pendapat dari orang alim, karena setiap orang yang berakal pasti bisa membedakan antara amalan yang sedikit dengan amalan yang banyak.
Di sini sebuah hukum -yaitu batal tidaknya suatu perbuatan- ditentukan oleh pendapat orang yang awam dan bukan termasuk salah satu dari
dalil kitab atau Sunnah, karena perkataan orang awam tadi bukan termasuk dalil untuk sebuah hukum tertentu, tapi disebut sebagai
Manathul Hukm sesuatu yang sebuah hukum ditentukan olehnya. Jika ada sesuatu yang menjadi penentu sebuah hukum, maka hukum
itu pun ada, dan inilah yang dicari sehingga bisa dihukumi dengan dalil syari.
Demikian juga bila kita berpendapat tentang wajibnya bersegera untuk bersuci dan kita bedakan antara sesuatu yang ringan dengan sesuatu yang
berat saat bersuci. Cukuplah bagi orang awam untuk mengetahui hal itu menurut penglihatan. Jadi, sah tidaknya bersuci ditentukan oleh sesuatu
yang ada di dalam hatinya, karena ia melihat pada Manathul Hukm tersebut.
Jika demikian halnya, maka orang yang mempunyai daging kambing berhak halal untuk memakannya, karena kehalalannya sudah jelas dengan
adanya syarat kehalalannya. Jadi, hukum ditentukan berdasarkan hal ini. Jika ia punya bangkai kambing, maka haram baginya untuk memakannya,
karena keharamannya sudah jelas dengan tidak adanya syarat kehalalannya. Jadi, hukum ditentukan berdasarkan hal ini, bukan berdasarkan pada apa
yang ada pada diri orang tersebut. Bukankah sepotong daging secara dzatnya bisa berbeda hukumnya, tergantung pada sebabnya, bisa jadi itu halal karena
ada sebab yang menghalalkannya dan bisa jadi itu haram karena ada sebab yang mengharamkannya. Bahkan boleh jadi sepotong daging yang halal
dimakan oleh seseorang menjadi haram bila dimakan oleh orang lain? Jadi, jika disyaratkan atas apa yang ada di dalam hati adanya dalil
syari yang menunjukkan hal itu, maka contoh tersebut adalah salah, karena dalil-dalil syara tidak mungkin saling bertentangan antara satu dengan yang
lain. Jika kita umpamakan adanya daging yang status hukumnya membingungkan seseorang, maka ia tidak boleh memakannya karena
menganggapnya halal atau tidak boleh memakannya karena menganggapnya haram, seperti hukum daging bangkai yang tercampur dengan daging
sembelihan dan hukum seorang istri yang tercampur dengan wanita lain. Pada saat seperti inilah terjadi sebuah keragu-raguan dan syubhat. Manathul
hukm ini membutuhkan dalil syari yang menjelaskan status hukumnya, seperti hadits-hadits yang lalu, antara lain: sabda Nabi SAW, Tinggalkan sesuatu
yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan. dan sabda beliau, Kebaikan adalah sebuah ketenangan hati, sedangkan dosa adalah
sesuatu yang membuat hatimu gelisah. Artinya, jika kita menganggap dengan istilah kita terhadap apa yang
ditetapkan karena hukum halal atau haram, maka hal itu kedudukannya menjadi jelas, sedangkan apa yang meragukan maka tinggalkanlah dan jangan
dilakukan. Inilah maksud dari sabda beliau SAW, Mintalah fatwa pada hatimu walaupun orang-orang memberimu fatwa. Karena penetapan sebuah sebab
yang kamu lakukan dalam masalahmu khusus berhubungan dengan dirimu sendiri, tidak berhubungan dengan orang lain.
Hal ini sangat jelas dalam masalah yang sebab hukumnya tidak jelas bagimu tapi jelas bagi selainmu, karena cara pandangnya berbeda dengan
cara pandangmu. Hadits, Walaupun orang-orang memberimu fatwa bukan berarti jika mereka menyampaikan sebuah hukum syari kepadamu kamu
hams menolaknya dan hanya berdasar pada apa yang dikatakan oleh hati. Ini adalah pendapat yang salah dan melanggar kebenaran syariat. Tapi yang
dimaksud adalah kembali pada penentuan sebab sebuah hukum. Memang benar, boleh jadi kamu tidak ada kemampuan
38
untuk menentukan sebab tadi, sedangkan selainmu bisa melakukannya lalu kamu
mengikutinya taqlidj dalam masalah ini. Tapi masalah ini diluar pembahasan kita, sebagaimana ada kalanya penentuan sebuah sebab itu didasarkan pada
salah satu dalil syari, seperti penentuan batasan kaya yang wajib zakat. Pada
38
Seperti itulah dalam teks aslinya, namun kata itu sebenarnya adalah Dzariah bukan dariyah sebab dariyah asal katanya adalah dari ah.
dasarnya hal ini berbeda sesuai dengan keadaan, akan tetapi syara memberikan batasan dengan 20 dinar atau 200 dirham dan yang semisalnya.
Akan tetapi yang menjadi bahasan kita di sini adalah penentuan suatu sebab yang diserahkan pada seorang mukallaf.
Jadi, jelaslah masalah ini, bahwa hadits-hadits tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk memasukkan kata hati dan kecenderungan jiwa ke
dalam dalil-dalil syari, sebagaimana yang dianggap oleh penanya yang bermasalah. Inilah keterangan yang pasti.
Segala puji bagi Allah SWT yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan.
BAB IX SEBAB-SEBAB TERPECAHNYA KELOMPOK YANG
MEMBUAT BIDAH Dl KALANGAN UMAT ISLAM
Perlu Anda ketahui bahwa di dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kecaman menghinakan bidah dan hadits-hadits yang
menginformasikan sifat-sifat kelompok tersebut. Kelompok yang dimaksud berhasil membentuk bermacam-macam kelompok yang aturannya tidak
sejalan dengan Islam. Jika mereka bagian dari kelompok bidah, maka hukum yang berlaku bagi mereka hanya hukum kelompok tersebut.
Tidakkah Anda menyimak firman Allah SWT berikut ini, Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan
mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Qs. Al Anaam [6J: 159
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama
mereka. Qs. Ar-Ruum [30]: 31-32 Dan bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang IainQs. Al Anaam [6]: 153
Serta masih banyak lagi ayat-ayat yang menunjukkan perpecahan. Di dalam hadits,
Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Perpecahan yang dimaksud bersumber dari perbedaan madzhab dan
pemikiran. Jika perpecahan ini kita artikan sebagai perpecahan jasmaniah, maka hal inilah makna yang sebenarnya. Jika perpecahan ini kita kaitkan
dengan madzhab, maka yang dimaksud adalah perselisihan, sebagaimana firman Allah SWT, Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih. Qs. Aali imraan [3]: 105 Dengan demikian, yang perlu kita perhatikan adalah permasalahan
yang menjadi sebab timbulnya perpecahan. Dalam hal ini ada dua penyebab,
yang salah satunya adalah orang-orang yang tidak akan mendapatkan
apa pun dalam perselisihan tersebut. Hal ini terlebih dahulu dikembalikan kepada kemampuan mereka, dan mereka yang memperoleh hasil. Terhadap
kelompok ke dua inilah tujuan dari pembicaraan pada bab ini. Kami hanya menjadikan sebab-sebab pertama sebagai pendahuluan, karena di dalamnya
sebab kedua terkandung makna yang mendasar, sehingga dibutuhkan keteguhan hati bagi orang yang hendak mempelajari tentang bidah ini.
Semoga Allah memberikan petunjuk tentang kebenaran kepada mereka. Firman Allah SWT, Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.
Danuntuk itulah Allah menciptakan mereka. Qs. Huud [11]: 118-119. Allah SWT memberitakan bahwa manusia akan senantiasa berselisih
pendapat, sebagaimana Allah SWT menciptakan mereka untuk berbeda. Sebagian kelompok ahli tafsir berkata menafsirkan ayat ini, Dan
untuk itulah Allah menciptakan mereka , Untuk perselisihan itulah Allah menciptakan mereka.
Anas bin Malik mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda, baik di surga maupun di neraka.
Al Hasan mengatakan bahwa dhamir kata ganti pada ayat Kami ciptakan 73erefeditujukan kepada manusia. Tidak mungkin terjadi sesuatu
di antara mereka tanpa adanya ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan perbedaan di sini bukanlah perbedaan pada sifat-sifat seperti
baik dan buruk, panjang dan pendek, atau perbedaan pada warna seperti merah dan hitam, bukan pula pada kondisi fisik suatu ciptaan yang asli seperti
buta atau melihat, tuli atau mendengar, atau perbedaan pada karakteristik seseorang seperti pemberani atau penakut, dermawan atau pelit, dan tidak
pada sifat-sifat lain yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Adapun maksud dari perbedaan di sini adalah perselisihan yang
membuat diutusnya para nabi oleh Allah SWT, guna memberikan ketetapan hukum kepada mereka yang saling berselisih, sebagaimana firman Allah SWT,
Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Qs. Al Baqarah [2]: 213 Perselisihan tersebut terjadi pada pemikiran-pemikiran, kepercayaan, agama, dan keyakinan yang berhubungan
dengan kebahagiaan serta kesengsaraan hidup manusia di dunia dan akhirat. Inilah yang dimaksud ayat tersebut tentang perbedaan yang terjadi di
antara manusia. Perselisihan tersebut terjadi pada berbagai segi:
A. Segi Pertama: Perselisihan pada Sumber Kepercayaan atau Keyakinan
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ahli tafsir, diantaranya adalah Atha. Allah SWT berfirman, Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Qs. Huud [11]: 118-119.
Atha dan Abu Hanifah berpendapat bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi termasuk orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Tetapi Ibnu Wahab menolak pendapat tersebut, hal ini terlihat pada dasar-dasar pemikirannya terhadap ayat tersebut.