Ada dan Tidaknya Bidah pada Pembuatan Jembatan

tidak diperbolehkan kecuali dari segi tersebut. Jadi, pada saat itu, bertahan dengan perinsip yang telah disebutkan merupakan perbuatan bidah, bahkan bidah yang tercela dan menyesatkan insyaallah akan dijelaskan selanjutnya. Dengan demikian, tidak dapat menjadi sesuatu yang mubah. Ketiga: Berpatokan pada pendapat akal seseorang yang menyatakan bahwa pengertiannya masuk akal dan selainnya adalah bidah yang tercela. Seperti orang yang membenci mengayak tepung dengan alat cetakannya, menurutnya itu bukan termasuk bidah yang mubah dan bukan pula bidah yang dianjurkan. Adapun pembahasan masalah shalat tarawih, telah dijelaskan sebelumnya.

3. Delik-delikTasawuf

Tasawuf bukan termasuk perkara bidah dan bukan pula permasalahan yang dapat dipecahkan dengan dalil secara mutlak, karena perkara ini terbagi- bagi. Untuk lebih mudah dipahami, lafazh tasawuf harus diterangkan terlebih dahulu, agar hukumnya menjadi jelas dan terperinci, karena menurut para ulama mutakhkhirin tasawuf adalah perkara yang global. Kesimpulan tentang pengertian lafazh tasawuf, menurut mereka ada dua, yaitu: 1. Berakhlak dengan akhlak yang terpuji dan meninggalkan akhlak yang tercela. 2. Melupakan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan selalu bersama Allah. Kedua pengertian tersebut pada hakikatnya memiliki satu arti, namun yang satunya diartikan sebagai awal perjalanan dan yang satunya lagi diartikan sebagai akhir perjalanan. Kedua pengertian tersebut adalah sifat tasawuf, namun pengertian yang pertama tidak berhubungan dengan keadaan {Al Hal, sedangkan yang kedua berhubungan dengan keadaan. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Ada juga yang mengartikannya dengan pengertian lain, yaitu bahwa yang pertama adalah perkara-perkara taklif pembebanan yang berisi perintah dan larangan dan yang kedua adalah hasil dari pelaksanaan takif tersebut Jadi, pengertian yang pertama merupakan sifat-sifat zhahir dan pengertian yang kedua merupakan sifat-sifat batin, sedangkan penggabungan keduanya disebut tasawuf. Menurut pendapat yang ada, bila pengertian ini telah disepakati maka lafazh tasawuf dengan pengertian yang pertama bukan termasuk bidah, karena ia bersandar kepada pemahaman ilmu fikih yang berdasarkan pada perbuatan, pembahasan secara terperinci tentang kendala dan rintangan- rintangannya serta mencarikan solusi dari segi kerusakan yang terjadi dengan perbaikan. Ia adalah ilmu fikih yang benar, yang dasar-dasamya sangat jelas, ada di dalam Al Quran dan Sunnah. Dengan demikian, perkara tersebut tidak dapat disebut bidah, kecuali bila disebutkan atas cabang-cabang ilmu fikih yang belum digolongkan bidah oleh ulama-ulama salaf, seperti terdapat pada cabang-cabang pembahasan tentang salam, sewa menyewa, perawat, perkara-perkara lupa, menarik kesaksian, dan jual-beli dengan uang muka. Tidak ada wewenang bagi para ulama untuk menyebutkan lafazh bidah terhadap cabang-cabang ilmu fikih yang telah ditetapkan hukumnya dan tidak tercantum sebelumnya, meski perkara-perkaranya samar dan sulit dimengerti. Begitu pula akhlak yang zhahir dan batin, tidak lantas digolongkan sebagai bidah, sebab semua perkara tersebut kembali pada dasar-dasar yang telah disyariatkan. Sedangkan atas pengertian yang kedua terdapat beberapa pengertian: 1. Kembali pada rintangan-rintangan tambahan seseorang yang sedang meniti jalan tasawuf salik. Ketika cahaya keimanan merasuk ke dalam diri mereka, maka ia berbicara tentang perkara tersebut sesuai dengan waktu dan keadaan. Pada kondisi tertentu, ia membutuhkan bimbingan seorang syaikh yang bisa menuntun dan menjelaskan apa yang akan diberikan kepadanya agar bisa menemukan sumbernya dengan firasat yang benar sesuai dengan dirinya dan rintangan. Kemudian ia Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin