Analisis Bhinneka Tunggal Ika Bagi Bangsa Indonesia yang Multikultur
Kegiatan Pembelajaran 9
132
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan: Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali Sebab kebenaran Jina Buddha dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Santoso,1975.
Bhinneka Tunggal Ika pada mulanya mulai menjadi bahan diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, I Gusti Bagus Sugriwa, dan Bung Karno di sela-sela sidang
BPUPKI sekitar 2,5 bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Kusuma R.M. A.B, 2004. Bahkan Bung Hatta sendiri mengemukakan bahwa Bhinneka
Tunggal Ika merupakan ciptaan Bung Karno pasca Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang Negara Republik Indonesia
dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika disisipkan ke dalamnya.Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan
Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Jika kalimat tersebut diterjemahkan per kata, maka kata bhinneka berarti beraneka ragam atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti
macam dan menjadi pembentuk kata aneka dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti satu. Kata ika berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika
diterjemahkan Beraneka Satu Itu, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam
budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, perbedaan suku dan budaya yang terseber di Nusantara tidak membuat Indonesia terpecah
belah di tengah-tengah per bedaan dan perbedaan itu justru menjadi pemersatu bangsa, kata “beraneka satu itu” mencerminkan atau menunjukkan bahwa
berbeda itu tetap satu yaitu Indonesia Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia
Serikat yg dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan
PPKn SMP KK I
133
rancangan yang diciptakan oleh Sultan Hamid ke-2 1913-1978. Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan lambang negara, selanjutnya
yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan
Yasni, Z, 1979.Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan
Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan bahasa. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan
“keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraan Dewa Wishnu
Ma’arif A. Syafii, 2011. Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus diingat
sebagai orang yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh
kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit Prabaswara, I Made,
2003. Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti
Bagus Sugriwa temannya dari Buleleng yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.”
Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan
dipelajari orang Prabaswara, I Made, 2003. Meksipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat
intelektual Hindu Bali. Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya
cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal
beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV,
pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini Ma’arif, 2011.
Kegiatan Pembelajaran 9
134