yang apabila berada dalam dosis yang besar maka dapat memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan manusia.
Histamin merupakan indikator utama keracunan scombrotoxin. Scombrotoxin adalah toksin yang dihasilkan terutama oleh ikan-ikan
famili Scombroidae seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin, mackerel, dan sejenisnya Lehane dan Olley 2000. Ikan-ikan golongan scombroid biasanya
memiliki kandungan histidin dengan level tinggi yang akan diubah menjadi histamin
oleh bakteri
pembentuk histamin
yang memiliki
enzim histidin dekarboksilase jika kondisi penyimpanan tidak dapat mengontrol
pertumbuhan bakteri McLauchlin et al. 2005. Pembentukan histamin sering disebabkan oleh suhu ikan yang tinggi setelah penangkapan Guizani et al. 2004.
Kontrol temperatur yang memadai merupakan kunci untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin McLauchlin et al. 2005.
Kandungan histamin pada ikan tuna dapat meningkat dengan cepat apabila penanganan ikan tuna baik pada proses pembongkaran di transit maupun pada
proses pengolahan di perusahaan tidak dilakukan dengan menerapkan prinsip C3Q clean, cold, carefully, quick atau bersih, dingin, hati-hati, dan cepat.
Untuk memperkirakan
risiko bahaya
histamin yang
timbul selama
proses pembongkaran ikan tuna di transit dan pengolahan produk tuna loin beku di perusahaan terhadap tubuh manusia maka dilakukan penilaian risiko
risk assessment kadar histamin, yang meliputi empat tahapan yaitu: hazard identification, exposure assessment, hazard characterization, dan
risk characterization.
4.3.1 Hazard identification identifikasi bahaya
Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia dan fisik yang dapat menyebabkan pengaruh kesehatan yang merugikan ketika terdapat
dalam suatu makanan. Hazard identification sebagai langkah pertama dalam menganalisis risiko dan merupakan proses pencarian untuk menganalisis bahaya
yang nyata pada makanan tertentu Sumner et al. 2004. Hazard identification
pada penelitian
ini dilakukan
terhadap bahaya histamin pada ikan tuna. Shahidi dan Botta 1994 menyatakan
histamin merupakan komponen yang kecil, mempunyai berat molekul rendah
yang terdiri atas cincin imidazol dan sisi rantai etilamin. Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air. Histamin merupakan salah satu biogenik amin
yang mempunyai pengaruh terhadap efek fisiologis manusia. Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kandungan
histidin dalam daging ikan yang secara alami terdapat di dalam jaringan ikan yang akan didekarboksilasi oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase
menjadi histamin. Aktivitas bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase dapat meningkat jika penanganan ikan kurang baik, misalnya kurang efektifnya
penerapan rantai dingin serta kurang diperhatikannya aspek sanitasi dan higiene. Menurut Sims 1992, ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu
histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Namun demikian, hanya histidin bebas yang dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin. Dalam
hal ini yang memegang peranan penting dalam pembentukan histidin bebas dari jaringan protein menjadi histamin adalah aktivitas bakteri dan proteolisis selama
proses autolisis. Faktor-faktor yang mempengaruhi perombakan histidin menjadi histamin adalah faktor waktu, temperatur, jenis dan banyaknya mikroflora bakteri
yang terdapat dalam tubuh ikan. Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini
tergantung pada kandungan histidin, tipe, dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur dan
pH lingkungan Kimata 1961. Ababouch et al. 1985 dalam Keer et al. 2002 melaporkan bahwa kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi
dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan
yang salah. Berbagai
jenis bakteri
yang mampu
menghasilkan enzim
histidin dekarboksilase HDC termasuk famili Enterobacteriaceae dan Bacillaceae Staruszkiewicz 2002 dalam Allen 2004. Umumnya spesies Bacillus,
Citrobacter, Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella, dan Streptococcus
menunjukkan aktivitas dekarbokasilase asam amino Kanki et al. 2002 dalam Allen 2004. Hasil penelitian Behling dan Taylor 1982 menunjukkan
Proteus morganii, Klebsiella pneumoniae dan Enterobacter aerogenes merupakan bakteri yang mampu menghasilkan histamin dalam jumlah besar yaitu
100 mg100 ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB Tuna Fish Infusion Broth pada suhu 15
o
C selama 24 jam, sedangkan Hafnia alvei, Escherichia coli dan Citrobacter freundii menghasilkan histamin dalam jumlah
kecil yaitu 25 mg100 ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB pada suhu ≥ 30
o
C selama ≥ 48 jam.
Bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas. Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada
temperatur yang tinggi 21,1
o
C daripada temperatur rendah 7,2
o
C FDA 2001. Laporan-laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah
untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Menurut Kim et al. 1999 dalam Keer et al. 2002, suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25
o
C. Menurut Yoguchi et al. 1990 dalam Dwiyitno et al. 2004, penyimpanan
pada suhu 25
o
C selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin hingga 120 mg100 g. Fletcher et al. 1996 menambahkan bahwa pembentukan
histamin pada suhu 0-5
o
C sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian Price et al. 1991 juga menunjukkan bahwa pembentukan
histamin akan terhambat pada suhu 0
o
C atau lebih rendah. Oleh karena itu, Food and Drug Administration FDA menetapkan batas kritis suhu untuk
pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4
o
C FDA 2001. Peningkatan kadar histamin pada ikan dan produk perikanan dapat dicegah
dengan cara melakukan penanganan dan pengolahan dengan baik yaitu dengan memperhatikan aspek sanitasi dan higiene serta selalu menerapkan rantai dingin
sehingga pertumbuhan bakteri penghasil histidin dekarboksilase dapat dihambat. Kimata 1961 menyatakan bahwa histamin pada ikan yang busuk dapat
menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 gram sampel daging ikan yang diuji.
Konsumsi makanan yang mengandung histamin dalam jumlah rendah tidak akan memberikan efek toksik bagi manusia, karena organ pencernaan
manusia mengandung enzim diamine oxidase DAO dan histamine N-methyl transferase HMT yang akan mengubah histamin menjadi zat yang
tidak berbahaya. Namun jika histamin berada dalam dosis yang tinggi maka kemampuan detoksifikasi enzim DAO dan HMT terbatas dan akan menyebabkan
efek toksik Taylor 1986 dalam Keer et al. 2002. Gejala-gejala keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan,
tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah Eitenmiller et al. 1982. Gejala keracunan
histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Kemudian gejala agak menurun antara
3 hingga 24 jam setelah konsumsi, tetapi mungkin juga hingga beberapa hari Bremer et al. 2003.
Enzim DAO dan HMT dapat mendegradasi histamin menjadi produk tidak berbahaya seperti imidazoleacetic acid, methylhistamin, methylimidazole
acetic acid, imidazole acetic acid riboside, acetylhistamine. Kemampuan enzim DAO dan HMT di dalam tubuh manusia juga dapat dihambat oleh putresin dan
kadaverin, oleh karena itu konsumsi ikan tuna yang mengandung histamin dapat menyebabkan efek keracunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi
histamin secara murni. Di dalam tubuh ikan, histidin tidak hanya diubah menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilasi, namun juga oleh reaksi histidin ammonia
lysase HAL menjadi urocanic acid dan amonia. Dalam kondisi yang sama, proses perubahan histidin menjadi histamin lebih kecil daripada proses perubahan
histidin menjadi urocanic acid dan amonia. Hal ini desebabkan HAL memiliki distribusi yang luas pada hampir semua bakteri Lehane dan Olley 1999.
4.3.2 Exposure assessment penilaian paparan