Dalil yang Digunakan Seorang Mujtahid dalam Al Istihsan
tersebut, maka mereka memberikan bidah-bidah mereka secara bertahap. Mereka tidak segan-segan mengklaim para ulama sebagai orang yang cinta
dunia dan menganggap diri mereka sebagai orang pilihan Allah dan kekasih- Nya. Mungkin juga mereka menguatkan perbuatan mereka dengan perkataan
para sufi ekstrem yang akan mengantar mereka ke dalam neraka Jahannam. Adapun untuk berdialog dan berdiskusi dengan orang alim, mereka tidak
akan bersedia Perhatikanlah riwayat yang dinukil oleh Al Ghazali tentang tahapan-
tahapan yang dilakukan oleh kaum Batiniyah untuk memperdaya orang lain agar masuk ke madzhab mereka. Kamu akan temukan bahwa dalam usahanya
tersebut mereka selalu menggunakan tipuan-tipuan yang sama sekali tidak berdasar pada ilmu, hingga mereka bisa mengeluarkan orang lain dari
jalan Sunnah atau bahkan keluar dari agama secara keseluruhan. Jika bukan karena takut membosankan, aku akan pasti akan nukilkan perkataan
beliau secara lengkap. Bagi yang ingin mengetahui hal ini bacalah
kitabnya Fadhaih Al Bathiniyyah [Kerancuan-Kerancuan Paham
BathiniyahJ Adapun definisi al istihsan yang kedua telah dijawab, yaitu: seandainya
pintu ini dibuka, maka batallah seluruh dalil yang ada dan setiap orang bebas memilih apa saja yang ia sukai dan mencukupkan diri dengan pendapat
akal, lalu lawan bicara secara langsung akan menolak pendapatnya. Hal ini akan menyebabkan kerusakan. Seandainya pendapat ini diterima dan
disesuaikan dengan dalil yang ada artinya jika salah maka tidak dianggap dan jika benar maka dikembalikan pada dalil-dalil syari, maka tidak apa-
apa. Dalil pertama tidak ada kaitannya sama sekali, karena hal terbaik yang
wajib kita ikuti adalah dalil-dalil syari, terutama Al Quran, karena Allah berfirman, Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al
Qur’an yang serupa mutu ayat-ayatnyaj Az-Zumar [39]: 23 Diriwayatkan oleh Muslim, bahwa dalam sebuah khutbah beliau
bersabda,
Amma badu, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah.... Hadits shahih.
Oleh karena itu, mereka wajib menerangkan bahwa semua hal yang menjadi kecenderungan hati dan kesenangan hawa nafsu masuk dalarn
perkara-perkara yang telah diturunkan Allah untuk kita, lebih-lebih hal itu membuktikan bahwa semua adalah sebaik-baik dalil.
Dalil lain adalah firman Allah, Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik. Qs. Az-Zumar [39]: 18
Mereka perlu membuktikan bahwa kecenderungan jiwa itu termasuk perkataan, lalu baru dilihat apakah ia termasuk sebaik-baik perkataan?
Kemudian kita menentang al istihsan ini; bahwa akal kita cenderung menolaknya dan memandang bahwa itu bukanlah hujjah, sebab yang disebut
hujjah hanyalah dalil-dalil syariat. Hal ini juga melazimkan bolehnya al istihsan dari orang awam yang
tidak mempunyai ilmu sama sekali, jika sebuah hukum itu bisa ditetapkan hanya dengan kecenderungan jiwa dan kesenangan nafsu. Ini termasuk hal
yang mustahil karena bertentangan dengan syariat, lebih-lebih dengan menjadikannya sebagai salah satu dalil.
Adapun dalil kedua, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah argumen karena beberapa sebab berikut ini:
1. Secara zhahir, dalil tersebut menunjukkan bahwa apa yang dianggap
baik oleh kaum muslim adalah baik, dan umat ini tidak akan bersepakat atas kebatilan. Jadi, kesepakatan mereka atas baiknya sesuatu
menunjukkan bahwa sesuatu itu baik menurut pandangan syariat, karena ijma merupakan salah satu dalil syariat. Hadits ini adalah dalil
untuk membatalkan pendapat kalian. 2.
Hadits tersebut merupakan hadits ahad, maka tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah yang qath’i.
3. Seandainya yang dimaksud adalah bukan mereka yang termasuk
ahli ijma, berarti telah me-Zazzm-kan adanya al istihsan dari kalangan orang awam, padahal itu salah secara ijma. Tidak bisa
dikatakan: Yang dimaksud adalah al istihsan dari kalangan ahli ijthad, karena kita berpendapat bahwa hal ini telah meninggalkan
sesuatu yang ditunjukkan oleh zhahir hadits. Jadi, batallah pengambilan dalil dengan cara ini. Lagipula, tidak ada faidahnya
menambahkan syarat ijtihad dalam hal ini, karena pada kenyataannya orang yang bisa melakukan al istihsan tidak terhitung
banyaknya, maka untuk apa ada syarat ijtihad? Jika dikatakan: Disyaratkan hal itu untuk mengantisipasi adanya
penyelewengan atas dalil-dalil syara yang dilakukan oleh orang awam yang tidak tahu sama sekali.
Maka jawabannya: Yang pasti, dalam hal ini al istihsan bersumber dari dalil. Buktinya adalah: para sahabat telah membatasi hukum-hukum
mereka, yang hanya berkisar pada mengikuti dalil-dalil yang ada dan memahami maksud-maksud syariat.
Intinya adalah, ketergantungan seorang pelaku bidah dengan hal-hal semacam ini merupakan sebuah ketergantungan dengan sesuatu yang tidak
ada manfaatnya sama sekali. Akan tetapi dalam bidah-bidah tertentu mereka mungkin menggantungkannya dengan syubhat-syubhat yang insya Allah akan
kami sebutkan nanti, sedangkan sebagiannya telah kami jelaskan.