Daya Dukung Habitat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah

bebas yang tersedia di danau, kolam, ataupun sungai, dan air yang terdapat pada parit-parit irigasi, bagian tanaman yang mengandung air, embun, dan air yang dihasilkan dari proses-proses metabolisme lemak maupun karbohidrat di dalam tubuh Alikodra 1997a. Bila dikaji dari aspek ketergantungannya terhadap air, maka gajah termasuk golongan satwa water dependent spesies yaitu binatang yang memerlukan air untuk proses penghancuran makanan dan memperlancar proses pencernaannya. Pelindung atau cover juga merupakan salah satu komponen lingkungan yang dapat menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan, dan untuk mempertahankan kehidupannya. Keberadaan pelindung sangat diperlukan karena peranannya sangat penting untuk melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan satwa liar lainnya Alikodra 1997a. Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar merupakan tempat persembunyian hiding cover dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur thermal cover. Di samping hal tersebut, menurut Alikodra 1979, pada umumnya pelindung atau cover mempunyai 2 fungsi utama yaitu sebagai tempat untuk hidup dan berkembang biak bagi margasatwa, dan juga sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Pelindung dapat berupa pegunungan, hutan mangrove, padang rumput atau savana.

2.7. Daya Dukung Habitat

Daya dukung lingkungan memiliki pengertian menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain Sekretaris Negara 1997. Menurut Alikodra 2002, konsep daya dukung sudah lama dikenal oleh para ahli biologi, peternak sapi, dan pengelola satwa liar. Wiersum 1973 mendefinisikan daya dukung adalah banyaknya satwa yang dapat ditampung di suatu areal pada situasi dan kondisi tertentu. Menurut Dasman 1981, habitat hanya dapat menampung jumlah satwa pada suatu batas tertentu, sehingga daya dukung menya takan fungsi dari habitat. Jadi dalam hal ini penambahan dan penurunan populasi ditentukan oleh faktor habitat makanan, air dan tempat berlindung Konsep daya dukung menurut Soemarwoto 1997, juga berarti besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan, hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa jumlah hewan yang dapat didukung tergantung pada biomassa bahan organik tumbuhan yang tersedia untuk makanan hewan, sehingga daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu. Berdasarkan ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu, Dasman et al. 1977 mengelompokkan daya dukung menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1. Daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu yang dapat didukung oleh sumberdaya pada tingkat sekedar hidup disebut juga kepadatan subsistem 2. Daya dukung pada saat jumlah individu berada dalam keadaan kepadatan keamanan atau ambang keamanan. Kepadatan keamanan lebih rendah daripada kepadatan subsistem. Pada kepadatan tersebut, tingkatan populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama. 3. Daya dukung optimum, yaitu daya dukung yang menunjukkan bahwa jumlah individu berada dalam keadaan kepadatan optimum. Pada kepadatan tersebut, individu- individu dalam populasi mendapatkan segala keperluan hidupnya serta menunjukkan pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik. Besarnya daya dukung suatu habitat dapat dihitung melalui pengukuran salah satu komponen penyusun habitat. Susetyo 1980 mengemukakan bahwa pendugaan daya dukung suatu habitat dapat dilakukan dengan mengukur jumlah hijauan per hektar yang tersedia bagi satwa yang memerlukan. Menurut McIlroy 1964, untuk menghitung produktivitas hijauan pada padang rumput dapat dilakukan dengan cara pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung produksi per luas per unit waktu. Menurut Susetyo 1980, hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh. Bagian tanaman yang dapat dimakan satwa tersebut disebut proper use dan faktor yang paling berpengaruh terhadap proper use adalah keadaan tofografi lapangan karena sangat membatasi ruang gerak satwa. Selanjutnya dikatakan bahwa proper use lapangan datar dan bergelombang kemiringan 0-5 o adalah 60-70 persen, pada lapangan bergelombang dan berbukit kemiringan 5-23 o adalah 40-45 persen, dan pada lapangan berbukit sampai curam kemiringan lebih dari 23 o proper use adalah 25-30 persen. Alikodra 2002 mengemukakan bahwa populasi, produktivitas, dan penyebaran satwa liar sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas habitatnya. Dasar-dasar konsep daya dukung dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dan evaluasi habitat. Salah satu cara untuk menilai daya dukung, adalah perhitungan berdasarkan pola makan, yaitu: A= B x C D Dimana : A = jumlah satwa liarhari yang dapat ditampung B = jumlah makanan yang tersedia g C = jumlah kandungan energi yang dapat dimanfaatkan untuk proses metabolisme yang terdapat di dalam makanan kcal D = jumlah energi yang diperlukan satwa liar per hari kcal. Menurut Susetyo 1980, apabila daya dukung suatu kawasan dihitung per hari, maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut: Daya dukung = A x B x C D Dimana : A = produksi hijauanhari ghari B = proper use C = luas permukaan yang ditumbuhi pakan satwa m 2 D = kebutuhan makanan satwaekorhari kgekorhari

2.8. Penentuan Kepadatan Gajah