1 Pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan, perlu memprioritaskan jenis- jenis tanaman yang mempunyai dampak positif terhadap usaha konservasi
tanah dan air, yaitu: sistem budidaya yang tidak terlalu banyak memerlukan pengolahan dan
pembongkaran tanah terutama pada saat panen; mempunyai tajuk yang cukup lebat, fungsi penutup tanah baik;
mempunyai laju transpirasi kecil, tidak terjadi pemborosan air tanah; tidak terlalu rakus unsur hara, sehingga akan mempercepat pemiskinan
hara tanah. Selain itu juga harus memperhatikan faktor-faktor non-teknis seperti, sesuai
dengan tujuan pengusahaan, sesuai dengan kondisi agro-ekologi, sesuai dengan kebijakan pembangunan pertanian, dan diminati oleh petani.
1 Pengaturan pola pertanaman yang mempunyai fugsi konservasi, seperti:
rotasi tanaman, tumpang gilir, tumpang sari, atau monokultur. 2
Pengaturan bentuk pertanaman, seperti: budidaya lorong alley cropping, dan pertanaman sejajar kontur.
3 Pemberian mulsa. Pemberian mulsa pada musim kemarau dapat mengurangi
laju evaporasi, pada musim hujan mengurangi daya hancur butir hujan terhadap tanah, dan hasil dekomposisi mulsa dapat merupakan pupuk
organik. 4
Penerapan usahatani dengan pengolahan tanah minimum minimum tillage. 5
Pada usahatani perkebunan, dapat dilakukan dengan penanaman cover crop.
2.6. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Usahatani Konservasi
Berbagai penelitian yang berhubungan dengan sistem usahatani konservasi telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di beberapa negara seperti
Filipina, India, Albania, Australia, dan Amerika. Di Philipina, teknologi konservasi hedgerows telah dikembangkan dan
digalakkan di Propinsi Davao del Sur dan di Propinsi Cebu Medina et al., 2000. Garcia et al. 1995 melakukan penelitian konservasi tanah dengan pemberian
mulsa tanaman pagar. Hasil penelitian menunnjukkan bahwa pemberian mulsa dapat meningkatkan kesuburan tanah dan lengas tanah serta meningkatkan hasil
jagung di Desa Pananag Propinsi Davao del Sur, Filipina. Diamati juga bahwa pengaruh teknologi hedgerows terbukti sangat baik. Medina et al. 2000
melakukan penelitian jenis leguminosa yang biasa digunakan dalam teknologi hedgerows
adalah Flemingia, Desmodium, Leucaena, dan Gliricidia. Secara umum petani di daerah tersebut telah mengadopsi teknologi SALT, diantaranya
sistem alley cropping, teras bangku, check dam, dan rockstone walls. Di India penelitian konservasi lebih diarahkan pada sistem pengolahan
tanah konservasi. Price et al. 2007 menginformasikan bahwa conservation- tillage
dengan pengolahan tanah minimum dan pengendalian gulma dengan tanaman yang bisa digunakan sebagai tanaman penutup tanah seperti kacang
tanah, dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan produksi kacang tanah. Penelitian serupa juga dilakukan Alabania pada musim gugur tahun 1997 untuk
mengevaluasi tiga tanaman penutup tanah yang bisa dipanen, yaitu sejenis gandum hitam Avena strigosa Schreb., Gandum hitam Secale cereale L., dan
gandum Triticum aestivum L. dengan kacang tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kacang tanah masih lebih baik dibandingkan
dengan tiga jenis tanaman lainnya sebagai penutup tanah yang sekaligus dapat dipanen.
Penelitian konservasi vegetatif yang dilakukan dalam bentuk simulasi oleh Mickelson et al. 2003 menunjukkan bahwa tanaman berjalur strip sangat baik
untuk konservasi tanah dan air karena tanaman tersebut dapat memfilter aliran permukaan. Sistem penanam tersebut dapat mengendalikan laju erosi dan
meningkatkan resapan air sehingga dapat meningkatkan cadangan air dalam tanah.
Penelitian sistem usahatani konservasi telah dilakukan di Zhangzhou Propinsi Fujian, Cina Selatan. Zhifa dan Yang 2004 menyatakatan bahwa sistem
usahatani yang cepat diadopsi oleh petani adalah sistem usahatani konservasi yang praktis dan memberikan nilai ekonomi cukup tinggi. Sistem usahatani yang
dikembangkan adalah usahatani konservasi vegetatif tanaman buah-buahan dan rumput pakan ternak, jenis dan sistem penanamannya ditentukan berdasarkan
karakteristik lahan dan kemampuan petani.
Di Indonesia penelitian konservasi telah banyak dilakukan terutama untuk mengatasi permasalahan tanah dan air di lahan kering. Hasil penelitian penerapan
teknologi usahatani konservasi pada lahan kering daerah kapur solum tipis di Jawa Timur, diperoleh bahwa kinerja teknologi usahatani konservasi lebih baik
dibandingkan teknologi petani Sudaryono,1995. Penerapan teknologi usahatani konservasi meningkatkan produktivitas jagung 82, padi gogo meningkat 33,
produktivitas kacang hijau 0,7 tonhektar, produktivitas ubikayu 0,64 tonhektar gaplek, tambahan produksi rumput 0,58 tonhektartahun, dan tambahan
biomassa legum pohon sebesar 0,29 tonhektartahun. Menurut Cahyati dan Haryati 1991, penerapan teknologi usahatani konservasi telah terbukti
mempunyai daya mengembalikan kesuburan tanah yang tinggi di lahan kering marginal di daerah hulu DAS Jratunseluna. Selain itu, penggunaan teknologi
usahatani konservasi pada lahan kering DAS Brantas dapat memberikan keuntungan yang nyata dalam mengurangi erosi, menyediakan pakan ternak,
menekan pertumbuhan gulma, mengurangi penguapan, serta menghasilkan kayu bakar Hendarto dan Sembiring, 1991.
Berdasarkan hasil penelitian Hawkins et al. 1991 di lahan kering daerah hulu DAS di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diperoleh bahwa pengelolaan
teknologi usahatani konservasi secara berkelanjutan dalam jangka panjang akan mendatangkan nilai keunggulan komparatif dan kompetitif meliputi:
a pengendalian kehilangan tanah dan hara melalui erosi; b peningkatan produksi biomassa melalui sisa hasil pertanian, penanaman legum untuk
konservasi dan penutupan tanah; c peningkatan produksi bahan organik secara ”in situ”
; d peningkatan status kesuburan tanah; e peningkatan produksi rumput untuk makanan ternak; f peningkatan hasil baik tanaman pangan,
palawija, buah, sayur, dan kayu-kayuan; dan g peningkatan total hasil usahatani secara berkelanjutan.
Hasil penelitian Mastur et al. 2000, menunjukkan bahwa sistem usahatani dan strategi konservasi dapat menekan laju erosi hingga 27 dan
meningkatkan produktivitas beberapa komoditas yang diusahakan pada lahan dataran tinggi Malang, Jawa Timur.
Hasil kajian Syam 2003 menunjukkan bahwa sistem usahatani konservasi teras bangku dan teras gulud dapat meningkatkan produktivitas usaha
tani dan pendapatan petani, serta dapat menurunkan laju erosi. Tingkat adopsi teknologi secara parsial cukup tinggi, khususnya teknologi pola tanam, varietas
unggul, budidaya tanaman pakan dan usaha ternak, serta upaya tindakan konservasi tanah secara vegetatif. Hasil tersebut diduga karena evaluasi dan
analisis alternatif sistem konservasi belum memberikan informasi yang komprehensif. Untuk mengadopsi paket teknologi secara utuh, para petani
mengalami kesulitan karena beberapa kendala seperti keterbatasan modal dan tenaga kerja keluarga. Implikasi kebijakan pada tahapan perbaikan teknologi dan
formulasi kebijakan perlu memperhatikan upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya tanah dan air. Pada tahap awal,
pemerintah berperan untuk meningkatkan sumberdaya manusia dan subsidi, dan pada tahap pengembangan untuk mendorong pihak swasta agar berinvestasi di
lahan tersebut. Menurut Abas et al. 2003, lemahnya penerapan teknik konservasi tanah
menyebabkan terjadinya erosi dan degradasi lahan serta munculnya lahan kritis. Upaya penanganan dan perbaikan kawasan perbukitan kritis telah dilakukan
dengan menerapkan teknologi sistem usahatani konservasi SUK sesuai zona agroekosistem setempat.
Penerapan teknik pertanian konservasi membutuhkan waktu lama untuk mampu menjadi efektif. Penelitian berbagai teknik konservasi tanah pada tanah
Typic Eutropepts di Unggaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru menjadi efektif setelah 5 tahun Kurnia et al., 2002.
Perubahan penggunaan lahan Daerah Aliran Sungai DAS memberikan pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, perubahan penggunaan lahan di DAS Banjaran dari 1.759,28 ha sawah, 289,54 ha tegalan, 1.284,36 ha pemukiman pada tahun 1995, menjadi 1.603,97 ha
sawah, 283,32 ha tegalan, 1.445,88 ha pemukiman pada tahun 2001, menyebabkan peningkatan debit banjir sungai dari 28,38 m
3
dt menjadi 85,15 m
3
dt Suroso dan Hery, 2006.
Hasil penelitian Syafruddin et al. 2004, menunjukkan bahwa sistem pertanian yang efisien, berproduksi tinggi, dan berkelanjutan dapat dicapai antara
lain dengan memanfaatkan sumberdaya spesifik berdasarkan karakteristik, kemampuan, dan kesesuaiannya. Lahan sebagai modal dasar dan faktor penentu
utama dalam sistem produksi pertanian perlu dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Oleh karena itu, penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas
unggulan pada setiap wilayah kabupaten perlu dilakukan agar produksi yang dihasilkan tetap tinggi dan dapat bersaing di pasaran, baik lokal maupun
internasional. Konsep sistem pakar dapat digunakan dalam menata sistem pertanian dan menetapkan komoditas unggulan. Hasil delineasi peta zona
agroekologi wilayah Sulawesi Tengah skala 1:250.000 didapatkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian, dan beberapa jenis tanaman alternatif. Komoditas
unggulan juga telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah kabupaten, yaitu kakao, jagung, bawang merah, sapi potong, serta perikanan laut.
Hasil penelitian Suyatmo 2002 menunjukkan bawa pemberian imbalan jasa lingkungan berupa hak atas lahan land right kepada para petani miskin tidak
hanya akan mengurangi kemiskinan tetapi juga akan meningkatkan pemerataan di kalangan petani. Hasil penelitian ini mendukung kebijakan pemberian imbalan
jasa lingkungan bagi petani miskin sebagai kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Selain itu, pemberian imbalan jasa lingkungan kepada petani
miskin juga merupakan win-win solution antara kepentingan konservasi hutan dan peningkatan kesejahteraan petani miskin di sekitar hutan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa arah penelitian yang selama ini dilakukan lebih dititik beratkan pada aspek
fisik, yaitu upaya-upaya mencegah erosi, perbaikan kesuburan tanah, dan meningkatkan produktivitas tanah. Pelaksanaannya dilapang, petani selaku
pengguna tidak cukup dengan hanya diberi teknologi. Banyak kegiatanproyek konservasi yang dimulai sejak tahun 1970-an, dinilai kurang berhasil dan tidak
berkelanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi tanah oleh petani yang secara teknis memadai hanya terjadi selama mendapat
bantuan dari proyek-proyek pembangunan, seperti proyek konservasi tanah dan
air. Setelah bantuan berakhir petani tidak melanjutkan upaya konservasi tanah Sukmana, 1995.
Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang belum mendapat perhatian antara lain kemampuan sumberdaya lahan, kesesuaian lahan, dan
kondisi petani. Permasalahan usahatani konservasi sangat kompleks, sehingga perlu melihat beberapa komponen usahatani konservasi secara menyeluruh
sebagai sebuah sistem. Sistem usahatani terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu lahan, tanaman termasuk vegetasi alami, iklim, dan manusia sebagai pengguna.
Penelitian yang selama ini dilakukan masih bersifat parsial, hanya melihat salah satu sub sistem, antara lain lahan dan atau tanaman belum memperhatikan
keserasian dan kelestarian interaksi antara sub sistem.
2.7. Permasalahan dan Strategi Penerapan Sistem Usahatani Konservasi