INTERNALISASI KARAKTER RELIGIUS DI SD NEGERI DEMAKIJO 1.

(1)

INTERNALISASI KARAKTER RELIGIUS DI SD NEGERI DEMAKIJO 1

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Anita Setianingsih NIM 13108241153

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia

tidak mengetahui.”

(Terjemahan Quran Surat Ar-Rum Ayat 30)

“Karakter religius merupakan fondasi dari pendidikan karakter, jika karakter religiusnya baik maka karakter-karakter yang lain juga akan baik.”


(6)

PERSEMBAHAN Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapakku tercinta yang telah memberikan segalanya untukku. 2. Kakakku tersayang yang selalu memberikanku motivasi.


(7)

INTERNALISASI KARAKTER RELIGIUS DI SD NEGERI DEMAKIJO 1

Oleh Anita Setianingsih NIM 13108241153

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan dan hambatan internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penentuan subjek penelitian secara purposive. Subjek penelitian yaitu tujuh siswa, empat guru, dan satu kepala sekolah. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis menggunakan model Miles dan Huberman yaitu reduksi, display, dan penarikan kesimpulan. Data hasil penelitian diuji keabsahannya menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan upaya internalisasi karakter religius dilakukan melalui; 1) kegiatan pengembangan diri, meliputi: a) kegiatan rutin, b) kegiatan spontan, c) pemberian keteladanan, d) pengkondisian lingkungan; 2) pengintegrasian dalam mata pelajaran, caranya: a) mencantumkan karakter religius dalam silabus, RPP, b) menyisipkan pesan moral religius dalam pelajaran IPA, PKn, IPS, Agama; 3) budaya sekolah, caranya menyisipkan karakter religius dalam: a) tata krama siswa, b) kegiatan: di kelas, sekolah, luar sekolah. Sikap siswa, yaitu: 1) senang melaksanakan ibadah karena kesadaran diri sendiri dan takut kepada Tuhannya, 2) tidak senang ditegur gurunya ketika berbuat kesalahan, dan 3) siswa non muslim senang menunggu temannya yang sedang sholat di dalam kelas. Perilaku siswa, yaitu: 1) berdoa sebelum dan setelah pelajaran dengan sikap yang khusyuk, 2) mengucapkan istighfar ketika berbuat kesalahan, 3) menunggu temannya yang sedang sholat di kelas. Hambatan internalisasi karakter religius, yaitu: 1) rendahnya kesadaran siswa berperilaku religius, 2) kurangnya dukungan orang tua, 3) lingkungan sekitar siswa yang tidak baik, 4) kurangnya waktu mengadakan kegiatan keagamaan, 5) ketersedian dana lomba keagamaan yang terbatas, dan 6) sulitnya mencari peserta lomba seni baca Al-Quran.


(8)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat serta karunian-Nya yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul “Internalisasi Karakter Religius di SD Negeri Demakijo 1” dengan baik dan lancar. Tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 PGSD UNY.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan menyelesaikan skripsi.

3. Ketua jurusan PGSD yang telah memberikan saran, motivasi, dan nasehat dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Drs. Suparlan, M.Pd. I selaku dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dalam menyusun skripsi dan berkenan meluangkan waktu untuk memberikan saran, arahan, dan motivasi pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Ibu, bapak, dan kakakku tercinta yang telah memberikan doa serta dukungan selama menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen program studi PGSD yang telah memberikan ilmu dan pengalaman berharga pada penulis dan seluruh karyawan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi. 7. Teman-temanku PGSD C angkatan 2013 tercinta, yang selalu memberikan

dukungan selama proses penyusunan skripsi.

8. Wakil pelaksanan kepala sekolah, guru, staf karyawan dan peserta didik di SD Negeri Demakijo 1 yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam kegiatan penelitian.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Fokus Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Internalisasi Karakter Religius ... 10

1. Pengertian Internalisasi ... 10

2. Pengertian Karakter ... 13

3. Pengertian Karakter Religius ... 16

4. Macam-Macam Karakter Religius ... 19


(11)

2. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran ... 33

3. Budaya Sekolah ... 34

C. Tahap Internalisasi Karakter Religius ... 39

D. Perkembangan Religiusitas Anak Sekolah Dasar ... 45

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Anak Sekolah Dasar ... 45

2. Tahap Perkembangan Religiusitas Anak Sekolah Dasar ... 49

3. Ciri-Ciri Perkembangan Religiusitas Anak Sekolah Dasar ... 52

E. Peran Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Internalisasi Karakter Religius ... 53

F. Penelitian yang Relevan ... 56

G. Alur Pikir Penelitian ... 59

H. Pertanyaan Penelitian ... 59

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 60

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 61

C. Tempat Penelitian ... 62

D. Teknik Pengumpulan Data ... 62

E. Instrumen Penelitian ... 65

F. Teknik Analisis Data ... 67

G. Pengujian Keabsahan Data ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 72

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 72

2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 74

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 156

C. Keterbatasan Penelitian ... 218

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 219


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 223 LAMPIRAN ... 226


(13)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Sekolah ... 25

Tabel 2. Indikator Keberhasilan Sekolah dan Kelas dalam Menanamkan Karakter Religius ... 35

Tabel 3. Kisi-Kisi Penelitian Internalisasi Karakter Religius di SD Negeri Demakijo 1 ... 66

Tabel 4. Penggunaan Triangulasi Berdasarkan Pertanyaan Penelitian ... 71

Tabel 5. Upaya, Sikap, dan Perilaku Siswa melalui Kegiatan Rutin ... 83

Tabel 6. Upaya, Sikap, dan Perilaku Siswa melalui Kegiatan Spontan ... 107

Tabel 7. Upaya, Sikap, dan Perilaku Siswa melalui Pemberian Keteladanan ... 116

Tabel 8. Upaya, Sikap, dan Perilaku Siswa melalui Pengkondisian Lingkungan ... 123

Tabel 9. Upaya, Sikap, dan Perilaku Siswa melalui Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran ... 132

Tabel 10. Tabel 7. Upaya, Sikap, dan Perilaku Siswa melalui Strategi Budaya Sekolah ... 146


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Data Hasil Wawancara

dengan Kepala Sekolah ... 226

Lampiran 2. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Data Hasil Wawancara ... dengan Guru ... 233

Lampiran 3. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Data Hasil Wawancara dengan Siswa ... 274

Lampiran 4. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Hasil Observasi Macam Karakter Religius ... 287

Lampiran 5. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Hasil Observasi Strategi dan Hambatan melalui Kegiatan Pengembangan Diri ... 295

Lampiran 6. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Hasil Observasi Strategi dan Hambatan melalui Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran ... 326

Lampiran 7. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Hasil Observasi Strategi dan Hambatan melalui Budaya Sekolah ... 337

Lampiran 8. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Hasil Wawancara Sikap Siswa ... 348

Lampiran 9. Triangulasi Sumber dan Cross Chek Hasil Wawancara ... 358

Lampiran 10. Triangulasi Teknik Data Hasil Penelitian ... 367

Lampiran 11. Dokumentasi Tata Krama Siswa ... 378

Lampiran 12. Dokumentasi Gambar Kegiatan Religius ... 379

Lampiran 13. Silabus ... 386

Lampiran 14. RPP ... 396


(15)

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian ... 59

Gambar 2. Strategi Pengembangan Diri dan Nilai yang Dikembangkan ... 82

Gambar 3. Strategi Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran dan Nilai yang Dikembangkan ... 131

Gambar 4. Strategi Budaya Sekolah dan Nilai yang Dikembangkan ... 145

Gambar 5. Upaya Internalisasi dan Nilai yang dikembangkan ... 157

Gambar 6. Pengajian sebelum Buka Bersama ... 379

Gambar 7. Buka Bersama di Bulan Ramadhan ... 379

Gambar 8. Doa Bersama Siswa dan Wali Murid kelas VI ... 379

Gambar 9. Kegiatan Syawalan ... 379

Gambar 10. Siswa kelas VI Memasak pada Hari Raya Idul Adha ... 379

Gambar 11. Penyembelihan Hewan Kurban pada Hari Raya Idul Adha ... 379

Gambar 12. Pengajian Peringatan Maulid Nabi ... 380

Gambar 13. Kegiatan Tadarus ... 380

Gambar 14. Kegiatan Baca Tulis Al-Quran ... 380

Gambar 15. Siswa Berdoa Bersama sebelum Pelajaran ... 380

Gambar 16. Kegiatan Sholat Zuhur ... 380

Gambar 17. Kegiatan Sholat Dhuha ... 380

Gambar 18. Pajangan Tulisan tentang Perintah Agama ... 381

Gambar 19. Ruang Mushola ... 381

Gambar 20. Doa Sholat Dhuha ... 382

Gambar 21. Jadwal Sholat Dhuha dan Zuhur ... 383

Gambar 22. Jadwal Kegiatan Ekstrakulikuler ... 384


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan sarana untuk menciptakan manusia yang cerdas sekaligus membentuk manusia yang berkarakter. Pendidikan tidak hanya membentuk manusia yang cerdas dalam segi intelektualnya. Namun adanya pembentukan karakter juga menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, jika pendidikan hanya mementingkan terciptanya manusia yang berintelektual tinggi tanpa mengedepankan karakter yang baik, sudah pasti akan menimbulkan bobroknya bangsa.

Di Indonesia masih banyak pelajar yang terlibat dalam perilaku yang tidak bermoral. Seperti kasus tawuran, narkoba, pelecehan seksual, pembunuhan, dan minum minuman keras. Kasus anak dibawah umur yang hamil diluar nikah pun menambah bukti jumlah produk gagal dari pendidikan yang ada. Dan belum lama ini pada tanggal 25 Agustus 2016 bersumber dari SINDONEWS.COM terjadi kasus siswa SD yang menjadi korban sodomi anak SMA berusia 17 tahun. Melihat kejadian ini sangat disayangkan sekali, pelajar yang seharusnya sebagai agen perubahan bangsa justru melakukan tindakan amoral. Hal ini didukung oleh pendapat Gedhe Raka (Masnur Muslich, 2011: 67) bahwa keterpurukan bangsa ini tiada lain karena pada hakikatnya kita mengalami krisis karakter.

Kasus-kasus yang menyangkut penyimpangan karakter religius anak Sekolah Dasar (SD) masih banyak ditemukan. Pada tanggal 1 November 2016 (FAJAR.CO.ID.) telah terjadi pencurian ratusan buku di perpustakaan SD N 3


(17)

Menteng Palangka Raya yang dilakukan oleh lima pelajar yaitu satu pelajar SMP, dua pelajar Pelajar SMA dan dua pelajar yang lain adalah anak SD. Mereka mencuri buku untuk dijual karena alasan tidak memiliki uang untuk bermain game online. Ini merupakan salah satu contoh kasus penyimpangan religius anak yang banyak terjadi saat ini.

Di lingkungan keluarga dan sekolah, kasus penyimpangan religius anak SD banyak dijumpai. Seperti berbohong tidak memiliki PR, mencuri uang di kantin, berkata kotor, dan tega menyakiti temannya sendiri saat bermain serta menyontek saat ujian. Kasus ini merupakan contoh kecil dari tingkat religius anak SD yang hingga saat ini masih dinilai sangat kurang.

Oleh karena itu, pemerintah dalam upaya membenahi karakter anak bangsa tengah genjar mengimplementasikan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Akhmad Muhaimin Azzet (2013: 15) bahwa saat ini, pendidikan di Indonesia dinilai oleh banyak kalangan tidak bermasalah dengan peran pendidikan dalam mencerdasakan para peserta didiknya, namun dinilai kurang berhasil dalam membangun kepribadian peserta didiknya agar berakhlak mulia. Oleh karena itu, pendidikan karakter dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak.

Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sesuai dengan isi dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka


(18)

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari Pendidikan Nasional adalah untuk membentuk insan manusia sebagai generasi penerus bangsa yang memiliki karakter religius, berakhlak mulia, cendikia, mandiri, dan demokratis (Darmiyati Zuchid, 2015). Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional pasal 1 UU SISDIKNAS tahun 2003 yang menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia (Jamal Ma’mur Asmani, 2011: 29) .

Dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut disusunlah kerangka kurikulum dalam sistem pembelajaran di sekolah. Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 37 untuk mendukung kerangka kurikulum tersebut wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, ketermapilan/ kejuruan, muatan lokal. Berdasarkan pasal ini pendidikan agama merupakan salah satu materi dalam meningkatan karakter religius. Menurut Agus Wibowo (2012: 56) harapan sekaligus tujuan mulia dari Pendidikan Agama Islam (PAI) tersebut belum mampu direalisasikan. Sebab, kenyataannya PAI tidak dapat berperan secara optimal. Bahkan, ia semakin kehilangan perannya sebagai media mengantarkan siswanya untuk memahami dan


(19)

mengamalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya undang-undang ini dalam memberikan strategi yang ideal dalam menginternalisasikan karakter religius.

Melihat banyaknya perilaku dan sikap anak bangsa yang jauh dari perilaku yang berakhlak mulia, maka internalisasi karakter religius menjadi hal yang penting. Akhmad Muhaimin Azzet (2013: 88) mengatakan bahwa hal yang semestinya dikembangkan dalam diri anak didik adalah terbangunnya pikiran, perkataan, dan tindakan anak didik yang diupayakan senantiasa berdasakan nilai-nilai ketuhanan atau yang bersumber dari ajaran agama yang dianutnya. Jadi agama yang dianut oleh seseorang benar-benar dipahami dan diamalakan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Mohamad Mustari (2014: 1) religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan. Ia menunjukkan bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/ atau ajaran agamanya. Nilai karakter religius ialah segala nilai yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama. Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Hal ini tertuang dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Bunyi sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Jelas bahwa nilai ketuhanan merupakan nilai pertama dan menjadi fondasi dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Penanaman karakter religius yang paling utama dilaksanakan di lingkungan keluarga baru dilanjutkan di lingkungan sekolah dan masyarakat. Senada yang diungkapkan oleh Jamal Ma’mur Asmani (2011: 50) bahwa pendidikan memang


(20)

harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community), dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (busniess).

Menurut Muchlas Samani & Haryanto (2013: 110) menyatakan bahwa para ahli pendidikan di Indonesia umumnya bersepakat bahwa pendidikan karakter sebaiknya dimulai sejak usia anak-anak (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Golden age berada pada rentang usia 4-6 tahun. Walaupun internalisasi karakter religius sangat penting ditanamkan pada rentang usia 4-6 tahun, namun keberlanjutan dari proses internalisasi karakter religius sangat perlu dilakukan sampai pada usia 7-12 tahun yaitu usia anak sekolah dasar (SD).

Menurut Endah Sulityawati (2012: 30) di dalam 18 nilai pendidikan karakter yang dicanangkan Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan, Pengembangan Budaya dan karakter Bangsa, nilai pertama yang ditanamkan adalah nilai karakter religius yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Karakter religius merupakan dasar atau fondasi yang penting ditanamkan pada anak sejak dini. Karakter religius menjadi fondasi dalam pembentukan karakter anak, jika karakter religiusnya baik maka karakter yang lain juga akan baik.

Melihat begitu pentingnya karakter religius di internalisasikan pada peserta didik sedini mungkin, maka diperlukan strategi yang baku dalam rangka


(21)

menginternalisasikan karakter religius tersebut. Akan tetapi, di beberapa sekolah dasar masih belum di temukan upaya keseriusan dan kekonsistenan guru dalam menanamakan karakter religius tersebut. Oleh karena itu sebagai upaya untuk menemukan strategi yang baku dan ideal dalam menginternalisasikan karakter religius sehingga segala sikap dan perilaku siswa sesuai karakter religius, maka dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa SD Negeri Demakijo 1 merupakan salah satu SD Negeri yang menerapkan pelaksanan internalisasi karakter religius pada peserta didiknya. Harapannya SD Negeri Demakijo 1 dapat dijadikan sebagai salah satu contoh SD bagi sekolah negeri dalam menginternalisasikan karkater religius pada peserta didiknya.

SD Negeri Demakijo 1 merupakan sekolah Negeri yang menerapkan internalisasi karakter religius. Internalisasi karakter religius tampak tertuliskan jelas pada visi dan misi SD Negeri Demakijo 1. Visi SD Negeri Demakijo 1 ‘Unggul Dalam Prestasi dan Berakhlak Mulia’. Misinya yaitu ‘Meningkatkan pemahaman dan penghayat terhadap agama yang menjadi harapan dalam perkataan maupun perbuatan’. Sedangkan ditujuan SD Negeri Demakijo 1 disebutkan bahwa ‘Dapat mengamalkan ajaran agama hasil proses pembelajaran pembiasaan’. Dari Visi-Misi dan tujuan ini, jelas bahwa di SD Negeri Demakijo 1 sudah terdapat upaya untuk mengembangkan aspek karakter religius pada anak. Internalisasi ini juga nampak jelas dari sikap dan perilaku siswa yang senantiasa berlandaskan pada nilai agama.

Berdasakan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di kelas III A SD Negeri Demakijo 1 upaya yang dilakukan guru dalam menginternalisasikan


(22)

karakter religius yaitu melalui kegiatan berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran sekaligus mengucapkan arti dari doa tersebut, tadarus setiap hari Jumat, sholat dhuha berjamaah setiap hari kamis dan sholat zuhur berjamaah, infaq, serta terdapat ekstrakulikuler baca tulis Al-Quran (BTA) bagi kelas rendah, bersalaman dengan mengucapkan salam sebelum masuk kelas dan masuk kelas harus dimulai dengan kaki kanan. Melalui kegiatan yang diadakan guru tersebut, maka SD Negeri Demakijo 1 dapat dijadikan sebagai contoh dalam internalisasi karakter religius pada anak sekolah dasar.

Berdasarkan uraian kegiatan dalam rangka internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1 tersebut, membuat peneliti tertarik untuk mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, peneliti memiliki keinginan untuk melakukan penelitian di SD Negeri Demakijo 1 dengan mengangkat judul “Internalisasi Karakter Religius di SD Negeri Demakijo 1.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat di identifikasi masalah sebagai berikut.

1. Kasus-kasus yang menyangkut penyimpangan karakter religius anak Sekolah Dasar (SD) masih banyak ditemukan.

2. Pendidikan agama yang selama ini dianggap sebagai mata pelajaran yang dapat mengantarkan peserta didik untuk menjadi manusia yang religius belum berperan secara optimal.


(23)

3. Beberapa sekolah dasar dan guru SD belum menunjukkan keseriusan dan konsistensi dalam melaksanakan internalisasi karakter religius pada peserta didiknya.

4. Banyak SD yang mengalami hambatan dalam menginternalisasikan karakter religius pada siswa.

5. SD Negeri Demakijo 1 ada konsistensi menginternalisasikan karakter religius pada siswa.

C. Fokus Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti melakukan pembatasan masalah agar permasalahan yang akan diteliti lebih fokus dan mendalam sebagai berikut.

1. Internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1.

2. Hambatan internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1. D. Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang masalah dan fokus masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1?

2. Bagaimana hambatan internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1? E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan tentang bagaimana internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1.


(24)

2. Mendeskripsikan tentang hambatan dalam internalisasi karakter di SD Negeri Demakijo 1.

F. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, diharapakan dapat bermanfaat untuk, sebagai berikut.

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang internalisasi karakter religius pada anak sekolah dasar.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut. a. Bagi Kepala Sekolah dan Guru, yaitu:

1) hasil penelitian ini dapat memberikan strategi alternatif dalam internalisasi karakter religius di SD Negeri Demakijo 1.

2) hasil penelitian ini dapat mengoptimalkan internalisasi karakter religius di lingkungan sekolah sesuai dengan visi, amisi, dan tujuan sekolah.

b. Bagi peneliti, yaitu:

1) menambah ilmu pengetahuan tentang karakter religius,

2) menambah pengalaman dan pembelajaran tentang keilmuan pendidikan sekolah dasar, dan

3) menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang internalisasi karakter religius dalam menerapkan pendidikan karakter di SD Negeri Demakijo 1.


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Internalisasi Karakter Religius 1. Pengertian Internalisasi

Internalisasi berasal dari kata ‘inter’ atau ‘internal’ yang berarti dalam. Kata yang mendapat akhiran –isasi diartikan sebagai proses. Dengan demikian internalisasi dapat diartikan sebagai proses untuk memasukkan ke dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/ KBBI (2005: 439) internalisasi menurut kata benda diartikan sebagai penghayatan: proses- falsafah negara secara mendalam berlangsung lewat penyuluhan, penataran, dan sebagainya dan dalam arti kata politik internalisasi dimaknai sebagai penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Menurut KBBI kata internalisasi lebih dimaknai sebagai penghayatan terhadap sesuatu/ nilai. Penghayatan tersebut dapat diperoleh melalui penyuluhan, penataran, dan lainnya. Sehingga nilai tersebut dapat menjadi keyakinan dalam diri yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

Sedangkan Mohamad Mustari (2014: 5) berpendapat bahwa, menginternalisasi artinya “membatinkan” atau “merumahkan dalam diri” atau “meng-intern-kan” atau menempatkan dalam pemilikan” atau “menjadikan anggota penuh”. Beliau menambahkan bahwa dalam proses internalisasi ini terjadi penganutan sekaligus penyebaran nilai yang diperoleh dari petunjuk agama. Berdasarkan pendapat ini, internalisasi diartikan sebagai menempatkan sesuatu ke


(26)

dalam diri. Sehingga internalisasi dipandang sebagai proses menjadikan sesuatu miliki sendiri. Mohamad Mustari menambahkan, jika di dalam prosesnya terjadi penyebaran nilai-nilai yang bersumber dari petunjuk agama.

Fuad Ikhsan (2005: 155) menyatakan bahwa internalisasi adalah upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai ke dalam jiwa seseorang sehingga menjadi miliknya. Internalisasi dipandang sebagai suatu usaha untuk memasukkan nilai ke dalam bagian terdalam manusia yaitu jiwa. Sehingga nilai-nilai tersebut nantinya dapat menjadi miliknya sendiri. Nilai-nilai dalam hal ini tidak terbatas pada nilai religius saja. Akan tetapi, semua nilai yang dianggap baik dan benar oleh kelompok masyarakatnya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, definisi internalisasi adalah proses dan usaha dalam rangka memasukkan suatu nilai ke dalam diri atau jiwa seseorang. Sehingga nilai tersebut dapat dihayati dan menjadi milik sendiri. Kemudian timbullah kesadaran akan melakukan segala sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai yang dihayatinya. Nilai yang telah dihayati tersebut nantinya dapat diwujudkan dalam segala sikap dan perilaku di kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah, sekolah, serta masyarakat. Dengan demikian, internalisasi erat kaitannya dengan sikap dan perilaku sebagai hasil dari rangkaian proses internalisasi.

Seorang ahli psikologi sosial yaitu Louis Thurstone pada tahun 1928 (Mueller, Daniel J, 1992: 3-4) memberikan definisi sikap sebagai “jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal khusus.”


(27)

Kemudian pada tahun 1931 Thurstone menjelaskan sikap dengan definisi yang sederhana yaitu “Sikap adalah menyukai atau menolak suatu obyek psikologis.” Berdasarkan pendapat Thurstone ini, sikap merupakan perasaan sesorang yang diwujudkan dengan rasa suka atau tidak suka, menerima atau menolak terhadap obyek yang ada di sekitarnya.

Menurut Gordon Allport (Susanta, 2006: 94) sikap adalah respon terhadap suatu obyek dalam suasana menyenangkan atau tidak menyenangkan secara konsisten. Sikap merupakan tanggapan seseorang terhadap obyek yang ada di sekitar yang diwujudkan dengan perasaan senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Selanjutnya Susanta (2006: 95) menyatakan bahwa para ahli psikologi sosial menggap bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yaitu kognitif yang berkitan dengan pengetahuan dan keyakinan seseorang terhadap suatu obyek, afektif yang berisikan perasaan seseorang terhadap obyek sikap, dan konatif yaitu kecenderungan melakukan sesuatu terhadap obyek sikap. Dengan demikian sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, menerima atau menolak terhadap suatu objek. Akan tetapi, sikap belum tentu diwujudkan dalam bentuk perilaku secara konkret. Sikap mengandung tiga komponen penting yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

Sikap terkadang dihubungkan dengan perilaku, akan tetapi keduanya tidak selalu menunjukkan hubungan yang positif. Seorang siswa yang mengatakan suka menggunakan jilbab, belum tentu menunjukkan perilaku memakai jilbab. Seorang ahli psikologi sosial yaitu Ajzen (Agus Abdul Rahman, 2014: 137) dengan teorinya planned behavior yang merupakan revisi dari teorinya sebelumnya yaitu


(28)

reasoned action menyatakan bahwa menurut teori reasoned action, perilaku merupakan hasil pertimbangan sadar dari beberapa faktor dan sikap bukanlah satu-satunya prediktor tunggal dari perilaku. Senada dengan hal tersebut Agus Abdul Rahman (2014: 137) menambahkan bahwa selain sikap (evaluasi positif dan negatif terhadap suatu perilaku yang spesifik), lingkungan sosial pun berpengaruh terhadap perilaku. Dengan demikian, perilaku merupakan tanggapan atau tindakan nyata seseorang yang diakibatkan adanya rangsangan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan tertentu. Dan sikap hanyalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa internalisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai kedalam diri dan jiwa seseorang sehingga segala sikap dan perilakunya sesuai dengan nilai yang yakininya tersebut. Di dalam konsep internalisasi ini mengandung tiga buah unsur yang penting yaitu: 1) adanya upaya untuk memasukkan nilai ke dalam jiwa seseorang, 2) terbentuknya sikap sebagai hasil proses internalisasi, dan 3) munculnya perilaku yang dapat dilihat sebagai dampak dari adanya internalisasi tersebut. Dengan demikian internalisasi sangat erat hubungannya dengan sikap dan perilaku yang merupakan hasil dari proses internalisasi itu sendiri.

2. Pengertian Karakter

Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin dalam Darmiyati Zuchdi, 2015: 15). To engrave dapat diartikan sebagai kata ‘mengukir’. Sebagaimana ukiran yang tidak mudah hilang, begitu pula dengan


(29)

karakter. Karakter yang telah melekat pada diri seseorang tidak akan mudah hilang dengan bertambahnya usia.

Suyanto (Syamsul Kurniawan, 2013: 28) mendefiniskan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Karakter adalah pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan (Abdullah Munir, 2010: 3)

Berdasarkan pendapat di atas karakter diartikan sebagai cara berpikir dalam bersikap dan berperilaku yang telah melekat kuat pada diri seseorang. Karakter sudah menjadi ciri khas yang kuat dari seseorang dalam bersikap dan berperilaku, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat. Sebagaimana sebuah ukiran karakter yang telah melekat pada diri seseorang tidak akan mudah terkikis atau pun hilang.

Kemendiknas (2010: 3) karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (vitues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Jadi karakter itu diperoleh akbiat adanya suatu proses internalisasi berbagai nilai, moral, dan norma yang dipandang baik. Sehingga menjadi pedoman dalam bersikap serta bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.


(30)

Hal senada juga diungkapkan oleh Darmiyati Zuchdi (2015: 16) tentang karakter, menurutnya :

“karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, perasaan, dan perkataan serta perilaku sehari-hari berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karama, budaya, dan adat istiadat.’

Menurut Darmiyati Zuchdi karakter merupakan segala nilai perilaku yang tercermin dalam seluruh aktivitasnya baik yang berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia ataupun dengan lingkungannya yang diwujudkan dalam bentuk pikiran, perasaan, dan tindakan dengan berlandasakan pada norma-norma yang ada.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas maka dapat diambil kesimpulan pengertian karakter. Karakter adalah sikap dan perilaku, baik yang diwujudkan dalam bentuk pikiran, perasaan, atau pun tindakan yang menjadi ciri khas seseorang sehingga membedaknnya dengan yang lain. Karakter sifatnya tidak mudah hilang, ia akan terus melekat pada diri yang memilikinya. Karakter juga dapat diartikan sebagai kepribadian atau watak. Karakter ini diperoleh dari proses internalisasi nilai-nilai yang didapatkan dari seluruh aktivitas manusia. Baik yang hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, ataupun dengan lingkungan sekitarnya. Nilai-nilai tersebut berlandaskan pada norma-norma agama, hukum, tata karama, budaya, dan adat istiadat.


(31)

3. Pengertian Karakter Religius

Karakter religius merupakan salah satu dari 18 nilai karakter yang diimplementasikan dalam pendidikan karakter di Indonesia sebagimana dikeluarkan oleh Kemendiknas. Syamsul Kurniawan (2013: 39-38) menyatakan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari salah satu dari empat sumber (dalam hal ini agama, Pancasila, budaya, dan Tujuan Pendidikan Nasional) yang pertama yaitu agama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Di setiap segi kehidupan individu, masyarakat dan bangsa selalu didasarkan pada ajaran agama dan kepercayaannya. Dan perlu digaris bawahi bahwa nilai-nilai pendidikan karakter tersebut harus didasarkan pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Sebab jika nilai agamanya bagus, maka nilai-nilai yang lain juga akan baik.

Menurut Kemendiknas (2010: 9), nilai karakter religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Pendapat lain tentang karakter religius disampaikan oleh Mohamad Mustari (2014: 1) mendefinisikan religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan. Ia menunjukkan bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan atau ajaran agamanya. Lebih lanjut lagi, Nurul Zuriah (2011: 39) mengatakan bahwa nilai religius dapat diwujudkan dalam perilaku: 1) mensyukuri hidup dan percaya kepada tuhan, 2) sikap toleran, dan 3) mendalami ajaran agama.


(32)

Jika dilihat dari beberapa pendapat di atas karakter religius dimaknai sebagai sikap dan perilaku yang selalu didasarkan pada ajaran agama yang dianutnya dan berdasarkan dengan nilai-nilai yang hubungannya dengan ketuhanan. Jadi segala pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan itu selalu dilandaskan oleh ajaran agamnya dan tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Hal ini, senada dengan yang disampaikan oleh Syamsul Kurniwan (2013: 127) sikap dan perilaku religius merupakan sikap dan perilaku yang dekat dengan hal-hal spiritual. Seseorang disebut religius ketika ia merasa perlu dan berusaha mendekatkan dirinya dengan Tuhan (sebagai penciptanya), dan patuh melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Sehingga, segala sikap dan perilaku itu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual atau keagamaan.

Seseorang dapat dikatakan religius ketika timbul perasaan bahwa ia perlu mendekatkan diri kepada penciptanya serta mematuhi dan melaksanakan ajaran agamnya dalam kehidupan sehari-hari. Indah Ivonna (Syamsul Kurniwan, 2013: 128) menambahkan bahwa religiositas seringkali merupakan sikap batin seseorang ketika berhadapan dengan realitas kehidupan luar dirinya misalnya hidup, mati, kelahiran, bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Religius seseorang muncul ketika seseorang berhadapan dengan berbagai bencana yang secara langsung maupun tidak langsung menimpa dirinya. Memang benar jika seseorang sedang tertimpa bencana ataupun saudaranya tertimpa bencana secara spontan religius itu timbul dengan sendirinya. Hal ini


(33)

disebabakan karena manusia memiliki sifat pasrah dan perlunya meminta perlindungan dari Sang Pencipta.

Pendapat lain tentang karakter religius disampaikan oleh Prof. Notonagoro (Sajarkawi: 2006: 31-32) yang mendefinisikan bahwa nilai religius adalah nilai yang bersumber dari keyakinan ketuhanan yang ada pada diri seseorang, dan nilai kerokhaian itu berposisi yang tertinggi dan mutlak. Hal ini jelas bahwa karakter religius bersumber dari keyakinan dalam diri seseorang sendiri terhadap nilai-nilai ketuhanan yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Nilai karakter religius ini merupakan nilai yang tertinggi dan menjadi pedoman dalam setiap penanaman nilai karakter dalam kehidupan berbangsa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Darmiyati Zuchdi (2015: 19) karakter yang dibangun tanpa agama adalah karakter yang tidak utuh. Bagaimana orang dikatakan baik atau buruk karakternya jika ukurannya hanyalah berbuat baik kepada manusia saja dan mengabaikan hubungan vertikalnya (ibadah) kepada Tuhan.

Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas terkait karakter religius, dapat disimpulkan bahwa karakter religius bersumber dari keyakinan ketuhanan yang ada dalam diri seseorang. Karakter religius berkaitan dengan ajaran-ajaran agama yang berhubungan dengan ketuhanan atau spiritual. Karakter religius diwujudkan dengan sikap dan perilaku yang selalu berlandaskan dengan nilai-nilai agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Jadi seseorang yang dalam dirinya telah terinternalisasi karakter religius, maka segala pikiran, perkataan, dan perbuatannya dilandaskan pada ajaran agama yang dianutnya. Baik seseorang yang beragama muslim maupun non muslim dalam


(34)

bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-harinya senantiasa berlandaskan pada ajaran agamanya. Bagi yang beragama muslim wajib melaksanakan ibadah sholat lima waktu, membayar zakat, puasa wajib saat bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, dan yang lainnya. Bagi yang beragama non muslim, misalnya beragama kristen atau katolik pergi ke gereja setiap hari Minggu dan ikut memperingati hari besar keagamaan seperti Natal dan Paskah, bagi yang beragama hindu pergi ke pura untuk beribadah, dan memperingati hari besar keagamaan Nyepi.

4. Macam-Macam Karakter Religius

Menurut Kemendiknas (2010: 9) pengertian dari nilai karakter religius adalah adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Berdasarkan pengertian karakter religius yang disampaikan kemendiknas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga macam karakter religius yang ingin ditanamkan pada diri peserta didik. Ketiga macam karakter religius tersebut adalah sebagai berikut.

a. Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agamnya

Peserta didik diharapkan memiliki karakter religius dengan memiliki serta menunjukkan sikap dan perilaku yang senantiasa sesuai dengan perintah ajaran agamanya. Segala sikap dan perilaku yang dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam agamanya. Sehingga peserta didik dapat melaksanakan segala perintah agamanya dan menjauhi apa yang dilarang oleh agamnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syamsul Kurniawan (2013: 127) bahwa seseorang


(35)

dikatakan religius ketika ia merasa perlu dan berusaha mendekatkan dirinya dengan Tuhan (sebagai penciptanya), dan patuh melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Contohnya, bagi yang beragama islam melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya, melaksanakan puasa ramadhan, dan gemar bersedekah. b. Toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain

Keberagaman suku, ras, dan agama merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi adanya toleransi, terutama toleransi agama. Menurut Syamsul Kurniawan (2013: 86) toleransi adalah kemampuan seseorang untuk menerima perbedaan orang lain. Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Kemndiknas, 2010: 26). Toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain berarti sikap dan tindakan yang menghargai segala bentuk kegiatan ibadah agama lain. Menghargai segala bentuk ibadah agama lain dapat ditunjukkan dengan sikap tidak menghina bentuk kegiatan ibadah agama lain, dan tidak mengganggu teman yang berbeda agama sedang beribadah.

c. Hidup rukun dengan pemeluk agama lain

Dengan tertanamnya karakter religius pada peserta didik, diharapkan mereka dapat hidup saling berdampingan dengan pemeluk agama lain. Dengan hidup rukun bersama pemeluk agama lain, peserta didik dapat hidup dengan baik di dalam masyarakat yang cakupannya lebih luas.

Melalui toleransi yang tinggi, maka kerukunan hidup antara pemeluk agama lain akan tercipta. Syamsul Kurniawan (2013: 129) menyatakan bahwa untuk


(36)

menumbuhkan toleransi siswa dapat dilakukan dengan pembiasaan yang berupa kegiatan merayakan hari raya keagamaan sesuai agamanya dan mengadakan kegiatan agama sesuai dengan agamanya. Sehingga melalui kegiatan tersebut, diharapkan tumbuh toleransi beragama dan saling menghargai perbedaan dan pada akhirnya dapat terjalin hubungan yang harmonis, tentram, dan damai. Peserta didik di sekolah akan merasakan indahnya kebersamaan dalam perbedaan. Mereka akan merasa bahwa semua adalah saudara yang perlu untuk dihormati, dihargai, dikasihi, dan disayangi seperti keluarga sendiri. Sehingga peserta didik dapat hidup rukun dengan pemeluk agama lain di lingkungan manapun. Contohnya ialah tetap bermain dengan teman satu kelas walau berbeda agama, dan saling membantu jika dalam kesulitan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan macam-macam karakter religius yaitu: 1) sikap dan perilaku peserta didik perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agamnya. Peserta didik senantiasa bersikap dan berperilaku sesuai dengan perintah agamanya dan menjauhi sikap dan perilaku yang dilarang oleh aturan agamanya; 2) toleran terhadap bentuk ibadah agama lain. Menerima setiap perbedaan bentuk ibadah agama lain yang ditunjukkan dengan sikap menghormati dan menghargai setiap bentuk ibadah agama lain; dan 3) hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Sehingga dengan adanya toleransi dalam menghargai bentuk perbedaan agama yang ada, maka peserta didik dapat menjalin hubungan yang baik antar pemeluk agama lain.


(37)

B. Strategi Internalisasi Karakter Religius pada Anak Sekolah Dasar

Proses internalisasi nilai karakter sebagaimana yang ada dalam pendidikan karakter memiliki metodologi pelaksanaan yang sistematis. Begitu pula dengan internalisasi karakter religius juga memiliki metode yang sistematis. Ada banyak metode yang dapat dilakukan oleh guru, kepala sekolah, maupun sekolahan dalam menginternalisasikan karakter religius pada peserta didik. Kemudian dari metode-metode tersebut dapat dikembangkan berbagai strategi internalisasi karakter religius. Diharapkan dengan strategi yang sesuai karakter religius anak dapat dicapai dengan maksimal. Satu hal yang perlu untuk diperhatikan guru dalam penyajian agama untuk anak, yaitu harus sesuai dengan pertumbuhan jiwa anak, dengan cara yang lebih konkret, dengan bahasa yang sederhana serta banyak bersifat latihan dan pembiasaan yang menumbuhkan nilai-nilai kepribadiannya (Zakiah Daradjat, 2005: 131). Berkaitan dengan hal tersebut, maka guru dan kepala sekolah dapat mengembangkan unsur-unsur religius anak melalui lima cara sebagaimana yang disampaikan oleh Strak dan Glock (Mohamad Mustari, 2014: 3-4) yaitu:

1) menanamkan keyakinan agama, yaitu keyakinan agama atau yang disebut dengan keimanan. Keimanan bersifat pengetahuan, akan tetapi di dalamnya berisi kemantaban hati atau tidak ragu-ragu. Untuk menjaga keimanan ini yang diperlukan adalah pemupukan rasa keimanan. Sebab, kadang-kadang keimanan seseorang dapat mengencang dan mengendur. Oleh karena itu, keimanan yang bersifat abstrak perlu didukung oleh tindakan keagamaan yang sifatnya praktik yaitu melalui ibadat. Keyakinan diwujudkan dengan


(38)

kepercayaan atas doktrin ketuhanan, seperti percaya terhadap adanya Tuhan, malaikat, akhirat, surga, neraka, takdir, dan lain-lain,

2) melatih ibadat, yaitu cara melakukan beribadah atau menyembah kepada Tuhan dengan segala rangkainnya. Ibadah dalam hal ini bukan berarti hanya menyembah kepada Tuhan secara langsung. Akan tetapi, segala sesuatu yang dilakukan hanya semata-mata memperoleh ridho dari sang pencipta dengan cara mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah dimaknai lebih luas lagi, yaitu ibadah dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh melaksanakan sholat tepat waktu, berkata jujur dan tidak bohong, berbuat baik kepada saudara dan orang tua, serta menolong orang miskin. Dengan demikian, ibadah adalah segala hal yang dilakukan dengan landasan perintah dan ajaran-Nya dengan harapan memperoleh ridho-Nya,

3) memahamkan pengetahuan agama, yaitu ilmu bagaimana cara untuk sholat, berwudhu, puasa, zakat dan lainnya. Pengetahuan agama pun menyangkut pengetahuan tentang riwayat perjuangan nabi, peninggalannya dan cita-citanya. Pengetahuan agama menjadi hal yang penting, sebab dalam beribadah jika tidak tahu caranya atau ilmunya maka kita tidak akan tahu mana yang benar atau salah,

4) menjalankan pengalaman agama, merupakan perasaan yang dialami oleh orang yang beragama seperti rasa tenang, tentram, bahagia, syukur, patuh, taat, takut, menyesal, serta bertobat, dan


(39)

5) aktualisasi dari doktrin agama yang dihayati oleh seseorang yang berupa sikap, ucapan dan perilaku atau tindakan. Konsekuensi ini mengandung penjumlahan dari keempat unsur yang ada di atas. Dengan demikian, konsekuensi adalah pengamalan dari keempat unsur tersebut yang diwujudkan dalam perilakunya sehari-hari.

Selanjutnya, untuk mencapai kelima unsur tersebut, maka perlu adanya strategi internalisasi karakter religius yang baku. Menurut kemndiknas (2010: 15-20) pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui tiga hal yaitu 1) program pengembangan diri, 2) pengintegrasian dalam mata pelajaran, dan 3) budaya sekolah. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing dari ketiga strategi tersebut.

1. Program Pengembangan Diri

Program pengembangan diri dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yang meliputi 1) kegiatan rutin sekolah, 2) kegiatan spontan, 3) keteladanan, dan 4) pengkondisian. Hal ini, sejalan dengan yang disampaikan oleh Nurul Zuriah (2011: 86-87) yang menjelaskan tentang penerapan pendidikan budi pekerti di lingkungan persekolah melalui dua cara yaitu pengintegrasian dalam kehidupan sehari-hari dan pengintegrasian dalam kegiatan yang telah diprogramkan. Adapun pengintegrasian dalam kehidupan sehari-hari yang disampaiakan Nurul Zuriah meliputi 1) keteladanan atau contoh, 2) kegiatan spontan, 3) teguran, 4) pengkondisian lingkungan, dan 5) kegiatan rutin. Sedangkan pada kegiatan yang telah diprogramkan, guru membuat perencanaan terlebih dahulu terkait kegiatan yang akan dilaksanakan. Untuk


(40)

perilaku taat kepada ajaran agama yaitu diintegrasikan pada kegiatan peringatan hari-hari besar keagamaan.

Hal senada juga disampaikan oleh Syamsul Kurniawan (2013: 108-109) yang menyatakan bahwa guru dan pemangku kebijakan pendidikan di sekolah hendaknya dapat mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah, silabus dan rencana program pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Adapun dalam implementasi pendidikan karakter melalui kegiatan pengembangan diri yang disebutkan Syamsul Kurniawan (2013:109) dituliskan pada tabel 1. tentang implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum sekolah berikut ini.

Tabel 1. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Sekolah No. Implementasi Pendidikan

Karakter Bentuk Pelaksanaan Kegiatan 1. Integrasi dalam mata pelajaran

yang ada

Mengembangkan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. 2. Mata pelajaran dalam muatan

loka (mulok)

Ditetapkan oleh sekolah/ daerah. Kompetensi dikembangkan oleh sekolah/ daerah.

3. Kegiatan pengembangan diri Pembudayaan dan pembiasaan, berupa: pengondisian, kegiatan rutin, kegiatan spontanitas, keteladanan, dan kegiatan terprogram.

Ekstrakulikuler, seperti Pramuka, PMR, kantin kejujuran, UKS, KIR, olahraga dan seni, OSIS dan sebagainya.

Bimbingan konseling yaitu pemberian layanan bagi anak yang mengalami masalah.

Adanya berbagai macam pendapat terkait program pengembangan diri maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan program pengembangan diri dilakukan melalui


(41)

1) kegiatan rutin sekolah, 2) kegiatan spontan, 3) pemberian keteladanan, dan 4) pengkondisian lingkungan.

a. Kegiatan Rutin Sekolah

Kegiatan rutin ialah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik secara terus menerus dan sudah terlaksana setiap hari. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari ini dapat dijadikan sebuah pembiasaan dalam menginternalisasikan karakter religius pada peserta didik. Syamsul Kurniawan (2013: 128-129) mengungkapkan bahwa kegiatan religius yang dapat diajarkan kepada peserta didik di sekolah yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembiasaan, yaitu:

1) berdoa atau bersyukur. Berdoa adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Ungkapan syukur juga dapat diwujudkan dengan menjalin hubungan persaudaraan sesama teman tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama. Kerelaan peserta didik untuk memberikan ucapan selamat hari raya kepada teman yang berbeda agama dengannya merupakan bentuk dari toleransi. Ungkapan rasa syukur terhadap lingkungan alam misalnya dengan meminta anak untuk menyirami tanaman yang ada di depan kelasnya dan menjaga kebersihan lingkungan kelas dan sekolahnya,

2) mengadakan kegiatan di mushalla. Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya sholat zuhur berjamaah setiap hari, mengikuti kegiatan baca tulis Al-Quran (BTA), dan sholat jumaat berjamaah,

3) mengadakan perayaan hari raya keagamaan. Untuk yang bergama islam misalnya mengadakan kegiatan keagamaan seperti pengajian pada momen Idul Adha, Idul Fitri, dan Isra’ Mi’raj sebagai sarana meningkatkan iman dan


(42)

takwa peserta didik. Sedangkan yang beragama nasrani dengan mengadakan perayaan natal serta paskah, dan

4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agama yang dianut peserta didiknya. Misalnya mengadakan kegiatan pesantren kilat untuk yang beragama islam dan mengadakan kegiatan ruhani lain bagi yang beragama nasrani maupun Hindu.

Novan Ardy Wiyani (2013: 223-228) memberikan contoh pemetaan kegiatan yang dapat dilakukan guru dan tenaga kependidikan di sekolah dalam menanamkan karakter religius di sekolah melalui pembiasaan rutin, sebagai berikut.

1. Berdoa sebelum dan sesudah pelajaran dengan dipimpin oleh guru agama melalui pengeras suara dari ruang Guru 1.

2. Setiap Jumat melaksanakan kegiatan infaq bagi yang muslim. 3. Setiap pergantian jam pelajaran, siswa memberi salam kepada guru.

4. Melakukan sholat zuhur berjamaah sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.

5. Memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melakukan ibadah.

6. Anak diminta mengucapkan salam sebelum dan sesudah kegiatan, jika bertemu dengan guru, bicara dan bertindak dengan memperhatikan sopan santun.

7. Anak dibiasakan untuk mengucapkan terima kasih, maaf, permisi, dan tolong. 8. Mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan orang lain.


(43)

9. Meminta izin untuk menggunakan barang orang lain.

Kegiatan rutin ini penting untuk dilakukan guru untuk membentuk pembiasaan sikap dan perilaku siswa agar sesuai dengan karakter religius. Sebab dengan pembiasaan karakter religius dapat terinternalisasi pada jiwa anak. Sehingga ketika anak tidak berperilaku sesuai dengan karakter tersebut, maka ia akan merasa bersalah dan kurang nyaman. Hal ini senada yang disampaikan oleh Edi Waluyo (Agus Wibowo, 2012: 126) bahwa pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan mereka terbiasa untuk berperilaku baik; sehingga ketika seseorang anak tidak melakukan kebiasaan baik itu, yang bersangkutan akan merasa bersalah. Dengan demikian, anak akan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukan kebiasaan baik itu.

b. Kegiatan Spontan

Kegiatan spontan yang dimaksud yaitu ketika suatu kegiatan dilakukan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan ketika guru dan tenaga kependidikan melihat sikap dan perilaku negatif maupun positif yang dilakukan peserta didik. Jika siswa melakukan perilaku negatif dengan spontan guru mengingatkannya dan menasehatinya supaya tidak melakukan hal tersebut. Perilaku negatif misalnya ketika anak mengambil barang temannya tanpa ijin. Sedangkan perilaku positif misalnya ketika peserta didik menolong temannya yang sedang terjatuh. Perilaku positif ini perlu mendapat tanggapan bagi guru dengan memberinya pujian, supaya peserta didik tahu bahwa perilaku tersebut baik dan perlu untuk dikembangkan. Dalam hal ini guru memberikan penguatan positif bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan bentuk penerapan spontanitas dalam matrik


(44)

penjabaran dan penerapan nilai-nilai budi pekerti taat kepada ajaran agama yang disampaikan oleh Nurul Zuriah (2011: 208) bahwa guru memberikan nasihat kepada siswa yang melakukan kegiatan negatif maupun positif.

Adapun bentuk kegiatan yang dapat dilakukan guru dan tenaga kependidikan dalam pembiasaan spontan (Novan Ardy Wiyani, 2013: 223) yaitu: 1) memperingatkan peserta didik yang tidak melaksanakan ibadah,

2) memperingatkan jika tidak mengucapkan salam, dan 3) meminta maaf bila melakukan kesalahan.

c. Pemberian Keteladanan

Keteladanan yang dimaksud ialah segala perilaku dan sikap yang dilakukan oleh pengawas sekolah, kepala sekolah, dan karyawan sekolah dalam memberikan contoh tindakan-tindakan yang baik, sehingga dapat menjadi model yang baik bagi peserta didik. Termasuk juga guru sebagai figur utama sudah semestinya memberikan contoh yang baik bagi peserta didiknya baik di lingkungan sekolah, rumah, maupun masyarakat. Misalnya, selalu berpakaian rapi, mengucapkan kata-kata yang terpuji, membuang sampah pada tempatnya, makan sambil duduk dan masih banyak lainnya. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan guru dan tenaga kependidikan melalui pembiasaan keteladanan (Novan Ardy Wiyani, 2013: 223) yaitu:

1) guru berdoa bersama peserta didik sebelum dan setelah jam pelajaran,

2) guru dan tenaga kependidikan melakukan sholat zuhur berjamaah sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, dan


(45)

3) guru menjadi model yang baik dalam berdoa dengan khusyuk dan dalam Bahasa Indonesia sehingga dimengerti oleh anak.

Sementara itu, Seorang ahli bernama Kirschenbaum memberikan penyelesaian dalam mengimplementasikan pendidikan karakter melalui pendekatan komperhensif. Pendekatan komperhensif diusulkan pertama kali oleh Kirschenbaum (1995: 31), dalam salah satu bukunya yang berjudul 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Setting beliau menguraikan 100 cara untuk bisa meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang bisa dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu:

1) inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas), 2) modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas), 3) facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan morlaitas), 4) skills for values development and moral literacy (keterampilan untuk

pengembangan nilai dan literasi moral), dan

5) implementing a values education program (mengimplementasikan nilai ke dalam program pendidikan).

Pendapat Kirschenbaum ini, kemudian dijelasakan kembali oleh Darmiyati Zuchdi, dkk. Dalam hal ini, pemberian keteladanan sesuai dengan metode modeling values and morality, yang oleh Darmiyati Zuchdi (2015: 35) disebut keteladanan nilai. Metode ini menurut Darmiyati Zuchdi memiliki beberapa syarat yang perlu untuk diperhatikan dalam penerapannya, yaitu:

1) guru atau orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi murid-murid atau anak-anaknya, dan


(46)

2) anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, terutama nabi muhammad SAW, bagi yang beragama islam dan para nabi yang lain.

Guru dan orang tua juga perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan menyimak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain.

Metode keteladanan nilai tersebut memiliki strategi-strategi pelaksanaanya, strategi keteladananan nilai menurut Darmiyati Zuchdi (2015: 39-40), meliputi: 1) berbagi perasaan, 2) berbagi pengalaman, 3) berbagi keterampilan, 4) nara sumber, dan 5) menghindari kemunafikan. Berikut ini akan dijelaskan dua startegi yang dapat digunakan guru untuk menginternalisasikan karakter religius.

1. Berbagi perasaan

Berbagi perasaan ini dapat dilakukan guru dengan cara mengekspresikan emosinya terhadap suatu hal yang terjadi di dalam atau di luar kelas. Misalnya, ketika ada salah satu muridnya yang sakit dan harus menginap di rumah sakit guru menunjukkan ekspresi wajah yang sedih. Dalam hal ini guru mengajarkan betapa pentingnya kasih sayang sesama teman. Contoh lain, ketika ada seorang murid yang menyontek saat ujian guru menunjukkan ekspresi marah. Demikian ketika guru marah, ia sedang mengajarkan betapa pentingnya sebuah kejujuran.

2. Menghindari Kemunafikan

Munafik artinya melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan yang diucapakan. Guru sebagai tauladan yang baik, sudah semestinya menghindari sifat


(47)

munfaik seperti ini. Jadi guru harus hati-hati dalam setiap bertindak, jangan sampai apa yang ia larang justru dilakukannya sendiri.

d. Pengkondisian Lingkungan

Pengkondisian lingkungan yaitu upaya sekolah untuk mendukung terlaksananya internalisasi karakter religius pada peserta didik. Lingkungan sekolah dikondisikan sehingga dapat mencerminkan kehidupan nilai-nilai karakter religius. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Nurul Zuriah (2011: 208) bentuk penerapan pengkondisian lingkungan yaitu:

1) diadakan ceramah agama, 2) pengadaan sarana ibadah,

3) diperdengarkan suara azan pada saat waktu shalat (islam),

4) ada pengumuman mengenai memperingati hari-hari besar keagamaan, dan 5) terdapat gambar/ sarana lain yang mengenalkan ciri-ciri agama.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa internalisasi karakter religius melalui kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan hari di sekolah. Kegiatan sehari-hari di sekolah tersebut meliputi: 1) kegiatan rutin yang diadakan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat, 2) kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat itu juga. Kegiatan spontan ini dilakukan ketika guru menemui sikap dan perilaku siswa yang negatif ataupun positif, 3) pemberian keteladanan yang dilakukan oleh kepala sekolah, guru, maupun karyawan sekolah dalam memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik. Sehingga dapat menjadi model yang baik untuk ditiru oleh peserta didik, dan 4) pengkondisian lingkungan,


(48)

lingkungan sekolah dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapat mendukung berlangsungnya proses internalisasi karakter religius pada siswa.

2. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran

Pengembangan karakter religius diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Sejalan dengan hal tersebut Agus Wibowo (2012: 83) menyatakan bahwa guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Karakter religius tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Kemendiknas (2010: 18-19) menyebutkan cara-cara dalam pengembangan nilai-nilai karakter dalam silabus melalui:

a. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai karkater bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya.

b. Melihat keterkaitan SK dan KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan.

c. Mencantumkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa ke dalam silabus. d. Mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP. e. Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang

memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai.

f. Memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.


(49)

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa internalisasi karakter religius melalui pengintegrasian dalam mata pelajaran dilakukan dengan mencantukan karakter religius ke dalam silabus pembelajarann, RPP , serta menyisipkannya dalam setiap proses pembelajaran yaitu pada kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.

3. Budaya Sekolah

Budaya sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, gurunya, maupun dengan karyawan sekolah. Budaya sekolah ini berkaitan dengan aturan, norma, moral serta etika yang berlaku di sekolah. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah adalah kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab (Kemndiknas, 2010: 20). Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang macam-macam karakter religius salah satunya yaitu toleransi sesama pemeluk agama lain. Harapannya dengan timbulanya budaya toleransi ini dapat menjaga kerukunan seluruh warga sekolah.

Pengembangan karakter religius dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administratif ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah. Dengan demikian segala bentuk kegiatan sekolah dan interaksi antar warga sekolah harus sebisa mungkin mencerminkan karakter religius. Sehingga karakter religius tersebut dapat terlaksana dengan baik dan dapat membudaya.


(50)

Kemendiknas (2010: 26), menyebutkan indikator keberhasilan sekolah dan kelas dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Berikut ini indikator keberhasilan sekolah dan kelas dalam menanamkan karakter religius.

Tabel 2. Indikator Keberhasilan Sekolah dan Kelas dalam Menanamkan Karakter Religius

Indikator Sekolah Indikator Kelas a. Merayakan hari-hari besar

keagamaan.

b. Memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk beribadah. c. Memberikan kesempatan kepada

semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah.

a. Berdoa sebelum dan sesudah pelajaran.

b. Memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah.

Menurut Kemendiknas berhasil tidaknya sekolah dan kelas dalam menanamkan nilai religius diukur dari indikator-indikator sebagiamana yang ada pada tabel 2. Jika suatu sekolah dan kelas telah memenuhi indikator-indikator di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sekolah dan kelas tersebut telah berhasil dalam menanamkan nilai karakter religius pada peserta didiknya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, strategi yang dapat dijadikan alternatif untuk guru sekolah dasar dalam menginternalisasikan karakter religius pada peserta didik adalah sebagai berikut.

1. Program Pengembangan Diri

Program pengembangan diri ini bertujuan agar peserta didik dapat mengembangakan karakter religiusnya melalui beberapa kegiatan sehari-hari sekolah yang diadakan oleh guru maupun sekolahan. Adapun kegiatan sekolah yang dilakukan melalui beberapa hal berikut ini.


(51)

a. Kegiatan rutin sekolah

Guru mengadakan kegiatan keagamaan yang sifatnya dapat dilakukan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat. Kegiatan rutin sekolah ini jika dilakukan secara terus-menerus dapat menjadi sebuah kebiasaan. Adapun strategi yang dapat guru lakukan ialah:

1) membiasakan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran,

2) mengadakan kegiatan infaq pada hari yang sudah dijadwalkan,

3) siswa diminta memberikan salam sebelum dan sesudah pelajaran, ketika berjabat tangan dengan guru,

4) mengadakan sholat dhuha berjamaah sesuai dengan jadwal yang ditentukan, 5) mengadakan sholat zuhur berjamaah sesuai dengan jadwal yang ditentukan, 6) melatih peserta didik untuk mencintai lingkungan dengan meminta siswa

untuk menyirami tanaman dan menjaga kebersihan,

7) membiasakan anak mengucap terima kasih, maaf, dan tolong, 8) membiasakan anak untuk meminta izin ketika meminjam barang,

9) mengadakan kegiatan hafalan surat pendek/ tadarus sesuai jadwal yang ditentukan, dan

10)mengadakan ekstrakulikuler baca tulis al-quran (BTA) sesuai jadwal yang ditentukan.

b. Kegiatan spontan

Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilakukan pada saat itu juga. Kegiatan spontan dilakukan jika suatu hal sudah terjadi. Kegiatan spontan dilakukan guru jika mengetahui suatu tindakan yang sifatnya positif dan negatif.


(52)

Tindakan postif perlu untuk mendapat tanggapan dari guru, supaya peserta didik tahu bahwa perbuatan tersebut perlu untuk dikembangakan. Dan perbuatan negatif juga perlu mendapat tanggapan supaya peserta didik dapat kembali melakukan tindakan yang baik. Strategi yang dapat dilakukan guru diantaranya yaitu:

1) memperingatkan peserta didik yang tidak melaksanakan ibadah,

2) memperingatkan peserta didik yang tidak mengucapkan salam ketika masuk kelas, dan berjabat tangan dengan guru,

3) memberikan nasehat pada peserta didik jika melakukan kesalahan, dan 4) memberikan pujian pada peserta didik yang melakukan kebaikan. c. Pemberian keteladanan

Pemberian keteladanan ini sangat penting dilakukan oleh guru sebab guru merupakan sosok panutan bagi peserta didik. Segala sikap dan perilaku guru secara langsung maupun tidak langsung akan ditirukan oleh anak melalui cara imitasi. Dengan demikian guru, kepala sekolah, dan karyawan sekolah harus menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan karkater religius baik di rumah maupun di sekolah. Startegi yang dapat dilakukan guru dalam pemberian keteladanan yaitu:

1) guru berdoa bersama dengan peserta didik sebelum dan sesudah pelajaran, 2) guru memberikan contoh sikap berdoa yang khusyuk,

3) guru ikut berperan aktif dalam kegiatan berinfaq pada jadwal yang sudah ditentukan,


(53)

5) guru menjadi contoh yang baik dalam kegiatan sholat dhuha dan zuhur berjamaah, dan

6) guru menceritakan kisah atau dongeng tentang nabi atau lainnya yang mengajarkan tentang keteladanan dalam beragama.

d. Pengkondisian lingkungan

Lingkungan sekolah didesain dan dikondisikan sehingga dapat mendukung proses internalisasi karakter religius pada peserta didik. Keadaan sekolah sedapat mungkin mencerminkan karakter religius. Startegi yang dapat digunakan yaitu: 1) menyediakan sarana tempat dan perlengkapan ibadah yang layak,

2) diperdengarkan suara azan pada saat waktu sholat tiba,

3) memasang tulisan atau gambar yang mengenalkan tata cara beribadah dan ajakan melakukan ibadah, dan

4) memajang pengumuman jika akan memperingati hari-hari besar keagamaan. 2. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran

Karakter religius diintegrasikan ke dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Karakter religius tersebut harus ada dalam silabus, RPP, dan kegiatan pembelajaran. Selain itu, guru juga perlu untuk membantu peserta didik melakukan tindakan yang sesuai dengan karakter religius.

3. Budaya Sekolah

Budaya sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik dapat berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, peserta didik dengan kepala sekolah, peserta didik dengan karyawan yang kesemuanya terikat ke dalam aturan, norma, moral, dan etika sekolah.


(54)

Sehingga karakter religius dapat guru masukkan ke dalam budaya sekolah melalui strategi:

a) membiasakan mengucapkan salam ketiga bersalaman dengan guru,

b) membiasakan siswa berdoa sesuai dengan agamanya masing-masing beserta artinya,

c) mengadakan kegiatan keagamaan di dalam maupun luar kelas,

d) mengikutkan peserta didik lomba yang berkaitan dengan keagamaan di luar sekolah, dan

e) memperingati hari besar agama lain. C. Tahap Internalisasi Karakter Religius

Internalisasi karakter religius tidak dapat terjadi secara instan, akan tetapi membutuhkan beberapa tahapan yang harus dilewati. Sebagaimana pada tahap internalisasi nilai dalam internalisasi karakter yang merupakan proses penanaman nilai-nilai karakter religius membutuhkan tahapan yang sistematis. Muhaimin (1996: 153) menjelaskan bahwa dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau anak asuh ada tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi, sebagai berikut.

a. Tahap transformasi nilai

Pada tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh guru dengan cara memberikan informasi kepada peserta didik tentang nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara guru dan peserta didik. Sehingga peserta didik akan mengetahui perilaku dan sikap yang baik serta tidak baik.


(55)

b. Tahap transaksi nilai

Pada tahap ini terjadi komunikasi dua arah antara guru dan peserta didik, atau dengan kata lain terjadi interaksi yang bersifat timbal balik. Apa yang diberikan guru terhadap peserta didik akan ditanggapi oleh peserta didik, begitu pula sebaliknya.

c. Tahap transinternalisasi

Pada tahap yang terakhir adalah tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih mendalam jika dibandingkan dengan tahap transaksi nilai. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi secara verbal, akan tetapi juga melibatkan sikap mental dan kepribadian. Sehingga, pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.

Proses internalisasi karakter mulia, menurut Lickona (Agus Wibowo, 2013:12) melalui tiga tahapan penting, yaitu: 1) anak didik memiliki pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), 2) timbul komitmen (niat) anak didik terhadap kebaikan (moral feeling), dan 3) anak didik akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Menurut Thomas Lickona tahapan yang paling tinggi menurut Lickona adalah tahap moral action atau tindakan moral. Dalam buku Thomas Lickona (2013: 85-100) yang berjudul educating for character yang telah diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo akan dijelaskan masing-masing ketiga tahapan tersebut, sebagi berikut.

a. Moral Knowing/ Pengetahuan Moral

Pengetahuan moral mencakup bagaimana peserta didik mengetahui sikap dan perilaku yang baik. Moral knowing sebagai komponen yang pertama memiliki


(56)

1) moral awareness/ kesadaran moral, menggunakan kecerdasan yang dimiliki untuk menilai suatu keadaan suatu keadaan agar sesuai dengan nilai moral yang berlaku. Kesadaran moral ini meliputi dua komponen yaitu menggunakan pemikiran untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral dan memahami informasi dari permasalahan yang bersangkutan,

2) knowing moral values/ pengetahuan tentang nilai-nilai moral, mengetahui berbagai nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, kebaikan, dan belas kasihan dalam segala situasi. Mengetahui suatu nilai juga berarti dapat memahami bagiamana cara menerapakan nilai tersebut dalam situasi yang sesuai,

3) perspective taking/ penentuan sudut pandang, kemampuan untuk mengambil sudut pandang dari orang lain, melihat situasi sebagaimana adanya, membayangkan bagaimana orang lain berpikir, bereaksi, dan merasakan masalah yang ada,

4) moral reasoning/ logika moral. Moral reasoning berarti memahami tentang apa artinya bermoral dan mengapa kita harus bermoral,

5) decision making/ keberanian dalam mengambil keputusan dan tindakan dalam

menghadapi suatu masalah, dan

6) self knowledge/ pengenalan diri, kemampuan untuk dapat mengetahui dan mengevaluasi perilaku sendiri. Pengenalan diri ini merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk diperoleh, akan tetapi sangat penting untuk mengembangkan karakter.


(57)

b. Moral feeling/ Perasaan Tentang Moral

Moral feeling berkaitan dengan emosi seseorang dalam merasakan apa yang terjadi di sekitar lingkungannya. Moral feeling ini yang akan menuntun seseorang untuk melakukan tindakan moral. Sehingga moral feeling ini merupakan peruwujudan sikap seseorang dalam merespon terhadap obyek yang ada disekitarnya dalam wujud perasaan senang dan tidak senang. Moral feeling memiliki enam unsur diantaranya:

1) conscience/ hati nurani. Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif untuk mengetahui apa yang benar dan sisi emosional yaitu merasa berkewajiban untuk melakukan apa yang benar. Unsur ini akan mengajarkan peserta didik untuk bertindak sesuai dengan apa yang benar, bukan mengetahui apa yang benar akan tetapi tidak melakukan kewajiban untuk melaksanakan yang benar tersebut,

2) self esteem/ harga diri. Peserta didik harus memiliki ukuran yang benar tentang harga diri mereka, agar bisa menilai diri sendiri. Sebab, peserta didik yang memiliki harga diri yang positif terhadap dirinya sendiri akan lebih mungkin untuk memperlakukan orang lain dengan cara yang positif,

3) empaty/ empati, merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami

keadaan orang lain. empati memampukan diri untuk keluar dari dirinya sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain,

4) loving the good/ mencintai kebaikan. Peserta didik tidak hanya diajarkan untuk mengetahui dan membedakan mana yang baik dan yang buruk. Akan


(58)

tetapi juga, diajarakan untuk mencintai kebaikan sehingga mereka benar-benar terkait dengan segala hal yang baik,

5) self control/ pengendalian diri akan membantu peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan etika yang berlaku. Kendali diri juga diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan terhadap diri sendiri, dan

6) humanity/ kerendahan hati ini membuat seseorang untuk tidak sombong dan menjadi terbuka terhadap keterbatasan diri dan mau mengoreksi kesalahan yang telah dilakukan.

c. Moral action/ tindakan moral

Moral action merupakan wujud nyata dari moral knowing dan moral feeling. Moral action ini merupakan wujud dari perilaku yang dibuktikan dengan tindakan nyata yang dapat diamati secara langsung. Tindakan moral memiliki tiga aspek yang digunakan untuk memahami apa yang menggerakkan seseorang untuk melakukan tindakan moral atau mencegah seseorang untuk tidak melakukannya. Ketiga aspek tersebut yaitu:

1) competence/ kompetensi, kompetensi moral memiliki kemampuan untuk

mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Kompetensi ini merupakan kemampuan yang harus dimilik peserta didik dalam memecahkan suatu permasalahan,

2) desire/ keinginan, untuk mewujudkan suatu tindakan moral yang baik, maka diperlukan keinginan yang baik pula. Keinginan ini akan membuat suatu pergerakan energi moral untuk melakukan apa yang kita pikir kita harus lakukan, dan


(59)

3) habit/ kebiasaan, yaitu membiasakan hal-hal yang baik dan menerapkannyan dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.

Tokoh pendidikan Indonesia yang merupakan pendiri Taman Siswa yaitu K.H Dewantara (Dwi Siswoyo, 2012: 124) mencetuskan konsep “Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengerti), ngrasa (memahami), dan nglakoni (melakukan). Ketiga konsep ini merupakan tujuan dari belajar yaitu untuk meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatakan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya (Dyah Kumalasari, 2010: 55). Konsep Tringa tersebut adalah suatu tahapan-tahapan belajar yang harus dilewati satu per satu. Dalam hal ini, proses internalisasi karakter religius dapat dilakukan dari tahap ngerti atau memahamkan tentang pengetahuan religius, kemudian ngrasa yaitu melatih peserta didik untuk merasakan apa yang telah dipahaminya tentang religius, dan yang terakhir ialah nglakoni. Nglakoni ini merupakan tahapan yang paling akhir dan penting. Sebab, peserta didik diminta untuk mempraktikan tentang pengetahuan dan rasa religius mereka dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan yang lebih luas lagi.

Berdasarkan pendapat ketiga ahli tersebut, baik pendapat Muhaimin, Thomas Lickona, serta K.H. Dewantara menjelaskan satu konsep penting dalam tahapan internalisasi karakter pada peserta didik. Tahap-tahap tersebut dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana internalisasi karakter religius yang dihayati oleh peserta didik. Sehingga dapat diketahui upaya internalisasi yang dilakukan guru sampai pada tataran memahamakan pengetahuan anak, atau sudah


(60)

membentuk sikap anak, dan yang lebih tinggi lagi sudah sampai memunculkan perilaku anak religius pada anak. Dengan demikian guru dapat lebih mengembangkan kembali startegi yang digunakan, sehingga peserta didik mencapai pada tahapan yang paling tinggi yaitu melakukan tindakan yang mencerminakan sikap dan perilaku religius dan kehidupan sehari-harinya.

D. Perkembangan Religius Anak Sekolah Dasar

Setiap anak telah dikarunia perasaan atau kemampuan untuk mengenal siapa penciptanya sekaligus melaksanakan ajaran-Nya. Dalam kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama) (Syamsu Yusuf, 2004: 136). Dengan demikian, maka manusia layak disebut sebagai mahkluk yang beragama. Sebab sejak berada dalam kandungan seorang manusia telah dianugerahi fitrah untuk mengenal siapa Tuhannya.

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religius Anak Sekolah Dasar

Dalam perkembangan agama atau religius anak sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang didapatkannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi.” Berdasarkan hadis ini sangat jelas bahwa lingkungan keluarga khususnya orang tua sangat berpengaruh terhadap kualitas perkembangan agama anak. Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan.

Berikut ini faktor pembawaan dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan beragama seseorang menurut Syamsu Yusuf (2004: 136-146).


(61)

a. Faktor Pembawaan (Internal)

Perbedaan hakiki antar manusia dan hewan adalah bahwa manusia mempunyai fitrah (pembawaan) beragama (homo religious). Dahulu orang-orang percaya dengan adanya roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan menimbulkan kejahatan. Untuk mengusir roh-roh tersebut orang jaman dahulu memberikan sajian-sajian. Supaya roh-roh jahat tersebut dapat pergi dan tidak mengganggu mereka.

Bahkan dijaman yang serba modern saat ini masih ada orang yang percaya dengan benda-benda seperti keris dan batu akik yang memiliki kekuatan baik. Sehingga, tidak jarang mereka mengeramatkan benda-benda tersebut. Adanya kepercayaan tersebut membuktikan bahwa manusia memiliki perasaan untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik dan dapat mendatangkan kebaikan. Dalam proses perkembangannya fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada pula yang berjalan berkat adanya bimbingan dari para Rasul Allah SWT.

b. Faktor Lingkungan (Eksternal)

Lingkungan Eksternal yang dimaksud ialah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Masing-masing lingkungan tersebut mempunyai peran dalam menentukan perkembangan religius anak.

1. Lingkungan Keluarga

Menurut Hurlock (Syamsu Yusuf, 2004: 138), keluarga merupakan “Training Centre” bagi penanaman nilai-nilai. Hal ini didukung oleh pendapat Melly Latifah (Agus Wibowo, 2012: 106) bahwa keluarga merupakan lingkungan


(62)

Keberhasilan pendidikan karakter dalam keluarga, akan memuluskan pendidikan karakter dalam lingkup-lingkup selanjutnya. Oleh karena itu, perkembangan beragama seorang anak baiknya bersamaan dengan perkembangan kepribadian anak yaitu sejak dalam kandungan. Dengan demikian, orang tua perlu memperhatikan beberapa hal dalam mengembangkan religius anak diantaranya: a) orang tua hendaknya memiliki kepribadaian yang baik dan berakhlak yang

mulia sebagai teladan bagi anaknya,

b) orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan baik,

c) orang tua perlu mengadakan hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, dan

d) orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau melatihkan ajaran agama terhadap anak.

Dalam perkembangan moral anak, orang tua sangat memegang peranan yang penting. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yudrik Jahja (2013: 51) beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, sebagai berikut.

a. Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki hal yang sama dalam melarang dan memperbolehkan anak dalam melakukan sesuatu. Dan suatu waktu, hal yang dibolehkan dan dilarang tersebut juga berlaku kembali pada waktu itu.

b. Sikap orang tua dalam keluarga

Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, maupun sikap ayah terhadap ibu atau sebaliknya dapat mempengaruhi moral anak, yaitu melalui


(63)

proses imitasi (peniruan). Sikap yang semestinya dimiliki oleh orang tua yaitu sikap terbuka, kasih sayang, musyawarah (dialogis), dan konsisten.

c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orang tua merupakan sosok teladan bagi anak. Orang tua yang memberikan suasana religius di lingkungan rumah melalui teladan melakukan ajaran agama, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap orang tua dalam menerapkan norma

Jika orang tua menginginkan anaknya untuk tidak berbuat bohong, maka orang tua sendiri harusnya juga tidak berbohong.

2. Lingkungan Sekolah

Menurut Hurlock (Syamsu Yusuf, 2004: 140) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi orang tua. Dalam hal ini peran guru terutama menjadi sosok yang penting dalam memberikan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia dan sikap apresiatif terhadap ajaran agama.

Faktor lain yang membantu perkembangan agama siswa di sekolah, yaitu: a) adanya kepedulian dari kepala sekolah, guru-guru, staf sekolah terhadap

penanaman nilai-nilai agama di sekolah, baik melalui pemberian contoh dalam berkata, berperilaku, berpakaian dan adanya upaya guru dalam menyisipkan nilai-nilai agama dalam mata pelajaran yang diajarkannya,


(1)

4. ... ...

5. ... ...

2. PKn

Isilah titik-titik bawah ini dengan singkat!

a. Apabila kita melakukan kesalahan segera . . . .

b. Dalam berteman kita tidak boleh . . . .

c. Orang yang mempunyai harga diri berarti bersikap . . . .

d. Orang yang mempunyai harga diri bila janji tidak pernah . . . .


(2)

Lampiran 15.

Surat-Surat


(3)

(4)

(5)

(6)