Analisis Penerapan Penegakan Hukum oleh Para Penegak Hukum di Indonesia
Kegiatan Pembelajaran 7
106
yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia di hadapan hukum dan pemerintahan Equality before the law. Artinya bahwa hukum harus benar-benar
melindungi semua golongan warga negara, apapun kedudukannya. Aparat penegak hukum harus benar-benar dapat berlaku dan bertindak adil kepada
semua pihak, tanpa membeda-bedakan kedudukanjabatan, suku, agama, ras, antar golongan dan materi.
Setiap perbuatan yang melawan hukum harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Idealnya, setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum,
artinya bahwa dalam prosesnya hukum tidak memandang seseorang berdasarkan jabatan atau kekuasaannya. Namun dalam kenyataannya kedudukan hukum
seringkali dipermalukan oleh aparat penegak hokum, terutama yang terkait dalam istilah Criminal Justice System yang meliputi para oknum di lingkungan Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan. Perilaku para oknum tersebut jelas-jelas sangat mencoreng lembaga yang seharusnya benar-benar steril dari berbagai
kepentingan non hukum. Dalam berbagai perkara korupsi, sering kali aparat penegak hukum terkesan
melakukan proses tebang pilih. Hukum begitu gagah berani menghadapi orang kecil dan miskin, namun sebaliknya begitu tumpul menghadapi penguasa dan
orang kaya. Hukum tumpul ke atas dan sangat tajam ke bawah. Si kecil dan miskin, sedikit saja melakukan kesalahan, langsung diproses hukum, dengan alasan
equality before the law. Berbagai kasus yang mencuat di masyarakat misalnya: kasus pencurian sandal jepit, kasus pencurian 3 biji kakau, kasus nenek Ansani di
Jember, dan berbagai kasus lain yang sebenarnya secara substansial sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat, justru lebih dulu diproses hukum.
Sementara kasus-kasus korupsi yang merugikan Negara puluhan, ratusan milliard rupiah, atau bahkan trilliunan rupiah, justru dikaburkan prosesnya. Sehingga
muncul anggapan di masyarakat bahwa para koruptor tidak diproses hukum karena telah mau berbagi hasil korupsi. Sementara itu, kasus-kasus korupsi yang
sudah terlanjur mencuat di media, sering kali dikaburkan prosesnya dengan menjadikan para bawahan, pegawai kecil yang tadak mengetahui substansi
perkara justeru ditetapkan sebagai tersangka. Dengan menjadikan bawahan sebagai tersangka, maka tidak akan banyak substansi permasalahan korupsi yang
PPKn SMP KK I
107
terungkap, karena korupsi adalah kejahatan kerah putih yang hanya dapat dilakukan oleh para aktor intelektual pemilik kekuasaan dan modal.
Di lingkungan pengadilan, bahwa seharusnya dalam menjatuhkan putusan, seorang hakim harus objektif dan rasional. Namun, tidak jarang masyarakat
menyaksikan bahwa terkadang hakim seolah-olah mengaburkan fakta-fakta dipersidangan. Para pihak yang memiliki kekuasaan, baik finansial maupun politik,
seolah-olah kebal hukum, sekalipun jelas-jelas melanggar hukum. Hakim sering kali menghapuskan fakta hukum yang jelas-jelas terungkap di pengadilan dan
secara kasat mata diketahui oleh masyarakat. Bahkan dalam berbagai kasus terungkap di media bahwa kehadiran, kesaksian
saksi kunci pejabat yang berisi substansi perkara korupsi, justru hilang dan tidak tercatat dalam berita acara pemeriksaan sidang. Terjadi saling lempar tanggung
jawab antara Ketua Majelis Hakim dan Panitera Pengganti. Padahal substansinya sudah dapat ditebak, bahwa hal tersebut merupakan kesengajaan untuk
mengaburkan perkara dan lmelindungi aktor intelektual dalam perkara tersebut. Hukum seharusnya merupakan aturan yang ideal yang harus dilterapkan, karena
hukum berfungsi untuk menciptakan keteraturan, kemanfaatan dan keadilan. Hukum bukanlah komoditas yang dapat diperjualbelikan oleh oknum aparat
penegak hukum. Saat ini muncul anggapan di masyarakat bahwa hukum seolah bisa dibeli dengan uang. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan
ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit menjerat dengan tuntutan hukum.
Ironi memang ketika hal itu terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita sekarang ini. Kemajuan teknologi dan zaman tidak membuat pola pikir masyarakat
kita menjadi lebih baik dan menjunjung tinggi rasa keadilan serta kemanusiaan. Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara
komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai
aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.
Kegiatan Pembelajaran 7
108
Sudah saatnya kita melakukan reformasi terhadap supremasi hukum di Indonesia untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap
sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Kita harus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, hakim dan jaksa
sebagai tempat untuk mencari keadilan bukan tempat jual beli komoditas hukum, karena hukum memang bukanlah komoditas.
Dalam Nawa Cita Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala, upaya mewujudkan hukum yang adil merupakan komitmen yang telah
dijanjikan, sehingga Beliau mendapat kepercayaan dari masyarakat Indonesia, karena mampu membangkitkan harapan bagi terwujudknya keadilan di negeri ini.
Poin keempat dari sembilan agenda prioritas “Nawa Cita” yang dijanjikan oleh Presiden terpilih Jokowi-JK, yaitu menolak negara lemah dengan melakukan
sistem dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi. Poin tersebut merupakan poin yang sangat ditunggu-tunggu realisasinya oleh sebagian terbesar rakyat
Indonesia. Guna mewujudkan Nawa Cita tersebut, Presiden Joko Widodo mengeluarkan
kebijakan revolusi mental, karena akar masalah dari rendahnya penegakan hukum di Indinesia adalah masalah lemahnya mental. Hal tersebut memang benar,
karena sebaik apapun peraturan yang ada, apabila tidak ada kesiapan dan keteguhan mental, terutama APGAKKUM, maka akan mudah tergoda untuk
melanggar hukum, terlebih di tengah godaan melanggar hukum yang lebih menggiurkan.
Revolusi mental menjadi salah satu kebijakan Pemerintah yang harus benar-benar diwujudkan dan harus mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat
bangsa Indonesia. Karena setelah setahun lebih perjalanan Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kala, tentangan terhadap upaya mewujudkan
penegakan hukum di Indonesia justeru semakin keras. Beberapa kasus besar, seperti kriminalisasi para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik
KPK, dan para penggiat anti korupsi, justeru terjadi pada saat ini. Hal ini tentunya menjadi tantangan berat untuk menguji komitmen Pemerintah yang sedang
PPKn SMP KK I
109
berkuasa saat ini. Pembangunan hukum memang tidak lepas dari pembanguna jiwa. Bahkan dalam
lirik lagu nasional Indonesia Raya diserukan bahwa: …. “Hiduplah tanahku,
Hiduplah negeriku, Bangsaku, Rakyatku, semuanya.
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badanya
untuk Indoneisa Raya” …..
W.R. Supratman, pengarang lagu Indonesia Raya menyadari benar bahwa ketika Indonesia merdeka, maka pembangunan yang utama harus dilaksanakan adalah
pembangunan jiwa, karena pembangunan jiwa adalah ruh keberhasilan pembangunan yang senyatanya. Pembangunan fisik yang begitu massif, akan
dapat hancur dalam sekejab, manakala jiwanya kosong dan lemah. Penegakan hukum di Indonesia hanya akan dapat terwujud apabila para penegak hukumnya
benar-benar bersih jiwanya; tidak terbebani oleh berbagai kepentingan politik, ekonomi maupun kepentingan pribadi atau golongan lainnya.