Akibat-Akibat Pewajiban atas Sesuatu yang Tidak Wajib

2. Kekhawatiran terjadinya kelalaian atau kelemahan dalam mengerjakan suatu amalan yang lebih utama dan lebih penting, seperti yang disyariatkan. Rasulullah SAW bersabda mengabarkan tentang Nabi Daud AS, Beliau selalu puasa sehari dan berbuka sehari, dan tidak lari apabila bertemu musuh. Hadits tersebut memberitahukan bahwa Nabi Daud AS tidak dibuat lemah oleh puasa saat menghadapi musuh. Abdullah bin Masud RA pernah ditanya, Mengapa kamu sangat sedikit bcrpuasa? la menjawab, Karena aku disibukkan membaca Al ur an. Membaca Al Qur’ an lebih aku sukai daripada berpuasa. Oleh sebab itu, Imam Malik membenci menghidupkan seluruh malam. Alasannya karena pada pagi harinya ia dapat saja lelah ngantuk, sementara dalam diri Rasulullah SAW terdapat suri teladan yang baik. Ia berkata, Tidak apa-apa —menggunakan seluruh waktu malam untuk beribadah— selama tidak membahayakan shalat Subuh. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa puasa Arafah akan menggugurkan dosa dua tahun. Tetapi berbuka tidak berpuasa pada hari Arafah bagi orang yang melaksanakan haji lebih utama, karena akan memberi kekuatan saat wukuf dan berdoa. Ibnu Wahab mempunyai hikayat tentang hal tersebut. Di dalam sebuah hadits juga dikatakan, Sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atasmu, orang-orang yang mengunjungimu mempunyai hak atasmu, dan jiwamu mempunyai hak atasmu. Jadi, apabila ia mewajibkan ibadah yang asalnya tidak wajib, maka mungkin saja akan membuatnya tidak dapat memberikan hak-hak orang lain atas dirinya. Diriwayatkan dari Abu Juhaifah RA, ia berkata, Orang yang terakhir Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dipersaudarakan Rasulullah SAW adalah Salman dan Abu Darda. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda, lalu ia melihat Ummu Darda berpakaian lusuh, maka ia bertanya, Mengapa kamu berpakaian lusuh? Ummu Darda menjawab, Saudaramu, Abu Darda, sudah tidak punya kebutuhan dengan dunia. Ia berkata, Ketika Abu Darda datang, ia menyugukan makanan, seraya berkata, Makanlah, aku sedang berpuasa. Salman berkata, Aku tidak akan makan sampai kamu makan. Ia pun makan. Ketika datang waktu malam, Abu Darda’ bangkit untuk shalat malam, maka Salman berkata kepadanya, Tidurlah Ia pun tidur. Kemudian ia bangkit lagi untuk shalat malam, maka Salman berkata lagi, Tidurlah, Ia pun tidur. Ketika datang waktu pagi Salman berkata kepadanya, Bangunlah sekarang Keduanya pun bangun dan melaksanakan shalat. Salman berkata, Sesungguhnya jiwamu mempunyai hak atasmu, Tuhanmu mempunyai hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karena itu, berikanlah hak-hak mereka. Setelah itu keduanya mendatangi Rasulullah SAW untuk menceritakan hal tersebut kepada beliau. Beliau pun bersabda, Salman benar. At-Tirmidzi berkata, Hadits ini shahih. Hadits ini telah mengumpulkan pemberitahuan bahwa hak keluarga istri adalah dengan persetubuhan, bersenang-senang, serta semua hal yang lebih baik untuknya. Hak tamu dengan pelayanan, bercengkerama, saling memberi makan, dan lainnya. Hak anak dengan mengatur urusan mereka melalui usaha dan pelayanan. Hak jiwa dengan tidak memasukkan hal-hal yang menyusahkannya. Hak Allah SWT dengan seluruh kewajiban yang telah disebutkan dan dengan tugas-tugas lainnya, baik yang wajib maupun yang sunah, yang lebih penting dan yang ia kerjakan. Jadi, yang wajib adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Apabila seseorang mewajibkan dirinya mengerjakan satu atau dua perkara sunah, maka terkadang hal itu akan mencegahnya Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin melaksanakan tugas lainnya atau mencegahnya dari kesempurnaan sebagaimana mestinya, sehingga ia justru menjadi tercela. 