Celaan terhadap Pendapat yang Tercela
Jika demikian adanya maka celaan terhadap pendapat yang mengarah
pada bidah adalah celaan yang sangat buruk.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dan lainnya dari Auf bin Malik Al
Asyjai, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan lebih, dan golongan yang paling berbahaya adalah kaum yang membandingkan
agama dengan pendapat mereka, yang dengannya mereka mengharamkan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah serta dengan
mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Ibnu Abdul Barr berkata, Ini adalah perbandingan tanpa dasar dan
pendapat —dalam masalah agama— dengan pendustaan dan peridraan akal.
Coba perhatikan sabda beliau berikut ini,
Menghalalkan —hal-hal—yang haram dan mengharamkan —hal-hal— yang halal.
Telah disepakati bahwa perkara yang halal adalah semua perkara yang penghalalannya terdapat dalam kitab Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan perkara
yang haram adalah semua perkara yang pengharamannya terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Orang yang tidak mengetahui namun ia
menjawab pertanyaan tentang perkara tersebut tanpa ilmu serta memutuskan dengan pendapatnya yang bertentangan dengan Sunnah, berarti orang ini
telah membandingkan suatu perkara dengan pendapat akalnya sehingga sesat dan menyesatkan, dengan seseorang yang mengembalikan cabang-cabang
ajaran syariat yang diketahuinya kepada pokok-pokoknya dan tidak mengambil keputusan dengan pendapatnya.
Ibnu Mubarak meriwayatkan hadits, Sesungguhnya syarat datangnya
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Hari Kiamat ada tiga, salah satunya adalah dikuasainya ilmu oleh anak-anak kecil. Lalu ditanyakan kepada Ibnu Mubarak, Siapa yang dimaksud anak-
anak kecil? la menjawab, Orang-orang yang berkomentar hanya dcngan mengandalkan akalnya. Anak kecil yang meriwayatkan dari orang dewasa
tidak dinamakan dengan anak-anak kecil. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Umar Ibnu Al Khaththab, bahwa
beliau berkata, Orang-orang yang mengikuti pendapat akalnya akan menjadi musuh-musuh Sunnah, karena mereka diperintahkan untuk memakai hadits-
hadits namun ternyata berlepas diri darinya. Sahnun berkata, Maksudnya adalah bidah.
Dalam periwayatan lain disebutkan, Berhati-hatilah terhadap orang- orang yang mengikuti pendapat akalnya, karena mereka adalah musuh
Sunnah. Mereka diperintahkan memakai hadits-hadits dengan tujuan menjaganya, namun mereka justru menggunakan pendapat akalnya, sehingga
mereka sesat dan menyesatkan. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab, ia mengatakan bahwa para pengikut
pendapat akal adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka diperintah untuk menjaganya dengan cara memakainya, namun mereka justru berlepas diri
darinya. Mereka merasa malu jika ditanya kemudian menjawab, Kami tidak tahu. Akhirnya mereka menyelisihi Sunnah dengan pendapat akalnya. Jadi,
berhati-hatilah kamu melakukan hal itu dan jauhkanlah dirimu dari mereka. Abu Bakar bin Abu Daud berkata, Pengikut pendapat akal adalah
pengikut bidah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, Siapa yang berpendapat
dengan pendapat akalnya yang tidak terdapat dalam kitab Allah dan tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, niscaya ia tidak tahu keadaan dirinya
ketika bertemu dengan Allah Azza wa JaJJa. Diriwayatkan oleh Ibnu Masud RA, ia berkata, Orang-orang alim di
antara kamu telah pergi dan manusia menjadikan orang-orang bodoh yang memutuskan semua perkara dengan pendapat akalnya sebagai pemimpin
mereka.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan yang lain dari Umar bin Khaththab, ia berkata, Sunnah adalah yang telah disunnahkan Allah dan Rasul-Nya,
dan janganlah kamu menjadikan pendapat akal sebagai Sunnah bagi umat. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya,
ia berkata, Perkara-perkara bani Isra’il tetap berjalan lurus hingga lahir dari mereka anak-anak dari tawanan umat lain, kemudian mereka memakai
pendapat akal, sehingga mereka menyesatkan bani Isra il. Diriwayatkan dari Asy-Syabi, ia berkata, Sesungguhnya kehancuran
Anda terjadi tatkala Anda meninggalkan Sunnah dan memakai pendapat akal.
