggota kelompok
gajah dalam penggunaan ruang dan makanan, mempercepat penurunan populasi gajah. Penjagaan yang kurang intensif terhadap wildlife corridor ini akan berakibat
terganggunya proses penyebaran satwa liar untuk melakukan migrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya menuju habitat aslinya, oleh karena itu pengelolaan
tersebut sangat penting untuk keberlangsungan hidup satwa dan kelestarian lingkungan.
Konversi hutan untuk areal perkebunan dan transmigrasi juga menjadi awal tekanan-tekanan terhadap habitat gajah. Selain itu produksi kayu utama di
Sumatera berasal dari hutan alam dengan jenis andalan adalah famili Dipterocarpaceae. Namun pembalakan logging yang dilakukan sering tidak
memenuhi prosedur yang berlaku bahkan melebihi target panen, sehingga banyak areal bekas tebangan yang rusak. Menurut Alikodra 1997b bahwa ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan atau kerusakan habitat, yaitu: karena bencana alam, kegiatan manusia eksploitasi hutan.
Menurut Oliver 1978, diperkirakan kepadatan gajah di logged over forest mungkin dua kali lipat daripada di hutan primer. Banyak hutan yang rusak
menyebabkan gajah tidak mempunyai jalan ke luar untuk bergerak dari areal yang terganggu ke hutan tua, yang jaraknya cukup jauh. Hal ini yang menyebabkan
fragmentasi habitat gajah, dan populasi yang semula besar menjadi kelompok- kelompok kecil Santiapillai dan Jackson 1990.
Suatu populasi manusia yang besar dan konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit dan perkebunan karet menyebabkan gajah ke luar dari Provinsi
Sumatera Utara dan Sumatera Barat Kemf dan Santiapillai 2000. Hanya 15 populasi telah dipercaya terdiri dari lebih 100 ekor gajah. Pertengahan tahun
1990an, total populasi diperkirakan antara 2.800 dan 4.800 Tilson et al. 1994. Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 unit kawasan konservasi di Pulau
Sumatera dengan luas 5.634.348,48 ha Departemen Kehutanan 2005. Mengingat wilayah jelajah home range gajah sangat luas, maka sering
terjadi populasi gajah keluar dari habitatnya di hutan, ke daerah sekitarnya yang berupa perkebunan, lahan pertanian maupun pemukiman penduduk, hal ini sering
menimbulkan konflik antara manusia dengan gajah. Suprahman dan Sutantohadi 2000 menyatakan bahwa gajah di dalam kawasan TNKS ditaksir hanya sekitar
20 untuk populasi Sipurak-Sula dan sekitar 30 untuk populasi Air Retak-Air Ipuh-Air Seblat. Dari kenyataan ini dapat diduga bahwa habitat di kedua wilayah
itu lebih merupakan tempat berlindung atau tempat tidur istirahat. Sedangkan untuk pergerakan dan mencari makanan lebih banyak daerah sekitar di luar batas
kawasan TNKS.
Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera Tabel 1. Namun, kawasan lindung saat ini pun
masih belum aman dan banyak bahkan sebagian besar telah kehilangan hutan mereka akibat tekanan yang terus- menerus.
Tabel 1 Sebaran kawasan konservasi di Pulau Sumatera No
Status Kawasan Unit Kawasan
Luas Kawasan Ha
1. Taman Nasional
11 3.892.028,61
2. Taman Buru
5 129.650,00
3. Cagar Alam
62 357.497,05
4. Cagar Alam Laut
1 13.735,10
5. Suaka Margasatwa
23 828.224,95
6. Taman Hutan Raya
7 115.369,00
7. Taman Wisata Alam
19 27.443,77
8 Taman Wisata Alam Laut
3 270.400,00
Jumlah 131
5.634.348,48
Sumber: Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2005
2.6. Pola Penggunaan Ruang -Habitat