3. Dikhawatirkan jiwa menjadi benci terhadap amalan wajib, karena ia telah mewajibkan jenis amal yang pelaksanaannya dilakukan secara terus-menerus yang justru menyusahkannya. Kesusahan itu benar-benar membuatnya merasa jijik dari amalan itu, sehingga ia mengandai-andai jika dirinya tidak mengerjakannya, atau ia berangan-angan seandainya dirinya tidak melazimkannya. Makna itu diisyaratkan oleh hadits Aisyah RA dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, Sesungguhnya agama ini sangat kuat, maka masuklah ke dalamnya dengan lemah lembut dan janganlah kamu membuat jiwamu benci dengan ibadah kepada Allah, karena binatang yang putus asa tidak ada belahan bumi yang ditempuh dan tidak ada pula punggung yang ditegakkan duduk di atas pelana. Rasulullah SAW menyerupakan orang yang masuk agama dengan keras dengan binatang yang putus asa, yaitu yang terputus pada sebagian perjalanan karena dipaksa untuk ditunggangi terus-menerus, sehingga ia tidak mampu berjalan lagi. Seandainya ia mengendarainya dengan lemah lembut, maka ia akan sampai ke tujuannya. Begitu pula manusia, karena umurnya adalah jarak perjalanan, ter- minal akhirnya adalah mati, dan kendaraannya adalah jiwanya, maka ia dituntut untuk berlaku lemah lembut dengan dirinya sehingga memudahkannya menempuh jarak usianya dengan memikul beban. Nabi SAW melarang melakukan hal-hal yang menyebabkan jiwa benci terhadap ibadah kepada Allah. Ingat, sesuatu yang dilarang syariat bukanlah sesuatu yang baik. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Ketika diturunkan ayat, HaiNabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Qs. Al Ahzaab [33]: 45- 46 Rasulullah SAW memanggil Ali RA dan Muaz RA seraya bersabda, Berangkatlah kalian berdua dan berilah kabar gembira serta kemudahan, dan jangan memberi kesulitan, karena telah diturunkankan kepadaku ayat, Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Qs. Al Ahzaab [33]: 45-46. Diriwayatkan oleh Muslim dari Said bin Abu Bararah, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW mengutusnya Ali dan Muadz ke Yaman, beliau bersabda, Berilah kabar gembira dan janganlah kamu takuti, berilah kemudahan dan jangan memberi kesulitan, serta bersepakatlah dan jangan berselisih. Darinya pula, bahwa jika Nabi SAW mengutus seseorang dari sahabat beliau dalam suatu urusan, maka beliau bersabda, Berilah kabar gembira dan jangan kamu takuti serta berilah kemudahan dan jangan memberi kesulitan. Ini adalah larangan untuk memberi kesulitan. Orang yang mewajibkan diri atas sesuatu yang tidak wajib sehingga menyulitkan dalam beribadah juga termasuk kategori ini. Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata: Suatu hari Nabi SAW melintasi seorang laki-laki yang sedang| shalat di atas batu besar di kota Makkah. Beliau lalu singgah di sisi kota Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Makkah dan berdiam sambil berpikir, kemudian pergi. Temyata beliau mendapatkan orang itu masih shalat, seperti keadaan sebelumnya, maka beliau bersabda, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Wahai manusia, hendaklah kalian bersikap ekonomis dan adil —beliau menyebutkannya tiga kali— karena Allah tidak bosan sampai kamu bosan. Buraidah Al Astami meriwayatkan bahwa Nabi SAW melihat seorang laki-laki sedang shalat, maka beliau bertanya, Siapakah orang ini? Aku menjawab, la adalah fulan. Aku lalu menyebutkan tentang ibadah dan shalatnya. Beliau kemudian bersabda, Sesungguhnya sebaik-baik agamamu adalah kemudahannya. Sabda ini mengisyaratkan ketidakridhaan beliau terhadap kondisi tersebut, karena beliau khawatir akan timbul kebencian terhadap ibadah yang diamalkannya itu, dan kebencian terhadap amalan justru akan membuatnya meninggalkan amalan itu. Oleh karena itu, hukumnya makruh bagi orang yang mewajibkan sesuatu yang tidak wajib kepada jiwanya, karena itu menyalahi perjanjian. 4. Pada tiga sisi yang telah disebutkan terdapat dalil yang menunjukkan sisi keempat ini, karena sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, Kendaraan yang terputus tidak ada jarak yang ditempuh dan tidak ada punggung yang ditegakkan duduk di atas pelana, dan Janganlah kamu membuat dirimu benci untuk beribadah kepada Allah menunjukkan bahwa membenci amal akan menyebabkan terputusnya amal tersebut. Oleh karena itu, Nabi SAW mempermisalkannya dengan binatang kendaraan yang terputus menelusuri jarak tempuh dan itulah yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT, Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Qs. Al Hadiid [57]: 27. Sesuai dengan penafsiran tersebut. 