Diriwayatkan dari Al Hasan, ia berkata, Orang-orang sebelum kalian telah celaka, penyebabnya adalah jalan yang bercabang-cabang, mereka
berbelok dari jalan yang lurus dan meninggalkan Sunnah serta memutuskan perkara agama dengan pendapat akal mereka, sehingga mereka sesat dan
menyesatkan. Diriwayatkan dari Darraj bin As-Sahm bin Asmah, ia berkata, Akan
datang suatu masa kepada manusia, seorang laki-laki yang membuat gemuk binatang tunggangannya sehingga penuh dengan lemak, kemudian ia
menaikinya melintasi negeri-negeri hingga kembali menjadi kurus demi mencari seseorang yang dapat memberikan fatwa dengan Sunnah yang telah
dilakukannya, namun ia hanya mendapatkan orang yang berfatwa dengan perkiraan akalnya.
Ulama telah berselisih pendapat tentang pendapat akal yang dimaksud di dalam hadits dan Sunnah tersebut. Sebagian kelompok berpendapat,
Maksudnya adalah pendapat akal para pelaku bidah —yang menentang Sunnah— dalam masalah akidah, seperti aliran Jahmiyah dan semua aliran
ulama ilmu kalam. Mereka menggunakan pendapat-pendapat akal mereka untuk menentang hadits-hadits yang telah diriwayatkan dari Nabi, bahkan
untuk menentang nash-nash Al Qur an yang telah jelas tanpa adanya sebab- sebab yang mengharuskan penentangannya dan penakwilannya,
sebagaimana mereka berpendapat tentang pengingkaran terhadap melihat
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Allah dengan dalil-dalil yang tersurat yang mencakup beberapa kemungkinan, pengingkaran terhadap adzab kubur, pengingkaran terhadap timbangan amal,
dan pengingkaran terhadap sirathal mustaqim. Mereka juga menolak hadits- hadits tentang pemberian syafaat dan telaga Rasul -serta banyak lagi— yang
semuanya disebutkan di dalam kitab-kitab ilmu kalam. Kelompok lain berkata, Maksudnya adalah pendapat akal yang tercela
dan buruk, yaitu pendapat-pendapat ahli bidah dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk perbuatan bidah, karena hakikat bidah secara keseluruhannya
kembali pada pendapat akal dan keluar dari syariat. Pendapat tersebut adalah yang paling benar, sebab dalil-dalil yang telah
disebutkan —secara tersurat— mencakup seluruh bentuk bidah yang umum, yang terjadi hingga Hari Kiamat, baik dalam perkara yang berkenaan dengan
dasar-dasar agama maupun cabang-cabangnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Qadhi Ismail tentang firman Allah, Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap
mereka Qs. Al Anaam [6]: 159 Setelah dijelaskan bahwa ayat ini diturunkan untuk kelompok Khawarij.
Adapun orang-orang yang menganggapnya sebagai pengkhususan, tidak bermaksud menyatakan tujuan yang pertama dari bentuk bidah, namun
hanya memberi contoh dengan sebuah permisalan yang terdapat dalam kandungan ayat tersebut. Contohnya adalah permisalan yang telah disebutkan
tadi, yang pada zaman itu perkara tersebut sedang berkembang pada zaman itu. Oleh karena itu, perkara tersebut lebih utama untuk dijadikan permisalan
sementara yang lainnya tidak disebutkan oleh yang mengomentari perkaranya. Jika mereka ditanya tentang keumuman maksud ayat tersebut, mereka pasti
menyetujuinya. Demikianlah, semua pendapat sebelumnya yang mengkhususkan bidah
pada sebagian kelompok ahli bidah, hanyalah hasil dari penafsiran yang sesuai dengan kebutuhan. Bukankankah kamu dapat memperhatikan bahwa
ayat pertama yang menjadi dasar dari pembahasan ini, yang terdapat dalam
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
surah Aali Imraan diturunkan berkenaan dengan kisah orang-orang Nasrani? Kemudian diturunkan untuk kaum Khawarij, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya —dan lainnya, sebagaimana telah disebutkan dalam penafsiran— adalah mereka menafsirkannya sesuai kebutuhan saat itu, bukan
sesuai kandungan lafazh secara bahasa. Begitulah hendaknya penafsiran ulama-ulama terdahulu dipahami, karena mereka mempunyai kedudukan
yang utama dalam keilmuan serta derajat yang tinggi dalam memahami Al Quran dan Sunnah. Pernahaman tentang perkara ini akan dijelaskan pada
bab yang lain. Kelompok lain Ibnu Abdul Al Barr dari jumhur ahli ilmu berkata,
Pendapat akal yang disebutkan dalam hadits tersebut maksudnya adalah pernyataan dalam hukum-hukum syariat agama yang hanya berlandaskan
pada istihsan dan prasangka, bersungguh-sungguh mempertahankan kekeliruan dan kesalahan-kesalahan, serta mengembalikan cabang-cabang
serta bagian-bagiannya hanya berlandaskan pada pendapat akal atau qiyas tanpa merujuk pada dasar-dasarnya dan sebab-sebab pengambilan hukumnya,
sehingga pendapat akal digunakan sebelum adanya perintah, kemudian hal itu terbagi-bagi menjadi beberapa bagian sebelum dikukuhkan, dan
diperbincangkan sebelum disahkan, sekali lagi bahwa mereka menggunakan pendapat akal yang serupa dengan prasangka.
Mereka berkata, Karena bersungguh-sungguh dengan semua ini dan berpegang teguh padanya, menyebabkan tidak berfungsinya Sunnah dan
tampaknya ketidaktahuan tentangnya serta meninggalkan sesuatu yang seharusnya diperhatikan; As-Sunnah dan kitab Allah beserta makna-
maknanya. Mereka kemudian berhujjah —atas pendapat tersebut— dengan
bermacam-macam dalil; diantaranya yaitu: Umar RA melaknat orang yang bertanya tentang perkara-perkara yang tidak diperintahkan dan larangan-
larangan terhadap sesuatu, karena dapat menjadikannya terjatuh dalam kesalahan; mempersulit masalah dan banyak bertanya. Sesungguhnya ia
sangat membenci dan mencela sikap banyak bertanya. Sesungguhnya ulama
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
salaf tidak pernah menjawab kecuali dengan hal-hal yang telah diturunkan, bukan dengan hal-hal yang belum diturunkan.
Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat sebelumnya, karena orang yang berpendapat demikian telah melarang penggunaan pendapat
akal, meski tidak tercela, Sebab, banyak menggunakan pendapat akal akan menjerumuskan seseorang pada pendapat akal yang tercela, yaitu tidak
memperhatikan Sunnah dan hanya memakai pendapat akal. Apabila demikian keadaannya, maka sama dengan pendapat sebelumnya, sebab biasanya
hukum syariat bila melarang atau mencegah sesuatu, maka mencegah pula sesuatu yang ada disekelilingnya dan masuk ke dalam ruang lingkupnya.
Rasulullah SAW,
Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, sedangkan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar.
Diterangkan pula dalam syariat tentang asal hukum mencegah kerusakan, yaitu melarang yang diperbolehkan karena mengarah kepada hal
yang tidak diperbolehkan. Besarnya kerusakan dalam perkara yang dilarang menjadikan luasnya larangan pada kerusakan dan keharusan
meninggalkannya. Dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya menjelaskan tentang
besarnya bahaya bidah dan kerusakan yang ditimbulkannya, sedangkan hal tersebut mengitari batasan-batasannya yang sangat luas.
Oleh karena itu, para ulama menjauhkan pendapat mereka dari qiyas, meski sejalan dengan hal tersebut. Sebagian kelompok pemberi fatwa
melarang penggunaan qiyas sebelum diturunkan permasalahannya. Mereka meriwayatkan hadits —tentang hal tersebut— dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Janganlah terburu-buru memutuskan perkara sebelum kejadiannya, karena jika kamu melakukannya maka akan terpecah bagimu jalan-
jalan disana dan disini. Betul, sesungguhnya beliau SAW melarang banyak bertanya, seperti
dalam sabdanya,
Sesungguhnya Allah telah menentukan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu meninggalkannya. Dia telah melarang sesuatu,
maka janganlah kamu melanggarnya, Dia telah menentukan hukum- hukum-Nya, maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah
membiarkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu mempermasalahkannya.
12
Sebagian ulama membolehkan hal tersebut bagi para pemimpin, sehingga mereka tidak memberikan fatwa sampai pemimpin tersebut yang
menangani perkara tersebut. Mereka menamakannya Shafawul Umara Sebagian kelompok yang hanya bersandar pada akal, bukan pada
ilmu, memberikan fatwa untuk tidak mengikuti pemimpin. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata tatkala ditanya tentang orang
yang tidak mempunyai anak dan ayah, Aku akan menjawabnya dengan pendapatku sendiri; jika benar maka itu datangnya dari Allah, namun jika
salah maka itu datangnya dari diriku sendiri dan syetan. Setelah itu ia
12
Telah dinukil oleh An-Nawawi di dalam hadits Arbain dari Daruquthni dengan lafazh, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban maka janganlah kamu
meninggalkannya, dan telah menentukan hukum-hukumnya maka janganlah kamu melampauinya, serta telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu melanggarnya, dan
membiarkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu bertanya tentangnya.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
mengutarakan jawabannya. Seorang laki-laki datang kepada Said bin Musayib dan bertanya
kepadanya tentang sesuatu, kemudian ia menjawabnya. Lalu ditanya lagi tentang hal yang sama, dan ia pun menjawabnya. Orang tersebut yang
bertanya lalu menuliskan jawabannya. Salah seorang muridnya kemudian berkata, Apakah kamu menuliskan pendapatmu, wahai Abu Muhammad?
Said lalu berkata kepada laki-laki tersebut, Berikan tulisan itu kepadaku. Tulisan itu pun diserahkan kepadanya, dan ia kemudian membakarnya.
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang sesuatu, ia pun menjawabnya. Tatkala laki-laki tersebut menjadi pemimpin, ia memanggilnya
dan berkata kepadanya, Janganlah kamu menyangka bahwa Qasim menganggap jawaban ini benar, akan tetapi jika kamu terpaksa
menggunakannya maka gunakanlah. Malik bin Anas berkata, Rasulullah SAW telah meninggal dunia,
sedangkan perkara ini telah sempurna, maka selayaknya kita mengikuti hadits Rasulullah SAW dan tidak mengikuti pendapat akal. Sebab jika kamu
mengikuti pendapat akal kemudian seseorang datang dengan pendapatnya yang lebih kuat dari pendapatmu, maka kamu akan mengikutinya. Setiap
kali datang seseorang yang mengalahkan pendapatmu, maka kamu akan mengikutinya, dan aku mengira hal itu tidak akan selesai.
Kemudian terbukti ia berpendapat dengan akalnya, namun kebanyakan dari pendapatnya dikeluarkan setelah berijtihad menggunakan akalnya, seperti
yang disebutkan dalam ayat, Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini nya. Qs. Al
Jaatsiah [45]: 32. Karena takut dikalahkan oleh orang yang mendalami perkara tersebut, maka ia terus-menerus mencelanya dan mencela orang
yang mendalaminya. Namun ia akhirnya menyingkir dari penduduk Irak, karena mereka kebanyakan menggunakannya dalam hukum-hukum
syariat. Hal yang paling ringan yang datang darinya adalah, Istihsan adalah sembilan bagian dari ilmu dan orang yang tenggelam dalam qiyas pasti
meninggalkan Sunnah. Perkataan-perkataan sebelumnya — menurut madzhab Malik— tidak
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
dikhususkan dalam hal akidah, penekanan-penekanan terhadap larangan menggunakan pendapat akal, meski berkenaan dengan dasar-dasar syariat,
sebagai langkah kehati-hatian terhadap perkara yang tidak berkenaan dengan dasar-dasar agama.
Dalam masalah ini Ibnu Abdul Barr banyak berkomentar namun kami enggan untuk menuangkannya dalam bab ini.
Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah: Yang dimaksud dengan pendapat akal yang tercela adalah sesuatu
yang dibangun dengan kebodohan dan hawa nafsu, tanpa sedikit pun kembali kepada dasar agama. Hal ini masuk dalam batasan bidah dan telah disebutkan
dalil-dalil yang mencelanya. Sedangkan sesuatu yang mempunyai keburukan —meski pada awalnya terpuji— namun semuanya dikembalikan kepada dasar-
dasar syariat, adalah sesuatu yang telah keluar dari batasan-batasan bidah dan selamanya tidak akan menjadi bidah.