PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN PRODUK TUNA KALENG (STUDI KASUS) PT. BLAMBANGAN FOODPACKERS INDONESIA MUNCAR, BANYUWANGI.

(1)

MUNCAR, BANYUWANGI

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Oleh :

Sri Wartini

0864020010

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN ”

JAWA TIMUR


(2)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

SRI WARTINI

Telah dipertahankan di depan Penguji

pada tanggal 29 Desember 2009 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Prof. Dr. Ir. Moch. Sodiq Dr. Ir. Sumartono, MS

Pembimbing Pendamping Ir. A. Rachman Walilulu, MS

Ir. Sri Tjondro Winarno, MM Dr. Ir. Sudiyarto, MMA

Surabaya, Desember 2009 UPN ”Veteran” Jawa Timur

Program Pascasarjana

Direktur,


(3)

Tesis ini diperuntukkan kepada: Ayah dan Ibunda tercinta serta Suami dan anakku tersayang


(4)

pengetahuan saya, di dalam Naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No.20 Tahun 2003,pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Surabaya, 28 Desember 2009


(5)

Blambangan Foodpackers Indonesia Muncar, Banyuwangi;

Pembimbing Utama : Prof.Dr.Ir.Moch.Sodiq, Pembimbing Pendamping: Ir. Sri Tjondro Winarno, MM

Pada era perdagangan bebas bagi indusri pengolahan hasil perikanan banyak mengalami masalah terkait dengan pengendalian mutu dan keamanan pangan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh industri tersebut adalah menerapkan jaminan mutu dan keamanan pangan yang tersertifikasi seperti International Organization for Standardization (ISO) 9001: 2000 dan HACCP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) berdasarkan ISO 9001: 2000 dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) berdasarkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) terhadap produk tuna kaleng (canned tuna) di PT Blambangan Foodpackers Indonesia (BFPI) Muncar, Banyuwangi.

Metode penelitian menggunakan pengambilan sampel Non Random Sampling dengan pemilihan sumber data secara judgement sampling. Data hasil wawancara, isian kuesioner dan pengamatan langsung ke lapang, dianalisis menggunakan metode self assesment.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. BFPI telah melakukan pengendalian mutu dan keamanan pangan terhadap produk tuna kaleng, dengan menerapkan SMM dan SMKP berdasarkan sistem ISO dan HACCP. Penilaian terhadap penerapan SMM berdasarkan ISO, dari 4 manajemen terdapat 2 manajemen yang masih terpenuhi sebagian terhadap unsur ISO, yaitu: manajemen umum (unsur: pedoman manual mutu (quality manual), tinjauan manajemen dan audit internal/internal audit; dan manajemen operasional/manajemen operasi dan produksi (unsur: pengukuran dan pemantauan produk, penjagaan/pemeliharaan/ pengawetan produk, pengendalian produk yang tidak sesuai). Kemudian penilaian terhadap penerapan SMKP berdasarkan sistem HACCP, dari 11 langkah HACCP, hanya terdapat 1 langkah yang terpenuhi sebagian yaitu persyaratan kelayakan dasar/persyaratan dasar (prerequisite programs) pada penerapan SSOP (Standard Sanitation OperatingProcedures).


(6)

Blambangan Foodpackers Indonesia Muncar, Banyuwangi; Supervisor : Prof.Dr.Ir.Moch.Sodiq,

Co-Supervisor : Ir. Sri Tjondro Winarno, MM

In this free trade era, fish product processing industries are acquiring many problems with quality control and food safety. One of the efforts run by the industries is implementing a certified quality control and food safety such as ISO 9001:2000 and HACCP. This research aims to recognize the implementation of Quality Management System (QMS) based on ISO 9001: 2000 and Food Safety Management System (FSMS) based on HACCP ( Hazard Analysis Critical Control Point ) for canned tuna product at PT Blambangan Foodpackers Indonesia (BFPI) Muncar, Banyuwangi.

The method of research used Non Random Sampling by selecting the data sources in judgment sampling way. The data from interviews, questionnaires, and direct field observation are then analyzed by using self assessment method.

Result of the research showed that PT. BFPI has continued the quality control and food safety for canned tuna product by implementing QMS and SFMS based on ISO and HACCP. The percentage of QMS implementation based on ISO, of 4 managements, 2 managements still qualify for ISO elements, those are: general management (elements: quality manual direction, management observation, and internal audit); and operational management (elements: product measuring and monitoring, product surveillance/maintenance/canning, unqualified product control). Then the percentage of SFMS implementation based on HACCP system, of 11 HACCP steps, only 1 step is qualified, that is basic requirement (prerequisite programs) for SSOP (Standard Sanitation Operating Procedures) implementation.


(7)

Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Tuna Kaleng (Studi Kasus) di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, Muncar, Banyuwangi.

Penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Moch. Sodiq, selaku Pembimbing Utama, dan Ir. Sri Tjondro

Winarno, MM, selaku Pembimbing Pendamping. Selanjutnya, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dewan Penguji yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya. 3. Direktur Akademi Perikanan Sidoarjo yang telah memberikan ijin

penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

4. Direktur Utama dan staf/karyawan PT. Blambangan Foodpackers

Indonesia, Muncar, Banyuwangi yang telah membantu penulis dalam penyediaan data untuk penelitian ini.

5. Ayahanda dr. H. Anwar Djakfar, MSc dan Ibunda Hj.Tri Murti yang telah mendoakan untuk keberhasilan penulis.

6. Secara khusus disampaikan kepada suami penulis Bambang Suprakto, A Pi, SPi, MT dan ananda tercinta Hadyan Rifqi Adji (1994) yang telah memberikan motivasi untuk keberhasilan penulis.

Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, namun demikian penulis berharap semoga memberikan manfaat dalam pembangunan keilmuan, masyarakat, bangsa dan Negara.

Surabaya, Desember 2009


(8)

RINGKASAN ……… iv

SUMMARY ……… v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

I. PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan Penelitian ………. 6

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 7

1.5. Ruang Lingkup ……… 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 9

2.1. Penelitian Terdahulu ……….. 9

2.2. Landasan Teori ……… 12

2.2.1. Keamanan Pangan pada Industri Pangan ……… 12

2.2.2. Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan ……….. 15

2.2.3. Pengendalian Mutu ………. 18

2.2.4. Bauran Produk (product mix / produk assortment ) …… 31

2.2.5. Ikan Tuna dan Proses Pengalengannya ……… 33

2.3. Kerangka Pemikiran ……… 39

III. METODE PENELITIAN ………. 43

3.1. Lokasi Penelitian ………. 43

3.2. Penentuan Sampel ………. 43

3.3. Pengumpulan Data ………. 44

3.4. Analisis Data ……… 45

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ……… 47

3.5.1. Definisi operasional ………. 47

3.5.2. Pengukuran variabel ……… 48

IV. KEADAAN UMUM ………. 55

4.1. Keadaan Umum Perikanan di Kabupaten Banyuwangi ……… 55

4.2. Keadaan Umum Perusahaan PT. BFPI ………... 58

4.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan ………. 58

4.2.2. Struktur Organisasi ……….. 60


(9)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 81

5.1. Penilaian Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000 81 5.1.1. Manajemen Umum .……… 81

5.1.2. Manajemen Pemasok .……… 85

5.1.3. Manajemen SDM dan Infrastruktur ……… 87

5.1.4. Manajemen Produksi dan Operasi ……… 89

5.2. Penilaian Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) HACCP ………. 96

5.2.1. Kebijakan mutu ……… 97

5.2.2. Organisasi ……… 99

5.2.3. Deskripsi Produk ……….. 102

5.2.4. Persyaratan Dasar ……… 104

5.2.5. Kelayakan Pengolahan Hasil Perikanan ………. 136

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 138

6.1. Kesimpulan ……….. 138

6.2. Saran/Rekomendasi ……… 139

DAFTAR PUSTAKA ……… 141


(10)

1. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan

Menerapkan Aspek Keamanan Pangan ……… 15

2. Hasil Produksi dan Nilai dari Perikanan Tangkap di Kabupaten

Banyuwangi ……… 57

3. Produksi pengolahan dan nilai hasil olahan ikan di Kabupaten

Banyuwangi ……… 58

4. Standar bahan baku pada PT. Blambangan Foodpackers

Indonesia ………. 72

5. Syarat mutu ikan tuna dalam kaleng ……… 80

6. Hasil penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Direktur

PT. Blambangan Foodpackers Indonesia ……… 82

7. Hasil penilaian penerapan SMM ISO 9001 : 2000 oleh Wakil

Manajemen di PT. BFPI ……… 84

8. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada

manajemen pemasok di PT. BFPI……… 86

9. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen

SDM dan infrastruktur di PT. BFPI ……… 87

10. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO 9001 : 2000 pada manajemen produksi dan operasi bagian QC/QA di PT. BFPI .. 91 11. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada bidang

produksi di PT. BFPI……… 93

12. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada PPIC di PT. BFPI... 94 13. Hasil penilaian penerapan unsur-unsur ISO pada manajemen

operasi bagi pergudangan (warehouse) di PT. BFPI ………… 95

14. Hasil penilaian Penerapan SMKP HACCP ………. 97


(11)

1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan

mikrobiologis dan mutu pangan ……… 25

2. Tahap pengalengan tuna ……… 35

3. Diagram Alir Penelitian ... 41

4. Alur operasional penerapan PMMT/ HACCP ... 48 5. Struktur Organisasi PT. Blambangan Foodpackers Indonesia … 61


(12)

1. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Direksi

PT. BFPI ………. 145

2. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Wakil Manajemen PT. BFPI ……….. 146

3. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Pemasok PT. BFPI ………. 147

4. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen SDM dan Insfrastruktur PT. BFPI ……… 148

5. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. QC/QA PT. BFPI .……... 149

6. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. Produksi PT. BFPI ……. 150

7. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. PPIC PT. BFPI ………… 151

8. Analisa penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 oleh Manajemen Produksi dan Operasi Bag. Pergudangan PT. BFPI . 152 9. Karyawan/karyawati bulanan tetap, harian tetap, dan borongan PT. BFPI ……… 153

10. Background Information ……….. 154

11. Product description ……….. 155

12. Flow diagram (diagram alir) ………. 156

13. Control Establishment of CCP ……… 157

14. Quality assurance work plan ………... 159

15. Form Fish sizing report ……… 161

16. Form Daily precooking and spraying report ……….. 162

17. Form Identitas produk ……… 163

18. Gambar denah PT. Blambangan Foodpackers Indonesia …….. 164

19. Surat pengantar persiapan penyusunan tesis ……… 165

20. Surat keterangan telah melakukan penelitian dari PT. Blambangan Foodpackers Indonesia ……….. 166


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Era globalisasi saat ini berdampak terhadap sistem perdagangan

bebas (free trade) dan lebih terbuka antara negara satu dengan negara lainnya. Sistem perdagangan bebas memungkinkan produk yang dihasilkan oleh industri agar produknya dapat bersaing di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Disisi lain, persaingan antar negara yang semakin ketat diikuti oleh persaingan antar industri dalam menghasilkan produk yang bermutu. Krisis global seperti saat ini, pengembangan agroindustri yang masih mempunyai peluang dan potensi adalah industri yang memanfaatkan bahan baku utama produk hasil pertanian dalam negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar dalam negeri maupun ekspor.

Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gisi (gizi) dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Berdasarkan pengertian tersebut, mutu pangan tidak hanya mengenai kandungan gisi, tetapi mencakup keamanan pangan dan kesesuaian dengan standar perdagangan yang berlaku.


(14)

Dalam rangka mewujudkan jaminan mutu berstandar internasional (ISO) dan keamanan produk hasil perikanan berdasarkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) sesuai sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) sebagai sistem keamanan pangan, maka industri pangan di Indonesia harus segera menerapkannya. Pada sistem HACCP ditekankan tindakan pencegahan pada setiap tahapan produksi terhadap terjadinya resiko bahaya yang akan mengakibatkan ketidakamanan produk. Hal ini berbeda dengan paradigma sebelumnya bahwa sistem pengendalian proses dilakukan hanya dengan pengawasan aspek-aspek keamanan pangan pada produk akhir. Dengan demikian apabila ditemukan ketidakamanan pada produk akhir, baru dilakukan suatu tindakan koreksi dan hal ini merupakan tindakan yang kurang efektif karena prasyarat kelayakan dasar (Pre-requisite program-PRP) yang terdiri atas cara penanganan dan pengolahan produk yang baik dan benar (Good Manufacturing Practice-GMP) serta persyaratan sanitasi dan hygiene (Sanitation Standard Operating Procedures-SSOP), tidak dievaluasi terkait dengan ketidakamanan produk sepanjang rantai produksi (CAC, 2003).

Hasil kajian Trilaksani dan Riyanto (2004), terhadap pengembangan dan penerapan program HACCP pada beberapa industri perikanan menunjukan bahwa penerapan sistem HACCP di industri perikanan Indonesia ternyata masih belum efektif dilakukan untuk menjamin tidak adanya bahaya keamanan pangan (food safety). Sistem


(15)

dokumentasi (record keeping), misalnya dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas sertifikasi dari instansi yang berwenang saja dengan penekanan hanya pada aspek prasyarat kelayakan dasar (pre-requisite) yang tidak dioptimalkan fungsinya sebagai alat yang dapat memberikan informasi mengenai efektivitas proses produksi yang sedang berlangsung. Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah sistem dokumentasi dan kegiatan sistem pengawasan secara mandiri, dengan pelaksanaan pemeriksaan (internal audit) yang efektif, terorganisasi, serta sesuai dengan sistem HACCP masih belum efektif dilakukan.

Usaha peningkatan mutu mengalami perkembangan kearah penyempurnaan, dari yang awalnya terbatas dalam lingkup perusahaan, kemudian berkembang keluar perusahaan, yaitu dengan adanya perhatian terhadap para pelanggan atau konsumen. Pengendalian mutu yang hanya dilakukan oleh pihak perusahaan dan konsumen belum dapat dianggap cukup, sehingga perlu pihak ketiga (thirdparty) yang sifatnya independen. Kehadiran pihak ketiga ini dianggap lebih objektif dan dapat memuaskan pihak produsen dan konsumen, sehingga terbentuk badan atau lembaga akreditasi. Badan ini semula adalah suatu lembaga pemerintah atau asosiasi dalam suatu Negara dan tugas utamanya adalah mengawasi dan mengakreditasi produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang berada dalam negara, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) dulu namanya SII dan Japan Industrial Standar (JIS) (Yamit, 2003).


(16)

Oleh karena itu, industri pangan termasuk industri pengolahan hasil perikanan diberlakukan standar mutu sebagai pengendalian mutu dan keamanan pangan melalui penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) dengan pendekatan ISO 9000 dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan dengan pendekatan sistem Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) .

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia lebih banyak terkait dengan masalah pengendalian mutu dan keamanan pangan. Permasalahan tersebut sebagai akibat meningkatnya persyaratan dan standar mutu, persaingan ketat terutama menghadapi pasar bebas (negara pesaing seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia), dan pasar yang cenderung tetap. Agar produk pengolahan hasil perikanan mampu bersaing dan diterima pasar, maka perusahaan harus dapat mengungguli produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Salah satu upaya yang dilakukan oleh perusahaan adalah mengimplimentasikan jaminan mutu dan keamanan pangan yang tersertifikasi seperti ISO 9001:2000 dan HACCP.

Industri pengolahan hasil perikanan yang telah menerapkan jaminan mutu berupa sistem manajemen mutu standar internasional ISO 9001, dinilai telah menempatkan mutu sebagai syarat pada produk yang dihasilkan. Kemudian penerapan manajemen keamanan pangan,


(17)

memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan telah mengedepankan persyaratan keamanan produk dalam semua rantai pengolahan hingga produk tersebut dipasarkan kepada konsumen. Namun beberapa produk pengolahan hasil perikanan diantaranya adalah ikan kaleng masih ditemui permasalahan dalam persaingan pasar berupa komplain (claim) dari pelanggan dan konsumen, karena pengendalian mutu dan keamanan pangan tidak seperti yang dipersyaratkan. Hal ini dimungkinkan kedua sistem manajemen tersebut belum diterapkan secara baik dan dilakukan perbaikan terus menerus untuk menjamin efektifitas sistem yang diterapkan.

PT. Blambangan Foodpackers Indonesia (BFPI) pada pertengahan tahun 2007 menghentikan pemasaran ikan tuna kaleng (tuna kaleng) ke beberapa Negara di Eropa (UE) karena standar pengolahan hasil perikanan yang dipersyaratkan oleh pihak Uni Eropa sebagian belum terpenuhi. Hasil evaluasi/kajian dari Otoritas Kompeten terhadap Perusahaan dan hasil penilaiannya diperoleh tingkat /rating B (baik). Tingkat B yang dimaksud adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian terhadap pengendalian mutu dan keamanan pangan sebagian ada yang belum memenuhi persyaratan pada penerapan HACCP. Penilaian/perolehan rating B, Perusahaan hanya dapat melakukan pemasaran dalam negeri dan ekspor terbatas ke Negara yang menerapkan sistem HACCP kecualiUni Eropa.


(18)

Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian pengendalian mutu dan keamanan pangan melalui penerapan sistem manajemen mutu (SMM) berdasarkan ISO 9001:2000 dan penerapan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) berdasarkan sistem HACCP terhadap produk tuna kaleng pada perusahaan PT. BFPI. Penilaian penerapan sistem tersebut dilakukan melalui pengamatan langsung di industri pengolahan hasil perikanan untuk mengetahui kondisi obyektif dalam menghasilkan produk khususnya tuna dalam kaleng.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalahnya adalah sebagi berikut:

1. Bagaimanakah penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) berdasarkan ISO 9001:2000 terhadap produk tuna kaleng pada PT Blambangan Foodpackers Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) berdasarkan HACCP terhadap produk tuna kaleng pada PT Blambangan Foodpackers Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM)

berdasarkan ISO 9001:2000 terhadap produk tuna kaleng di PT Blambangan Foodpackers Indonesia


(19)

2. Menganalisis penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) sesuai dengan HACCP terhadap produk tuna kaleng di PT Blambangan Foodpackers Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada PT Blambangan Foodpackers Indonesia untuk digunakan sebagai informasi dan formulasi atau bahan penentuan kebijakan bagi pimpinan guna melakukan perbaikan terhadap penerapan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan.

2. Manfaat bagi peneliti, dapat meningkatkan pengetahuan sebagai staf pengajar program studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan pada Akademi Perikanan Sidoarjo, khususnya tentang penerapan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan Industri pangan.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilaksanakan di PT Blambangan Foodpackers

Indonesia berupa studi kasus yang merupakan salah satu perusahaan industri perikanan yang memproduksi/memroses berbagai produk hasil perikanan diantaranya dari bahan baku ikan tuna menjadi tuna kaleng. Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:


(20)

a. Menilai sejauh mana penerapan sistem manajemen mutu pengolahan tuna kaleng di PT. Blambangan Foodpackers

Indonesia

b. Menilai sejauh mana penerapan sistem manajemen keamanan pangan tuna kaleng di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia c. Penerapan sistem keamanan pangan untuk setiap input, proses

dan output dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya

hazard terhadap produk yang dihasilkan oleh PT Blambangan

Foodpackers Indonesia.

d. Kajian analisis terhadap penerapan manajemen mutu dan keamanan pangan berdasarkan ISO 9001:2000 dan program HACCP yang dilakukan pada produk tuna kaleng.

e. Memonitor aktivitas dan melakukan koreksi pada proses pengolahan tuna kaleng.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terhahulu untuk mengetahui dan mengkaji obyektivitas ilmu yang menjadi masalah dalam suatu penelitian. Ada beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dan digunakan peneliti sebagai acuan untuk lebih memahami variabel dalam penelitian ini.

1). Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Crude Palm Oil di PT. Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di PT. Astra Agro Lestari, Tbk oleh Girsang (2007) Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat formulasi strategi pengendalian mutu berdasarkan Sistem Managemen Mutu dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Metode penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu survei konsumen dengan pembobotan AHP, penilaian penerapan HACCP dengan metode Self Assessment, dan perumusan formulasi strategi pengendalian mutu dengan analisis SWOT.

Hasil penelitian diperoleh bahwa strategi yang perlu dilaksanakan oleh pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan adalah: pelaksanaan SOP sortasi dan SMK 3 yang ketat; pembangunan sistem sanitasi/SSOP yang baik; peningkatan kinerja produk terkait dengan mutu spesifik; peningkatan kepercayaan konsumen dengan memberikan jaminan mutu melalaui sertifikat HACCP; serta diversifikasi produk. Strategi yang dapat


(22)

peningkatan komitmen dan budaya kerja yang baik; peningkatan produk dengan memberi jaminan mutu berupa sertifikat ISO dan HACCP; peningkatan teknologi produksi; serta pengembangan produk yang berorientasi ekspor.

2). Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added Surimi Product oleh Swarini (2007)

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi manajemen mutu terpadu dalam proses value added surimi product dan mengidentifikasi temuan penyimpangan hasil evaluasi. Metode diskriptif untuk menggambarkan hasil evaluasi dan temuannya untuk perbaikan penerapan jaminan mutu setiap tahapan proses.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, PT “X” mampu secara madiri melaksanakan pengawasan mutu untuk memberikan jaminan produk yang dihasilkan. Dalam menerapkan manajemen mutu terpadu mendapat dukungan penuh dari pihak manajemen termasuk para eksekutif. Tahapan dalam mengimplementasikan manajemen mutu terpadu (HACCP) adalah pembentukan tim, analisa hazard, identifikasi CCP, penentuan batas kritis, penentuan CCP, tindakan koreksi, prosedur, pencatatan, dan prosedur verifikasi.

3). HAACP Regulatory Model Cooked Shrimp oleh National Seafood Inpection (1989)

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran sebuah model penerapan HACCP pada unit usaha udang dengan perlakukan direbus. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi


(23)

tahapan proses, menganalisis hazard yang timbul, menentukan GMP dan SSOP serta dilakukan evaluasi terhadap HACCP produk cooked shimp, termasuk upaya pencegahan dan pengendalian pada tahapan proses udang beku.

Hasil penelitian ini adalah ternyata bahwa produk cooked shimp

mempunyai resiko bahaya lebih besar dari pada raw shrimp. Pengawasan terhadap proses pengolahan cooked shrimp harus lebih ketat, karena produk ini merupakan makanan siap saji dengan hanya dicelupkan air panas dan diberi saus.

4). Disain HACCP pada Perusahaan Krupuk di Sidoarjo oleh Goenawan (2003)

Penelitian ini bertujuan untuk membuat disain sistem Manajemen Mutu Terpadu sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP pada suatu produk makanan berupa krupuk udang. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan rancangan HACCP yang didalamnya terdapat upaya pencegahan secara dini terhadap hazard yang mungkin terjadi dan pengendalian sepanjang lintasan kritisnya (CCP).

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada 14 tahapan pengolahan krupuk udang yaitu tahap receiving, mixing, extruding, steaming, aging, chilling, cutting, drying, sorting, metal detecting, weighing, packing, storage dan stuffing. Dari proses tersebut terdapat 7 tahapan teridentifikasi adanya bahaya potensial yaitu pada tahapan penerimaan udang, tepung, gula dan garam, penerimaan telur, breaking, pengeringan, dan penyimpanan di gudang.


(24)

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Keamanan Pangan pada Industri Pangan

Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan, setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menengah kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gisi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain: PerMenKes No 23/ Men Kes/SK/1978 tentang

pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good

manufacturing practice (GMP); Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/ IX/1998 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman hygiene makanan Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang pangan RI No. 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturan


(25)

Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM, 2004).

Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya: (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai dihilirnya baik menyangkut aspek gisi, mutu dan keamanan pangan maupun lingkungannya (Kantor Menteri Nagara Pangan dan Hortikultura, 1999). Sementara itu, di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikannya (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999). Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang diperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah.

Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di media massa menunjukan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan


(26)

keamanan dan mutu pangan, misalnya adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain. Di samping itu masih ditemukan peredaran produk pangan yang komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencatumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang menggunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Prosentase industri pangan yang sudah mengerti dan menerapkan/ mengimplementasikan aspek keamanan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.


(27)

Tabel 1. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan

Persentase (%) Industri Pangan Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan

Aspek Keamanan pangan Paham dan menerapkan secara penuh Paham tapi menerapakan sebagian besar Paham tapi menerapkan sebagian kecil Paham tapi tidak menerapkan sama sekali GMP (Good

Manufacturing Practice)

25 40 25 10 SOP (Standard

Operating Procedure)

25 35 7,5 32,5

Sanitasi dan

Higiene 30 45 20 5

Sumber: Sudibyo, et al (2001)

Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan hasil persentasinya, maka baru 35-40 % industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan hygiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite programs) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998).

2.2.2. Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

Anonim (2007) mengemukakan bahwa keamanan hasil dan produk perikanan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah hasil dan produk perikanan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan


(28)

benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta menjamin bahwa hasil dan produk perikanan tidak akan membahayakan konsumen. Tingkat penerimaan produk pangan, termasuk hasil perikanan yang dikonsumsi, tidak hanya dinilai melalui konsepsi mutu konvensional, tetapi terkait erat dengan jaminan keamanannya, ditinjau dari cemaran fisik, kimia dan biologis. Tingkat penerimaannya tidaklah cukup hanya dari salah satu standar mutu, tetapi harus melalui suatu sistem jaminan mutu yang terintegrasi. Di dunia perdagangan, standar mutu hasil perikanan telah banyak dikeluarkan, meskipun belum semuanya menerapkannya. Beberapa indikator mutu yang digunakan yaitu sifat barang, tolok ukur, dan faktor mutu. Sedangkan, persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada standar terpisah (Anonim, 2008).

Di tingkat industri pangan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan, pengendalian mutu sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Pengawasan mutu diperlukan agar mutu dapat memenuhi kebutuhan dan tidak mengecewakan konsumen. Karena itu, bagian pemasaran harus melaksanakan fungsi pengawasan mutu menurut bidangnya. Kerja sama,


(29)

kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat antar satuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik.

Diterbitkannya UU No.7 tentang pangan tahun 1996 merupakan langkah maju yang dicapai pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Penjabaran UU tersebut dituangkan pada peraturan pemerintah (PP) tentang keamanan, Mutu dan Gisi Pangan, PP tentang Label dan

Iklan Pangan serta PP tentang Standarisasi Nasional (Anonim, 2008). Pemerintah juga memberikan posisi tawar yang kuat bagi

konsumen, guna melindungi diri, harkat dan martabatnya dengan penerbitan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (Thaheer, 2005). Karena itu, konsumen berhak mengkomplain produsen pangan apabila produk yang diterima tidak sesuai isinya, rusak ataupun mengkomplain pemberi sertifikat sistem HACCP yang menjamin keefektifan penerapan sistem HACCP produsen.

Masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia berkaitan dengan mutu hasil perikanan, yaitu :

(1) Persyaratan mutu yang dikehendaki negara pengimpor sangat tinggi;

(2) Jumlah dengan mutu yang tidak memenuhi kuota; (3) Persaingan Internasional;


(30)

(5) Pemasaran tidak langsung yang merugikan produsen maupun negara;

(6) Adanya proteksi di negara pengimpor dan batas kuota;

(7) Adanya penolakan komoditas ekspor atau klaim (claim) oleh negara pengimpor.

2.2.3. Pengendalian Mutu

Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem mutu oleh pelaku usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka memberi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (Anonim, 2007).

Telah menjadi sangat jelas bahwa produk bermutu tinggi memiliki keunggulan mencolok di pasar, bahwa pangsa pasar (market share) dapat meningkat atau hilang karena masalah mutu. Karenanya mutu menjadi prioritas bersaing.

Perusahaan berusaha mengendalikan relibialitas (keandalan) keluaran sistem produksi. Kualitas dan Kuantitas dipantau dengan cara tertentu, dan hasilnya dibandingkan dengan standar. Meskipun pada umumnya tertarik pada ukuran kualitas, perubahan pada kuantitas keluaran mungkin juga merupakan gejala dari masalah reliabilitas. Biaya pengendalian kualitas dan kuantitas merupakan turunan dari reliabilitas. Bila hasilnya diinterpretasikan, dapat disimpulkan bahwa proses perlu disesuaikan kembali atau bahwa ada sesuatu yang secara fundamental


(31)

keliru, dan dengan demikian memerlukan perbaikan mesin atau pelatihan kembali dalam operasi. Jika peralatan mengalami kerusakan, maka fungsi pemeliharaan dibutuhkan. Informasi tentang kualitas dan kuantitas keluaran juga dapat digunakan untuk melakukan program pemeliharaan preventif yang dirancang untuk mengantisipasi kerusakan. Jadi, meskipun interaksi-interaksi penting lain juga berpengaruh, pemastian mutu dipusatkan pada pengendalian mutu dan pemeliharaan peralatan (Buffa dan Rakesh, 1996 ). Pengawasan pada hakekatnya menentukan tolok ukur / standar-standar, melakukan pemeriksaan hasil-hasil dan pembandingan hasil dengan standar, melihat penyimpangan-penyimpangan dan umpan balik

sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan (Reksohadiprodjo, 1995). Kualitas adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa

sesuai dengan standar tertentu. Standar mungkin bertalian dengan waktu, bahan, kinerja, kehandalan, atau karakteristik (obyektif dan dapat diukur) yang dapat dikuantifikasikan.

Menurut Reksohadiprodjo (1995), agar supaya terjamin kualitas maka beberapa organisasi dewasa ini memiliki gugus kendali mutu

(quality control circeles), yaitu kelompok kecil karyawan yang bertemu secara sukarela secara teratur bertukar ide dalam usaha mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan soal yang bertalian dengan kualitas atau kerja. Biasanya mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hasilnya


(32)

berkurangnya kerusakan, absensi, dan perbaikan serta peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas.

Pengawasan kualitas mencakup pengukuran karakteristik ukuran kualitas, umpan balik data, perbandingan dengan standar spesifik dan tindakan perbaikan bila perlu. Bagaimanapun juga kualitas barang berbeda dengan kualitas jasa. Pendekatan pengawasan kualitas adalah (1) sampling penerimaan (acceptance sampling) barang yang masuk dan keluar, dan (2) pengawasan proses (process control) kegiatan

transformasi riil (Reksohadiprodjo, 1995). Pengendalian mutu produk hasil perikanan disuatu perusahaan

dipengaruhi beberapa hal antara lain: a. Sistem Manajemen Mutu

ISO 9000 dikeluarkan oleh International Organization for Standardization (ISO) yang berpusat di Genewa. ISO 9000 merupakan seri standar internasional untuk sistem mutu yang mengharuskan persyaratan-persyaratan yang spesifik dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen, dengan tujuan menjamin bahwa pemasok (perusahaan) menyerahkan atau memproduksi barang dan atau jasa sesuai persyaratan yang ditetapkan. Standar internasional seri ISO 9000 diterbitkan dalam enam dokumen terpisah dengan nama ISO 8402, ISO 9000, ISO 9001, ISO 9002, ISO 9003 dan ISO 9004 (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996).


(33)

Seri ISO 9000 direvisi setiap enam tahun sekali dan pada tahun 2000 dilakukan revisi ISO 9000. Menurut Badan Standarisasi Nasional /BSN (2000) dalam revisi ISO tersebut terdapat empat standar utama, di bawah ini:

ISO 9000 : sistem manajemen mutu- konsep dan peristilahan ISO 9001 : sistem manajemen mutu-persyaratan

ISO 9004 : sistem manajemen mutu-panduan ISO 10011 : panduan pengauditan sistem mutu

Standar ISO tersebut di atas dilebur menjadi standar tunggal ISO 9001, sehingga dalam ISO 9000 revisi 2000 (ISO 9001:2000) hanya ada satu standar berisi persyaratan, yaitu ISO 9001.

Manfaat penerapan ISO 9001:2000 menurut Gaspersz (2001) adalah: (1) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan mutu yang terorganisasi dan sistematik, (2) meningkatkan citra perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar gobal, (3) menghemat biaya dan mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh pelanggan karena dilaksanakan secara berkala, (4) membuka pasar baru karena nama perusahaan terdaftar pada lembaga registrasi terpercaya, (5) meningkatkan mutu dan produktivitas kerja manajemen melalui kerjasama dan komunikasi yang lebih baik, (6) meningkatkan kesadaran mutu perusahaan, dan (7) mengubah kultur kerja karyawan menjadi kutur mutu.


(34)

Suatu organisasi untuk berfungsi efektif harus mengetahui dan mengelola sejumlah kegiatan yang saling berhubungan. Suatu kegiatan yang menggunakan sumber daya dan dikelola untuk memungkinkan transformasi masukan menjadi luaran, dapat dianggap sebagai suatu proses. Seringkali keluaran suatu proses merupakan masukan bagi kegiatan berikutnya (Anonim, 2000).

Menurut Gaspersz (2001), tahap-tahap penerapan SMM adalah (1) komitmen dari manajemen puncak, (2) membentuk panitia pengarah

atau koordinator ISO, (3) mempelajari persyaratan SMM ISO 9001:2000, (4) melakukan pelatihan terhadap semua anggota organisasi, (5) memulai peninjauan ulang manajemen, (6) identifikasi kebijakan mutu, prosedur-prosedur yang dibutuhkan dalam dokumen tertulis, (7) implementasi SMM, (8) memulai audit sistem manajemen mutu dan (9) memilih register/lembaga sertifikasi mutu yang terpercaya.

Sertifikasi ISO adalah sebagai bukti bahwa perusahaan telah menerapkan sistem standar ISO-9000. Langkah penting yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh sertifikat ISO adalah membenahi berbagai aspek manajemen yang sifatnya kedalam, yaitu membudayakan sistem dokumentasi mutu. Sistem dokumentasi mutu yang harus dipersiapkan antara lain (1) quality manual (manual mutu) (2)

operating procedure (prosedur operasi) (3) support document (dokumen pendukung) (Yamit. Z, 2003).


(35)

b. Sistem Manajemen Keamanan Pangan 1). Keamanan Pangan Menurut Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan. Menurut Fardiaz (1996), terdapat empat masalah utama dalam sistem keamanan pangan Indonesia, sebagai berikut :

1. Masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan peredarannya. 2. Masih banyak kasus penyakit dan keracunan melalui makanan,

yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya.

3. Masih banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan, terutama industri kecil atau industri rumah tangga dan penjual makanan jajanan.

4. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap keamanan pangan. Anonim (2000) mengungkapkan bahwa penyakit karena pangan (foodborne disease) merupakan penyebab 70 persen dari sekitar 1,5 milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3 juta kematian anak berusia dibawah 5 tahun. Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di


(36)

suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan. Data yang diperoleh berdasarkan pelaporan yang diterima mencakup jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, jumlah orang yang sakit dan jumlah orang yang meninggal. Sesuai dengan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan dari produk yang digunakan. Oleh karena itu, produsen wajib untuk menjamin mutu barang dan / atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Berbagai perangkat diperlukan dalam membangun pendekatan terstruktur dan terintegrasi dalam menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu tinggi. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian

keamanan mikrobiologis dan mutu pangan dapat dilihat pada Gambar 1.


(37)

Gambar 1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan (ILSI dalam Jouve, 2000)

Dalam pendekatan tersebut, dokumen Good Manufacturing Practices (GMP) yang berisi tentang cara-cara memproduksi makanan yang baik dan syarat-syarat higienis yang menjelaskan kondisi dasar dalam kegaiatan produksi pangan higienis yang mencakup penggunaan peralatan pengelolaan pangan higienis, jadwal perawatan dan pembersihan peralatan dan fasilitas, serta pelatihan dan kesehatan karyawan. Sistem HACCP merupakan pendekatan terstruktur terhadap manajemen bahaya yang bertujuan menjaga keamanan pangan produk dari bahaya biologis, kimia, fisik yang dapat terjadi pada produksi, distribusi dan penjualan pangan, serta mengendalikannya pada tingkat yang aman (Jouve, 2000).

Manajemen

Keamanan Pangan Manajemen Mutu

Strategi Manajerial Janka Panjang

Persyaratan Umum

Penentu Khusus Semua Unsur Mutu

TQM GMP/GHP

(Selalu diterapkan)

RENCANA JAMINAN KEAMANAN PANGAN (PRODUK-PROSES)= RENCANA

HACCP

Sistem mutu (ISO 9000)


(38)

2). Good Manufacturing Practice (GMP) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

Sistem HACCP sebagai suatu sistem pengendalian keamanan pangan mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didasari oleh faktor-faktor pengendali yang mendasar terhadap resiko bahaya ketidakamanan pangan dan atau mutu (Wiryanti dan Witjaksono 2001). Faktor pengendali yang menjadi prasyarat (pre-requisite programs–PRP) efektivitas penerapan program HACCP sebagai suatu system pengendalian mutu adalah terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar unit pengolahan (CAC, 2003 dalam Girsang, 2007), yang meliputi:

i). Cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices - GMP)

GMP merupakan suatu metode atau cara berproduksi yang baik yang benar dalam rangka menghasilkan produk dengan mutu yang baik sesuai dengan harapan. Selanjutnya GMP menyangkut informasi dan langkah-langkah detil dalam setiap tahapan proses pengolahan. Hal ini dimaksudkan agar setiap penanggung-jawab proses pengolahan dapat memahaminya dengan baik sehingga dia bisa mengimplementasikannya di lapangan bersama para karyawan lainnya. Tahapan proses pengolahan ini tentu saja berbeda antara satu jenis produk dengan jenis produk lainnya atau kemungkinan juga berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Langkah-langkah dalam setiap tahapan ini mengacu kepada tercapainya aspek food safety dan wholesomeness serta


(39)

penerimaan bahan baku, perlu dicantumkan dengan detil: Apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini?. Bagaimana kondisi tempat penerimaan bahan baku?. Bagaimana mengantisipasi kemungkinan kesalahan yang muncul?. Bagaimana pengaturan waktu yang digunakan, dan sebagainya.

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan faktor teknis pekerjaan atau GMP di unit pengolahan dan juga pelaksanaan dari prosedur pemantauan atau monitoring procedure yang dituangkan dalam sistem pencatatan atau recordkeeping.

Menurut CAC (2003), Good Manufacturing Practices (GMP) meliputi delapan persyaratan, meliputi:

1) Persyaratan bahan baku

2) Persyaratan bahan pembantu dan tambahan makanan (food additives)

3) Persyaratan produk akhir

4) Persyaratan penanganan

5) Persyaratan pengolahan 6) Persyaratan pengemasan

7) Persyaratan penyimpanan

8) Persyaratan pengangkutan dan distribusi.

Penerapan HACCP ditingkat produksi dipandang sebagai suatu alternatif yang menjanjikan dan bukan suatu yang memberatkan sesuai dengan sifat dari konsepsi/sistem HACCP yang ilmiah, sistematis dan


(40)

pragmatis / praktis. Keyakinan tersebut harus tertanam baik oleh pengambil keputusan, pembina / penyuluh, petani ataupun kalangan industri hasil perikanan sehingga kesepakatan mudah dicapai, pekerjaan

mudah dilaksanakan dan kriteria mutu mudah dipenuhi (Suhartono, 2007). ii). Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

SSOP merupakan suatu prosedur standar dalam menciptakan sanitasi di ruang proses pengolahan makanan. Pada intinya SSOP memfokuskan pada aspek-aspek yang terkait dengan kondisi fisik dalam ruang pengolahan. SSOP harus mencakup semua aspek sanitasi di unit pengolahan termasuk personil dan harus dilakukan pemantauan perusahaan setiap hari sebelum, selama dan sesudah proses dilakukan. Penetapan SSOP harus mencakup tujuan dan prosedur untuk setiap aspek sanitasi (Anonim, 1999).

Konsepsi HACCP dalam penerapannya ditetapkan dalam delapan kunci pengawasan pelaksanaan SSOP (Darwanto dan Murniyati, 2003). Menurut Food and Drug Administration USA SSOP umumnya meliputi delapan aspek. Delapan (8) kunci SSOP yang terdiri dari: 1) Keamanan air dan es yang digunakan

2) Kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan bahan pangan.

3) Pencegahan kontaminasi silang.

4) Fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet serta peralatan yang digunakan.


(41)

5) Proteksi/perlindungan dari bahan-bahan kontaminan.

6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya (toksin) 7) Kondisi Kesehatan personil/ karyawan.

8) Pencegahan/pengendalian hama / pest dari unit pengolahan.

iii). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (Bogor Agriculture University, 2005). HACCP merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001 dalam Winarno, 2002). Lebih lanjut

Anonim (2007) mengemukakan bahwa syarat HACCP perlu

mempertimbangkan prinsip yang terkandung dalam Codex Alimentarius. Syarat tersebut harus cukup fleksibel untuk diterapkan di segala situasi, praktek higienis sudah memadai sehingga tidak diperlukan pengawasan di


(42)

titik tersebut. Demikian pula syarat penentuan ‘batas kritis’ tidak bearti bahwa nilai batas tertentu dapat digunakan untuk semua kasus. Keharusan untuk menyimpan dokumen pun perlu cukup fleksibel agar tidak membebani bisnis yang sangat kecil.

Konsepsi HACCP pertama kali diperkenalkan oleh National Food Protection dalam suatu konferensi pada tahun 1972. Dengan adanya isu

food safety, sejak tahun 1987 sistim HACCP banyak didiskusikan dan

berkembang secara internasional, termasuk di Indonesia. c. Kebijakan Pemerintah di Bidang Mutu Hasil Perikanan

Negara maju tujuan ekspor seperti Uni Eropa, AS, Kanada, dan Jepang memberlakukan ketentuan HACCP, Menteri Pertanian RI melegalkan program PMMT menjadi Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan pada tahun 1998. Sehingga Indonesia memiliki sistem pengawasan mutu berkekuatan hukum baru, yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 41/Kpts/IK.210/2/98 tentang sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Selanjutnya Dirjen Perikanan menindaklanjuti SK Mentan tersebut dengan mengeluarkan “Petunjuk Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan”, tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen Perikanan Nop. 1428/Kpts/Ik.120/12/98.

Perubahan lembaga pemerintahan di tahun 1998, yang menempatkan Ditjen Perikanan di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), maka SK Mentan No.41 tahun 1998 tadi diperbaharui ke dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.


(43)

01/MEN/2002 tentang “Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan” Keputusan ini mengatur bahwa sistem mutu hasil perikanan dituangkan dalam bentuk Sertifikasi (Mangunsong, 2009).

2.2.4. Bauran Produk ( product mix / produk assortment )

Produk adalah apa saja yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Termasuk di dalamnya adalah obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi, dan gagasan (Kotler, 1991). Pelanggan membeli produk lebih karena nilai yang terkandung di dalam produk tersebut.

Setiap produk mengandung beberapa tingkatan, mulai dari core benefit, basic product, expected product, augmented product hingga

potential product. Produk dapat digolongkan berdasarkan wujud dan ketahanannya, yaitu durability, dan tangibility, serta jenis pendek, yaitu produk konsumer (consumer product) dan produk industri (industrial product).

Selain mengembangkan fitur produk, pemasar juga harus berupaya agar konsumen mampu mengidentifikasi produknya. Ada 3 alat untuk membuat konsumen mampu mengidentifikasi produk, yaitu branding

(mengelola merek), packaging (kemasan), serta labelling (memberikan label).

Menurut Kotler (1991), bauran produk (product mix/produk assortment) ialah kumpulan seluruh lini produk yang ditawarkan oleh


(44)

suatu perusahaan kepada pembeli. Bauran produk suatu perusahaan dapat digambarkan dengan lingkup kelebaran tertentu, kepanjangan

tertentu, kedalaman tertentu dan konsistensi tertentu. Bauran produk (product assortment) terdiri dari width atau

kelebaran suatu bauran produk (seberapa banyak perbedaan lini produk perusahaan); length (jumlah total item produk yang ada dalam bauran);

depth (seberapa banyak variasi yang ditawarkan oleh setiap produk dalam satu lini); consistency (seberapa dekat hubungan antara berbagai lini produk).

Dengan memahami keempat dimensi di atas, perusahaan akan lebih mudah menetapkan strategi produknya. Perusahaan akan mampu mengembangkan usahanya dengan empat cara. Pertama, perusahaan menambah lini produk baru, sehingga sama saja dengan memperlebar bauran produk. Dengan cara ini lini baru akan memanfaatkan kesempatan dari reputasi perusahaan dalam lini-lini yang lain. Cara kedua menurut Kotler (1991) ialah memperpanjang lini produk yang ada sehingga menjadi satu perusahaan dengan lini produk yang lebih lengkap. Cara ketiga dilakukan dengan menambah ukuran, formula, atau ciri yang lain dari setiap produk, sehingga akan memperdalam bauran produk. Yang terakhir ialah menambah atau mengurangi konsistensi lini produk, tergantung pada apakah perusahaan ingin meraih reputasi kuat pada satu bidang saja atau melibatkan diri di beberapa bidang.


(45)

Kotler (1991) menjelaskan perencanaan bauran produk sebagian besar merupakan tanggungjawab para perencana strategi perusahaan. Dengan informasi yang dihimpun dari para tenaga pemasaran perusahaan, para perencana strategi ini harus meneliti dan memutuskan lini produk mana yang harus dikembangkan, mana yang harus dipertahankan saja, mana yang tinggal dipetik hasilnya, atau yang harus ditarik dari peredaran.

2.2.5. Ikan Tuna dan Proses Pengalengannya a. Ikan Tuna

Tuna adalah ikan yang paling popular untuk dikonsumsi mentah dan sebagai bahan pengolahan ikan yang mahal karena daging ikannya mengandung lemak tidak jenuh dari mulai sedang sampai tinggi, tekstur kuat, unik tapi lembut apalagi karena kelezatannya tuna dikenal hampir di

seluruh dunia (Anonim, 2006). Tuna dan cakalang merupakan anggota famili Scombridae. Ada

beberapa jenis ikan tuna yang dapat diekspor yang tertangkap dari perairan Indonesia diantaranya adalah Madidihang atau Yellowfin tuna (Thunnus albacores), tuna mata besar atau Bigeye tuna (Thunnus obesus). Albakora atau Albacores (Thunnus allalunga) dan tuna sirip biru atau Bluefin tuna (Thunnus maccoyi). Selain itu ada kelompok tuna yang dapat diekspor yang disebut sebagai Little tuna, diantaranya adalah


(46)

Tuna menyebar diseluruh perairan di Indonesia. Hasil penangkapan ikan di Indonesia bagian Barat yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai Utara dan Timur Aceh, pantai Barat Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, maupun di perairan Indonesia Timur yang meliputi laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebalah Utara

Irian Jaya dan Selat Makasar (Uktolseja et al, 1991). b. Proses Pengalengan Ikan Tuna Proses pengolahan pengalengan ikan tuna pada prinsipnya sama

antara industri yang satu dengan yang lainnya. Ikan tuna memiliki dua jenis daging yakni daging putih dan daging merah. Bahan baku ikan tuna kalengan berasal dari jenis daging putih. Jenis ikan yang banyak digunakan di Indonesia dalam industri pengolahan adalah skipjack

(Katsuwonus pelamis), dan yellowfin (Neothunnus macroptenus). Pengalengan ikan tuna merupakan salah satu bentuk pengolahan

pangan yang sudah umum dilakukan. Proses pengalengan ini dimulai dari awal penerimaan bahan baku berupa ikan tuna beku. Sebelum ikan tuna beku diproses, dilakukan sortasi untuk memisahkan ikan yang layak diproses dan yang tidak layak diproses. Tahap-tahap proses pengalengan tuna berdasarkan Canadian Food Inspection Agency (1997), dapat dilihat pada Gambar 2.


(47)

1. Penerimaan kaleng 2.Penyimpanan kaleng 3.Can depalletizing 4.Pembersihan kaleng 5.Penerimaan bahan bumbu dan label 6.Penyimpanan 7. Pencampuran bahan untuk bumbu 8. Penambahan bumbu 9. Penerimaan tuna

segar

10.Penyimpanan tuna segar

11. Penerimaan tuna beku

12. Penyimpanan tuna beku 13. Thawing 14.Butchering 15.Grading/sorting 16.Racking 17.Staging 18.Pre-cooking 19.Cooling Pre-Cooked 20.Loin Cleaning 21.Shaper/packer 22.Weighing Machine 23.Can Fill Maonitoring

24.Coding

25.Double seaming 26.Can Washer 27.Basket Loading 28.Retorting 29.Air berklorin 30.Cooling

31.Air cool & dry

Finished product evaluation 32.Warehouse


(48)

Berdasarkan SNI 01-2712 2-1992, teknik pengalengan tuna adalah sebagai berikut :

1. Penerimaan bahan baku

Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan hygiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar (harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25 oC. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (0 oC).

2. Persiapan

Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan pelelehan (thawing) dalam air mengalir yang bersuhu 10 o-15oC. Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi bagian yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-cooking.


(49)

3. Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)

Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1-4 jam (mampu mereduksi 17,5% kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100-105oC.

4. Penurunan suhu

Ikan yang telah masak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 oC) dalam waktu maksimum 6 jam.

5. Pembersihan daging

Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang

terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah. 6. Pemotongan

Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah, dipotong-potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam kaleng.


(50)

7. Pengisian

Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard, grated)

a) Solid : 1-2 potong daging putih, bebas serpihan

b) Standard : 2-3 potong daging putih, serpihan maksimum 2% c) Chunk : serpihan daging putih + satu kali makan, serpihan

flake maksimum 40%.

d) Flake : potongan daging kecil < chunk

e) Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta) 8. Penambahan medium

Medium (media) ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70-80oC. Pengisian media hingga batas head space

atau antara 6-10% dari tinggi kaleng. 9. Penutupan kaleng

Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan dilakukan pemeriksaan secara periodik.

10. Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan jenis dan ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau

equivalent dengan nilai Fo >2,8 menit pada suhu 120 oC. Pada setiap sterilisasi harus dilakukan pencatatan suhu secara periodik.


(51)

Proses sterilisasi difokuskan untuk membunuh bakteri Clostridium

botulinum dan mencegah pertumbuhannya. 11. Penurunan suhu dan pencucian

Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung residu klor 2 ppm. Setelah dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan ke tempat yang terlindung (restricted area) untuk pendinginan dan pengeringan.

12. Pemeraman /Inkubasi Kaleng yang telah dingin dimasukkan dalam suatu ruang dengan suhu

kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, dan kemudian dilakukan pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman /inkubasi dilakukan minimal salama 7 (tujuh) hari.

2.3. Kerangka Pemikiran

Persaingan produk yang semakin terbuka merupakan tantangan bagi industri pangan, khususnya industri perikanan untuk memenuhi harapan dan tuntutan pasar akan produk perikanan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, setiap perusahaan melakukan berbagai upaya agar produk yang dihasilkan diterima oleh pasar dan dapat mengungguli produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengimplementasikan pengendalian mutu dan keamanan pangan dengan menerapkan sistem manajemen


(52)

mutu dan sistem manajemen keamanan pangan yang tersertifikasi seperti ISO 9001: 2000 dan HACCP.

Industri yang telah menerapkan sistem manajemen mutu (SMM) standar internasional ISO 9001, dinilai telah menempatkan mutu sebagai syarat mulak bukan hanya pada produk yang dihasilkannya tetapi juga sistem yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Penerapan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) sesuai HACCP memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan telah mengedepankan persyaratan keamanan produk dalam semua rantai pengolahan hingga produk tersebut diterima oleh pasar. Kedua sistem tersebut memiliki unsur-unsur yang harus diterapkan dengan baik dan diikuti dengan kegiatan perbaikan terus menerus untuk menjamin efektifitas sistem yang diterapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian penerapan jaminan mutu dan keaman pangan sesuai dengan sistem manajemen mutu dan sistem manajemen keamanan pangan melalui pengamatan langsung di industri pengolahan untuk mengetahui kondisi objek dalam menghasilkan produk yang bermutu, aman dan memiliki daya saing dengan produk sejenisnya. Penilaian penerapan sistem manajemen mutu (SMM) dan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) dilakukan dengan menilai kesesuaian sistem yang diterapkan di perusahaan dibandingkan dengan persyaratan ISO 9001 dan HACCP. Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3, dibawah ini.


(53)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

Dasar pemilihan industri pengolahan tuna kaleng sebagai obyek penelitian dikarenakan saat ini cakupan pemasaran tuna kaleng sangat luas, baik pasar domestik/lokal maupun ekspor. Jain (2001), mengemukakan bahwa pasar ekspor menawarkan beberapa peluang. Namun demikian, untuk memperoleh peluang ini perusahaan harus

Mulai

Berdasarkan Sistem Manajemen Mutu (ISO:9001:2000)

Penilaian penerapan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP)

Identifikasi faktor mutu tuna kaleng

Rekomendasi perbaikan implementasi SMM dan

SMKP

Implementasi

Analisis Self Assesment Penilaian penerapan

sistem manajemen mutu (SMM)

Berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)


(54)

mengembangkan suatu fokus ekspor dan melakukan pekerjaan yang menyeluruh dalam mengidentifikasi pasar/produk.

Disamping itu produk pengolahan hasil perikanan termasuk tuna kaleng sejak diberlakukan persyaratan regulasi yang mendukung keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah; yakni Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.21/MEN/2004 tentang sistem Pengawasan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan Untuk Pasar Uni Eropa. Selanjutnya dua tahun berikutnya yaitu dengan berlakunya PER.03A/DJ-P2HP/2007 tentang Operasionalisasi Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Karenanya sejak awal tahun 2007 peraturan tersebut berlaku, oleh Otoritas Kompeten memberikan tanggung jawab kepada Komisi Approval; yang mana salah satu butir tugas tersebut adalah Pemberian Approval Number (persetujuan) bagi perusahaan yang akan melakukan ekspor hasil perikanan ke UE serta pemberlakuan pembekuan dan/atau pencabutan dari daftar (delisting) bagi perusahaan, karena tidak lagi memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu. Berkaitan erat dari uraian ini, khususnya di Propinsi Jawa Timur termasuk Kabupaten Banyuwangi; sejak saat itu hingga sampai saat ini terdapat beberapa industri pengolahan ikan (UPI) memvakumkan/menghentikan pemasarannya untuk pasar Eropa (Uni Eropa) sebagai akibat perusahaan/industri belum dapat sepenuhnya menerapkan standar mutu yang dipersyaratkan (sesuai dengan persyaratan/peraturan yang berlaku).


(55)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, mulai 19 Oktober 2009 sampai 20 Nopember 2009 di industri pengolahan ikan tuna kaleng untuk pasar lokal (dalam negeri) yang ada di Banyuwangi-Jawa Timur, yaitu di perusahaan PT. Blambangan Foodpackers Indonesia.

3.2. Penentuan Sampel

Cara pengembilan sampel dari populasi yang sesuai dengan penelitian ini adalah Non Random Sampling, karena peneliti melakukan pengambilan sampel tidak menggunakan teknik random dan tidak didasarkan atas hukum probabilitas. Kemudian pengambilan sampel yang sesuai dengan penelitian ini adalah Purposive Sampling atau Pemilihan Sampel Bertujuan. Kemudian pemilihan responden/sampel berdasarkan pertimbangan atau dilakukan secara judgement sampling, merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan menggunakan pertimbangan tertentu atau sesuai dengan tujuan/masalah peneliti (Indriantoro dan Supomo, 2002).

Pada penelitian ini pemilihan sumber data secara judgement sampling atau dengan sengaja kepada tim sistem manajemen mutu (SMM) dan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) pada PT. Blambangan Foodpackers Indonesia dengan pertimbangan bahwa para


(56)

responden dapat memberikan data dan informasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Tim SMM dan SMKP pada PT. BFPI dimaksud adalah para manajer (manager) pada berbagai level organisasi (puncak, menengah dan operasional), yang terdiri dari General Manager (Manajer Umum), Manajer Personalia dan Umum, Manajer Operasional/Produksi,

Manajer Pemasaran, Quality Assurance/Control (pengawasan/ pengendalian mutu), QC/QA Supervisor, Supervisor Produksi, Manajer Keuangan/ Akunting, PPIC/Internal Sales, Purchasing (Pengadaan dan Pembelian Bahan Baku), Bagian Gudang Barang Jadi serta Bagian Teknik.

3.3. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data sebagai berikut: 1. Pengumpulan data primer, yaitu dengan mengadakan wawancara

(yang dilakukan secara langsung) dengan sumber data dari tim SMM dan SMKP di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, ahli/pakar yang memiliki pengetahuan tentang SMM dan SMKP untuk perikanan dan instansi pemerintah yang terkait serta mengadakan pengamatan langsung di lapangan pada industri pengolahan hasil perikanan khususnya pengalengan ikan tuna di PT. BFPI.

2. Pengumpulan data sekunder, yaitu dengan penelusuran buku-buku, keadaan umum perusahaan dan penerapan HACCP diperusahaan yang berupa manual HACCP (manual HACCP untuk tuna kaleng),


(57)

hasil-hasil penelitian, jurnal dan sumber lain yang berhubungan. Selain itu, data juga diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi dan UPTD TPI / PPI Muncar Kabupaten Banyuwangi, serta Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan Banyuwangi Jawa Timur.

3.4. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai suatu obyek dan menguji kebenaran dari suatu pendapat serta membandingan keadaan yang ada di lapangan dengan teori/peraturan yang sesuai literatur atau pedoman yang digunakan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, isian kuesioner dan pengamatan/tinjauan langsung ke lapangan, dianalisa menggunakan metode self assesment.

Analisa data yang diperoleh dari perusahaan mengenai penelitian ini, dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Analisa data penilaian penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan ISO 9001:2000.

Data penerapan sistem manajemen mutu (SMM), diperoleh dari hasil isian kuesioner dan pengamatan lapangan yang dianalisa menggunakan metode self assesment. Menurut Girsang (2007), tahapan penilaian dari metode self assesment adalah sebagai berikut:


(58)

tidak) dan 1 (untuk jawaban ya). Bila pertanyaan berulang pada bagian yang berbeda, maka nilainya adalah 0,5.

2) Setiap unsur mempunyai nilai maksium yang merupakan nilai maksimum unsur jika setiap elemen diterapkan.

3) Nilai setiap unsur yang diterapkan dibandingkan dengan nilai maksimum setiap unsur.

4) Dilakukan interpretasi terhadap nilai penerapan yang diperoleh perusahaan, yaitu sebagai berikut:

 Nilai penerapan < 50 % nilai maksimum = tidak terpenuhi

 Nilai penerapan = 50 % nilai maksimum = dipenuhi sebagian

 Nilai penerapan > 50 % nilai maksimum = dipenuhi

Interpretasi penilaian penerapan SMM ISO 9001:2000 yang telah diperoleh kemudian dianalisa.

b. Analisa data penilaian penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP.

Data penerapan keamanan pangan yang diperoleh lebih ditekankan melalui hasil wawancara dan pengamatan (observasi) di lapangan, pengamatan keadaan nyata perusahaan dan pengamatan langsung penerapan sistem HACCP (proses produksi tuna kaleng), yaitu mulai dari pengadaan bahan baku sampai dengan produk akhir dikemas dan digudangkan sebelum dipasarkan kepada konsumen.

Kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi bahaya (hazard) yang sering timbul dalam tahapan proses. Untuk memberi perhatian khusus terhadap tahapan proses yang merupakan


(59)

titik kritis, untuk menganalisis sistem pengawasan mutu dalam mencapai standar mutu yang telah ditetapkan dan memberi solusi perbaikan hasil temuan dalam evaluasi keamanan pangan dalam rangka pencapaian jaminan mutu yang telah ditetapkan.

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 3.5.1. Definisi Operasional

Pengendalian mutu dan keamanan pangan dengan menerapkan sistem manajemen mutu yang disepakati secara internasional dan sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan industri perikanan adalah ISO 9001:2000 dan program HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Program/sistem tersebut telah ditetapkan secara wajib (mandatory) untuk diterapkan pada industri perikanan di beberapa negara industri maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia dan Kanada. Industri perikanan di Indonesia program HACCP diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.

Penerapan HACCP diawali dengan suatu perencanaan, pelaksanaan perencanaan dan pengendalian (pengawasan) terhadap pelaksanaan perencanaan. Program tersebut meliputi: (1) Food Safety

(keamanan pangan), (2) penentuan Critical Control Point (CCP), (3)

Standart Operating Procedures (SSOP) (4) Good Manufacturing Practice


(60)

penerapan program MMT/ HACCP di suatu unit produksi komoditi perikanan dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. Alur operasional penerapan MMT/ HACCP

3.5.2. Pengukuran Variabel

Pengukuran variabel pada penelitian ini terkait dengan penerapan HACCP pada industri pengolahan hasil perikanan meliputi:

1). Analisis Bahaya serta Penentuan Tindakan Pencegahannya Analisis bahaya (hazard) adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan Critical Control Point (CCP). Analisis bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi (ingredients), setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi hingga tahap penggunaan oleh konsumen.

KASUS MUTU HASIL INDUSTRI

PERIKANAN

PROGRAM MMT/ HACCP

PENERAPAN MMT/ HACCP

PENGAWASAN PENERAPAN MMT / HACCP


(61)

2). Penentuan/Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point)

Masing–masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji / diidentifikasi dengan menggunakan CCP decision tree atau diagram pohon penentuan CCP yang direkomendasikan oleh

Codex Alimentarius Commission dan telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-4852-1998. Untuk menentukan CCP. Decesion tree ini berisi urutan pertanyaan sebagai berikut :

P1 : apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap hazard yang telah diidentifikasi ?

Ya : ke P2

Tidak : apakah pengendalian pada tahap ini sangat penting untuk keamanan. Tidak: Stop bukan CCP.

P2 : apakah tahap ini dapat menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya hazard sampai tingkat yang diterima?

Ya : CCP

Tidak : P3

P3 : apakah kontaminasi dari hazard yang telah diidentifikasi melewati tingkat yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang diperbolehkan ?


(62)

Ya : Stop bukan CCP Tidak : CCP

P4 : apakah proses selanjutnya akan dapat menghilangkan bahaya atau mampu mengurangi bahaya sampai batas yang diperbolehkan?

Ya : Stop bukan CCP

Tidak : CCP

3). Menetapkan Batas kritis (CCP) pada Titik Kendali Kritis

Batas-batas kritis adalah batas-batas toleransi yang ditetapkan yang tidak boleh dilampaui (untuk menjamin CCP berada dalam kendali). Batas-batas tersebut dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahapan ini, tim HACCP menetapkan batas kritis pada titik kendali kritisnya. Setiap tahap yang menjadi titik kendali kritis (CCP) harus ditentukan batas kritisnya. Batas kritis atau Critical Limit

ini akan memisahkan antara produk “yang diterima” dan “yang ditolak”, berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ini ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik.

4). Menetapkan Prosedur Pemantauan (monitoring) Setiap CCP

Tindakan terencana untuk mengamati dan menguji efektifitas pengendalian suatu CCP. Pemantauan dapat memberikan peringatan dini jika terjadi penyimpangan, mencegah/mengurangi kerugian, serta membantu melokalisir dan memecahkan masalah yang timbul.


(63)

Prosedur pemantauan ini dapat dilakukan oleh personil yang terampil dengan cara pengamatan (observasi) secara visual yang direkam dalam suatu daftar periksa (checklist) atau pun dengan cara pengujian yang merupakan pengukuran (kimia, fisik) yang direkam ke dalam suatu data sheet. Dalam prosedur pemantauan ini harus mencakup : apa yang akan dipantau (what), dimana akan dilakukan pemantauan

(where), siapa yang bertanggung jawab akan melakukan monitoring (who), bagaimana cara memantaunya (how) dan kapan akan dilakukan pemantauan/monitoringnya (when).

5). Menetapan Prosedur Tindakan Koreksi (Corective Action)

Pada tahapan ini, tim HACCP di Perusahaan selanjutnya menetapkan prosedur tindakan koreksi.Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus dilakukan jika hasil pemantauan dilakukan jika hasil pemantauan atau monitoring pada suatu titik kendali kritis (CCP) menunjukkan proses tidak terkendali (loss of control) atau terjadi penyimpangan. Tujuan untuk menetapkan tindakan koreksi adalah untuk menjamin eliminasi potensi bahaya, memiliki rencana yang pasti untuk mencegah penyimpangan yang terjadi pada setiap CCP, dan tindakan koreksi diperlukan untuk mengendalikan proses produksi.

Tahap identifikasi produk dan disposisinya adalah :

Tahap I : Tentukan apakah produk mengandung hazard keamanan


(1)

6.2. Saran/Rekomendasi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan kajian yang telah

dilakukan terhadap sistem manajemen mutu dan keamanan pangan (sistim HACCP) pengolahan produk ikan tuna kaleng di PT. BFPI, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :

1. Pihak yang bertanggung jawab atas manajemen umum perlu melengkapi kekurangan unsur ISO 9001:2000 berupa pedoman manual mutu dan mendokumentasikan tinjauan manajemen serta

melakukan internal audit dan surveillance audit secara berkala

sesuai jadwal yang ditetapkan.

2. Manajemen produksi dan operasi perlu melakukan pengukuran dan pemantauan produk, penjagaan/pemeliharaan/pengawetan produk, pengendalian produk yang tidak sesuai dan mendokumentasikan sesuai dengan ketentuan pada sistem ISO 9001:2000.

3. Tim HACCP perlu memperbaiki dan melengkapi sarana untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang dan pengendalian hama pada gudang produk akhir, serta melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan tentang pentingnya penerapan SSOP khususnya pencegahan kontaminasi silang.

4. Penyempurnaan dan perbaikan untuk standar persyaratan

kelayakan dasar (prerequisite programs) pengolahan hasil

perikanan melalui SSOP masih perlu dilakukan, dalam rangka peningkatan rating B menjadi A.


(2)

5. Perusahaan perlu memilih standar manajemen mutu (sistem ISO) yang sesuai berdasarkan kondisi operasional perusahaan. Dengan demikian dapat diperoleh beberapa manfaat :

a. Perusahaan dapat segera memasuki kembali untuk memenuhi permintaan pasar ekspor produk tuna kaleng ke Uni Eropa, Amerika dan pasar dunia secara global yang semakin kompetitif, baik jangka pendek maupun jangka panjang dan isu keamanan pangan yang semakin kompleks serta bahaya keamanan pangannya.

b. Menaikkan tingkat kompetitif perusahaan (sesama industri sejenis pengalengan tuna kaleng) terhadap para pesaingnya. 6. Perlu penelitian formulasi strategi pengendalian mutu dan


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-9001-2001. Sistem

Manajemen Mutu Persyaratan. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional

______2005. HACCP Plan Model. IPB. http://www.ipb.ac.id (12 Oktober

2008)

______2006. Nama Tuna : Internasional dan Latin. Direktorat Pemasaran

dalam Negeri. Warta Pasar Ikan. Edisi Nopember.

______2007. Higien Bahan Pangan. Regulasi (EC) No.852/2004 dari

Dewan dan Parlemen Eropa, 29 April 2004 tentang Higien Bahan Pangan. EU-Indonesia Trade Support Programme. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Bogor : CV. Biografika.

______ 2008. Indonesia Fish Product go Qualisafe. Craby dan Starky.

Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. September 2008. ______ 2009. Pasar Terbuka dapat Menghindari Dampak Krisis Global.

Buletin WPI Edisi Februari 2009. No. 66

Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Pangan Bahan Kimia Pada Pabrik Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8

Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2004. Peraturan

Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Buffa. E dan Rakesh K. 1996. Manajemen Operasi dan Produksi Modern.

Jilid 1. Edisi Kedelapan. Binarupa Aksara Jakarta

[CAC] Codex Allimentarius Comission. 2003. Recommended International Code Of Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food and Agriculture Organization/World Health Organization. Rome, Italy.

Canadian Food Infection Agency. 1997. Example QMP Plan Canned Tuna

Processing. Canada. Canadian Canned Tuna Company.

Darwanto dan Murniyati. 2003. Program Managemen Mutu Terpadu.


(4)

David, Fred R. 2006. Strategic Management (Manajemen Strategis)-Konsep. Edisi 10. Buku 1. Penerbit Salemba Empat

Diniah, M. Ali. Y. Sri P., Parwinia, S. Effendy, M. Hatta, M. Sabri, Rusyadi,

Ahmad F. 2001. Pemanfaatan Sumber Daya Tuna-Cakalang

Secara Terpadu. http//rudyct.tripod.com/ sem 1 012/ke 2-012.html. [8 Des 2001].

Fardiaz, S. 1996. Evaluasi dan Proyeksi Permasalahan Keamanan

Pangan. Temu Pakar dalam Rangka Studi Kaji Ulang Repelita VI Pangan dan Identifikasi Repelita VII. Kantor Menteri Urusan Pangan RI dan Pusat Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB. Bogor.

Gaspersz V. 2001. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvevement.

Jakarta: Garamedia Pustaka Utama.

Girsang, C.I. 2007. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk Crude Palm Oil Di PT Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di PT. Astra Agro Lestari, Tbk. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB (Tidak dipublikasikan).

Goenawan, C. 2003. Disain HACCP pada Perusahaan Krupuk di Sidoarjo.

Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis. UPN ”Veteran” Surabaya (tidak dipublikasikan)

Hadiwirdjo BH, Wibisono S. 1996. Memasuki Pasar Internasional dengan

ISO 9000 Sistem Manajemen Mutu. Jakarta. PT. Ghalia.

Hendrati, I.M. 2005. Pemasaran Internasional Agribisnis. Modul Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Agribisnis. UPN “Veteran’ Jawa Timur (tidak dipublikasikan).

Indriantoro.N dan B.Supomo, 2002. Metode Penelitian Bisnis untuk

Akuntasi dan Manajemen. Edisi Pertama. BPFE Yogjakarta.

Jain, SC. 2001. Manajemen Pemasaran Internasional. The University of

Connecticut. PT. Gelora Aksara Pratama. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Jouve JL. 2000. Good Manufacturing Practice, HACCP and Quality

System. Di dalam: Hund BM, TC Baird-Parker and GW Gould. The

Microbiological Safety and Quality Control of Food. Volume I. Maryland: Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg.

Kotler. P. 1991. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, dan


(5)

Kusumastanto. T. 2007. Kebijakan dan Strategi Peningkatan Produktivitas Perikanan Nasional. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

IPB Bogor. Makalah Disampaikan pada Agrinex Conference and

Expo, Jakarta 17 Maret 2007.

Mangunsong. S. 2003. Roadmap Manajemen Mutu Hasil Perikanan.

Direktur Standarisasi dan Akreditasi. Departemen Kelautan dan Perikanan

Montgomery DC. 1996. Introduction to Statistical Quality Control.

Departement of Mechanical Engineering. Washington: University of Washington

Mortimore dan Carol W. 2005. HACCP Sekilas Pandang. Kedokteran

EGC. Jakarta.

Reksohadiprodjo. S. 1995. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi

Pertama. BPFE Yogyakarta

Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Apriianita, N, dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP (Hazar Analysis Critical Control Point) pada Industri Pangan di Indonesia. Warta IHP Vol. 18 No. 12 : 7 – 18.

Suhartono, 2007. Sistem Pembinaan Mutu Pangan Berdasarkan HACCP.

http://www.lily.staff.ugm.ac.id/dl/index.php?file=HACCP.ppt [ 2 September 2007 ]

Sule. ET. Dan Kurniawan. S. 2008. Pengantar Manajemen. Edisi Pertama.

Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Surono dan Winarno FG. 2004. GMP Cara Pengolahan Pangan Yang

Baik. Jakarta: PT. MBRIO Biotekindo.

Swarini. J. 2007. Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added Surimi Product. Studi Kasus di PT ”X” Jawa

Timur. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Manajemen

Agribisnis. UPN ” Veteran” Surabaya (tidak dipublikasikan).

Thaheer. H. 2005. Sistem Managemen HACCP. Bumi Aksara. Jakarta

Tunggal. AW. 1998. Manajemen Mutu Terpadu. PT. Rineka Cipta.


(6)

Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Sistem pengendalian mutu produk perikanan di Indonesia: Keadaan sekarang dan problematikanya

dalam Seminar for promotion of sustainable development of

fisheries in Indonesia, with special emphasis on promotion of domestic fish consumption and development of local fishing industry. 16-19 Maret 2004. Jakarta.

Uktolseja, J.C.B., Rubiana P., Kusno S dan Agus B.S. 1998. Sumber daya

Ikan Pelagis Besar Dalam potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Yamit Z. 2003. Manajemen Produksi dan Operasi. Fakultas Ekonomi UII.

Edisi kedua. Ekonisia. Yogyakarta.

Winarno, FG. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan.