Karakteristik mikroflora yang ada dapat dipengaruhi oleh kebiasaan makan, lokasi geografis, musim, temperatur air, dan lain-lain.
Bakteri pembentuk histamin sulit dideteksi secara langsung, karena jumlahnya sedikit dibandingkan bakteri lain pada ikan segar yang ditangkap.
Oleh karena itu, untuk mendeteksi bakteri-bakteri tersebut digunakan media khusus, yang disebut agar diferensial Niven. Bakteri pembentuk histamin akan
membentuk koloni berwarna ungu dengan latar belakang medium berwarna kuning. Histamin yang terbentuk akan meningkatkan pH medium, sehingga
terjadi perubahan warna kuning menjadi ungu Niven et al. 1981. Jenis-jenis bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut
Bakteri Spesifikasi
Hafnia sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik Hafnia alvei
Klebsiella sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik Klebsiella
pneumoniae Escherichia coli
Gram-negatif, fakultatif anaerobik Clostridium sp. Gram-positif,
anaerobik Clostridium perfringens
Lactobacillus sp. Gram-positif, fakultatif anaerobik Lactobacillus 30a
Enterobacter spp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik Enterobacter aerogenes
Proteus sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik Proteus morganii
Sumber: Eitenmiller et al. 1982
2.6.2 Reaksi fisiologis histamin
Scombroid poisoning histamine poisoning disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung histamin dengan level yang tinggi Bremer et al. 2003.
Gejala-gejala keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan
terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah Eitenmiller et al. 1982. Gejala keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat,
sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Kemudian gejala agak menurun antara 3 hingga 24 jam setelah konsumsi,
tetapi mungkin juga hingga beberapa hari Bremer et al. 2003.
Histamin pada ikan yang busuk dapat menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 g sampel daging ikan yang diuji
Kimata 1961. Menurut Anonim 1982 dalam Rodriguez-Jerez et al. 1994, histamin dapat menyebabkan keracunan makanan ketika konsentrasinya di dalam
ikan telah mencapai lebih dari 50 mg100 g. Karena histamin merupakan salah satu bahaya dalam pangan maka ditetapkan suatu standar sebagai batas toleransi
maksimum bagi histamin yang terkandung pada daging ikan. Tinggi rendahnya standar ini berbeda-beda tergantung negara tujuan ekspor.
Food and Drug Administration FDA menetapkan bahwa untuk ikan tuna, mahi-mahi, dan ikan sejenis, 5 mg histamin100 g daging ikan merupakan level
yang harus diwaspadai dan sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin100 g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau
dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan
pada unit yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg100 g FDA 2002. Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan Kadar histamin per 100 g
Tingkat bahaya
Kurang dari 5 mg Aman dikonsumsi
5-20 mg Kemungkinan toksik
20-100 mg Berpeluang toksik
Lebih dari 100 mg Toksik
Sumber: Shalaby 1996 dalam Sumner et al. 2004
2.7 Risk Assessment
Risk analysis terdiri atas tiga komponen, yaitu risk assessment, risk management, dan risk communication. Risk assessment adalah karakterisasi
potensial risiko bahaya menggunakan pendekatan ilmiah, termasuk perkiraan besarnya risiko dan efek dari keluaran atau hasil yang ada. Risk management
merupakan proses mempertimbangkan alternatif kebijakan yang sesuai dan dapat diterapkan berdasarkan hasil risk assesment, sehingga dapat mengendalikan
potensi bahaya. Sedangkan risk communication merupakan proses interaksi berupa diskusi dan pertukaran informasi antara pihak-pihak yang terkait