5. Dikhawatirkan akan masuk kategori sikap ghuluw berlebih-lebihan dalam suatu perkara dan melampaui batas hingga mencapai derajat israf pemborosan dalam agama. Beberapa hal yang telah dijelaskan menunjukkan hal itu, padahal Nabi SAW bersabda, Wahai manusia, hendaklah kalian bersikap ekonomis. Allah juga berfirman, Janganlah kamu berlebih-lebihan melampaui batas dengan cara tidak benar dalam agamamu. Qs. Al Maa idah [5]: 77 Diriwayatkan dan Ibnu Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku pada pagi hari melontar Aqabah, Kumpulkanlah untukku kerikil-kerikil untuk melontar jumrah. Ketika aku meletakkan krikil-krikil di tangan, beliau bersabda, Kerikil- kerikil sebesar ini? Yang seperti kerikil-kerikil itu? Janganlah kamu bersikap berlebih-lebihan dengan cara tidak benar di dalam agama, karena orang-orang sebelum kamu binasa hanya karena berlebih- lebihan dalam agama. Beliau mengisyaratkan bahwa ayat larangan dari sikap berlebih-lebihan ini maknanya mencakup setiap sesuatu yang berlebih-lebihan dan diluar batas, dan kebanyakan hadits-hadits yang terikat dikeluarkan oleh Ath-Thabrani. Ia juga meriwayatkan dari Yahya bin Judah, ia berkata: Dikatakan kepadanya, Kerjakanlah sedang kamu menaruh kasihan, dan tinggalkanlah pekerjaan padahal kamu mencintainya. Pekerjaan yang dilakukan secara Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin kontinu, walaupun sedikit, akan lebih baik daripada pekerjaan yang banyak tapi terputus-putus. Seorang laki-laki datang kepada Muadz seraya berkata, Berilah wasiat kepadaku la berkata, Apakah kamu orang yang mau taat kepadaku? la menjawab, Ya. la berkata, Shalatlah dan tidurlah, berbukalah dan puasalah, berusahalah dan janganlah kamu menemui Allah mati kecuali dalam keadaan muslim, serta hindarilah doa orang yang dizhalimi. Diriwayatkan dan Ishak bin Suwaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Muththarrif, Ya Abdullah Ilmu itu lebih utama daripada amal perbuatanmu dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan. Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya dan seburuk-buruk perjalanan adalah —dengan— kecepatan tinggi. Makna sabdanya, Kebaikan itu berada di antara dua keburukan, adalah, kebaikan itu ekonomis dan adil, sedangkan dua keburukan adalah melampaui batas dan mengurang-ngurangi. Itulah yang ditunjukkan maknanya oleh firman Allah SWT, Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya... Qs. Allsraa [17]: 29 dan Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidakpulakikir... Qs. Al Furqaan [25]: 67 Makna haqhaqah: Perjalanan dengan kecepatan tertinggi dan meletihkan punggung. Hal ini juga merupakan sikap berlebih-lebihan serta boros. Yang senada dengan itu juga diriwayatkan dari Yazid bin Marrah Al Jafi, ia berkata, Ilmu itu lebih baik daripada amal perbuatan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan. Diriwayatkan dari Kaab bin Ahbar, ia berkata, Sesungguhnya agama Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin ini sangat kuat, maka janganlah kamu membuat dirimu benci kepada agama Allah. Masuklah dengan lemah lembut, karena kendaraan yang dipaksa tidak dapat menempuh jarak perjalanan dan membuat punggung tidak bisa tegak duduk di atas pelana. Kerjakanlah pekerjaan seseorang yang berpendapat bahwa ia tidak mati hari ini, dan berhati-hatilah seperti kehati-hatian orang yang berpendapat bahwa ia akan mati besok. Ibnu Wahab juga meriwayatkan hadits yang senada dengan itu dari Abdullah bin Amru bin Ash. Yang demikian ini mengisyaratkan untuk mengambil amal perbuatan yang dapat dikerjakan secara terus-menerus tanpa merasa susah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishak, ia berkata, Aku bertemu dengan sebagian sahabat Nabi SAW lebih banyak daripada orang-orang yang telah mendahuluiku, dan aku tidak melihat suatu kaum yang lebih ringan perjalanannya dan lebih sedikit tekanannya daripada mereka sahabat. Hasan berkata, Agama Allah diletakkan di atas kekurangan dan di bawah —sesuatu yang— berlebih-lebihan. Dalil-dalil yang senada dengan makna ini semuanya kembali kepada kaidah, bahwa tidak ada kesusahan dalam agama. Kesusahan yang dimaksud disesuaikan dengan perkembangan zaman, dan ia sesuai dengan zaman sekarang —seperti melaksanakan ibadah berat pada dirinya sendiri— pada zaman yang akan datang, karena kesusahan akan selalu bersanding dengan sikap terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu. Seperti kisah Abdullah bin Amru RA dan lainnya, walaupun terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu merupakan tuntutan, sesuai dengan yang ditunjukkan oleh perkataan Abu Umamah tentang firman Allah SWT, Maka mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, dan sabda Rasulullah SAW, Amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan oleh pelakunya secara terus-menerus, walaupun sedikit. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Oleh karena itu, apabila Nabi SAW mengerjakan suatu perbuatan, maka ia menetapkannya, hingga beliau mengqadha dua rakaat antara Zhuhur dan Ashar setelah Ashar. Hal itu jika orang yang mengerjakannya tidak bemiat mengerjakannya secara terus-menerus. Bagaimana jika ia telah membulatkan niat untuk tidak meninggalkannya? Itu lebih pantas untuk dikerjakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Amru, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Wahai Abdullah Janganlah kamu seperti fulan, dulu ia biasa bangun malam, akhirnya ia meninggalkan bangun malam. Hadits shahih. Rasulullah SAW melarangnya seperti si fulan itu. Dari hal ini nampak kebencian meninggalkan perbuatan itu, baik dari fulan maupun lainnya. Kesimpulannya adalah, bagian ini yang memungkinkan timbulnya kesulitan ketika dilakukan secara terus-menerus dituntut untuk ditinggalkan dengan alasan illat kebanyakan, sehingga dipahami —ketika menetapkannya— bahwa apabila 7aritu hilang, maka hilang pula tuntutan untuk meninggalkannya, dan apabila tuntutan meninggalkannya itu hilang, maka kembali pada asal amal perbuatan, yaitu tuntutan mengerjakan. Jadi, orang yang melaksanakan sesuatu itu dengan melazimkan syaratnya, masuk dalam kategori orang yang melakukan perbuatan makruh pada awalnya dari satu sisi, karena adanya kemungkinan tidak menepati syaratnya. Ia juga termasuk orang yang telah melakukan perbuatan sunah, karena secara zhahir ia ingin melakukannya. Sunnah karena Allah SWT memerintahkan untuk dipenuhi dan makruh karena timbulnya kebencian padanya untuk masuk ke dalam ibadah tersebut. Ketika makruh itu menjadi hukum pertama, maka masuk ke dalam amal perbuatan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah menyerupai masuk ke dalamnya tanpa perintah, sehingga ia diserupakan dengan orang yang berbuat bidah dan melakukan ibadah yang tidak diperintahkan. Dengan tinjauan seperti ini terkadang mudah menyebut ibadah tersebut sebagai perbuatan bidah, sebagaimana yang dilakukan cdeh Abu Umamah RA. Dilihat dari sisi hukum asal perbuatan, bahwa amal perbuatan pada asalnya diperintahkan untuk mengerjakannya sebelum melihat ujungnya atau tanpa melihat kesulitan yang ada atau dengan keyakinan bahwa ia dapat memenuhi syaratnya, maka pelakunya menyerupai orang yang mengerjakan amalan sunah dengan tujuan ibadah. Hal itu berjalan sesuai substansi dalil- dalil sunah. Setelah memasuki suatu amal, maka diperintahkan untuk memenuhinya, baik dalam bentuk nadzar maupun pewajiban dalam hati tanpa nadzar. Seandainya yang demikian itu merupakan perbuatan bidah yang masuk ke dalam definisi bidah, maka tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya, dan tentunya amal perbuatan tersebut batil. Oleh karena itu, tertera dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki sedang berdiri di bawah terik matahari, maka beliau bertanya, Kenapa orang ini? Mereka menjawab, la bernadzar untuk tidak bernaung, tidak berbicara, tidak duduk, dan berpuasa. Beliau bersabda, Perintahkan orang itu untuk duduk, berbicara, dan bernaung, serta sempurnakan puasanya. Coba perhatikan bagaimana Nabi SAW membatalkan perbuatan bidah yang tidak disyariatkan dan memerintahkan untuk memenuhi nadzar yang disyariatkan pada asalnya. Seandainya perbedaan antara keduanya tidak ada maknanya, maka pembedaan antara keduanya juga tidak ada maknanya. Begitu pula jika orang yang masuk ke suatu amalan diperintahkan untuk mengerjakannya secara kontinu, maka rnengerjakannya merupakan ketaatan, bahkan masuk dalam perbuatan yang wajib dilakukan, karena sesuatu yang Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin mubah, lebih-lebih yang makruh dan yang haram, tidak diperintahkan untuk dikerjakan secara terus-menerus, dan tidak ada bandingnya di dalam syariat untuk hal tersebut. Hal itu dikuatkan oleh sabdanya, Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka taatilah. Hal itu karena Allah SWT memuji orang yang memenuhi nadzamya dalam firman-Nya, Mereka menunaikan nadzar. Qs. Al Insaan [76]: 7 dalam gaya pujian dan pemberian ganjaran baik. Disebutkan pula dalam surah Al Hadiid, Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya. Qs. Al Hadiid [57]: 27 Tidak ada ganjaran kecuali atas sesuatu yang dituntut secara syariat. Perhatikanlah makna tersebut Makna itulah yang sesuai dengan amal perbuatan salafush-shalih RA, yang berdasar pada dalil-dalil tersebut. Dengan makna itu pula simalah prolem kontradiksi yang muncul pertama kali, sehingga ayat-ayat, hadits-hadits, dan kisah-kisah perjalanan yang lalu dapat berjalan seirama.

D. Kontradiksi Antara Dalil yang Memakruhkan Perbuatan Mewajibkan Amal Perbuatan yang Tidak

Wajib Dikerjakan secara Kontinu, dengan Dalil yang Mensunahkannya Dalil-dalil terdahulu yang menunjukkan makruhnya mewajibkan amal perbuatan yang tidak wajib dikerjakan secara kontinu, akan membuat kesulitan dan berbenturan dengan dalil-dalil yang menunjukkan hal-hal yang sebaliknya. Seperti riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat malam hingga kedua kakinya bengkak, sehingga dikatakan kepada beliau, Bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang? Beliau menjawab, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur? Beliau pun tetap puasa pada hari yang panjang dalam kondisi panas menyengat. Rasulullah SAW menyambungkan puasa dan tinggal di sisi Tuhannya dengan diberi makan serta minum dan lain-lainnya dari ijtihad beliau dalam beribadah kepada Tuhannya. Dalam diri Rasulullah terdapat suriteladan yang baik, sedangkan kita diperintahkan untuk mengikuti jejak beliau. Jika Anda mengabaikan dalil ini dengan dalih karena ibadah itu merupakan kekhususan Nabi SAW dan Tuhannya memberi makan dan minum, serta karena beliau mampu mengerjakan amal perbuatan yang tidak mampu dikerjakan oleh umatnya, maka bagaimana dengan —yang telah ditetapkan dalam hadits shahih— ibadah dan amalan sahabat, tabiin, dan imam-imam kaum muslim yang paham betul dengan dalil-dalil yang kamu gunakan untuk menunjukkan kemakruhannya? Sebagian dari mereka kedua kakinya kapalan karena kebanyakan ibadah, sedangkan kening sebagian dari mereka seperti lutut unta karena kebanyakan sujud. Diriwayatkan tentang Usman bin Affan RA, bahwa apabila ia shalat Isya, maka ia shalat witir satu rakaat dengan membaca Al Qur’an seluruhnya. Berapa banyak dari mereka yang melakukan shalat Subuh dengan wudhu shalat Isya... ibadah ini... ibadah itu Sunnah? Kemudian menyebutkan puasa ini... puasa itu... Sunnah? Mereka adalah orang-orang yang kenal betul dengan Sunnah dan tidak sedikit pun berpaling darinya. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA dan Ibnu Zubair RA, bahwa keduanya selalu puasa wishal. Imam Malik —Imam yang patut diikuti— membolehkan puasa dahr, maksudnya hanya berbuka pada hari-hari raya saja. Di antara hikayat tentang Uwais Al Qami RA, bahwa ia menghidupkan malam sampai Subuh, dan ia berkata, Telah sampai berita kepadaku bahwa Allah SWT mempunyai hamba-hamba yang selalu sujud untuk selamanya 21 ; 2 Di dalam a tsar terdapat kelengkapan yang sisi perkataannya menunjukkan bahwa pada Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin