Bersandarnya Orang-Orang yang Condong kepada Kesesatan pada Hadits-Hadits yang Meragukan,
meriwayatkan hadits kepada mereka, sehingga tidak disanadkan dari seorang yang tidak jelas asal usulnya atau dari orang tercela atau dari orang yang
dituduh telah berbuat kebohongan. Sanad tersebut hendaknya dari orang- orang yang dapat dipercaya periwayatannya, sebab pokok permasalahannya
hams benar-benar jelas dan tidak terdapat keraguan bahwa hadits tersebut telah diucapkan oleh Rasulullah SAW, agar kita dapat menjadikannya sebagai
sandaran dalam menjalankan syariat dan hukum-hukum. Sedangkan hadits-hadits dha’if tidak dapat dipastikan bahwa Nabi
SAW telah mengatakannya, maka hukum tidak dapat disandarkan padanya. Lalu, bagaimana menurutmu tentang hadits-hadits yang jelas terdapat
kebohongan? Ya, sesungguhnya orang-orang yang selalu bersandar pada hadits yang
terdapat unsur kebohongan adalah orang yang mendahulukan hawa nafsu. Namun, semua ini jika dianggap tidak menyelisihi hadits yang menjadi dasar-
dasar syariat. Apabila ia menyelisihinya maka sudah seharusnya tidak dijadikan dalil, sebab ia menjadi penghancur salah satu dasar dari dasar-dasar syariat.
Telah disepakati pula pelarangannya, meski secara tersurat terlihat benar dan hal itu sebagai dalil adanya keraguan atau kesalahan atau kelupaan dari
sebagian para perawi. Bagaimana penilaiannya jika tidak benar? Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata, Hadits dha’if lebih
baik daripada qiyas. Perkataannya yang tersurat mengindikasikan bahwa menjalankan perintah hadits dhaif tidak dibenarkan, sebab ia telah
mendahulukannya atas qiyas yang dapat dijadikan dalil perbuatan atasnya menurut jumhur ulama, bahkan ia adalah hasil mufakat para salafush-shalih
RA. Jadi, pemyataannya tersebut menandakan bahwa ia telah menjadikan derajat hadits dha’if lebih tinggi daripada derajat qiyas.
Jawaban dari pernyataan Hadits dhaif lebih baik daripada qiyas: Sesungguhnya pernyataan tersebut adalah pendapat seorang mujtahid dan
ijtihadnya pasti bisa salah atau benar, sebab ia tidak mempunyai dalil yang dapat membantah hal tersebut. Jika diterima pendapatnya, maka mungkin
dapat dipahami dari arti yang menyelisihi perkataannya yang tersurat, sebab
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
adanya kesepakatan mereka untuk membuang sanad hadits dha’if. Jadi, sudah menjadi keharusan penakwilannya bahwa yang ia maksudkan adalah
hadits yang mempunyai sanad hasan dan semua hadits tentang pendapat yang memperbolehkan pengamalannya.
Mungkin, maksud perkataannya lebih baik daripada qiyas adalah jika hal itu dijadikan dalil, sehingga seakan-akan ia menolak qiyas dan membuat
pemyataan yang menolak orang yang menjadikannya sebagai dasar hukum, sehingga dengannya ia menentang hadits-hadits. Oleh karena itu, Imam
Ahmad rahimahullah lebih cenderung untuk tidak memakai qiyas. Imam Ahmad berkata, Kita terus mencela orang yang menggunakan pendapat
akal Ahlul-Ra’yi dan mereka mencela kita hingga datang imam Syafii yang menyelesaikan pertentangan di antara kita. Atau yang ia maksudkan adalah
qiyas yang rusak, yang tidak mempunyai dasar dari Al Qur an, As-Sunnah, serta ijma, sehingga ia lebih mengutamakan hadits dhaif, meski hadits
tersebut tidak dipakai. Lagipula, bila perkataan Imam Ahmad itu dapat dipahami sesuai kehendaknya, maka tidak dibenarkan untuk bersandar
atasnya dengan adanya penentangan terhadap pendapat para Imam RA. Apabila dikatakan: Semua ini hanya sebagai pernyataan penolakan
atas imam-imam yang selalu menggunakan dalil-dalil dari hadits-hadits yang tidak shahih. Mereka —sebagaimana dalam pernyataan— mengharuskan
sanad-nya shahih. Mereka juga telah membuat pernyataan bahwa hadits- hadits tentang targhib wa tarhib anjuran dan ancaman periwayatannya
tidak harus bersandar pada sanad yang shahih. Namun jika ada maka hal itu lebih baik. Jika tidak ada, maka tetap dibolehkan untuk meriwayatkan dan
menggunakannya sebagai dalil. Sesungguhnya para imam telah mengerjakannya, seperti: Malik di dalam kitab Al Muwaththa, Ibnu Mubarak
di dalam kitab Ar-Raqa iq, Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Ar-Raqa iq, dan Sufyan dalam kitab JamiAlKhair.
Semua bentuk periwayatan di sini berkenaan dengan perkara targhib wa tarhib, dan jika bersandar pada hadits yang diperbolehkan maka
diperbolehkan pula hal tersebut pada perkara yang sepertinya, yang kembali
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
kepada inti permasalahannya. Seperti: shalat Ragaib shalat yang dilaksanakan karena ada keinginan, shalat Aashalat yang dilakukan mumi
karena hanya ingin mendekat, shalat pada pertengahan bulan Syaban, shalat pada malam Jumat pertama pada bulan Rajab, shalat keimanan dan shalat
mingguan, shalat berbakti kepada kedua orang tua {Birrul WaJidain, shalat bulan Asyura, puasa bulan Rajab, puasa pada tanggal 27 bulanan, serta
yang lainnya. Sesungguhnya semua itu berkenaan dengan perkara targhib wa tarhib dalam perbuatan amal shalih, sedangkan shalat pada prinsip dasar
hukumnya pasti, begitu pula puasa dan shalat malam. Semua itu berkenaan dengan kebaikan yang telah diriwayatkan tentang keutamaannya secara
khusus. Jika telah jelas permasalahan ini, maka semua hadits yang —telah
diriwayatkan tentang keutamaannya— ada di dalam hadits-hadits adalah bagian dari perkara targhib dan tidak disyaratkan padanya persaksian ahli
hadits tentang ke-shahih-an sanad-nya, berbeda dengan hukum. Dengan demikian pemyataan seperti ini adalah pengambilan dalil
dengan cara orang-orang yang mendalam ilmunya bukan dengan cara orang-orang yang condong kepada kesesatan. Mereka telah memisahkan
antara hadits-hadits hukum yang disyaratkan ke-shahih-an sanadnya dengan hadits-hadits targib wa tarhib kabar gembira dan peringatan yang tidak
mereka syaratkan ke-shahih-an sanadnya. Maka jawabannya: Apa yang telah disebutkan oleh ahli hadits tentang
perkara mempermudah penggunaan hadits-hadits targhib wa tarhib tidak sejalan dengan permasalahan kita yang sesungguhnya. Karena, perbuatan
yang sedang dibicarakan hukumnya, baik telah ditentukan nashnya yang masih asli secara global dan terperinci, atau belum ditentukan secara global
dan terperinci, maupun telah ditentukan nashnya secara global dan tidak terperinci.
1. Tidak terdapat keraguan tentang ke-shahih-annya, seperti shalat fardhu dan shalat sunah yang mempunyai sebab tertentu dan yang
lain. Juga seperti puasa fardhu atau puasa sunah yang telah diketahui sebab
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
disunahkannya apabila dikerjakan sesuai dengan pengarahan yang telah ditentukan nashnya tanpa penambahan serta pengurangan,
seperti puasa pada bulan Asyura atau pada hari Arafah, witir setelah shalat sunah malam dan shalat gerhana. Nash dalil pada permasalahan
tersebut adalah shahih sesuai dengan yang mereka syaratkan, maka tetaplah ke-shahih-an hukum-hukumnya dari perkara yang fardhu,
sunah, atau mustahab. Apabila di dalamnya terdapat hadits-hadits targhib sepertinya, atau ancaman untuk meninggalkan kewajiban
darinya, maka hadits-hadits tersebut tidak mencapai derajat shahih dan ia juga bukan termasuk hadits dha’if yang tidak ada seorang pun
yang menerimanya, atau ia menjadi hadits maudhu yang dibuat-buat yang tidak dibenarkan mendatangkan pembuktian dengannya. Jadi,
dibolehkan untuk menyebutkannya atau memberi peringatan dan anjuran dengannya setelah ditetapkan dasar-dasamya dari jalur hadits-
hadist shahih. 2.
Jelas bahwa perkara tersebut tidak dibenarkan dan ia adalah pokok- pokok bidah yang sesungguhnya. Karena, ia merupakan pendapat
akal yang dibangun atas dasar hawa nafsu. Ia adalah sebenar-benar perkara bidah dan bidah yang paling
buruk. Contoh: sifat ke-rahib-an yang jauh dari ajaran Islam, beribadah dengan berjemur diri di bawah terik matahari, dan berdiam diri serta
tidak berbicara dengan seorang pun. Anjuran untuk mendapatkan pahala dengan perbuatan seperti ini tidaklah benar, karena hal itu
tidak ada dalam syariat dan tidak ada dasar-dasar hukum yang menganjurkan atau memberikan ancaman terhadap orang-orang yang
menyelisihi perbuatan tersebut. 3.
Mungkin ia mengira perkara ini seperti perkara yang pertama dari sisi ketentuan dasar hukum; sama bahwa apabila telah ditetapkan ketentuan
dasar hukum suatu ibadah secara global, maka dengan mudah meriwayatkan perincian-perinciannya dari jalur yang tidak disyaratkan
ke-shahih-an dalil-dalilnya. Sesungguhnya mengerjakan shalat sunah
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
telah disyariatkan dengan mutlak, maka bila terdapat dalil targhib tentang shalat malam pada pertengahan bulan Syaban, berarti ia telah
menguatkan dasar-dasar targhib yang terdapat di dalam shalat sunah. Begitu juga bila telah ditetapkan dasar hukum puasa, niscaya puasa
pada tanggal 27 Rajab juga telah ditetapkan hukumnya, dan seterusnya. Namun perkara ini tidak seperti anggapan mereka, karena jika dasar-
dasar hukum ibadah ditetapkan pada perkara yang global, maka tidak mengharuskan ditetapkannya pula pada perkara-perkara yang
terperinci. Jika ketentuan hukum pada shalat tertentu telah ditetapkan secara mutlak, maka tidak mengharuskan penetapan itu pada shalat
Zhuhur, Ashar, witir, atau yang lainnya, sehingga shalat-shalat tersebut ditentukan oleh dalil nash yang khusus. Begitu pula jika ketentuan
hukum pada puasa tertentu telah ditetapkan niscaya tidak mengharuskan penetapan itu pada puasa Ramadhan, Asyura’
Syaban, atau puasa-puasa lainnya, sehingga ditetapkan secara terperinci satu persatu dengan dalil-dalil yang shahih.
Namun, yang telah disebutkan dalam pertanyaan tersebut sama sekali tidak mengandung perkara ini, sebab tidak ada hubungan antara
ditetapkannya shalat sunah siang hari dengan malam hari secara mutlak, dan antara shalat pertengahan bulan Syaban sekian rakaat dengan sekian
rakaat. Membaca pada setiap rakaat dengan surah anu secara khusus dengan jumlah sekian dan sekian kali pengulangannya. Juga yang semisalnya yaitu
puasa pada hari anu dari bulan anu sehingga kebiasaan tersebut menjadi tujuan khusus, padahal perkara tersebut sama sekali tidak ada dalam syariat
secara mutlak untuk mengerjakan perkara sunah yang berkaitan dengan shalat dan puasa.
Dalil dari pernyataan tersebut yaitu, pengkhususan hari dari hari-hari yang lain atau masa dari masa-masa yang lain dengan ibadah tertentu
mencakup hukum syariat secara khusus, sebagaimana telah ditetapkan hukum berpuasa pada bulan Asyura, atau puasa Arafah atau bulan Syaban, sebagai
nilai tambah mengerjakan puasa sunah yang lain secara mutlak. Telah ditetapkan kelebihan-kelebihannya dari puasa hari-hari yang lain secara
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
mutlak. Kelebihan tersebut menunjukkan kedudukannya di dalam hukum- hukum yang lebih tinggi dari hukum lainnya yang tidak dapat dipahami dari
ketentuan shalat sunah yang telah disyariatkan secara mutlak. Sebab ketentuan syariat yang telah ditetapkan secara mutlak menegaskan bahwa satu kebaikan
dibalas dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat menurut hitungan. Sedangkan puasa pada hari Asyura menegaskan bahwa ia dapat
menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya, maka hal ini merupakan perkara yang berlebihan berdasarkan ketentuan pasti mutlak yang telah disyariatkan
dan pelaksanaannya memberi nilai tambah menurut tingkatan pahalanya, dan hal tersebut harus dikembalikan sesuai dengan hukum.
Oleh karena itu, targhib yang khusus ini menunjukkan tingkatan pahala hanya pada bentuk perkara mandub yang khusus dan mengharuskan
pengembalian ketetapan hukumnya kepada hadits-hadits yang shahih atas dasar perkataan mereka, Sesungguhnya hukum tidak dapat dipastikan
kebenarannya kecuali dari jalur-jalur hadits shahih. Bidah yang bersandar pada dalil-dalil yang tidak shahih pasti terdapat penambahan atas perkara-
perkara yang telah disyariatkan, seperti penentuannya dengan waktu atau jumlah atau cara-cara pelaksanaan tertentu. Hal itu menjadikan suatu
kepastian bahwa hukum-hukum pada penambahan tersebut ditetapkan tanpa dalil-dalil yang shahih, dan ia menyelisihi dasar-dasar yang telah ditetapkan
oleh para ulama. Tidaklah dikatakan, Sesungguhnya mereka hanya menghendaki
hukum-hukum tentang perkara yang wajib atau haram. Maka selayaknya kita menjawab, Ini adalah penilaian hukum tanpa dalil, namun menyangkut
semua pembagian hukum yang lima, maka seperti halnya tidak ditetapkannya hukum perkara wajib kecuali dengan dalil yang shahih. Jika hukumnya telah
ditetapkan, maka lebih mudah untuk menetapkan hukumnya berdasarkan hadits-hadits targhib wa tarhib, bukan atas ketentuan diri sendiri. Pada
akhirnya, jika semua perkara yang menyangkut targhib telah ditetapkan hukum dan tingkatan pahalanya sesuai dengan yang disyariatkan dari jalur
dalil yang shahih, maka anjuran mengerjakannya tanpa dalil yang shahih akan dimaklumi. Namun, jika hukumnya ditetapkan dengan dalil-dalil targhib,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
maka harus mempunyai syarat shahih secara mutlak, dan jika tidak maka dianggap keluar dari jalur orang-orang yang mendalam ilmunya.
Telah terjerumus ke dalam kesalahan sekelompok orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu fikih dan mengkhususkan dirinya atas or-
ang awam dengan pengakuan sebagai tingkatan orang yang khawash. Namun, dasar dari kesalahan tersebut adalah ketidakpahamannya terhadap
perkataan ulama hadits pada kedua bagian tersebut. Wallahu a lam.