Tambahan untuk Hal-Hal yang Dianggap Bermasalah
sangat jelas. Akan tetapi, hal tersebut diperbolehkan pada zaman setelah zaman Rasulullah SAW, ketika terbukanya pintu-pintu perselisihan di antara
mereka dalam masalah bacaan Al Qur’an. Sebagaimana yang akan diterangkan selanjutnya, insyaallah.
Oleh karena itu, para sahabat RA sangat mengkhawatirkan bercabang- cabangnya ajaran agama, sehingga mereka bersepakat untuk berpegang
pada hal-hal yang telah ditetapkan dalam mushaf Utsman RA dan membuang selainnya, dengan alasan semua yang mereka buang termasuk dalam perkara
yang telah mereka sepakati, sebab hal itu hanya dari segi bacaan, yang sama sekali tidak mempengaruhi isi Al Quran.
Mereka kemudian menguatkan hal tersebut dengan periwayatan tatkala terjadi kesalahan dalam bacaannya dan tatkala orang-orang asing masuk ke
dalam agama Islam, karena khawatir pintu-pintu kerusakan lain akan terbuka, yaitu para penganut ajaran atheis yang memasukkan sesuatu ke dalam Al
Qur an atau ke dalam bacaannya yang bukan darinya, lalu mereka menjadikannya sebagai senjata untuk menyebarkan paham atheis mereka.
Bukankah kamu melihat tatkala mereka tidak mampu memasukinya dari pembahasan ini, mereka masuk melalui penakwilan dan pendustaan pada
arti-arti Al Quran, sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya, insyaallah. Jadi, benar apa yang telah dijalankan oleh para sahabat Rasulullah
SAW, karena perkara tersebut mempunyai dasar yang menjadi bukti secara global, yaitu perintah untuk menyampaikan syariat dan tidak terdapat
perselisihan dalam perintah tersebut, dengan dalil firman Allah, HaiRasul Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-Mu. Qs. Al
Maa’dah [5]: 67 Umatnya pun seperti beliau. Sedangkan dalam hadits disebutkan,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Hendaknya orang yang datang menyaksikan memberitahu mereka yang tidak datang.
Serta hadits-hadits lain yang semisalnya. Penyampaian syariat tidak terikat dengan cara-cara khusus, karena ia
termasuk perkara yang masuk akal, sehingga diperbolehkan menggunakan sesuatu sebagai sarana untuk menghafal, menyampaikan, menulis, dan
sebagainya. Begitu pula dengan hafalan seseorang, tidak berkaitan dengan penyelewengan dan kesalahan dari sisi cara menghafalnya serta dari sisi
lainnya, karena kesalahan tersebut tidak termasuk penyelewengan terhadap sumber aslinya, sebagaimana yang terdapat dalam masalah penulisan mushaf
Al Qur’an. Oleh sebab itu, salafush- shalih mengadakan kesepakatan. Adapun selain mushaf Al Qur’an, maka permasalahannya lebih mudah
dipecahkan, sebab telah ditetapkan dalam Sunnah tentang penulisan ilmu. Beliau SAW bersabda,
Tuliskanlah untuk Abu Syah. Hadits shahih. Dari periwayatan Abu Hurairah RA, ia berkata, Tidak ada seorang
pun dari para sahabat Rasululiah SAW yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari saya kecuali Abdullah bin Amr. Sesungguhnya ia menulis hadits,
sedangkan saya tidak pernah menulis hadits. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Rasululiah SAW mempunyai
juru tulis yang menuliskan wahyu dan hal-hal lainnya, diantaranya yaitu: Utsman, Ali, Muawiyah, Mughirah bin Syubah, Ubai bin Kaab, dan Zaid
bin Tsabit. Lagi pula, penulisan itu menjadi bagian dari sesuatu yang apabila tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia wajib hukumnya, apalagi jika
hafalannya lemah, atau takut akan hilangnya ilmu, sebagaimana ditakutkan akan hilangnya pengajaran pada saat itu, dan perkara ini yang telah ditegaskan
sebelumnya oleh Al-Lakhmi. Akan tetapi orang-orang terdahulu enggan untuk menulis ilmu karena
ada permasalahan lain, bukan karena penulisannya dihukumi bidah, maka orang yang menyebut penulisan ilmu sebagai bidah berarti terlalu berlebihan
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
atau ia memang tidak mengetahui peletakan lafazh bidah. Oleh karena itu, tidak dibenarkan menggunakan dalil dengan pendapat ini atas kebenaran
suatu perbuatan yang dibarengi dengan bidah. Meski berhubungan dengan hal-hal yang telah disebutkan, tentang
perselisihan dalam hal al mashalih al mursalah, dan menurut kelompok ulama ushul bersandar padanya adalah tindakan yang tidak dibenarkan,
maka sebagai sanggahan atas pendapat mereka adalah ijma kesepakatan para sahabat dalam pengumpulan Al Quran. Apabila
telah ditetapkan kebenarannya dalam sebuah permisalan, maka mengambil pelajaran darinya dibenarkan secara mutlak dan tidak terdapat
perselisihan antara kedua golongan yang berselisih tersebut kecuali dalam perkara cabang-cabangnya.
Beliau SAW bersabda,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Maka hendaknya kamu berpegang teguh terhadap Sunnahku dan Sunnah-Sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelah
aku, dan genggamlah ia dengan erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu, lalu jauhilah oehmu perkara-perkara yang baru.
Hadits ini memberi pengertian —sebagaimana kamu lihat— bahwa Sunnah khulafaurrasyidin mengikuti Sunnah Rasululbh SAW, karena perkara
yang mereka tetapkan sunahkan tidak terlepas dari dua perkara, yaitu: ditetapkannya sesuai dengan dalil syariat, maka hal tersebut adalah Sunnah
bukan bidah. Atau ditetapkan tanpa dalil tetapi hadits telah menetapkan kebenarannya untuk menjadi Sunnah, sebab telah disetujui oleh pemilik
syariat, dan dalil dari syariat sangat jelas, sehingga bukan termasuk bidah. Oleh karena itu, ada larangan untuk menyebut setiap sesuatu yang baru
adalah bida secara mutlak, sebab jika perbuatan mereka bidah maka pasti terjadi pertentangan dalam hadits.
Dengan hal tersebut, dijawab dengan perkara pembunuhan satu kaum
yang dilakukan oleh satu orang, karena perkara tersebut telah dinukil dari Umar bin Khaththab RA salah seorang khuafaurrasyidin dan juga tentang
denda bagi para pekerja yang dinukil dari khulafaurrasyidin yang empat. Sedangkan perkara yang telah diputuskan oleh Umar bin Abdul Aziz,
tidak saya dapatkan kebenarannya dari jalur hadits shahih. Namun jika dapat dibenarkan, maka hal itu mungkin merujuk pada dasar al mashalih al
mursalah -jika kita tidak mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah kisah tentang sapi. Apabila telah diketahui kebenarannya, bahwa al
mashalih al mursalah dinukil pada permasalahan tersebut menurut ulama salaf, sedangkan orang-orang yang berpendapat demikian mencela
bidah dan pelakunya serta membebaskan diri darinya— yang menjadi dalil bahwa bidah hanya memperjelas perkara tersebut dan bukan menjadi
bagian darinya sedikit pun. Dalam perkara ini akan ada pembahasan khusus yang akan menjelaskannya.
G. Jenis-Jenis Bidah Berdasarkan Hukum Syariat Wajib, [Mandub] Sunah, Mubah, Makruh, dan Haram
Pada pembahasan ini dijelaskan bahwa para ulama telah membagi bidah berdasarkan hukum syariat yang lima dan tidak menyatakan satu bagian
pun darinya yang tercela. Hukum lima itu adalah wajib, mandub sunah, mubah, makruh, dan haram.
Al Qarafi telah menjelaskannya dengan penjelasan yang baik —dan dasar dari pendapatnya tersebut adalah pendapat syaikhnya, Izzuddin bin
Abdus-Salam, inilah nash yang telah ditulisnya, yang akan saya paparkan— ia berkata: